"Astaga." Cania terbangun. Setengah duduk ia memandangi kamarnya. Memastikan dia bukan lagi di jalan seperti dalam mimpinya. Ia lalu menarik napas lega dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Mimpinya sangat buruk. Laki-laki itu ...kecelakaan dan tewas tepat di depan matanya. Cania hanya dapat menangis dan meneriakkan namanya.
"Hanya mimpi." gumamnya lagi sambil beranjak membuka tirai kamarnya. Jemarinya langsung terangkat untuk menutupi matanya yanag silau. Setelah mengingatkan tirainya ia hendak mancuci tiba-tiba ia terhenti disamping meja kerjanya. Dinding itu penuh dengan berbagai foto yang disusun rapi pada sebuah tali. Cania mengambil satu foto dimana tertulis 'sampai nanti'. Cania duduk mengingat momen itu.
Sebelum ceremony wisudanya ada seseorang yang memintanya untuk keluar dan menemui dia. Cania pun keluar dengan alasan ke toilet. Untuk pemberian ijazah sudah selesai. Namun Cania tak menemukan orang itu di tempat yang ditentukan. Cania lalu berniat menuruni tangga namun karena hak sepatunya yang tinggi dan ia terlalu terburu-buru, ia pun terjat...
"Aaagh." pekiknya pelan karena banyak orang. Namun tepat saat itu sebuah tangan memegang erat tangannya dan membantunya berdiri dari belakang.
"Terimakas..." Cania menoleh dan kata itupun langsung terhenti. Laki-laki itu tersenyum.
"Hati-hatilah jika tak ingin malu." katanya. Laki-laki itu menariknya ke tempat sepi.
"Candra." merekapun kini berdiri berhadapan. Candra mengulurkan sebuket bunga untuk Cania tanpa kata namun jelas matanya menyuruh Cania mengambilnya. Pelan Cania mengambil itu.
"Terimakasih." kata mereka bersamaan. Cania kembali menatap Candra yang kini menjadi agak sejajar. Lalu Candra pun tersenyum.
"Kok kamu yang makasih sih?"
"Hanya...ingin bilang saja." jawaban khas Candra membuat Cania tersenyum.
"Oh ya kok kamu disini sih, sejak kapan?" tanya Cania karena Candra sudah ikut wisuda periode lalu dan kini dia bekerja di kotanya.
"Aku baru sampai. Pengen lihat kamu." mata mereka pun saling menatap. Jelas sekali rindu menyelimuti mata itu, air mata yang pelan tapi pasti mulai berada disana.
"Candra, aku ..." Cania menghadap arah lain.
"Makasih Cania. Berkat kamu aku pernah merasa sangat bahagia. Karena kamu, aku bisa mencapai semua ini. Bersama kamu, aku tak pernah menyesalinya." Cania pun teringat putusnya hubungan mereka 3 bulan lalu. Persis sebelum wisuda Candra. Candra memutuskannya hanya lewat telpon dan dia melarang Cania menghadiri wisudanya dan sejak saat itu mereka tak lagi bertemu atau berhubungan.
"Lalu kenapa kamu putusin aku?" tanya Cania dengan suara bergetar.
"Aku terikat kontrak yang mengharuskanku tidak menikah dalam 3 tahun dan mungkin aku ...akan keluar negeri." mata Cania melebar.
"Itulah sebabnya, aku tak bisa memberimu harapan apalagi mengikatmu. Kamu, aku, kurasa kita berhak bebas. Daripada akan banyak luka dihubungan kita,lebih baik satu tahun ini, kita akhiri saja." Cania hanya bisa diam mendengar alasan itu. Satu tahun hubungan mereka selama ini pun tak bisa dikatakan mudah. Mereka harus sering berpisah, apalagi peminatan mereka yang berbeda meski satu jurusan tetap tak banyak membuat jadwal mereka bisa bersama.
"Selama satu tahun ini, aku tau tak mudah bagi kita dan kita mampu melewatinya. Tapi sekarang, waktunya kita berjalan sendiri-sendiri dulu. Jika kita berjodoh, kita pasti bertemu lagi. Aku harap kamu mengerti Cania."
"Aku ngerti Candra. Baiklah jika itu keputusanmu. Semoga jika kita bertemu, rasa ini masih sama." kata Cania tanpa memandang Candra.
Pelan, Candra maju mendekati Cania. Ia lalu memeluk Cania dengan satu tangannya. Cania agak kaget juga. Meski sudah menjalin hubungan selama satu tahun, Candra jarang memeluknya karena Candra sangat menghormatinya.
"Maafkan aku Cania. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu. Semoga kebahagiaan dan kesuksesan selalu menyertai langkahmu." bisiknya.
"Kamu juga." jawab Cania menahan tangis. Pelukan perpisahan ini ...
Setelah Candra melepaskan pelukannya, ia menyodorkan tangan kanannya. Cania paham. Ini saatnya berpamitan. Cania juga mengulurkan tangannya.
"Selamat dan ...sampai nanti." Candra pun tersenyum manis.
"Sampai nanti." jawab Cania juga, dengan senyum manisnya. Lalu mereka saling melangkah kedepan. Mereka tak lagi saling berbalik. Karena Cania sendiri sedang berusaha menyembunyikan air matanya. Ia memegang bunga itu dengan sangat erat di hatinya.
"Cania, cepat turun!" teriakan Mama menyadarkan Cania.
"Iya Ma, sebentar." Cania pun tersenyum sambil mengembalikan foto itu lalu menuju toilet.
'Mama benar. Tuhan menakdirkan seseorang bertemu kita dengan dua alasan. Untuk membersamai kita atau memberi pelajaran pada kita.' batin Cania.
Sampai dibawah ternyata sudah ada Fairuza. Dia tersenyum melihat Cania turun.
"Kamu tuh ngapain aja sih, kasian kan Fai nunggu lama." omel Mama lalu masuk. Membiarkan dua sejoli ini menikmati waktu mereka.
"Udah siap Cania sayang?"
"Tentu Fai sayang." jawab Cania juga tersenyum. Mereka pun melangkah turun.
'Terimakasih Candra, karenamu aku mendapatkan Fairuza. Entah dia atau dirimu yang baik untukku. Yang pasti aku masih ingin bertemu lagi denganmu...nanti.' tambah Cania dalam hati.
Minggu ini sangat cerah, membuat Cania dan Fairuza yang merupakan sejoli baru ceria menatap didepan sana.
"Kamu kenapa Can?" tanya Fai saat melihat Cania bengong padahal tangannya memegang buku. Cania tersenyum. Meski mereka baru berpasangan tapi mereka udah lama kenal jadi susah deh nyembunyiin satu sama lain.
"Tadi malem aku mimpi Candra kecelakaan."
"Hah? Candra...mantan kamu?" Cania mengangguk.
"Aku juga nggaj tau Fai, padahal aku juga lagi nggak mikirin dia. Tapi ...entah kenapa ini agak menggangguku."
"Jangan terlalu dipikirkan, itu hanya bunga tidur." kata Fai sambil menepuk bahu Cania sambil tersenyum. Cania pun ikut tersenyum. Setelah membeli buku, saat menuruni tangga mereka bertemu seseorang.
"Cania..." sapa orang itu.
"Candra..." Cania pun tak kalah kaget. Fairuza memberi kekuatan dengan menggenggam tangan Cania. Fairuza tau, cowok inilah yang membuat Cania selama ini sulit membuka hati.
Beberapa hari kemudian setelah pertemuan itu, Candra mengajak Cania ke taman kampus. Nostalgia katanya. Sore itu pun taman agak sepi. Mereka duduk sambil minum es krim. Tentu saja membicarakan kerinduan mereka akan masa kuliah dan kesibukan mereka selama ini setelah bekerja. Hingga akhirnya basa-basi itu sampai pada titik tujuannya.
"Nampaknya kamu bahagia dengan Fairuzaa itu?" Cania tersenyum tanpa memandang Candra.
"Kamu sendiri...udah ada calon?" tanya balik Cania.
"Belum. Aku masih harus memastikan hal pada seseorang. Selama ini...aku tak mampu melupakannya." Cania hanya diam. Bingung mau jawab gimana.
"Tapi syukurlah, nampaknya dia sudah bahagia dengan pasangan barunya." tambah Candra sayu. Benar.
"Untungnya kamu cepet dapet konfirmasi itu. Jangan ditunda, kamu juga harus bahagia." balas Cania.
"Apa kamu...bener bahagia dengannya? Tidak bisakah...aku meminta kesempatan kedua?" Candra menoleh dan menatap Cania. Cania pun menoleh.
"Aku pun belum bisa sepenuhnya melepasmu Candra. Tiga setengah tahun yang sangat berat bagiku. Menunggumu meghubungiku atau sekedar mencium kabarmu, tapi sama sekali tak bisa hingga akhirnya aku berusaha membuka hati dan Fairuzaa yang mengisinya." Candra agak terkejut. Tak menyangka dia ...terlambat. ia kira bahkan Cania sudah melupakannya tapi ternyata ...
"Cania aku ... selama ini aku... maafkan aku." Candra pun tak bisa menjelaskannya. Cania menggeleng.
"Buat apa minta maaf Candra, bukankah ini keputusan yang kamu ambil? Kamu pernah bilang, kalau kita berjodoh, kita akan bertemu lagi. Tapi kamu tau, sekarang aku sudah bersama Fairuzaa, meski aku tak tau apakah dia jodohku atau bukan tapi sekarang...aku ingin bersamanya. Aku akan mencoba bertahan disisinya. Kali ini...aku harap kamu pun mengerti." Candra pun tersenyum mendengar itu.
"Bagaimana empat tahun kamu bisa nggak berubah Can? Kamu selalu berani memilih apapun resikonya. Dia sangat beruntung dapat memilikimu." kali ini ganti Cania yang tersenyum.
"Kamu juga harus menemukan perempuan beruntung itu. Yang bisa memilikimu nanti." Candra pun tertawa. Ia memandang lama wajah Cania yang menghadap kedepan.
"Cania ..." Cania pun menoleh dan bertanya dengan matanya.
"Terimakasih atas semua pelarajaran dan penantian yang kamu beri selama ini. Aku...sungguh beruntung memiliki ...teman sepertimu." Teman. Ya, kata itu sudah lama sekali tak ia dengar. Hubungannya dan Candra selama lebih dari lima tahun ini, empat tahun setelah wisuda ...masih dikenal dengan status kekasih. Cania berkedip. Ia tak ingin Candra melihat air matanya.
"Aku juga berterima kasih ...memiliki teman berharga sepertimu." jawab Cania. Candra tersenyum. Hari sudah sore, waktunya mereka pulang.
"Can ..." sebelum Cania menaiki motornya dia menoleh. Candra mengulurkan tangan. Cania ...tau arti jabat tangan ini. Pelan Cania menyambutnya.
"Semoga kamu selalu bahagia." kata Candra. Cania cukup yakin Candra mengatakanya dengan nada yang berbeda. Namun Cania pun tak boleh terbawa suasana. Sekuat tenaga ia menahannya.
"Kamu juga...Candra." balas Cania.
'Aku menyesali ketidak beranianku selama empat tahun ini Cania. Keraguanku membuatku harus melepasmu selamanya. Mampukah aku mencari penggantimu? Cintaku padamu akan selalu berwujud doa agar kamu selalu bahagia.' batin Candra.
'Apa kau tau sakitnya hatiku saat ini Candra? Mampukah aku melepasmu seutuhnya? Namun kini, ada hati yang harus kujaga. Mungkin kita tak ditakdirkan untuk bersama. Aku akan selalu berdoa untuk kebahagiaanmu. Untuk kebahagiaan kita dengan pasangan kita.' ucap hati Cania. Mereka berdua pun sama-sama tersenyum. Setelah melepaskan tangan mereka menuju motor masing-masing.
Baik Cania atau Candra, mereka sama-sama mengepalkan tangan kanannya. Kini resmi sudah perpisahan mereka. Harus saling merelakan dan melepaskan. Ucapan 'sampai nanti' itu telah mereka buktikan. Meski penantian itu kini bukan berakhir indah tapi mereka sama-sama percaya, akan ada rencana Tuhan yang pasti lebih indah.
Kereeeeennn