Read More >>"> Awesome Me (3. Rain) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Awesome Me
MENU
About Us  

Rain 

Aku menyambut hari Sabtu dengan perasaan yang benar-benar bebas dan ringan, setelah presentasi observasi tingkah laku dan perjalanan kami ke shelter sepertinya ada banyak hal yang terjadi padaku tanpa kusadari, tapi hal apa pun itu yang pasti itu adalah sesuatu yang baik. 
Aku mengenakan dress putih tipis selutut dengan renda bunga kecil berwarna senada di sekitar lengannya, lalu menuju ruang kumpul asrama dan kudapati Shania sedang menjalin rambut Frida, Erva membacakan nama-nama bayi yang bagus untuk Frida di sebelahnya, Ignatius sedang membantu Shane mencari kacamatanya sebab sekarang ia kehilangan indra penglihatan dan hanya bisa duduk di atas tempat tidur sambil mendengar Ignatius mengomelinya, Kein yang sedang mengoleskan obat pada punggung Adonis yang kini mulai meninggalkan pakaian lengan panjang dan celana panjangnya, lalu yang paling mencolok adalah Cam yang sedang tertawa lebar melihat Hera, aku belum pernah melihatnya tertawa selepas itu pada orang lain. Sepertinya presentasi observasi tingkah laku itu tidak hanya berdampak padaku. I bleed, but that’s okay, we are all did. 
Pukul 11 kami mulai turun ke parkiran di lantai satu building four, Aku turun dan hendak mencari sosok Kein untuk mengajaknya pulang, namun aku tak menemukannya dan berakhir dengan mengomentari selera berpakaian Winston yang hari ini lebih mengerikan daripada biasanya. Lalu Kein datang dari belakang dan menyentuh tanganku, kupikir ia akan mengajakku pulang, ternyata ia menarikku menjauhi anak-anak lain.
“Kenapa? Oh iya, sebelum pulang kita mampir ke Egalite book store ya Kein” ucapku sambil memegangi rambut yang tertiup angin.
Setelah 3 detik hanya diam dan menatapku ragu, akhirnya ia menjawab.
“Mous, kamu bisa pulang sama Cam  nggak? Kan rumah dia juga satu arah sama rumah kita”
Aku bingung jadi aku bertanya kenapa karena nampaknya mobilnya baik-baik saja
 “I’m with Erva now, sebenarnya aku pengen sih kamu tetap pulang sama aku, tapi aku takut malah kamu yang nggak nyaman dan aku sedikit takut kamu bakal jahilin Erva. Erva mau kamu juga ada sih, tapi aku nggak enak  sama kamu. Nggak papa kan?” 
Aku tidak tahu darimana datangnya sifat tenangku
“Ah, I see. Nggak papa kok”
Aku bersikap seperti biasa terhadap Kein, aku benar-benar tak ingin terlihat jelas di depannya, kemudian aku sadar mengapa Kein menatap Hera beberapa waktu yang lalu, jelas karena Hera berteman baik dengan Erva. Untung saja Cam idiotku belum meninggalkan building four, aku langsung masuk ke dalam mobilnya dan mengajak Cam pulang.
“Kein kenapa?” tanya Cam sambil memasang sabuk pengamannya
Aku ceritakan pada Cam tanpa melihatnya, lalu kurasakan tangan mungil Cam menggenggam tanganku. Sesampainya di rumah aku langsung menutup pintu dan terlelap di ruang kacaku, ada saat-saat dimana kau merasa sangat lelah walaupun kau tak melakukan apa-apa dan hanya ingin tertidur.
Malamnya Cam datang ke rumah dan mengomeliku karena sejak lama ia memang sudah menyuruhku berhenti menyukai Kein, namun bagaimana bisa aku berhenti di saat Kein selalu ada dimana aku bercokol, di asrama, di kelas, di dapur asrama, di lorong kamar asrama, bahkan di rumah. 
Satu minggu berselang dan aku mulai terbiasa dengan keberadaan Kein dan Erva, terbiasa maksudku adalah terbiasa merasakan hatiku seperti tertekan ke dalam saat melihat mereka.  Kein dan Erva sering duduk berdua sambil membaca di ruang kumpul asrama atau bahkan di kelas, walaupun Lit Academy berisi kaum intelligent tetap saja jika ada pria seperti Kein yang merupakan incaran wanita berbagai kelas itu memiliki kekasih maka akan menjadi omongan dan kalaupun ada beberapa orang yang bisa menahan diri untuk tidak membicarakan mereka biasanya tak bisa menahan pandangan untuk tak melihat Kein dan Erva yang turun dari building four saat weekend. 
Aku tak merasa jika aku sakit hati tapi Cam bilang aku memang sakit hati namun aku hebat dalam mengontrol emosiku sebab aku terlihat biasa, hanya semakin dingin, aku senang akan hal itu, terkadang Cam mengerti diriku lebih dari yang dibutuhkan. Selain itu aku juga merasa ada sedikit perubahan yang mengganggu sejak aku pulang bersama Cam minggu lalu, aku merasa jadi banyak kontak pria yang membanjiri ponselku, mengirimi pesan seperti,
“Hai Mous, aku Hen dari building seven-B. Aku dengar kamu menang lagi ya? Congratss!” demi Neptunus aku bahkan tak mengenal dia dan namanya membuatku berpikir tentang ayam betina tapi itu hanya satu dari banyak pesan lainnya, bahkan pria di kelasku terang-terangan meminta nomor ponselku, dan tebak dia siapa? Dia si polos Shane. Aku tak tahu fenomena seperti ini bisa terjadi di hidupku.
“Itu karena selama ini mereka mengira kau bersama Kein, saat mereka tahu Kein memiliki kekasih mereka langsung tahu bahwa kau sendiri. Jangan bilang kau bahkan tak tahu banyak pria yang melirikmu, namun melihatmu kebingungan dengan teks-teks itu aku yakin kau tak pernah melihat mereka melirikmu karena kau sibuk melihat punggung Kein seorang” ucap Cam sambil sibuk mengerjakan laporan ilmiah “Why do we love? Why do we hate?” untuk tugas besok. 
Tapi diantara lelaki yang mendekat yang berhasil membuatku sedikit tertarik untuk berteman dengannya adalah Hans, karena ia tampan menjadi alasan kedua, alasan pertama adalah karena ia memiliki selera yang sama dalam musik dan buku. Selera musik dan buku bacaan seseorang sangat  menentukan banyak hal.
Aku tak tahu mengapa, tapi Kein seakan menjaga jarak dariku, kurasa ia bahkan tak pernah melihatku, tak pernah menanyakan kabarku, dan tak pernah menegurku di kelas atau di asrama. Sejak ia memiliki Erva, sepertinya aku menjadi tak terlihat. Kein sungguh hebat dalam mengabaikanku walaupun Cam mengatakan bahwa ia sering menangkap basah Kein menatapku. 
Seminggu setelah pernyataan Kein mengenai hubungannya dengan Erva, ia datang ke rumah untuk mengantarkan titipan Mumnya, biasanya ia akan bermain dulu bersamaku, tapi waktu itu ia langsung pulang. Sepertinya aku sudah kehilangan teman kecil.
Tanpa kusadari Hans sudah berhasil masuk ke dalam lingkaran kecil milikku, aku semakin akrab dengannya, ia sudah setara dengan Cam sekarang dan kami sering pergi nonton bersama, membeli buku bersama, hingga menghujat bersama. Aku juga menjadi dekat dengan teman lain di building four karena selama ini aku hanya bermain dengan Kein dan Cam. Cam bilang terkadang ia menangkap basah Kein melihatku saat aku berbicara dengan Hans, namun aku tak mempercayainya karena penglihatan Cam adalah sesuatu yang sangat perlu untuk kau ragukan. Okay kembali kukatakan bahwa semuanya baik-baik saja hingga sewaktu tugas praktek menyanyi Hans maju dan menyanyikan lagu MLTR yang berjudul ‘Nothing to Lose’ sambil terang-terangan menatapku dan tersenyum, liriknya kira-kira begini, 
There’s something, you don’t understand. 
I want to be your man
I’ve got time and nothing to lose
Sebenarnya jika bukan karena diperhatikan oleh satu kelas aku pasti masih mendengarkan suara indah Hans sambil ikut bernyanyi di belakang karena siapa yang tak suka MLTR? Hans bersikap biasa saja karena aku tak bisa langsung menyimpulkan bahwa ia menyukaiku. 
Sekarang Cam dan Hans sering bertandang ke kamarku, karena aku selalu membawa banyak buku bacaan. Banyak hal yang terjadi, aku sebisa mungkin berusaha melupakan Kein, aku benar-benar tidak bermain lagi ke rumah Kein, tidak pernah melihat dia atau bahkan sekedar melirik pun tidak dan juga tidak pernah tersenyum lagi ke Kein. Tetapi aku rasa Kein bahkan tak sadar jika aku tak pernah lagi menatap atau tersenyum padanya, ia terlalu sibuk dengan Erva untuk sekedar menyadari bahwa teman kecilnya ini perlahan hilang.
Suatu waktu aku keluar kamar menuju kamar Cam yang bersebrangan dengan kamar Kein, namun sepertinya penghuninya sedang pergi dan sesaat kemudian aku mendengar  petikan gitar Kein dari kamar nomor 2 yang dihuni Erva dilanjutkan oleh suara si bodoh Kein yang menyanyikan lagu Westlife kesukaanku yang berjudul ‘You Light Up My Life’ demi Pluto dan seluruh kegelapan, Kein hanya pernah melakukan hal itu sekali padaku setelah aku memohon berkali-kali dan akhirnya diberikan saat ulang tahunku yang ke-15 sebagai hadiah karena ia melupakan hari ulang tahunku untuk yang kesekian kalinya dan tak memiliki hadiah untuk diberikan. Aku meluapkan kekesalan dengan makan makanan pedas di dapur asrama sendirian karena Cam pergi bersama pacarnya Mate yang berbeda sekolah dengan kami, lalu saat aku sibuk memberi sensasi capsaicin di dalam mulutku si idiot Hans datang dan mengambil alih sumpit dari tanganku.
“Jika setiap marah kau selalu memakan makanan seperti ini aku tak heran jika beberapa tahun kemudian ada masalah dengan sistem pencernaanmu” omel Hans 
Aku hanya menatapnya kesal namun berhenti menjadi senang saat Hans menyodorkan sekotak susu dingin sebagai ganti makananku, kemudian aku kembali kesal karena Kein datang ke dapur untuk membuat segelas susu cokelat  yang aku sangat yakin itu pasti untuk Erva karena rasa tak suka Kein terhadap  susu sama besarnya dengan rasa sukaku terhadap susu, aku mau pergi dari sini tapi tak mau Kein berpikiran bahwa aku menghindarinya terlalu jelas hingga Hans menyelamatkanku. 
“Mous, aku lapar” ucap Hans tiba-tiba
“Kau mau makan?” tanyaku sambil masih menyedot susu cokelat kental dari kotaknya
“Iya, kau mau temani aku belanja?” 
“Boleh, kau mau makan apa?”
“Aku hanya memintamu menemaniku belanja, bukan memasak untukku”
“Tak apa, aku bisa lakukan keduanya” jawabku santai setelah menyedot habis susu kotak pemberian Hans
Aku memasak pasta malam itu karena tak sanggup memikirkan hal lain lalu membawanya ke ruang kumpul asrama dan kebanyakan dari mereka sepertinya sudah makan malam atau lebih tepatnya tidak makan malam karena mereka hanya makan jika merasa lapar dan jam kelaparan penghuni building four mencapai puncak pada pukul tiga sore sehingga malam hari kami tak memakan makanan berat.
“Kalian makan apa?” suara Cam yang kini sudah berada di ujung pintu mengalihkan perhatianku dan Hans. Ia sampai membuat Kein dan Erva yang duduk di sebelah pintu masuk melihat ke arahnya
“Pasta, kau lapar?” tanya Hans
“Iya, aku dan Mate tak sempat makan karena hari sudah larut” jelas Cam yang kini sudah menguasai pasta milikku
“Ah, ini pasti masakan Mousa” komentar Cam sambil memasukkan suapan pasta lainnya ke dalam mulut
“Kau sering dibuatkan makanan oleh Mousa?” tanya Hans sambil menyelesaikan pastanya tanpa sisa.
“Well, masakan Mousa enak dan aku selalu kelaparan. Kami pasangan yang cocok, kan?” tanya Cam sambil mengedipkan matanya kepadaku.
“Iya, seperti majikan dan piaraan. Aku membuat makanan dan kau yang memakan” candaku, lalu menuangkan minuman untuk Cam yang mulutnya penu berisi pasta.
Setelah pasta buatanku tandas dihabiskan oleh Hans dan Cam, barulah kami masuk ke kamar masing-masing, sebenarnya masih banyak orang yang berada di ruang kumpul asrama, tapi kami terlalu lelah untuk sekedar bergabung dan menonton panggung komedi dadakan monyet belgia dan Winston si mulut jahat.
Sudah beberapa minggu berlalu sejak Kein dan Erva bersama, aku tak membenci Erva, ia imut dan baik hati wajar Kein menyukainya. Karena Sabtu pagi kami boleh pulang, setiap Jumat malam penghuni building four dan kemungkinan besar building lainnya menghabiskan waktu bersama di ruang kumpul asrama yang berada di depan lorong kamar para siswa, seperti biasa kami sudah menjejali spot masing masing. Hans dan Erva selalu duduk di bangku putih di ujung dekat pintu masuk, aku dan Cam tewas bersama di tempat tidur yang ada di tengah ruangan dan aku tak peduli jika Kein dan Erva bisa melihatku karena  mereka tak akan peduli denganku, di meja di depan tempat tidur itu bertengger Ignatius dan Winston si mulut jahat yang sibuk mengomeli Shane yang polos dengan alasan bahwa Shane terlalu baik dan itu bukanlah hal baik, di pojok ruangan kau bisa melihat Frida dengan kuas cokelat di tangannya melukis sebuah potret diri yang dipandu oleh Shania, dan Adonis seperti biasa, menonton anime di sebelahku sambil terkadang tertawa lalu berwajah datar dua setengah detik kemudian dan aku menopang dagu sambil menatap Cam kelaparan namun terlalu malas untuk memasak hingga akhirnya Hans muncul dari lorong kamar dan berkata,  “Mous, mau ikut aku pergi makan pangsit?” demi Neptunus, darimana Hans tahu aku   menyembah pangsit? Aku tak mengiyakannya namun langsung berdiri untuk beranjak pergi.
 Hans merespon tingkahku dengan tertawa “Mous, kamu mau pergi seperti ini?” ucapnya sambil menatap baju tidurku yang bergambar singa. 
“Why not? Singa imut” ujarku, namun Cam langsung menarikku sambil berkata pada Hans, “Tunggu lima menit Hans, biar kuurus singa betina gila ini. Aku juga kelaparan, maaf jika aku mengganggu kencan kalian tapi aku akan ikut dan aku tak mau makan bersama gadis berpajamas kucing besar”. 
Aku keluar lagi menuju ruang kumpul asrama setelah mengganti pajamas dengan kaus putih tanpa lengan dan celana pendek putih ditambah dengan jaket pinkku dan menyelesaikannya dengan sneaker putih. Winston si mulut jahat berkata pada Cam “Cam, kau akan terlihat menyedihkan jika pergi dengan mereka berdua sekarang” 
Cam menatap Winston dengan bibir manyun, “Tapi aku lapar”
Winston lalu memberi saran kepada Cam, “Alangkah baiknya jika kau makan agak jauh dari mereka. Aku mengatakan ini karena khawatir”
“Terimakasih atas saranmu, Winston” timpal Cam 
Kali ini Ignatius si monyet belgia ikut menimpali, “Tak apa Cam, makanlah bersama mereka”
“Kenapa kau menjadi baik?” tanya Cam
“Aku senang jika kau terlihat menyedihkan” jawab Ignatius sambil menghindari botol minuman yang dilempar Cam 
Aku tertawa mendengar Ignatius dan ingin mendengarkan lanjutan komedi ini namun Hans menarik tanganku dan Cam karena ia kelaparan, saat melewati Kein di pintu keluar aku masih tertawa namun aku tahu ia melihatku dan semakin yakin saat Cam bilang “Stupid Jerk”
Kepergian kami diantar oleh teriakan Hera yang entah datang darimana terdengar sayup namun sudah pasti ia menitip sebungkus pangsit. Dua puluh menit kemudian kami sudah makan pangsit sambil terus tertawa karena ada “om-om random” yang dikejar petugas keamanan lewat di depan kami, “om-om random” adalah sebutan yang ku gunakan untuk mereka para pria yang bertingkah laku dan berpakaian wanita lalu mengejar pria lainnya dengan agresif. ayolah kawan,kau pasti tahu siapa yang kumaksud.
Aku sedang sibuk berkutat dengan foto-foto dan beberapa frame yang ingin kugantungkan di dinding kamar asramaku saat Cam datang mengetuk pintu kamar dengan brutal.
“Masuklah Cam, aku tak menguncinya”
“Aku tahu, mengetuk hanya sebagai formalitas” jawab Cam yang sekarang sudah berjalan jauh melewati pintu saat aku berbalik menatapnya
“Kenapa kau mendekor ulang kamarmu?”
“Aku bosan” jawabku sambil sibuk memukul satu paku berukuran sedang ke dinding. Aku pikir memaku adalah hal yang mudah, ternyata aku berakhir dengan memukul jempol sendiri menggunakan palu. Bisa kurasakan jempolku berdenyut-denyut semalaman saat tidur
“Bagaimana jempol palumu, Mous?” tanya Cam sambil terkekeh di kelas pagi ini
“Ini menyakitkan Cam” jawabku sambil menunjukkan jempolku yang membiru
“Ah, aku tak menyangka akan separah itu” kali ini terlihat kekhawatiran di wajah Cam idiotku
Hans yang baru memasuki kelas melihat jempol biru yang sedang kupamerkan pada Cam
“Jempolmu kenapa?” tanyanya sambil meletakkan ranselnya di atas meja
“Kupukul dengan palu” jawabku datar
Ignatius yang ternyata sedaritadi mendengarkan perbincangan pagi kami melepaskan tawanya sambil memegangi perut
“Seorang sepertimu yang hampir bisa melakukan apa saja ini tak bisa membedakan paku dan jempolnya sendiri” komentar Ignatius sambil terus terkikik di bangku belakang
Di sebelah Ignatius, duduk Kein yang tak memberikan tanggapan apa pun
“Kenapa kau menggunakan tas ini?” tanya Hans mengalihkanku dari tawa menyebalkan Ignatius
“Biasanya juga yang ini” jawabku bingung
“Tapi tas model ini susah untuk digunakan saat jarimu luka”
“Ah iya, aku baru sadar” jawabku sambil memandangi tas ransel bertali milikku, tadi malam sewaktu aku menyusun buku, jempolku masih baik-baik saja sehingga aku tak memikirkannya
“Kau tak membawa ransel yang menggunakan resleting biasa?” tanya Cam
“Ada, tapi di kamar dan tas itu tak bisa menampung semua bukuku”
“Kenapa kau selalu membawa banyak buku, Mousa?” omel Cam sambil membuka tasku
Akhirnya aku berakhir dengan menggunakan tas kecil dan mengikhlaskan sebagian buku untuk ditinggalkan di kamar.
Ms. Gillian masuk dan pelajaran dimulai, hari ini ia menyuruh kami mengotak-ngatik sejarah bangunan di dunia, dengan senang hati aku mengambil beberapa bangunan di Yunani.
Ms. Gillian menjalani seisi kelas saat kami sibuk memikirkan bangunan pilihan kami masing-masing, ia lalu berhenti di mejaku.
“Mousa, jempolmu kenapa?” tanya Ms. Gillian dengan tatapan prihatin tertuju pada jempol biru mencolokku yang kuletakkan di atas meja agar Cam tak lupa bahwa itu terluka.
“Kupukul dengan palu, Ms” ringisku dengan sedikit senyuman 
“Sudah kau obati?”
“Belum, Miss. Ku pikir tak akan separah ini” jawabku sambil melihat jempol yang terus berdenyut-denyut itu.
Saat jam istirahat makan siang, aku kesusahan untuk makan menggunakan garpu di tangan kiri karena jempol biruku ini berhasil mempersulit keadaan. 
“Mous, kau mau ku suapi?” tanya Cam pada akhirnya
“Tidak, habiskan saja makan siangmu” jawabku sambil meninggalkan garpu dan hanya bertumpu pada sendok di tangan kanan.
“Untukmu” Hans meletakkan susu kotak di sebelah tangan kiriku
“Terimakasih, Hans” jawabku senang
“Semoga tulang jempolmu baik-baik saja. Kulihat kau meringis kesakitan beberapa kali di kelas tadi” jawab Hans 
Sore ini aku pergi bersama Kein menuju museum nasional yang berjarak satu setengah kilometer dari Lit Academy. Jika bukan karena tugas pemberian Ms. Gillian maka aku tidak akan mungkin pergi bersama Kein 
“Kein, kau bawa bukunya?” tanyaku sesat setelah memasuki museum
“Ah, aku lupa” ini aneh karena tidak biasanya Kein ceroboh
“Jadi bagaimana?” 
“Aku akan jemput buku ke Lit Academy, kau tunggulah di sini sekaligus mulai mencari objek yang menjadi tugas kita” jawab Kein 
Aku hanya menyetujuinya dan membiarkan Kein kembali ke Lit Academy. Sejarah menenggelamkanku dalam pikiran, saat melihat jam tangan berwarna putih milikku, sudah satu jam berlalu sejak Kein pergi meninggalkanku, seharusnya ia tak selama ini, tepat saat aku menyadari Kein pergi terlalu lama, masuk panggilan telepon darinya.
“Mous, kamu masih di museum?”
“Iya, kenapa kau lama sekali? Apakah bukunya ada?’ 
“Ada, tapi ada masalah lain. Aku sedang tidak berada di Lit Academy”
“Kau di mana memangnya?”
“Aku menemani Erva ke rumah sakit, cedera punggungnya kambuh sewaktu aku tiba di Lit Academy tadi”
Aku terdiam sejenak 
“Jadi bagaimana keadaannya?” 
“Dia baik-baik saja sekarang, tapi sepertinya kita tak bisa mengerjakan tugas kita hari ini karena aku tak bisa ke sana dan buku panduannya ada denganku”
“Kita bisa kerjakan itu besok” jawabku sambil meninggalkan lukisan wanita menari dalam balutan pakaian tradisional yunani yang sedari tadi kupandangi
“Lalu kau bagaimana, Mous? Aku sepertinya tak bisa menjemputmu sekarang”
Aku kecewa mendengarnya, ini pertama kalinya Kein meninggalkanku di suatu tempat dan tak kembali untuk menjemputku.
“Aku bisa hubungi Cam atau Hans” ucapku menenangkannya
“Ah, syukurlah. Semoga Cam bisa menjemputmu” lalu panggilan diputuskan
Aku sedih tapi tak bisa menangis, rasanya jika aku menangis maka aku akan semakin menyedihkan
“Cam, kau di mana?” tanyaku sesaat setelah Cam menjawab panggilanku
“Aku sedang bersama Mate, kenapa?” sayup-sayup kudengar suara Mate menyebut namaku.
“Nggak kenapa-kenapa. Tadi aku mau mengajakmu bermain”
“Bukannya kau pergi bersama Kein ke museum? Memangnya tugas kalian sudah selesai?” tanya Cam heran.
“Belum, bukunya tinggal di Lit Academy jadi kami berniat melakukannya besok karena malas kembali lagi ke museum” jawabku dengan sedikit berbohong
“Ah, baiklah. Kupikir kau kenapa-kenapa”
“Aku baik-baik saja. Lanjutkanlah kencanmu, Cam” tutupku
Tanpa menghubungi Hans, aku langsung berjalan keluar dari museum. Aku rasa aku butuh waktu untuk diriku sendiri, jadi aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju Lit Academy. Satu setengah kilometer tidak begitu jauh bagiku yang rutin berolahraga
Benar memang tidak begitu jauh, tapi berjalan dari Museum dalam keadaan belum makan siang dengan baik dikarenakan jempolmu terus berdenyut ditambah jalan menuju Lit Academy yang memiliki banyak tanjakan, dan kenyataan bahwa aku ditinggalkan cukup membuat badanku mulai merasa hangat.
“Sial, sepertinya aku mau demam” ucapku pada diri sendiri setelah sampai di kamar.
Kein dan Erva belum berada di building four saat aku kembali dengan bermandikan keringat di punggung.
“Mousaaa, aku lapar” Cam memasuki kamarku sambil memegangi perutnya
Aku tak menjawab dan hanya berbaring di tempat tidur, suhu badanku semakin naik.
“Mous, kau kenapa? Wajahmu terlihat pucat” Cam mulai menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja saat ia sudah semakin dekat menuju tempat tidur.
“Sepertinya aku demam” ucapku sambil tersenyum simpul.
“Kau sudah minum obat?” tanya Cam sambil mengeluarkan termometer dari dalam kotak P3K di sebelah meja rias.
“Belum, suhu badanku tak terlalu tinggi dan sebentar lagi juga akan turun”
“Kau sudah ukur suhu badanmu memangnya? Badanmu sangat panas” , Cam lalu meletakan telapak tangannya di kening dan leherku
“Belum, hanya perasaan saja” padahal aku belum mengukurnya karena tak sanggup berjalan menuju kotak P3K
Setelah menunggu, Cam mengambil termoeter dari mulutku.
“Mousa idiot, perasaan bodohmu itu berniat membiarkan demam setinggi 38,5°c ini kau alami tanpa mengkonsumsi obat, kau pasti sangat kesakitan”
“Sialan, aku tak menyangka akan setinggi itu” 
“Kau juga tak makan siang dengan baik karena jempolmu sakit. Tadi pagi kau sarapan?” pertanyaan Cam terus berlanjut
“Tidak, aku malas sarapan. Kau tahu itu” 
“Dan sekarang kau belum makan malam?”
“Belum, aku tak sanggup meninggalkan kamar” jawbaku jujur. 
“Mousa, tunggu di sini sebentar. Aku akan bawakan bubur dan obat” Cam lalu bergegas meninggalkanku.
Sesaat kemudian ia kembali dengan nampan berisi semangkok bubur dan pil obat beserta minumannya.
“Makan ini lalu tidurlah” Cam lalu menyuapiku hingga sendok terakhir diiringi dengan wajah muak milikku, setelah memastikan aku meminum obat, ia lalu mematikan lampu kamar dan meninggalkanku dalam balutan selimut tebal.
“Bagaimana keadaanmu?” Cam sudah berada di sebelah tempat tidur saat aku membuka mata pagi harinya, ia sudah berpakaian rapi.
“Sepertinya aku tak bisa masuk kelas hari ini” keluhku, denyutan di kepalaku menggila semalaman.
“Aku tahu, kau terlihat tidak baik. Kelas akan dimulai sebentar lagi, ini sarapan dan obatmu juga harus kau makan” ucap Cam sambil menunjuk pada nampan di atas meja belajar.
Seharian di dalam kamar aku beristirahat dan memutar lagu klasik, saat malam aku dapat mendengar keributan yang datang dari ruang kumpul asrama seperti biasa. Cam dan Hans datang ke kamarku dan berkata bahwa aku pasti menyesal tidak masuk kelas hari ini karena Ignatius si monyet belgiaku seharian melakukan hal idiot di kelas.
Keesokan harinya aku sudah bisa kembali ke kelas, tapi karena hari ini hari Jumat maka tak banyak hal yang kami lakukan sehingga aku juga bisa memanfaatkan waktu untuk tetap beristirahat. 
Tak terasa Sabtu sudah berada di depan mata lagi. Jika weekend aku hanya berdua dengan Mbak, pengasuhku sejak aku masih berusia 2 tahun. Aku biasa menghabiskan waktu di  ruangan lantai dua, ruangan yang menghadap langsung ke halaman rumah itu hanya ditutupi kaca tebal dan besar tanpa jendela dan tanpa pintu, jadi sinar matahari pagi langsung masuk dan menerpaku yang sering tidur di tempat tidur yang berada tepat di tengah ruangan, sekeliling dinding ruangan itu adalah rak buku dengan sedikit space kosong untuk televisi, sebenarnya ruangan itu adalah perpustakaan kecilku yang merangkap sebagai tempat nonton dan kulengkapi dengan tempat tidur karena aku selalu tidur setelah membaca, sehingga sebenarnya ruangan ini lebih cocok kusebut kamar karena kamarku yang sebenarnya di lantai satu sangat jarang kutempati.
“Mous, kamu mau makan apa?” tanya Mbak saat aku turun untuk mengambil sekotak susu di kulkas.
“Aku baik-baik aja kok, Mbak. Kemarin hanya demam biasa karena kelelahan, lagipula Cam si beruang sinting merawatku” 
“Tapi kemarin kamu pucat waktu diantar Cam pulang” protes Mbak
“Ya sudah, aku minta dibuatkan pangsit” pintaku sambil mengurut pundak Mbak menggunakan tangan kananku sebab pukulan palu itu ternyata berdampak cukup lama.
“Jika aku buatkan pangsit kamu jangan pucat lagi ya” pinta Mbak tanpa mengalihkan fokusnya dari kuali berisi cumi gulai yang hampir masak.
“Iyaa. Oh iya, Mum dan Dad minggu ini belum pulang ke rumah ya, Mbak?” 
“Iya, Mousa tahu darimana?” Mbak bergerak menuju kulkas dan aku mengikutinya di belakang masih dengan memijat punggungnya
“Kamarnya masih sama seperti terakhir kali aku pulang minggu lalu”
“Iya, makanya kamu jangan sakit. Mbak bingung kalau kamu sakit”
Aku memberikan Mbak pernyataan bahwa wanita sinting sepertiku sulit untuk jatuh sakit jadi Mbak bisa dengan tenang melanjutkan kegiatannya.
Sabtu sore yang meninggalkan wangi hujan itu kunikmati setelah mandi dan hanya menggunakan kaus tipis tanpa lengan bergambar personil the beatles di depannya yang lalu kupasangkan dengan celana pendek putih kebanggaanku. Aku tiduran sambil membaca novel Sherlock Holmes untuk yang kesekian kalinya, jempol biru tak bisa menghalangiku dari membaca. Lalu saat aku sibuk dengan kemampuanku beradaptasi tanpa menggunakan jempol biru itu, Kein masuk dan duduk di kursi putih di samping tv menghancurkan konsentrasiku. 
“Mous. Aku lagi bosan”  ucapnya sambil menatapku polos, sepertinya ia lupa sudah meninggalkan aku di Museum.
Aku menutupi keterkejutanku, “Tidurlah, Kein” ucapku pendek sambil menarik selimut putih menutupi badan.
Kein mungkin sadar aku menghindarinya. Dia diam sebentar lalu berkata lagi “Kamu mau ke toko buku nggak?” 
Aku tetap lanjut membaca sambil menjawab tidak. 
 Kein diam untuk sejenak namun aku tahu dia menatapku melalui pelupuk mataku, setelah dua menit, Kein pergi sambil bilang kalau dia mau mengantar Irene les piano. Aku berpikir apa yang diinginkannya? He himself asked me not to get closer to him indirectly, so I did. 
Tidak perlu menunggu lama untuk melihat wajah Kein hari ini, Malamnya ia datang lagi namun kali ini tanpa basa-basi ia langsung bertanya dari ambang pintu “Mous, kamu marah?”
Aku yang masih menelusuri tiap detail gambarku sambil tiduran malas sontak menatapnya dan berkata “The hell?”
Kein berjalan ke arahku dan duduk tepat di sisiku yang membuat busa tempat tidur miring ke arah Kein dan membuat badanku bergeser sedikit ke arah punggungnya yang membelakangiku
“Kamu menghindari aku, kamu juga nggak pernah beli buku lagi sama aku. but aku lihat kamu nggak ketinggalan edisi novel satu pun, berarti kamu beli sama orang lain atau beli sendiri, tapi Mousa bukan tipe yang ingat pulang kalau pergi sendiri ke toko buku, melihat kamu disini sekarang saat toko buku masih di jam buka berarti ada yang menghentikan kamu dan mengajak kamu pulang, tapi dia yang pasti bukan Cam karena Cam benci menunggu kamu milih buku, seorang Mousa nggak mungkin pergi sama stranger tapi dia nggak ngajak aku berarti ada orang lain, nah siapa dia?” ucap Hans panjang lebar, seperti biasa Kein menganalisa diriku seakan-akan aku sangat mudah dimengerti. 
Aku belum menjawab tapi Kein langsung membalikan wajahnya ke arahku dan berkata “Hans?” 
Aku tak terkejut waktu tebakannya benar dan hanya mengangguk kecil. Kein tidak pulang ke rumahnya malam itu dan sibuk mencoret-coret novel baruku dengan gambar-gambar tolol yang mengerikan, aku tak tahan lagi untuk tidak bicara dan mengabaikannya, sebab jika kubiarkan maka bukuku akan menjadi korban kebrutalan Kein. 
“Kein lebih baik kau pulang sebelum jari-jariku memeluk tenggorokanmu” 
“Urus saja jempol birumu sebelum memeluk tenggorokanku” jawabnya sambil tertawa.
Aku mendengus kesal dan membelakanginya, ia ternyata tahu bahwa jempolku terluka, pikirku kesal. Namun kekesalanku tak bertahan lama sebab Kein kemudian bangkit meninggalkanku beberapa saat dan kembali dengan alat kompres berisi es dan mulai meletakkannya dengan hati-hati pada area jempolku.
“Apa yang ingin kau paku menggunakan palu?” tanya Kein sambil tangan kirinya memegangi tanganku dan tangan satu lagi mengompres dengan lembut.
“Aku ingin menggantung bingkai foto” jawabku sambil memperhatikan jempol smurf itu.
“Apakah jempol ini terlalu mirip dengan paku?” tanyanya dengan wajah serius.
“Mungkin” jawabku sambil tertawa.
“Kau belum mengobati jempolmu ini? Kau tak mengompresnya?” tanya Kein lagi.
“Tidak, kupikir dalam beberapa hari akan sembuh. Sepertinya aku memukul sedikit kuat”
“Kau memang memukulnya dengan kuat. Lihat bagian birunya hampir melewati kuku bagian bawahmu” jawab Kein.
Setelah dikompres Kein, denyutan di jempolku berkurang.
“Oh iya, hari Kamis kudengar kau sakit, apa karena jempol ini?” tanya Kein sambil meletakan alat kompres ke dalam wadah kaca di atas meja.
“Tidak, hanya sedikit kelelahan” karena kau meninggalkanku sendirian, jawabku dalam hati.
Ia lalu melanjutkan kerja tololnya, menyoret-nyoret bukuku. Aku pun berusaha sebisa mungkin untuk mengabaikannya sambil terus berkutat pada koleksi puisiku. Namun demi Neptunus, beberapa menit kemudian ia tertidur di sampingku dengan wajah polos tanpa berpikir dosa apa yang bisa kulakukan jika melihatnya terus. Aku langsung menarik badan menjauhi Kein sambil menarik selimut dan tewas dalam mimpi-mimpiku. 
Keesokan paginya aku bangun dan mendapati aku sendirian di ruangan kacaku, Kein mungkin pulang setelah aku tertidur atau ia baru saja pulang tadi pagi. Turun ke bawah dan kudapati Mbak sedang sibuk di dapur.
“Mbak, Kein pulang tadi malam?”
“Nggak Mous, Kein barusan pulang. Tadi Mbak suruh sarapan dulu dia nggak mau, katanya ada janji”
“Ohh” ucapku sambil mengangguk mengerti lalu duduk dan memasukan sepotong besar roti ke mulutku.
Setelah hampir seharian aku mengisolasi diri di ruangan kaca dan hanya membaca buku, kudapati badanku sakit dan sepertinya aku butuh pergi keluar ruangan dan berjalan sebentar. Kukenakan hoodie abu-abu kebesaran dengan tetap mengenakan celana pendek yang sama, lalu membawa Mochi si husky kecilku berjalan-jalan ke taman di dekat rumah.
“Mochiiii, kenapa kau semakin gemuk? Apakah aku terlalu banyak memberimu makan?” aku sering berbicara dengan Mochi dan tak khayal orang-orang memperhatikanku dengan heran. Namun perut buncit husky kecil ini memang harus dipertanyakan.
Mochi sangat hiperaktif namun justru itu yang membuatku memilikinya, aku pernah memelihara Polly seekor german shepherd, dan ia sangat pemalas, ia berwajah tampan untuk ukuran seekor anjing, mungkin karena itu ia menjadi sombong dan tak ingin bergaul. Teori aneh dari seorang majikan yang sama malas dan lebih sombong daripada piaraannya ini bisa diabaikan.
Saat sedang sibuk berbicara dengan Mochi di bangku taman, aku dikejutkan oleh suara Kein yang ternyata sedang lari sore.
“Kamu masih sering mengobrol dengan Mochi?” tanya Kein dengan napas tak teratur.
“Iya, sama Molly milikmu juga sering”
“Iya tahu, soalnya dia lebih senang padamu daripada aku”
“Kau cemburu?”
“Pada anjing?”
“Hmm”
“Ntahlah, mungkin harga diriku sebagai majikan” jawaban Kein membuatku tertawa
Kein lalu duduk di sebelahku dengan jarak yang lumayan jauh, lalu ia juga ikut mengomentari perut Mochi sambil melepaskan earphone hitam dari telinganya. Lalu ada seorang lelaki yang tak ku kenal melakukan cat calling padaku.
“Hai Manis, sendirian aja. Anjingnya lucu boleh diajak main?”
Aku tak tertarik untuk menggubrisnya, Mochi mengeram pelan, aku bisa saja melepaskan tali Mochi untuk membuatnya lari, tapi itu akan melelahkan bagiku untuk mengejarnya kembali.
“Diam aja, sombong banget ih. Badan kamu seksi ya” lelaki menyedihkan itu masih melanjutkan kegiatannya yang termasuk dalam pelecehan seksual secara verbal yang sayangnya tak begitu diperhatikan  oleh kebanyakan orang di negaraku.
Aku hendak mengajak Kein pulang saat kurasakan ia merangkul pinggangku lalu menariknya pelan hingga aku merapat ke sisinya. Aku bisa merasakan panas tubuh Kein yang baru berolahraga di sampingku. Lelaki itu masih berdiri di dekat kami.
“Kein” bisikku pelan
“Dia bilang kau sendirian, aku jelas berada di sini”
“Kau kesal?”
“Iya” jawabnya singkat sambil menarikku lebih dekat
“Omong-omong, bagaimana kondisi jempolmu?” tanya Kein sambil mengeluarkan pelan tangan kiriku dari kantong hoodie
“Lumayan baikan setelah kau kompres, denyutannya berkurang” 
“Nanti kita kompres lagi” jawabnya sambil masih memegangi tanganku.
“Oh, iya tadi pagi kau langsung pulang tanpa sarapan dulu. Kata Mbak kau ada janji, tumben” karena biasanya Kein memang selalu sarapan bersamaku jika ia menginap di rumah.
“Ah, aku pergi dengan Erva”
Aku tak bertanya lagi dan hanya menganggukkan kepalaku sambil mencoba bermain dengan Mochi.
Setelah lima menit berlalu, lelaki itu akhirnya pergi meninggalkan kami. Kein melepaskan tangannya dariku lalu mengajak pulang. Aku tak menyesal memutuskan untuk keluar tadi walaupun pada akhirnya aku berakhir menyedihkan, setidaknya hanya aku yang tahu bahwa aku sedih.
Senin pagi dan aku sudah kesal jika mengingat kejadian kemarin, sebab hatiku menggila untuk lelaki idiot yang sekarang sedang bermesraan dengan kekasihnya tepat di depan mataku saat jam makan siang di hari Senin, aku terbiasa makan siang dengan Kein, jadi tanpa sadar aku duduk di tempat biasa aku makan bersamanya. Untung Cam menyelamatkanku. 
“Mous, di sini aja dekat jendela. Ada pelangi tujuh warna melintasi langit yang hina” 
Aku melesat menuju Cam, sambil tertawa melihat ke arah langit yang dihina Cam dan memilih duduk membelakangi Kein, kemudian Hans datang, lalu duduk di depanku. Ruang makan setiap building tidak begitu besar karena hanya ditempati oleh 12 orang, jadi hampir semua omongan bisa didengar oleh seluruh penghuni ruangan. Semua sibuk dengan makanan masing-masing sampai Adonis bersuara “Hans, kamu suka Mousa?” 
Satu ruangan sontak diam dan menatap ke Hans yang tanpa ekspresi, jadi aku tak tahu dia memikirkan apa, tapi aku juga tak ambil pusing untuk memikirkannya dan lanjut makan. 
“Kenapa kau bilang begitu?” tanya Ignatius pada Adonis yang sibuk mengunyah makan siangnya sembari menatap Hans dari tempat duduknya. 
“Dari tingkah lakunya. Hans sering duduk di dekat Mousa, atau setidaknya ia selalu dalam jarak yang tepat untuk memandang Mousa padahal kita tahu bahwa Mousa tak sedekat itu dengan Hans. Ditambah banyak hal lain yang dilakukan Hans, seperti saat tugas mengenai hewan milik Mr. Puff, aku rasa ia menyukai Mousa, dan pratek menyanyi. Aku bertanya karena penasaran dan ingin tahu apakah aku benar atau tidak” jelas Adonis.
“Untuk profiler setingkatmu, kurasa kau benar Don” komentar Hera sambil lalu menuju mesin penjual minuman otomatis. 
“Aku rasa wajar jika Hans menyukai Mousa, disini memang banyak wanita cerdas yang cukup menarik, tapi Mousa hanya dari cover saja ia sudah menang banyak, ditambah poin-poin lainnya wajar jika Hans menyukainya” ujar Shania sembari menyuapkan sayur brokolinya kepada Frida. 
Semua sibuk berkomentar namun aku masih bisa mendengar Kein dan Erva yang sibuk menertawakan hal lain di belakang punggungku. Aku hanya tertawa mendengar komentar mereka tentang pendapat Adonis sampai Ignatius idiot yang tak bisa membaca situasi itu berceloteh, “Kein, sebagai teman masa kecil Mousa apakah menurutmu Hans pantas untuk Mousa yang tidak seberapa ini?” aku langsung kesal karena jantungku kembali menggila menanti respon Kein.
“Terserah Mousa, Ignatius. Mengapa kau bertanya kepadaku?” 
Itulah respon yang diberikan Kein dan Ignatius idiot itu masih ingin bertanya setelah jawaban yang menurutku cukup dingin, apa salahnya jika ia berkomentar bahwa Hans bodoh karena menyukaiku yang temperamental ini atau memberikan komentar lain, karena yang ia katakan barusan seakan-akan menyatakan bahwa ia tak dekat denganku jadi mengapa bertanya padanya. 
Belum sempat menenangkan hati yang kesal, Shane si polos membuka suara
“Aku juga menyukai Mousa, jadi aku harus bagaimana?” 
Aku diam, Cam diam, semuanya diam atau lebih tepatnya terdiam karena yang barusan mengutarakan perasaan adalah Shane kami yang polos dan pikirannya sangat transparan atau begitulah menurut kami, karena kalau pikirannya transparan sesuai penilaian kami maka pasti sudah sejak lama kami sadar bahwa ia menyukaiku. Yang pertama sadar dari keterkejutan adalah Winston.
“Sejak kapan kau suka Mousa?” tanya Winston sambil menyeduh kopi miliknya
Jawaban Shane mencengangkan karena ia menjawab “Sejak dua tahun lalu” 
Yang tentu saja membingungkan disaat sepengetahuanku aku baru mengenalnya tiga bulan. Shane mengerti akan kebingungan yang ia timbulkan 
“Aku pernah melihat Mousa dua tahun lalu, saat aku mengikuti lomba astrologi yang bersamaan dengan lomba cipta puisi dalam bahasa inggris. Aku membaca puisi karya Mousa yang waktu itu menang dan well aku langsung menyukainya, aku merasa orang yang menciptakan puisi itu pasti sama indahnya walaupun aku tahu ini terdengar menjijikan namun memang begitu yang kurasakan. Aku tertolong karena ada nama lengkap Mousa disana, jadi aku mencarinya lewat internet dan ternyata ia memang sering memenangkan berbagai event diluar cipta puisi. Dan kalian tak tahu seberapa terkejutnya aku saat mengetahui Mousa berada di Lit Academy dan berada di building yang sama denganku” jelas Shane panjang lebar yang membuatku cukup terkejut. 
Ignatius si monyet belgia tertawa “Bagaimana bisa aku berada di Lit Academy dan mendengarkan plot cerita ala drama murahan yang beredar di kalangan anak-anak sakit jiwa yang pasti beranggapan bahwa ini romantis” 
Seisi ruangan termasuk Frida ikut tertawa, aku ingin melihat ekspresi Kein karena aku tak mendengar suara tawanya namun aku tak mau menoleh ke belakang hanya untuk melihat ekspresi si bodoh Kein.
Sejak jam makan siang waktu itu, aku menjadi bahan candaan Ignatius atau lebih tepatnya intensitas hinaan Ignatius kepadaku meningkat. Ia sibuk menjodohkanku dengan Hans dan Shane, namun ia lebih pro ke Shane karena ia belum yakin apakah Hans benar-benar menyukaiku atau tidak. Tapi aku dan Shane bersikap biasa saja dan masih bertegur sapa karena menurutku hanya karena seseorang sudah menyampaikan perasaannya lantas kau harus memberi "respon" terhadap hal itu yaitu menjauh sebagai "tidak" atau mendekat sebagai "ya". 
Malamnya saat aku sedang sibuk merusak hidup Cam dengan mengambil handphone dari tangannya yang sedang tersambung dalam video call kepada Mate, Kein dan Erva keluar dari lorong kamar dan duduk di tempat biasa mereka duduk. Aku mengabaikannya karena sibuk menjawab pertanyaan dari Mate, ternyata Cam bajingan kecilku sudah menceritakan banyak hal kepadanya, Mate bertanya mengapa aku tak mencoba berkencan dengan astrolog bernama Ignatius itu, lalu aku mengatakan pada Mate bahwa namanya Shane dengan dahi berkerut karena bingung bagaimana bisa ia mengetahui monyet belgiaku, lalu Mate menjawab, "Ah, berarti Ignatius adalah lelaki bersuara bagus yang juga menyukaimu kan?" Aku langsung berbalik menatap Cam dan mengomelinya dengan Mate di saat bersamaan. 
"Sejauh mana kalian membahas kisah hidupku? Tidak adakah topik lain yang bisa kalian bahas?" 
Mereka hanya tertawa dan Mate di layar handphone berkata bahwa aku menyelamatkan hubungan mereka dari rasa bosan karena membicarakanku seperti membaca cerita novel berseri. Aku mengutuki Mate dan menyuruhnya meminta maaf karena sudah membaca secara gratis cerita hidupku dengan cara membawa susu dan es krim ukuran terbesar yang bisa ia lihat saat ia pergi kencan dengan Cam hari Sabtu nanti untukku. Mate hanya tertawa sambil berkata "Untung aku borjuis. Sabtu ini aku dan Cam akan mampir membawa pesananmu, pemeran utama wanita novel komedi kami"
Aku kesal karena cerita hidupku mereka beri genre komedi tapi protesku tak digubris karena Cam berhasil mengambil handphonenya dan lanjut membicarakan aku tepat di depan wajahku. Aku memanyunkan bibirku sambil mengambil aba-aba turun dari tempat tidur dan hendak beranjak menuju kamar hingga kusadari bahwa Kein dan Erva menatap kami sedari tadi, kulihat Erva menahan tawa namun tawa yang tulus bukan tawa menghina. Di sebelahnya, Kein tanpa ekspresi sehingga aku tak mengerti harus memikirkan apa, aku berhenti memanyunkan bibirku, tersenyum ringan kepada Erva lalu beranjak ke kamar dan berpapasan dengan Hans di pintu lorong kamar, Hans yang awalnya ingin keluar malah tetap berdiri di lorong depan kamar Adonis dan beralasan bahwa kunci mobilnya tinggal di kamar namun 3 detik kemudian berkomentar "Kunci mobilku nggak ketinggalan, Mous", aku menjawab singkat "Aku tahu, aku melihat siluetnya di kantong celanamu" lalu kami saling menatap lewat cermin yang melapisi dinding lorong dan tertawa.
Hari ini Mr. Blank memberikan kami tugas untuk mencari satu kata yang paling lucu, jahat, menyedihkan, dan baik menurut kami. 
“Mousa, apa kata paling menyedihkan bagimu?” tanya Mr. Blank
“Masih”
“Kenapa?”
“Karena itu berarti pada akhirnya akan berhenti, tapi tidak sekrang, sesuatu yang temporary. ‘Aku masih mencintaimu’ berarti yang mengatakan akan berhenti mencintai tapi bukan sekarang, nanti. Nanti saat ‘masih’ sudah habis masanya”
Mr. Blank mengangguk lalu beralih ke Frida
“Frida, kata paling jahat menurutmu?”
“Manusia”
“Sepertinya kita tak perlu bertanya mengapa untuk jawaban yang satu ini” jawab Mr. Blank yang lalu beralih kepada Winston
“Winston, kata paling baik?”
“Luka”
“Kenapa?”
“Luka berarti kau sudah melalui hal yang menyakitkan tapi berhasil melewatinya dan bertahan, luka adalah hadiah dari kekuatan. Luka mengingatkanmu di saat-saat sulit bahwa kau sudah melalui banyak hal dan itu berarti hal yang baik”
Mr. Blank menyetujui pernyataan Winston sebab ia tersenyum simpul sambil menganggukan kepala.
“Kein, kata paling menyedihkan?”
“Hampir. Aku lebih suka sesuatu tidak terjadi sama sekali daripada hampir terjadi”
“Bagaimana jika pernyataannya adalah ‘Hampir Mati’?” tanya Mr. Blank mencoba membingungkan Kein
“Hampir mati tak terdengar buruk, Sir. Hidup bisa berarti malapetaka bagi kebanyakan orang” jawab Kein sambil mengangkat kedua tangannya dengan pundak terangkat sedikit.
Mr. Blank tertawa dan mengatakan bahwa Kein menyadarkannya akan sesuatu, ia lalu bertanya pada Ignatius yang duduk di sebelah Kein
“Ignatius, kata paling lucu?”
“Aku”
Dan seisi kelas tertawa. Mr. Blank lalu mengakhiri kelas dan berkata bahwa neraka bukanlah hal yang buruk.
Malamnya aku dan Cam menyiapkan berbagai hal untuk pergi ke kebun binatang besok, tugas ini diberikan kepada seluruh building di grade A oleh Ms. Eve yang merupakan pengurus Lit Academy. Building four pergi minggu ini, dan sebagaimana cara kerja Lit Academy pada biasanya, kami dibiarkan pergi tanpa pengawasan siapa pun, tanpa menggunakan seragam Lit Academy sebab seragam hitam yang manis itu akan kelihatan mencolok, terutama lambang Lit Academy yang terjahit rapi di bagian dada sebelah kiri pakaian kami. Untuk ke kebung binatang hari ini aku hanya mengenakan kaus putih polos lengan pendek dengan celana hitam dan membawa topi hitam bertuliskan “Die Inside” di bagian depan
“Mous, kau tak jadi bawa payung?” tanya Cam saat melihatku di ruang kumpul asrama.
“Tidak, aku rasa tak akan turun hujan” jawabku sambil mengikat tali sneaker putih kesukaanku.
“Tapi perkiraan cuaca bilang kemungkinan turun hujan hari ini 75 persen” Cam mengingatkanku.
“Tak apa, lagipula hujan bukan sesuatu yang harus kita hindari sampai segitunya kan. Hujan bukan hal yang buruk” jawabku sambil memberi senyum kepada Cam
“Tapi kau baru sembuh Mousa” Cam masih protes perihal payung yang tak ku bawa.
Namun ia harus berhenti karena bus Lit Academy sudah berada di bawah, untuk menuju kebun binatang dibutuhkan waktu dua jam perjalanan, selama perjalanan anak-anak yang lain kebanyakan tertawa dan bermain game sedangkan aku menutupi wajahku menggunakan topi yang kubawa dan berusaha untuk tidur.
“Mous, kau baik-baik saja?” tanya Cam yang duduk di sebelahku
Aku mengerakkan wajah hingga topi terjatuh ke atas pangkuanku, lalu memandang Cam yang duduk di sebelah.
“Aku baik-baik saja. Kenapa kau begitu khawatir sejak kemarin?” aku tak tahan untuk bertanya sebab Cam biasanya tak banyak bicara.
“Kau masih terllihat pucat dan lebih banyak diam bahkan saat bersamaku” akhirnya Cam menjawab setelah diam selama beberapa saat.
“Tak apa, Cameliaku. Aku hanya sedang memikirkan banyak hal” kali ini aku menenangkan Cam dengan cara menggenggam tangan mungilnya.
Kami sampai di kebun binatang setengah jam lebih cepat karena jalanan cukup sepi. Awalnya kami masih mengantuk sesampainya di sana, namun melihat kebun binatang yang luas dengan bangunan-banguna mencolok di sekitarnya itu membuat mata kami terbuka sedikit lebih mudah.
Dari luar bangunan utamanya tak terlihat seperti kebun binatang, tapi setelah masuk ke dalam maka perlahan-lahan aura kebun binatang akan terasa di sana.
“Mous, aku dan Hans mau ke sebelah sana melihat beruang, kau mau ikut?” tanya Cam 
“Tidak, aku mau melihat singa, kalian duluanlah, nanti aku menyusul” 
“Kau terlalu sering melihat kucing besar itu, Cam” Hans membuka suara.
“Aku setuju untuk itu” timpal Cam. 
“Mereka membuatku tenang dan sekarang banyak hal yang sedang kupikirkan” jelasku pada mereka.
“Kalau begitu pergilah melihatnya jika kau bisa merasa lebih baik” Cam lalu pergi bersama Hans menuju tempat makhluk kesukaannya itu.
Aku berjalan pelan menuju tempat singa, aku masih ingat tempatnya walaupun terakhir kali mengunjungi kebun binatang ini sewaktu duduk di kelas dua sekolah menengah pertama, setibanya di tempat para kucing besar itu tinggal, aku langsung tertawa lebar, lupa bahwa belakangan ini Kein membuatku sedih terlalu sering. Singa selalu berhasil memberikan kesan yang menyenangkan padaku tanpa sebab yang kuketahui, menuruku kucing besar ini menenangkan.
“Hai” bisikku pelan pada seekor singa jantan yang sedang tidur dengan tenang di atas batu besar.
“Aku bingung, aku menyukai orang yang memiliki kekasih. Karena aku terbiasa diperhatikan dan dekat dengannya, aku sedikit terkejut saat menyadari ia bukan teman kecilku lagi. Kemarin setelah ia meninggalkanku sendirian dan tak kembali lagi seakan menjadi tamparan yang mencoba menyadarkanku bahwa ia benar-benar sudah pergi” bercerita pada kumpulan singa bukanlah hal buruk, sebab aku tak percaya pada manusia.
“Aku rasa memang sudah saatnya aku berhenti terlalu bergantung padanya. Aku tak pernah membayangkan akan tiba hari di mana aku ditinggalkan demi orang lain, itu terlalu menyakitkan dan aku belum siap” 
Air membasahi pipiku, aku memang sedih tapi aku tak merasa bahwa aku menangis, lalu jatuh lagi air namun kali ini membasahi hidungku. Aku menengadah ke atas dan melihat tetesan air mulai tumpah ke bawah.
“Langit, kau tak perlu menangis untukku. Aku tak membawa payung” keluhku sambil berusaha memasuki area kebun binatang yang memiliki naungan untuk berlindung dari hujan.
Suasana kebun binatang yang ramai dan banyaknya pengunjung lain yang juga sibuk melindungi diri membuatku susah bergerak sedangkan hujan turun semakin deras.
Saat aku menemukan Cam dan Hans di tempat beruang, mereka langsung mengomeliku dan hanya kusambut dengan senyum cengingiran di wajah yang basah.
“Aku sudah mengingatkanmu mengenai payung” Cam mengeringkan rambutku menggunakan handuk kecil yang dibawanya.
Aku menjawab omelan Cam dengan bersin sebanyak empat kali, Hans memberikanku air hangat yang dibawa dalam termos kecil miliknya.
Minumlah, aku belum gunakan” Kein menyodorkan botol hitam itu padaku.
“Terimakasih” jawabku sambil menggosok-gosokkan tangan.
Setelah beberapa lama kami duduk di depan patung beruang kutub berwarna putih besar sambil mengeringkan badanku, lalu obrolan kami mengenai beruang terpotong oleh panggilan masuk dari Winston kepada Hans, Hans menjawabnya dan berkata bahwa kami sebentar lagi akan ke sana.
“Yang lain  sudah berkumpul di bus” jelas Hans.
“Cepat sekali” protesku
“Mousa, kau menghabiskan waktu dua jam di tempat singa-singamu” jawab Cam sambil memutar matanya
Aku melihat jam dan sadar bahwa Cam benar sebab sisa waktu satu jam yang lain kugunakan bersama mereka di tempat beruang ini.
Sesampainya kami di bus, anak-anak bertanya mengapa hanya aku yang kehujanan padahal kami pergi bertiga.
“Jangan-jangan si Mousa idiot itu terpisah dari kalian dan tersesat” canda Ignatius sambil melemparkan jaket hitam milikknya padaku.
“Mousa melihat singa sendirian, kau tahu kan area itu berada di luar bangunan kebun binatang” jelas Cam sambil memasangkan jaket Ignatius padaku, kulihat Kein duduk di belakang Ignatius dengan Erva di sebelahnya.
“Mous, kau pucat” ucap Shania tiba-tiba
“Tak apa, sebentar lagi juga baikan” ucapku menenangkan mereka lalu kembali duduk di bangku yang tadi kutempati bersama Cam saat pergi ke sini.
“Kau tak mau berganti pakaian dulu?” tanya Erva padaku
“Iya, perjalanan kita lama” tambah Winston yang walau bermulut jahat tapi juga terlihat khawatir.
“Tidak, aku malas berganti pakaian” jawabku asal.
Kebanyakan dari kami tertidur karena kelelahan walaupun hanya beberapa jam berada di kebun binatang. Aku tak bisa tidur karena tak nyaman dengan pakaianku yang basah.
Sewaktu menginjakkan kakiku di lantai parkir building four, hal pertama yang kulakukan adalah bersin berkali-kali tak peduli seberapa kuat aku menahannya.
“Mous, kau harus cepat berganti pakaian” kali ini Frida yang mengatakannya padaku.
Cam langsung membawaku masuk dan menyiapkan bubur selagi aku mandi
“Terimakasih, Cam. Jika kau tak ada aku akan sedikit kesusahan” jawabku.
“Kau semakin pucat. Kau tak mau berobat ke dokter?” tanya Cam yang sebenarnya lebih terdengar seperti sebuah permintaan.
“Besok, kau temani aku ya” jawabku, lagipula memeriksakan diriku ke dokter bukanlah ide buruk.
Cam meninggalkan kamarku saat ia sudah memastikan bahwa aku sudah dalam posisi yang nyaman untuk tidur. Besoknya kami memeriksakan diriku setelah mendapat izin untuk meninggalkan Lit Academy di hari sekolah, Ms. Eve merekomendasikan dokter kenalannya yang ternyata merupakan dokter paling terkenal di kota ini. Dalam dua hari aku sudah merasa baikan, aku kemudian mengembalikan jaket milik Ignatius yang sudah kucuci bersih sambil mengucapkan terimakasih, lalu juga tak lupa memeluk Cam dan mengucapkan terimakasih karena sabar menghadapiku yang keras kepala ini.
Sabtu pagi aku sudah pulang bersama dengan Cam sambil memikirkan tugas yang diberikan Ms. Gillian untuk minggu depan. Sebelum Cam meninggalkan halaman rumahku untuk pulang, aku sempat meneriakkan kewajibannya. 
"Jangan lupa susu dan es krimku hari ini Cam", yang dijawab dengan putaran mata Cam.
Aku masuk dan mendapati Mochi berlari sambil melolong menyambut kedatanganku, Husky kecil berusia 2 tahun itu melompat sambil mengibaskan ekornya.
"Good Boy, how are you doing lil boy?" Tanyaku sambil mengusap lembut kalung berwarna biru dengan ukiran nama Mochi di sana.
Mbak yang sedari tadi masak di dapur datang dan menyuruhku makan, aku bertanya di mana Mum dan Dad, Mbak bilang mereka sudah pergi sejak lusa kemarin. 
“Mous, kamu mau makan apa?” tanya Mbak lagi setelah aku melepaskan Mochi dari pelukan
“Cumi kedengaran enak, Mbak” jawabku sambil meletakan brownies yang ku beli di atas meja makan.
“Baiklah, kamu terlihat lebih baik daripada minggu lalu” ucap Mbak sambil tersenyum lalu bernyanyi kecil sambil berjalan menuju dapur
Sore harinya sekitar pukul 4 pesananku datang dalam keadaan sedikit meleleh, iblis kecilku Cam datang bersama kekasih idiotnya Mate, dan hal pertama yang keluar dari mulut mereka setelah melihatku di pintu depan adalah "Singa idiot apa yang menempel di bajumu itu Mousa?" Dan "Kenapa kau begitu memalukan saat di rumah?" 
Aku lelah menjawab hinaan mereka dan langsung meraih pesananku dari tangan hina Cam, selain susu dan es krimku, mereka juga membawakan makanan untuk Mbak, lalu kami berkumpul di ruang tamu bernuansa putih dan abu-abu dengan banyak frame yang sebagian besar berisikan wajahku menempel di dinding putih, ruangan ini sangat jarang digunakan di rumah karena aku jarang kedatangan tamu dan orangtuaku juga sibuk. Aku sedang konsentrasi menelan es krim beserta susu cokelat kentalku saat Cam mendokumentasikannya dengan alasan untuk kebutuhan di masa depan. Aku tak perduli karena Cam sinting dan semua orang tahu itu, lalu beberapa saat kemudian Kein masuk dan sepertinya hendak berjalan ke arah tangga menuju ruang kaca, namun berhenti karena melihat kami, ia lalu tersenyum dan bergabung. 
Sambil tetap mendokumentasikan kegiatan makanku, Cam bertanya "Kamu mencari si Rubah licik ini Kein?"
Kein menjawab sambil berjabat tangan dengan Mate "Iya, ada buku yang kucari", 
Aku menatapnya dengan pipi menggumpal berisi es krim dan susu, Kein menatapku dari atas dan beralih ke baju singaku, dan kudapati ia  menahan tawa sambil menghakimi diam-diam bajuku seperti yang dilakukan oleh Cam dan Mate. 
"Buku apa?" tanyaku sambil meletakan bucket es krimku dan menarik selembar tisu dari kotak tisu di atas meja.
“Buku karangan Lucifer” 
“Sebenta kucari. Sekarang duduklah”, aku hendak beranjak pergi saat Cam menghentikanku dan berkata bahwa aku bisa mengambilkannya nanti.
“Kau membaca buku karangannya juga?” tanya Cam pada Kein.
“Iya, nama penanya memang terkesan gelap tapi buku karangannya menerangi banyak hal yang dianggap tabu dan jarang diangkat dalam tulisan” jawab Kein 
Kami berbincang-bincang hingga pukul sembilan malam, dan lagi aku habis ditertawakan oleh Cam dan Mate hampir setiap saat, aku dan Kein lalu mengantarkan pasangan idiot itu sampai ke pintu depan.
“Kein aku capek, kamu cari sendiri aja ya di rak buku” ucapku sambil menutup pintu ruang depan lalu berjalan malas menuju ruangan kaca tempat buku-bukuku, tapi kepalaku memang pusing sedari tadi.
“Iya, tapi tumben jam sembilan kamu kelelahan, kamu ngapain?” tanya Kein sambil mengikutiku di belakang.
Aku baru mau menjawab saat kakiku melangkah terlalu kecil sehingga tak menginjak anak tangga selanjutnya hingga badanku kehilangan keseimbangan, Kein yang berada di belakangku mencoba menahan dengan kedua tangannya, ia berhasil dan aku bisa merasakan tangannya yang lebar menyentuh punggungku.
“Hati-hati Mousa, kamu ngapain sampai selelah ini?” tanya Kein sambil melepaskan tangannya dariku yang sudah berdiri sendiri.
“Kayaknya aku kebanyakan baca dan nonton” jawabku sambil menguap kecil.
Kein sibuk mencari-cari di rak buku saat aku tergeletak di atas tempat tidur kelelahan, sialnya aku tak bisa tertidur, lalu aku memutuskan mengambil sebuah buku untuk dibaca hingga tertidur. 
Setelah menyelesaikan dua bab dan aku belum juga mengantuk, Kein meletakkan buku di sebelahku, mengatakan bahwa ia meminjam mereka, lalu mengambil buku-buku itu lagi dan hendak beranjak pergi hingga mendengar ponselku berbunyi dan nama “Hans” muncul di sana. Aku rasa aku cuma kepedean karena kupikir Kein tiba-tiba tak jadi pulang karena ingin mendengar obrolanku dengan Hans? Ntahlah, tapi orang yang menyukai orang lain cenderung berpikiran bahwa orang yang disukainya menyukainya balik kan? 
Aku mengambil ponselku dan berjalan ke kaca lebar yang menghadap ke halaman, Hans belakangan ini sering menelponku untuk meminta pencerahan tentang membuat puisi, ia sedang dalam keadaan membara untuk menciptakan sebuah karya tulis yang indah katanya. Setelah dua jam mendengarkan dan lelah menghina pemilihan kata Hans, aku masuk kembali ke dalam ruangan dan menemukan Kein tak lagi di sana. Aku tak ambil pikir dan lanjut membaca buku di tempat tidur sambil menguyah biskuit susu yang dibawa Kein. Namun baru sampai kunyahan yang keenam, pintu kamar mandiku terbuka dan Kein berdiri di sana bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk putih untuk menutupi bagian bawah badannya. 
Aku mengumpat dalam hati karena dia berhasil membuatku terkejut di tengah malam saat semuanya tadi tenang tanpa suara. Kein masih berdiri santai di depan kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk kecil, kemudian ia berjalan dan mengambil kacamatanya yang ternyata sedari tadi ada di atas meja di sebelahku! Aku bisa mencium aroma sabun dan shampooku perlahan lewat, tapi otakku mengumpat dan menyuruhku untuk sadar, aku mengambil kesadaran dan mengumpati Kein karena memakai kamar mandiku di tengah malam 
“Keinn! Kau membuatku terkejut. Kenapa kau tak bilang padaku kalau kau mau mandi, dan kenapa kau tak mandi di rumahmu, dan kenapa kau harus menggunakan kamar mandiku beserta isinya pukul 12 lewat di malam hari?” omelku sambil melihat jam dinding yang tergantung. 
Kein tetap sibuk mengeringkan rambutnya dan menjawab “Aku tak mau keluar menggangu orang yang sedang menelepon untuk memberitahunya bahwa aku ingin menggunakan kamar mandi, aku tadi sudah pulang ke rumah namun rumah sudah terkunci dan sepertinya orang rumah sudah tertidur dan mengira bahwa aku sudah pulang dan masuk ke kamar, aku meminta pakaianku yang tertinggal saat liburan di sini pada Mbak di bawah dan aku sudah sengaja meletakkan kacamataku di atas meja di sebelahmu agar kau sadar bahwa aku masih di sini” 
Aku tak habis pikir dengan jalan cerita tetanggaku ini, jadi aku berniat tak memikirkannya lalu merapikan tempat tidur di ruang kaca untuk dipakai Kein malam ini, dan mau tak mau aku harus tidur di kamarku sendiri di lantai satu. Aku akan pergi sampai Kein berkata lagi “Mous, aku lapar” 
Aku sudah berniat melemparkan buku yang ku pegang ke wajahnya jika bukan karena pandanganku yang tak fokus ke dada putih yang telanjang itu. Aku menyuruh Kein mengganti pakaiannya lalu beranjak turun dan membuat pasta sederhana untuk Kein, aku hanya membuat satu porsi yang kemudian berakhir dengan penyesalan karena setelah melihat Kein makan aku ikutan lapar. Kein berkata akan membagi miliknya denganku, tapi aku menyuruhnya naik saja duluan dan biarkan aku membuat satu porsi lagi untukku. 
Aku baru berdiri dari meja makan hendak menuju dapur, tapi Kein menarikku hingga aku terduduk di tempat semula. Ia menyuapi pastanya ke padaku, aku tak membuka mulut dan memilih untuk memundurkan wajahku, Kein tetap bersikeras menyuapi atau lebih tepatnya menyodokkan pasta itu ke mulutku, aku semakin mundur dan hampir terjatuh dari kursi jika Kein tak cepat menangkap pinggangku. Saat aku masih terkejut dengan genggaman kuat tangan Kein yang melingkar di pinggangku, ditambah aroma badannya yang menyesap perlahan memasuki hidung, aku sudah dikejutkan lagi dengan rasa panas di pahaku, pasta yang sedari tadi berada di sumpit yang dipegang Kein terjatuh ke atas pahaku, aku memakai celana pendek jadi aku langsung sadar dan berteriak kecil, Kein kemudian sadar lalu menyingkirkan pasta di pahaku dengan tangannya. Iya, dia menyingkirkan pasta itu dengan tangannya di atas pahaku dan tangan satunya lagi masih melingkar di pinggangku. Aku melepaskan diri dari Kein sebelum ia menyadari detak jantungku yang menggila, aku menggambil tisu dan membersihkan sendiri pasta terkutuk sekaligus terpuji itu dari pahaku. Kein membersihkan pasta yang jatuh di lantai lalu bertanya apa yang ingin kumakan, aku hanya melongo. 
“Kein, kau bahkan tak bisa membedakan antara panci dan teflon. Sudahlah, aku bisa masak sendiri” akhirnya aku mengatakan sesuatu.
Namun aku berakhir memasak pasta baru di dapur dengan Kein menemaniku di sana. Aku untuk pertama kalinya merasa bingung harus berkata apa setelah semua kontak fisik yang membuat badanku merespon dengan norak. Lalu Kein memecah kesunyian,
“Mous, cewek suka hadiah apa?” 
Tanganku yang sedang mengaduk terhenti sejenak, “I don’t know, lihat ceweknya dulu dong Kein. Kalau kayak Cam ya dia sukanya yang aneh-aneh, kalau kayak Frida ya dia sukanya yang sedih-sedih. Nah, dia orangnya gimana?” 
Kein terdiam lalu sambil tersipu menjawab “Cantik, dia cantik” aku mengumpati hatiku yang berdebar untuk lelaki yang mencintai orang lain ini
“Lalu kau bisa mendapatkan barang yang cantik untuknya”, jawabku yang kemudian bergegas meninggalkan dapur menuju meja makan dan memakan pastaku dengan cepat, aku tak sanggup kalau ia berniat menyambung pembicaraan tentang perempuan cantik ini sekarang. Kein menyusulku dan duduk di sampingku sambil melihatku makan dan berkomentar 
“Mous, kamu lapar banget?” 
Aku hanya mengangguk dan melanjutkan senam mulutku. Kemudian layar  ponselku menyala kembali dan panggilan yang masuk masih dari orang yang sama, si Hans sinting itu menghubungiku pada dini hari, ini merupakan yang paling parah dan aku sudah siap untuk mengumpatinya, namun karena ada Kein, aku mengurungkan niat, Kein tak mengomentari perihal aku yang tak mengangkat panggilan Hans. 
Kami berdua kemudian naik ke atas dan ketika Kein baru memasuki pintu ruang kaca, aku langsung menelepon kembali si Sinting Hans, dan kemudian sadar bahwa Kein masih berdiri di ambang pintu saat aku menoleh ke belakang. Berkat bantuan cahaya lampu dari dalam ruang kaca yang dibuka Kein duluan, aku tahu ia sedang melihat ke arahku dan mata kami bertemu selama beberapa detik , aku langsung tersadar untuk mengalihkan pandangan saat mendengar suara Hans di ujung telepon, lalu  bergegas menuruni tangga dan melanjutkan rencana komplainku kepada Hans yang menelepon dini hari. 
Aku bangun keesokan harinya dengan wajah menatap langit langit hitam sambil menerka-nerka kado apa yang ingin Kein berikan kepada Erva. Bahkan di pagi hari pun aku sudah sibuk menyakiti perasaanku sendiri dengan memikirkan hal itu. Setelah 20 menit yang kugunakan untuk memikirkan berbagai kemungkinan konyol mengenai kado untuk Eva seperti raket tenis mantan juara Wimbledown di saat aku sadar betul bahwa Erva adalah atlet renang, atau mungkin juga hadiah seekor anak koala Australia berusia 6 bulan berwarna abu hangat yang akan diberikan oleh Kein. Aku menyudahi pikiran bodoh itu setelah mendengar teriakan Mbak yang menyuarakan kehadiran segelas hot chocolate dan memanggil jiwaku untuk datang. 
Aku masih mengenakan baju putih tipis dan celana pendek saat melihat Kein di bawah sedang tertawa dengan Mbak yang sepertinya sedang membahas Irene, adik Kein. Aku tak langsung menimbrungi percakapan mereka karena kulihat Mochi memakai baju baru berbahan rajutan warna abu yang sangat lucu. 
"Mbak, siapa malaikat yang memberikan Mochi kaki empatku baju ini?" Tanyaku pada mbak sambil menggangkat Mochi ke dalam pelukan. 
Mbak melihatku, lalu sebelum ia sempat mengomel, aku membuka perdebatan dengan berkata "Mbak nanti aja mandinya, ini siapa yang kasih?" 
Mbak lalu menghela napas yang merupakan akhir dari perdebatan karena ia langsung menjawab "Kein yang bawa minggu lalu tapi Mbak baru bisa pakaikan ke Mochi tadi pagi" 
Aku menatap Kein lalu menghakiminya "Baik iblis, darimana kau mendapatkan baju ini?" ucapku sambil tertawa. 
Kein masih menguyah rotinya dalam beberapa kunyahan hingga akhirnya membuka suara. 
"Itu dari Erva, seharusnya buat anjing dia tapi kebesaran, sedangkan waktu aku kasih ke Molly juga agak longgar. Terus aku iseng pakaikan ke Mochi dan ternyata pas" jelasnya sambil sibuk menambahkan selai kacang ke atas roti. 
Senyumku hilang, tapi ia tak sadar, ia tak melihatku. Aku meletakkan Mochi ke lantai lalu mengomentari bahwa ia sangat tampan hari ini lalu beranjak ke atas dan tentunya langsung dihentikan oleh Mbak karena aku bahkan belum duduk untuk meminum susu buatannya. 
"Aku habis memeluk Mochi, kalau nanti di makanan menempel bulu-bulu seekor Husky yang berpindah ke ususku lalu membuat bola bulu bagaimana? Aku mau mandi dulu Mbak sayang" jawabku pada Mbak sambil memberikannya tatapan nakal dari anak tangga.
Mbak lalu mengangguk dan lanjut memasak sambil mengomentari perut Mochi yang kian besar sehingga ia semakin malas bergerak.

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Universe 1
3513      1171     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6667      1493     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Flowers
359      247     1     
Inspirational
Zahra, remaja yang sering menggunakan waktu liburnya dengan bermalas-malasan di rumah, menggunakan satu minggu dari libur semesternya untuk mengunjungi tempat yang ingin dikunjungi mendiang Kakaknya. Bukan hanya demi melaksanakan keinginan terakhir Kakaknya, perjalanan ini juga menjadi jawaban atas semua pertanyaannya.
Coldest Husband
1305      675     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
Unthinkable
11409      1848     6     
Romance
Cinta yang tidak diketahui keberadaannya, namun selalu mengawasi di dekat kita
CAFE POJOK
3199      1077     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Toget(her)
1271      593     4     
Romance
Cinta memang "segalanya" dan segalanya adalah tentang cinta. Khanza yang ceria menjadi murung karena cinta. Namun terus berusaha memperbaiki diri dengan cinta untuk menemukan cinta baru yang benar-benar cinta dan memeluknya dengan penuh cinta. Karena cinta pula, kisah-kisah cinta Khanza terus mengalir dengan cinta-cinta. Selamat menyelami CINTA
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Glad to Meet You
249      190     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...