Storms
Well, kesehatan memang penting, jika sudah hari Jumat itu berarti kami bebas melakukan apapun selama itu dalam bentuk olahraga, termasuk bridge dan chess namun jika kami akan melakukan kunjungan maka hari Jumat dialihkan menjadi hari kunjungan.
Perempuan penghuni building four terbiasa menghabiskan jam olahraga untuk memainkan permainan tradisonal, karena selain untuk melestarikan budaya negara bobrokku tercinta, semua permainan tadi merupakan salah satu dari sekian hal yang membuat negara ini menarik. Jika bosan dengan permainan tradisional, kami mulai beralih ke kolam renang sekolah, walaupun aku tak bisa berenang, aku tetap ikut bermain air dan berlarian mengejar Cam seperti idiot, aku juga bisa melihat bahwa Kein sedang menemani Erva yang merupakan atlet renang nasional itu berenang di kedalaman 3 meter. Dan bisa kudengar Kein mengomeli Erva karena berenang tanpa melakukan pemanasan. Oh Aphrodite, how sweet he is, ia tak pernah khawatir padaku.
Saat tengah sibuk memusatkan perhatian kepada Cam, targetku. Aku yang memiliki keseimbangan cukup baik ini terpeleset dan jatuh ke kolam dengan kedalaman 2,5 meter! Tinggiku mencapai 171 cm, namun 250 cm untuk orang yang tidak bisa berenang sepertiku bukanlah lelucon, seperti yang diduga, aku tenggelam.
Aku membuka mata dengan sedikit perasaan pusing di kepala, terbangun di kamarku sendiri, basah. Tidak, Cam sudah mengganti pakaianku, karena jika ia tidak melakukannya aku akan bangkit dan memakinya karena membiarkanku membasahi tempat tidu yang tingkat kesakralannya serupa dengan altar di Gereja. Cam menatapku cemas, tumben pikirku seorang Cam biasanya tetap tenang walaupun gedung di sebelah kebakaran seperti yang terjadi saat kami SMP dulu.
“Mous, are you okay?” aku menatapnya lemah dan memberi tanda “OK” lewat jari-jariku.
Selain Cam, aku juga melihat Hans yang basah kuyup di ujung pintu kamarku menatap cemas ke dalam ruangan. Sepertinya ia yang menolongku, aku harus mengucapkan terimakasih secepatnya pikirku sampai akhirnya Cam berkata akan membiarkanku beristirahat lalu meninggalkan kamar dan mengajak Hans pergi.
Setelah beristirahat sejak pagi hari, malamnya aku merasa baikan, lalu memutuskan untuk bertandang ke kamar Cam dan mengucapkan terimakasih. Niatan awalku yang langsung ingin meninggalkan kamar Cam gagal karena hasrat untuk memporak-porandakan kamar idiotnya yang bertemakan beruang itu jauh lebih besar, setelah semua orang tahu bahwa ia terobsesi pada beruang dalam tugas observasi tingkah laku, Cam mulai menghiasi kamarnya atau lebih tepatnya building four dengan banyak dekorasi beruang sebab ruang kumpul asrama kini penuh dengan aksesori berbau beruang. Cam menatap dengan ngeri saat aku tiba dan langsung menyembunyikan boneka beruang idiotnya yang paling besar ke balik tempat tidur walau masih menyisakan sebagian badan beruang itu di luar tempat tidur. Aku berniat merusak kamar Cam hingga ke dalam kamar mandi tadinya, namun gagal karena Cam menyuruhku duduk dan ingin membahas kejadian di kolam renang tadi pagi.
“Mous, kamu ingat kejadian tadi?” aku menjawabnya sambil tetap menguyah cokelat di mulutku dan memainkan aplikasi mewarnai di tablet Cam.
“Yang kuingat hanya air terkutuk itu memasuki hidung dan telingaku. Kenapa?”
Cam terdiam sejenak lalu berkata “Waktu kamu tenggelam, Erva juga ikut tenggelam tak selang beberapa lama kemudian karena kram kaki akibat tidak melakukan pemanasan sebelum berenang”
Aku masih sibuk mewarnai seorang wanita Eropa yang tertawa lebar di tablet Cam dan bertanya “Terus? Mungkin saja kan, soalnya aku juga dengar si idiot Kein mengomelinya soal pemanasan. Jangan bilang kalau kau berpikiran ini semacam kebetulan yang direncanakan?” aku menebak isi pikiran konyol Cam sambil tekekeh.
Cam mengambil tablet yang sedari tadi menjadi pusat perhatiaku dan menatap lurus padaku, “Saat kau tenggelam, yang berada paling dekat denganmu adalah Kein dan Erva karena mereka berenang di kedalaman 3 di dekatmu yang jatuh di kedalaman 2,5. Aku sudah meneriaki seseorang untuk menolongmu, Kein melihat itu dan mendengarnya, tapi ia lebih dahulu menyelamatkan Erva yang atlet renang nasional ketimbang kau yang jelas-jelas tidak bisa berenang. Untung saat itu Hans langsung sadar dan meninggalkan permainan caturnya”
Butuh waktu 4 detik bagiku untuk sadar dan mendapatik hatiku berdenyut tertahan. “Mous, aku mengatakan ini bukan supaya kamu sedih. Tapi supaya kamu sadar betapa sia-sia kamu memikirkan dia”
Badanku sedikit gemetar karena menyadari Kein lebih mementingkan orang lain daripada aku, padahal ia tahu jelas aku tak pandai berenang dan aku jatuh lebih dahulu. Aku menarik napas dan mengambil kembali tablet dari tangan hina Camelia, melanjutkan kegiatan mewarnaiku yang sekarang warnanya sudah tidak selaras lagi.
“Biarkan aku memikirkan ini nanti saat aku sudah sendiri Cam” ucapku, yang diajak bicara mengerti karena ia langsung melanjutkan kegiatan mnyembunyikan bonekanya.
Sejak mendengar apa yang dikatakan Cam, aku menjadi sedikit takut kepada Kein. Takut dia akan meninggalkanku kapan saja, takut aku terlalu percaya padanya, takut bahwa ia bisa kapan saja mengabaikanku demi orang lain. Ketakutan itu berhasil membuatku menjaga jarak dari Kein dengan natural tanpa usaha berarti karena aku memang merinding jika membayangkan dia menyelamatkan orang lain disaat aku membutuhkannya terlebih dahulu.
Menu makan siang di hari yang mendung ini adalahhhh, mie pangsit! Terpujilah ibu kantin yang datang setiap jam makan siang dan pulang setelah memastikan seluruh manusia di building telah makan. Ibu kantin memilih menu itu di hari yang basah ini, aku duduk di dekat jendela dengan Cam di sampingku sambil menatap hina sang langit, Cam selalu mengatakan langit hina tanpa memberitahuku alasannya. Padahal, menurutku langit sore yang kulihat setiap melakukan olahaga lari adalah salah satu yang terindah.
Saat aku sibuk menyeruput mie pangsit, si Ignatius bajingan datang dan meminum susu kotak milikku, aku kesal seketika. Aku hendak menarik rambut Ignatius ketika Hans menyodorkan sekotak susu milikknya di hadapanku.
“Mous, kau bisa memilikinya. Aku tak memiliki pemikiran yang sama dengan ibu kantin perihal menjadikan susu cokelat pasangan makan siang mie pangsit”
Cam ikutan menyodorkan susu kotaknya “Aku setuju tentang selera aneh ibu kantin, Hans. Kau ingat saat dua minggu lalu ia menyediakan sup kepiting sehabis jam pelajaran olahraga yang ditemani dengan segelas coktail. Untung aku masih bisa menahan diri karena coktail buatannya sangat nikmat”
Aku memandangi Hans dan Cam “Kalian memberikannya bukan karena berpikir bahwa aku masih sakit kan? Atau karena kalian ingin menyelamatkan monyet belgia ini?” tanyaku sambil melirik Ignatius yang dengan wajah tak berdosa meminum susu kotak yang seharusnya menjadi milikku beberapa menit yang lalu.
Cam tertawa “Untuk apa menyelamatkan manusia tak berguna seperti Ignatius. Ia akan membawa negara ini dalam kekacauan saat memasuki usia dua puluh kelak. Akan lebih baik jika kita memusnahkannya dan mengurangi permasalahan yang akan muncul di hari esok” jawab Cam sambil sibuk menyeduh segelas Barley tea, Hans hanya mendengarkan sambil kadang tertawa.
Tak terasa Lit Academy sudah memasuki bulan keempat, bulan paling sibuk sepanjang tahun sebab kami akan disibukkan dengan banyak event akademik, seni, atletik dan sosial. Event-event yang kami ikuti bukanlah event yang diselenggarakan oleh negara, kami hanya mengikuti event yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi tertentu yang terkadang bersifat rahasia, sebab jika kami mengikuti event di negara ini maka kemungkinan besar kami hanya membuat penyelenggara event tersebut untuk memindahtangakan seluruh uang hadiah ke akun rekening Lit Academy yang nantinya di akhir tahun akan dialokasikan untuk biaya jalan-jalan mereka yang berhasil dalam event dan sisanya dibagi sesuai dengan kontribusi siswa terhadap keberhasilannya dalam setiap event.
Walaupun kemampuan siswa di sini tak perlu diragukan, Lit Academy tetap memberikan pelajarnya jam khusus untuk mendalami bidang masing-masing, jam khusus ini diberlakukan selama seminggu sebelum hari-H dimana para peserta diisolasi dan dibiarkan berpikir selama seminggu penuh dalam satu ruangan khusus di dalam tiap building yang difasilitasi tempat tidur, kamar mandi, dapur dan bahan makanan. Minggu depan aku mengikuti lomba pidato yang berarti aku harus diisolasi selama seminggu mulai hari ini dan dari banyaknya orang di grade B, yang menjadi partnerku adalah Kein, aku lupa bahwa ia termasuk dalam dua teratas orang dengan kemampuan berbicarra terbaik di Lit Academy. Hal ini berarti bahwa kami akan berada dalam satu ruangan yang sama dalam satu minggu ke depan. Hidup terkadang sangat menyeramkan.
Aku sebisa mungkin menahan diri untuk tidak dekat dengan Kein, hanya berusaha untuk menguasai konsep dari materi yang perlu kupahami sambil mendengarkan lagu dari earphone. Kein jelas jelas tidak mengisolasi diri, ia sibuk mengganguku bukannya memahami materi miliknya. Sudah enam hari aku disana bersama si Bodoh Kein, karena aku sudah memahami materiku bahkan sebelum aku memasuki ruang ini maka kebanyakan hal yang kulakukan untuk menghabiskan waktu adalah menulis puisi atau menggambar. Aku sedang tidur-tiduran sambil menggambar karakter lucu dari tumbuhan beracun dengan pita besar berwarna merah jambu di kepalanya yang kuberi nama Toxyd, karakter jamur beracun itu sedang dalam proses pembuatan pakaian saat Kein melingkarkan lengannya di pinggangku. Aku kaget, tapi dulu kami sering melakukan hal ini jadi kupikir itu biasa, namun menjadi tidak biasa ketika ia mengecup pelan keningku, pipiku, lalu tak perlu kusebutkan yang selanjutnya karena aku bingung. Aku bingung dengan Kein yang jelas memiliki kekasih, jelas ia tak menyukaiku namun ia mengecupku. Aku menatap Kein, dengan lagi-lagi harus kukatakan, dengan bingung. Ia hanya tersenyum kecil sambil menarikku ke dalam pelukannya dan terlelap. Aku benar-benar bingung.
Event yang nanti pemenangnya akan menjadi wakil Indonesia ke Galway menjadi tidak menarik bagiku karena sibuk dengan pikiran konyol bahwa Kein mungkin memiliki setidaknya sedikit tempat untukku. Namun melihat banyaknya peserta lain aku mengenyampingkan persoalan hati bodoh ini dan mencoba bersikap profesional dan fokus pada tujuanku hari ini. Tujuanku hari ini hanya satu, menang. I always get what I want, so I win the game.
Aku senang karena Galway adalah kota kecil yang menyenangkan namun aku harus ke sana sendiri sebab Kein yang juga menang harus melewatkan kesempatan ini karena ia keracunan jamur tepat tiga hari sebelum hari keberangkatan. Sepulangnya dari Galway aku masih memikirkan kecupan bodoh itu dan masih tak mengerti apa artinya. Namun melihat Kein yang seperti tak mengingat apa-apa dan lanjut bermesraan dengan Erva, membuatku memberanikan diri bertanya pada Kein saat Sabtu sore ia ke rumah untuk meminjam ensiklopedia Amerika.
“Kein, that kiss what does it mean?” Kein yang dalam keadaan sedang membelakangiku dan mencari ensiklopedia menghentikan gerakan tangannya yang sedang memilah buku, ia lalu berbalik dan menatapku sambil tersenyum, senyum yang sama saat ia mengecupku malam itu.
“Mous, aku hanya terbawa suasana. Kita disana selama seminggu hanya berdua dan malam itu aku benar-benar nggak tahu kenapa melakukan itu. Kamu tahu? aku takut aku akan melakukan hal yang sama kalau kita dibiarkan bersama lagi, jadi aku sengaja memakan jamur yang jelas-jelas aku tahu sudah tidak layak konsumsi supaya aku tak perlu ikut ke Galway. Aku yakin kamu tahu, aku nggak mungkin tidak bisa membedakan jamur yang masih layak dan sudah tidak layak konsumsi” Kein mengatakan itu sambil menatapku dengan rasa bersalah, aku tahu itu, karena walaupun ia sudah menjadi bajingan dia tetaplah anak kecil yang baik.
Aku hanya terdiam, setelah lima belas detik melihatku hanya terdiam Kein meninggalkan rumah sambil berkata ia tak bisa menemukan ensiklopedia yang ia cari, saat ia mengatakan itu, aku tengah menatap ensiklopedia setebal 10 cm bertuliskan AMERIKA di atas meja di sebelahnya. Aku diam bukan karena terkejut tapi karena sadar bahwa ia menghindariku sebegitunya sampai merelakan kesempatan ke Galway dan memakan jamur jelek yang bukannya tak mungkin meracuninya lebih parah jika tak diatasi langsung dengan baik, menyadari bahwa ia memakan jamur itu secara sengaja agar dirinya lemah selama tiga hari ke depan untuk dapat menghindariku adalah hal yang membuatku terdiam. Hari itu, jika Kein bertujuan untuk membuatku menjauh, ia berhasil.
Aku hanya perlu bertahan satu bulan lagi, karena jika semester pertama ini berakhir aku akan langsung pindah ke building seven-A, aku tak sanggup melihatnya. Jika kau berpikir bahwa aku menyedihkan, kau benar karena aku menghabiskan bertahun tahun menyukai orang yang rela memakan jamur jelek untuk menghindari aku yang pada akhirnya terdengar seperti wanita jahat yang mengejar ngejar anak kecil yang bahkan tak mau bermain denganku sampai rela keracunan.
Selama satu bulan terakhir aku mencoba hidup tak terlihat, selalu bangun paling pagi untuk menghindari kemungkinan bertemu Kein di lorong kamar asrama, tidak pernah berkumpul bersama anak lainnya di ruang kumpul asrama, hanya melakukan absen finger print di ruang kumpul asrama saat semua orang kemungkinan sedang mandi, tak pergi makan ke kantin saat jam istirahat, aku juga tak memasak makanan di dapur asrama dan hanya meminta Cam untuk membawakan makanan, aku berpikir bahwa dengan tak melihat Kein aku bisa melupakannya, I mean time will heal everything and will erase everything. Hans dan Cam sering ke kamarku selama satu bulan terakhir, hanya mereka yang tahu aku akan pindah semester depan tapi mereka tak tahu alasannya dan tak pernah bertanya sekalipun karena mereka tahu jika aku ingin mengatakannya aku pasti sudah melakukannya.
“Tapi Mous, bagaimana bisa kau membuat Ms. Eve setuju untuk memindahkanmu dari building four? Kau tahu sendiri dia adalah orang yang sulit, baik dalam bentuk manusia ataupun dalam bentuk wanita.”, Aku tertawa mendengar pertanyaan Cam.
Ia memang benar Ms. Eve pengurus Lit Academy adalah orang yang sulit, aku memeberanikan diri datang kepadanya dan sempat terpikir akan alasan konyol seperti di building four ada hantu The Grimms Brothers yang gentayangan sambil menceritakan Rumpelstiltskin setiap tengah malam apabila Ms. Eve menolak permintaanku untuk pindah ke building lain, namun saat melihatku datang kepadanya dengan tatapan kosong dan menyedihkan sambil berkata “Miss, switch my building please”
Ia tak banyak bertanya dan hanya mengangguk lembut kepadaku, Ms. Eve bilang ia memberiku izin karena ia menyukaiku secara pribadi walaupun ia tahu itu bukan hal yang baik untuk dilakukan di sekolah dan kenyataan bahwa ia percaya aku akan lebih baik berada di tempat baru membuatku semakin yakin untuk meninggalkan building four atau lebih tepatnya meninggalkan Kein. Pindah ke building seven pun merupakan saran dari Ms. Eve. Namun setelah kupikir lagi, bagaimana bisa Ms. Eve mengatakan bahwa ia menyukaiku secara pribadi disaat ia bukan pengajar di Building four dan tak mengenalku secara pribadi? Lalu aku sadar, besar kemungkinan Ms. Eve adalah salah satu orang yang menyeleksi kami secara informal sebelum diterima di Lit Academy.
Desember datang, semester pertama selesai dan cerita untuk building four pun ikut selesai. Keluargaku dan Kein selalu berkumpul saat natal dan tahun baru, saat natal aku menghindari acara kumpul-kumpul gila itu dengan beralasan bahwa kepalaku pusing dan untuk acara tahun baru kuhindari dengan menyuruh Cam membawaku liburan bersama keluarganya, sungguh aku tak peduli jika adik perempuan Cam terganggu dengan keberadaanku tapi memang tak ada lagi alasan yang bisa membuat Mum mengizinkanku pergi selain melibatkan Cam sebagai jaminan.
Tahun baru di keluarga Cam sedikit berbeda dengan tradisi keluargaku, di gabungan keluargaku dan Kein kami akan pergi liburan dan menghabiskan waktu tertawa sambil mengenang satu tahun yang lalu, mengenang segala hal yang sudah terjadi, menertawakan hal yang jelek karena itu sudah lewat dan tersenyum mengingat banyak hal selama satu tahun itu. Namun di keluarga Cam mereka memulai hari pertama di setiap tahun dengan mengeluarkan segala kekesalan selama satu tahun terhadap tiap anggota keluarga dengan maksud anggota keluarga yang disebutkan bisa berubah lebih baik, yang tak khayal malam tahun baru di keluarga ini diwarnai dengan perdebatan sengit akibat amarah terpendam selama setahun.
Walaupun keluarga Cam hanya terdiri atas Cam, Clay adik Cam, Mum dan Dad mereka, acara lepas amarah ini cukup ramai dan aku sangat menyukainya karena selain seru aku juga tahu semakin banyak keanehan Camelia yang bisa kutertawakan habis-habisan, terutama saat Clay mengeluh dengan penuh emosi.
“Tanggal 3 januari tahun lalu atau mungkin saat tahun lalu baru berjalan 72 jam, Cam sudah membuatku kesal saat ia untuk yang ke sekian kalinya salah memasukkan bunglon bajingan peliharaannnya ke dalam kamarku yang membuatku berakhir dengan mencari-cari bunglon yang bersembunyi dengan mengubah warna itu dengan keterbatasan penglihatanku yang kemudian diakhiri dengan aku yang kelelahan dan akhirnya menyadari bunglon bajingan itu tidur di atas bantal kesayanganku karena ia mencakar kepalaku saat aku menjatuhkan kepala ke tempat tidur karena kelelahan mencarinya. Jadi, Camelia Elaeis Terpischore untuk yang terakhir kalinya aku mengingatkanmu tentang buglon itu. Karena jika tahun ini aku melihatnya lagi, malam ini akan menjadi malam tahun baru terakhirnya” Clay yang memiliki mata dengan minus tujuh itu mengatakannya sambil melihat Jony bunglon peliharaan Cam dengan penuh ancaman.
Sebelum tidur Cam sempat mengimplementasikan tradisi keluarganya padaku “Mous, kau terlalu bodoh soal cinta walaupun sebenarnya semua orang begitu tapi tetap saja kau harus sadar, jadi berhentilah menunggunya karena dia bahkan tak berniat datang.”
“Cam, I’m done”
“what?”
“I stop here”
Cam hanya tersenyum dan melemparkan boneka buaya kecilnya padaku.
Aku tak tahu bahwa kata-kata “I stop here” sangat berpengaruh padaku jika dikatakan dalam keadaan sedih. Untuk menghindari pemikiran bodoh tentang Kein aku menenggelamkan diri dalam hal-hal yang kusukai, untung semua hal yang kusukai bersifat positif atau begitulah menurutku.
Aku membaca banyak buku referensi dalam berbagai genre baik politik, kesehatan, psikologi, science, social life, self-improvement, atau pun botani. Aku sukses menamatkan ensiklopedia Amerika dan Eropa dalam waktu 4 hari, selama ini aku membaca ensiklopedia itu tapi karena Kein selalu berada di dekatku akhirnya yang terjadi adalah aku membaca dalam hati namun pikiranku berfokus pada Kein yang tertawa saat membaca komik komedi idiot di sebelahku. Aku juga mulai menulis kembali, menulis cerita-cerita konyol, cerita yang hebat, quote-quote sinting, puisi, ataupun sekedar dialog-dialog pendek. Aku juga memasak banyak makanan dimana dalam hal ini yang diuntungkan adalah Cam, aku mulai rajin menggambar lagi, mulai mendesain barang barang lucu seperti stationery ataupun bookmark, aku juga mulai membuat banyak list-list gila dan mulai berolahraga karena melihat sedemikian banyaknya daftar keinginanku maka aku harus berumur panjang dan sehat untuk mempermudah jalan dalam menggapai mereka.
Ah, bertetangga dan berada di satu sekolah yang sama dengan Kein membuatku semakin ahli dalam seni menghilangkan diri. Di sekolah karena setiap building memiliki fasilitas lengkap aku tak perlu keluar dari buildingku dan menghindari Kein, namun jika weekend tiba itu berarti aku harus bertahan darinya yang berada di rumah sebelah, ada banyak sekali hal yang harus dihindari, seperti sekedar keluar untuk membawa Mochi jalan-jalan saja aku harus mempertimbangkan banyak hal, berolahraga pun kulakukan in door, tapi kadang aku pergi ke taman di dekat rumah untuk lari sore jika keadaan memungkinkan.
Sejak kejadian di kolam renang itu, aku bertekad untuk belajar berenang, selama ini aku tak pernah menyentuh kolam berenang di belakang rumah untuk berenang kecuali jika Kein sedang berkunjung dan mencoba mengajariku berenang yang biasanya selalu berakhir sia-sia karena aku tak berniat melakukannya, tapi untuk belajar berenang di rumah sendiri pun aku harus memastikan Kein tak di rumahnya karena kolam renang yang terletak di belakang bisa dilihat dengan jelas dari kamar Kein, aku juga sudah jarang berada di ruangan kacaku karena Kein sering datang ke sana dulu walaupun aku tak tahu sekarang bagaimana tapi siapa yang tahu jika Mumnya menyuruh mengantarkan sesuatu ke rumah, ia selalu ke ruangan kacaku jadi aku lebih sering tidur di kamar sendiri sekarang, aku harus meninggalkan ruangan kaca walaupun aku sangat suka terpaan sinar matahari yang melalui kaca besar yang seperti layar alam itu karena bisa melihat sinar mentari di pagi hari dan bintang di malam hari.
Beberapa hari lalu saat weekend aku memutuskan untuk berolaraga di luar, sewaktu jogging di taman dekat rumah aku hampir berpapasan dengan Kein, untung saja aku melihat Ignatius duluan yang berarti mengindikasian keberadaan Kein di dekatnya karena Ignatius mengenakan setelan basket dan rumah Ignatius bukan di daerah tempat tinggalku, sepertinya Ignatius melihatku dan berusaha memanggil, namun aku menghindari panggilannya dengan lari sprint menuju rumah.
Penghuni building seven-A memang tak sebagus dan tak seeksentrik penghuni building four, tapi ketiadaan Kein disini membuatnya jauh lebih mudah untukku bernapas. Aku benar-benar berhenti berhubungan dengan penghuni building four kecuali Cam, ia terkadang bermain ke rumah untuk menemaniku dan terkadang memarahiku yang menurutnya terlalu workaholic. Cam juga bilang kalau Hans merindukanku dan ingin bertemu, tapi aku tak mungkin mengajaknya bermain ke rumah karena aku sudah pasti harus turun ke bawah untuk menyambutnya saat ia datang sedangkan aku menghindari tetangga sebelah yang sering bercokol di balkon depan rumahnya, dan aku juga tak mau menjelaskan kepada Hans bahwa aku patah hati setelah mencintai seorang idiot bertahun-tahun agar membuat Hans mengerti mengapa aku tak bisa menyambutnya jika ia berkunjung ke rumah seperti halnya Camelia. Aku menyadari Cam benar dalam banyak hal selama ini namun butuh waktu lama untuk menyadarinya karena sebagian besar kata-kata bijak seorang Camelia diucapkan dalam keadaan santai dan terkesan asal.
Setiap minggu saat pulang dari Lit Academy, Cam selalu mampir ke rumah dulu sekalian mengantarku pulang, kadang kami pergi hang out berdua, menggila, shopping atau lebih tepatnya menghamburkan-uang-untuk-barang-lucu-tidak-berguna. Hari ini Cam menemaniku membeli pakaian musim panas untuk lima hari di UK nanti, ada semacam research yang diadakan di Kent dan aku akan pergi sendiri ke sana lusa. Terkadang jika weekend Cam pergi bersama Mate, maka aku akan menghabiskan waktu bercerita dengan Mbak di rumah, Mbak mengatakan kepadaku bahwa di dekat lapangan tempat aku sering jogging dibangun sebuah toko buku, aku sangat senang karena ini berarti aku tak perlu pergi jauh untuk mencari buku, Mbak juga bilang kadang ia bertemu dengan Mum Kein dan ia menanyakanku yang tak pernah lagi bermain ke sebelah. Aku bertanya pada Mbak apakah ada yang mengunjungi ruang kacaku, Mbak berkata awalnya Kein masih datang ke sana untuk sekedar mengantarkan titipan Mumnya, namun karena tak pernah menemukan orang di sana akhirnya kiriman tante hanya diantar sampai lantai 1 dan itu pun diantarkan oleh Irene.
Kadang Irene datang ke rumah dan minta tolong digambarkan sesuatu karena Kein tak bisa mengajarinya, Irene sepertinya tahu aku menghindari Kein karena walaupun aku tahu ia penasaran mengapa aku tak pernah lagi datang ke rumahnya, tak pernah sekalipun ia bertanya.
Minggu ini aku berencana membuat Chocolate Cake untuk ulang tahun Irene yang ke-11, biasanya aku membuatnya didampingi Kein yang hanya mengomel mengapa ia harus membuat cake disaat ia bahkan tak bisa membedakan antara teflon dan panci. Tahun ini berbeda karena aku yang tinggal di sebelah rumah Irene harus meneleponnya agar datang ke rumah dan memberikan kejutan kecil walaupun aku yakin ia sudah mengetahuinya, Irene membawa pulang birthday cakenya, namun kembali keesokan hari sambil mengeluh bahwa Kein menghabiskan setengah dari cake itu. Jika aku dan Kein masih dalam keadaan normal mungkin sekarang aku sudah melesat ke kamar Kein dan mengomelinya, namun aku hanya berkata pada Irene bahwa aku akan membuatkan cake lain.
“Kak Mousa” saat Irene menyebut namaku seperti itu maka ada hal yang ingin ia tanyakan.
“Iya” jawabku sambil menatapnya tepat di bola mata hitam tak berdasar yang serupa dengan Kein.
“Apakah kau terluka?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan Irene, ntah mengapa itu membuatku sedih.
“Tidak, memangnya kenapa?” aku berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengannya agar ia berhenti menengadah padaku.
“Kakak berubah, aku pernah baca di buku bahwa orang yang terluka pasti akan berubah. Luka yang ku maksud bukan luka goresan atau semacamnya, aku yakin kakak mengerti. Jadi, apakah kakak terluka?” tanya gadis kecil berusia 11 tahun itu.
Aku tertawa lalu mengacak-ngacak rambutnya.
“Kau membaca itu dimana?” tanyaku mengalihkan diri dari pertanyaan Irene, aku tak mau berbohong padanya dan berkata bahwa aku baik-baik saja
“Buku Kein, ia punya banyak buku di kamarnya” Irene bercerita sambil membentangkan tangannya di udara seakan menggambarkan kumpulan buku milik Kein.
Aku tertawa lagi dan ia pun tersenyum, sebelum Irene pergi aku sudah berjanji akan memberikan Cake baru untuknya besok.
“Apakah kau terluka?”, pertanyaan itu sendiri sudah cukup menyakitkan walaupun tanpa jawaban. Tapi Irene benar, seseorang yang terluka pasti akan berubah. Dan aku berubah banyak, terlalu banyak.
Minggu ini aku akan berulang tahun yang ke-16, tepat di hari Sabtu saat kami diperbolehkan pulang meninggalkan Lit Academy. Hari berlalu dengan cepat dan tak terasa sudah mencapai hari Jumat, saat dimana kami bebas untuk melakukan aktifitas olahraga apa pun, jika mau. Ulang tahunku hanya berselang beberapa jam slagi, aku tak berharap ada kejutan atau apapun itu, hanya berharap Cam membawakanku banyak makanan sebagai hadiah.
Sore harinya setelah satu jam berlalu sejak jam sekolah berakhir, Cam datang seperti yang diharapkan, ia tidak pulang ke building four malam ini, ia akan langsung pulang bersamaku dari building seven besok pagi. Semalaman Cam dan aku hanya bercerita, Cam bilang Hans menanyakan kabarku terus dan mengucapkan happy birthday sekaligus menitipkan buku kumpulan poetry yang manis bersama bouquet bunga mawar hitam. Cam menceritakan tentang keadaan penghuni building four, Adonis, Winston, dan Ignatius sudah membentuk squad untuk menghakimi kepolosan Shane yang manis, Hera masih tetap menyukai angka-angka 0-9 yang tidak ada habisnya itu, Hans menjadi pria paling pendiam di building four, Frida tetap mencintai tragedi, Erva masih bersama Kein atau mungkin Kein yang bersama Erva, Shane sudah menjadi kekasih Shania selama lima bulan secara diam-diam dan ketahuan saat Ignatius iseng meretas alat komunikasi milik seluruh penghuni building four dan menemukan kejanggalan pada riwayat panggilan Shane dan Shania yang waktu dan durasinya selalu sama setiap weekend, Winston masih bermulut jahat dan aku merasa bersyukur untuk yang satu ini. Tepat pada pukul 12 malam Cam mengucapkan selamat ulang tahun sambil memelukku erat.
“Mousa, aku selalu berharap kau bahagia. Aku tahu kau hancur, aku juga tahu kau tak suka bercerita pada orang lain bahwa kau hancur, dan aku tahu walau kau tak cerita padaku bukan berarti kau tak percaya padaku. Kau beranggapan jika kau bercerita pada orang lain maka ia akan merasa terbebani untuk mencari soulusi atau respon terhadap ceritamu, tapi terhadapku kau tak perlu begitu, aku bisa mendengarkanmu tanpa harus memberikan jawaban” ucap Cam sambil memeluk dan mengusap pelan kepalaku
Aku membalas pelukan Cam dan menahan tangis, aku tak pernah cerita padanya tapi ia tahu dengan baik setiap hal kecil yang kupikirkan walaupun aku yakin ia pasti kesulitan dalam memahamiku selama ini. Kenyataan bahwa ia mengerti tentangku adalah bukti bahwa ia sudah melewati banyak hal bersamaku. Kami lalu tidur setelah melihat semua foto-foto konyol dalam album yang dibuat oleh Cam sebagai hadiah ulang tahunku, Cam menutup pagi itu dengan menyebutku ‘tua’.
Aku menunggu Cam di parkiran building seven keesokan paginya, aku tak bisa mengikutinya mengambil mobil ke parkiran building four. Kami hanya tidur beberapa jam jadi aku lumayan mengantuk tapi mengingat bahwa hari ini aku berulang tahun membuatku semangat karena hari ini hanya akan datang sekali dalam setahun. Cam tiba dengan mobil merahnya yang menurutnya seksi itu, aku masuk dan mendapati Hans duduk di bangku belakang sambil tersenyum lebar membawakan cake dengan tiga lilin kecil berwarna putih menyala.
“Surprisee!” ucap mereka berdua serempak.
Aku biasanya tak emosional dan tak mudah menangis, tapi karena sedih sebab aku berharap seandainya saja Kein juga datang kepadaku dan mengucapkan “Selamat ulang tahun, Mousa idiot”, tapi aku tahu ia tak mungkin ingat hari ulang tahunku seperti yang waktu lalu-lalu dan itu membuat air mataku tumpah. Hans dan Cam kebingungan melihat reaksi yang datang dariku
“Mous, kau begitu terharu karena kami membawakan cake?” tanya Cam sambil memberikan tisu.
“Apakah ia selalu seemosional ini saat ulang tahunnya?” tanya Hans pada Cam, ini pertama kalinya ia melihatku menangis.
“Tidak, aku tak pernah melihatnya menangis begini, kupikir hatinya sudah mati rasa sejak lahir. Selama ini jika ia ulang tahun, aku hanya melihatnya berubah menjadi babi dan memakan semua yang ada lalu pergi belanja buku seperti ia akan mati besok” jawab Cam sambil membukakan botol minuman untukku yang masih terisak-isak.
“Bajingan kau Cam” aku masih sempat mengumpatnya.
Setelah selesai membasahi mata dan pipi, barulah aku meniup lilin yang sudah meleleh setengah di atas cake yang dipegang Hans. Mereka bertepuk tangan dan kami memutuskan untuk pergi melakukan ritual ulang tahunku, makan sebanyak yang ku mau dan membeli buku seakan mati besok.
Saat kami melewati portal pintu keluar Lit Academy, aku melihat mobil hitam Kein tepat di belakang kami. Ia mana mungkin ingat bahwa aku bersama Cam dan bahwa sekarang aku berulang tahun pikirku, mencoba menampar diri sendiri.
Kami berangkat menuju pusat perbelanjaan dengan tempat makan berlimpah, setibanya di sana aku memulai ritualku dengan senyuman lebar.
“Mousa, kau benar-benar makan seperti akan mati esok” komentar Cam sambil medecakkan lidah.
“Apakah ia sering seperti ini selain di hari ulang tahunnya?” tanya Hans dengan sedikit takjub melihat porsi makanan yang ku pesan.
“Tidak, hanya saat ia ulang tahun saja. Jika marah ia makan makanan pedas seperti kesetanan. Ia memiliki ritualnya sendiri” jawab Cam sambil menyeruput minumannya.
“Tapi Cam, ini sudah tempat makan ke-4 yang kita kunjungi” jawab Hans dengan kening berkerut.
“Ia masih bisa megunjungi tiga tempat makan lain, Hans. Di perutnya ada mesin penggiling makanan yang bekerja sekali setahun”
“Sepertinya iya” jawab Hans sambil menggelengkan kepala dan menyeruput milk shake miliknya.
Setelah merasakan bahwa perutku sudah tak sanggup lagi mencerna, aku menyeret Cam dan Hans ke toko buku dan berada di sana hingga pukul 9 malam saat toko hendak ditutup. Mobil Cam sudah berubah menjadi perpustakaan saat kami pulang dari sana.
Sabtu malam aku sudah menggembel bersama Cam dan Mbak di ruang kaca, karena Mbak bilang Kein tidak pernah lagi datang ke rumah, aku berani bergumul di ruang kacaku lagi, aneh sebenarnya jika memikirkan bahwa aku harus memberanikan diri bersantai di rumah sendiri.
Irene datang sendirian ke rumah setelah mendengar deru mesin mobil Cam di halaman rumahku, ia membawa cake rasa keju dan satu pack buku karya Shel Silverstein, Irene bilang ia ingin membawa Maxx bersamanya namun tak bisa karena Maxx sudah tidur. Irene bertanya apa yang sangat kuinginkan, aku asal menyebut dan berkata bahwa aku menginginkan buku setinggi Big Ben. Setiap tahun Irene selalu menanyaiku pertanyaan yang sama setelah ia memberikan hadiah padaku, setiap aku selesai menjawab ia hanya tersenyum dan memelukku. Irene yang manis ini kadang membuatku berpikir bahwa ia adalah Kein dalam tubuh perempuan, kami terus bermain dan makan hingga larut dan akhirnya Irene memutuskan untuk pulang karena Kein dan Maxx tidak memiliki teman di rumah, sama sepertiku, orang tua Kein tidak berada dirumah. Aku hanya mengantarkan Irene sampai pintu depan dan sisanya ia ditemani Mbak, sebab aku tak ingin melihat Kein yang membukakan pintu saat mendengar teriakan Irene.
Malam ini Cam menginterogasiku dikarenakan selembar puisi karanganku yang menjadi terkenal karena memenangkan sebuah event online yang diselenggarakan oleh sebuah institusi non profit terkenal di Inggris. Sewaktu aku mengirimkan puisi itu ke email penyelenggara, aku tak memiliki bayangan apa pun untuk hasilnya. Dan jika kau bertanya mengapa Cam menginterogasiku karena memenangkan event itu, pertanyaannya salah, karena yang membuat Cam bertanya adalah makna dari puisiku.
Well, puisi itu memang tentang Kein, aku benci mengakuinya, namun itu memang tentangnya dan tentang kebodohanku.