Read More >>"> One Day.
Loading...
Logo TinLit
Read Story - One Day.
MENU
About Us  

Namaku Dwi, Dwi Anata. Umurku 18 tahun duduk di bangku sma kelas 3 jurusan IPA. Aku tidak benar-benar memiliki hobi sejak aku masuk SMA entah mengapa, tidak benar-benar memiliki seseorang yang dapat kusebut 'teman' pula. Entah sejak kapan hidupku menjadi kalang kabut seperti ini, dunia yang kulihat tidak lagi penuh warna. Dulu aku merupakan seorang pemimpi, pemimpi yang sangat besar hingga aku lupa bahwa aku ini hanyalah noda yang mencoba hidup di dunia yang besar ini.

Aku memiliki keluarga yang lengkap dengan kedua orangtuaku dan 4 saudara laki-lakiku yang lain. Orang-orang biasanya bilang bahwa kami berlima sebaiknya membuat sebuah tim futsal, karena keluargaku yang beranggotakan lima laki-laki dan tentu saja menjadi enam jika ditambah ayahku. Aku tinggal di rumah kecil satu lantai yang memiliki tiga kamar, eh mungkin dua, dan satu gudang yang diubah menjadi kamar. Keluargaku mungkin bisa dibilang keluarga yang kurang mampu tetapi kami semua bersekolah di sekolah swasta entah mengapa. Masalah hidup kami tidak banyak, mungkin bisa diblang bahwa hanya satu yaitu uang. Sebagai keluarga yang memiliki banyak anak tentu saja perkelahian antara adik dan kakak sudah biasa, tetapi jika sudah menyangkut dengan uang, kami selalu kalah. Sudah 18 tahun aku hidup, keadaan tidak pernah berubah terlalu banyak untukku, tentu saja memang kami tidak semenderita pengemis maupun pemulung, tapi melihat keluargaku yang selalu merasa terpukul karena tunggakan uang sekolah maupun dengan kebutuhan sehari-hari kami sudah cukup membuatku mual dan lelah karena semua itu.

Ternyata aku memiliki hobi, oh tentu saja semua orang memiliki hobi. Aku suka sekali membaca novel, terutama pada saat jam-jam pelajaran yang membuat waktuku berjalan lebih cepat. Walau aku suka membaca novel, tetapi aku menjauhi novel yang hanya menceritakan tentang kisah romantis antara dua orang. Entahlah, ratusan lembar dihabiskan hanya untuk menceritakan bagaimana kedua orang dapat bahagia atau bersedih mungkin memang bukan sesuatu yang menarik untukku. Aku lebih menyukai novel yang berbau fantasi, misteri, supernatural, yah apapun pokonya selain yang satu itu.

24 Desember 2017

Aku bangun dari tidurku, sejenak aku melihat jam yang menunjukan pukul 07.18, dan tamatlah aku. Kulirik kasur disebelahku yang sudah kosong menandakan adikku sudah bangun ,serentak aku langsung bangun mengambil seragam putih abu yang bergantung di pintu kayu usang yang mungkin akan roboh hanya dengan satu pukulan. Aku berlari kecil menuju ruang tamu, ketiga adikku sedang menonton film kartun di atas sofa yang sudah sobek-sobek itu. Mereka bertiga melihat ke arahku yang sedang mengenakan baju sekolah. "Ngapain koko pake seragam?" kata adikku yang paling tua. Adikku tidak mengenakan seragam sekolahnya, dan sepertinya ia memang tidak berencana untuk menggunakannya, begitu juga kedua adikku yang lain. Sesuatu ada yang salah, pikirku. Kuambil gadget yang berada di saku kananku, dan kulihat 'Sabtu 24 Desember 2017'.
Aku mengumpati diriku karena sudah bangun terlalu pagi di hari libur ini, terlebih lagi bahkan aku ingin mengenakan seragam. Kubuka seragamku, kemudian kuganti lagi dengan baju tidurku sebelumnya dan kembali ke kamarku.

Aku mencoba memejamkan mataku berkali-kali, tapi percuma saja aku tidak bisa tidur. Kamarku berukuran kecil , hanya terdapat dua kasur lipat , sebuah lemari , dan sebuah komputer yang hidupnya tidak lama lagi beserta mejanya. Aku melamun sejenak memikirkan harus melakukan apa di hari libur ini. Tidak ada yang terlalu menarik untuk dilakukan sepertinya, mungkin aku harus membaca novel , tetapi akan sayang jika novelku dihabiskan di rumah dan bukan di sekolah. Opsiku untuk melakukan aktivitas sangat terbatas, karena aku yang tidak memiliki banyak teman dan juga tidak memiliki banyak uang.

Sejenak kurasakan gadget ku bergetar di sakuku. Sesuatu yang cukup langka bahwa ada seseorang yang mungkin mencariku, atau mungkin saja orang salah sambung. Kulihat bahwa seseorang dari nomor yang tidak kukenal memberiku pesan. Pesan itu sangat panjang hingga bisa kupastikan bahwa aku malas membacanya, hanya saja aku yang tidak punya kegiatan lain pada saat itu yang membuatku penesaran akan pesan itu. Pada awalnya aku mengira itu sebuah pidato berdasarkan panjangnya surat itu. Sesaat mulai kubaca aku mulai mengira bahwa itu merupakan surat cinta maupun surat peringatan dari sekolah karena berawalkan 'Untuk Dwi Anata' yang membuatnya seakan surat itu begitu formal entah mengapa. Tapi sayangnya itu bukanlah pidato maupun surat cinta, itu hanyalah pesan yang menawarkan pekerjaan. Awalnya aku berencana mengabaikan surat itu dan mematikan gadgetku, namun sebuah pemikiran melintas di benakku yang membuatku mengurungkan niatku.

'Ia menuliskan namaku, tandanya ia memang menujukan lamaran itu untukku.'

Walau memang otakku tidak begitu yakin dengan apa yang dipikirkannya, kuputuskan untuk membaca kembali pesan itu.

Surat itu tidak memberitahu pekerjaannya begitu rinci, hanya dituliskan bahwa itu merupakan pekerjaan paruh waktu yang akan dilakukan selama sehari penuh aku harus bekerja. Tidak dituliskan tentang minimal pendidikan atau apapun, hanya ketentuan-ketentuan umum seperti sopan santun dan sepertinya pesan bisa diartikan lain sebagai, 'Datanglah Dwi, dan kau dapat pekerjaannya.'. Sangat mencurigakan, pikirku. Mungkinkah hanya ulah orang jail? Mari singkirkan semua pemikiran tidak berguna itu dan melanjutkan membaca. Dan Oh! Syarat yang satu ini memang benar-benar cukup mengejutkanku, entah mengapa tadi aku tidak menyadarinya sedari tadi.

Resiko pekerjaan anda: nyawa

Oke oke ini sangat mencurigakan. Apakah aku akan menjadi semacam pengawal? atau pemburu bayaran? atau , Oh mari tidak usah kita pikirkan. Tetapi benakku terus saja tetap memikirkan itu, setengah dari diriku penesaran setengah mati tetapi sebagian lagi bicara bahwa jangan memikirkannya lagi. Aku membiarkan pembacaan pesan itu sampai situ, sebelum aku sempat memikirkannya lebih jauh lagi. Kemudian kumatikan gadgetku dan mencoba memikirkan sesuatu yang lain.

Aku mencoba memikirkan tentang hal-hal lain, seperti bagaimana dulu aku sewaktu masih di sekolah menengah menjadi atlet basket atau bagaimana William Shakespeare bisa menulis sesuatu tentang cinta sepanjang itu, hingga bagaimana bodohnya aku bisa lupa bahwa hari ini merupakan hari libur. Tapi tetap saja pemikiranku pada ujungnya tetap tertuju pada pesan misterius yang tadi kubaca. Rasa ingin tahu dan penesaran sudah memenuhiku. Akhirnya otakku tidak dapat menahannya, otakku mulai menerka-nerka tentang pekerjaan yang ditawarkan orang misterius itu. Kemudian sebuah pemikiran gila terlintas lagi dalam benakku, diem aja di sini ga bikin kamu tau kebenarannya. Tentunya bukan pemikiran yang bagus, sangat tidak bagus mungkin. Secara alamiah kuambil kembali gadgetku dan kubuka kembali pesan itu. Kubaca-baca kembali dari awal mencari-cari tanggal lamaran itu akan dilakukan dan akhirnya,

'Ditunggu pada, 24 Desember 2017 Pukul 10.00, alamat.........
Himbauan: Perhatikan cemara dan lampunya.'

"Oh Wow! Kebtulan sekali aku nganggur, dan aku tidak perlu himbauan karena aku takan pergi." 

Beberapa saat kemudian aku sudah wangi , sudah rapih, dan sudah siap. Kemeja biru muda tangan panjang dengan celana jeans kain dan tidak lupa sepatu hitamnya. Mungkin memang bukan pakaian paling formal untuk melamar pekerjaan, hanya saja ia mengirimku sebuah pesan lewat gadget dengan memberikan lamaran, tentu saja ini bukan lamaran yang formal mungkin?

Seluruh keluargaku melongo melihatku, atau mungkin mereka sedang melihatku sebagai orang lain. Yah, memang jarang juga sih aku mengenakan pakaian serapih ini, tapi mungkin itu hal yang normal pada masa remaja. Ibuku bertanya padaku apakah aku akan berkencan atau semacamnya, tentu saja kuabaikan perkataannya. Siapa yang mau berkencan dengan cowok pas-pasan dalam segala hal termasuk fisik dan ekonomi? Tentunya pasti ada orangnya, hanya saja mereka cuma karakter film. Aku mengatakan kepada kedua orangtuaku bahwa aku hendak melamar kerja. Awalnya mereka sedikit tidak percaya, namun setelah kujelaskan bahwa ini hanya kerja paruh waktu akhirnya mereka percaya.

Pukul 08.30 aku berdiri di depan rumahku menimbang-nimbang haruskah aku pergi atau tidak. Waktu tempuh dari sini kesana cukup jauh , jadi mungkin akan memakan waktu sekitar satu jam jika lancar-lancar saja. Aku tidak membawa apapun seperti cv maupun surat lamaran lainnya, aku hanya membawa diriku, gadget dan dompet yang tidak pernah menggemuk. Sejujurnya aku tidak benar-benar ingin bekerja atau melamar pekerjaan itu, aku hanya penesaran, sangat-sangat penesaran. Sekarang mungkin waktu yang tepat jika aku benar-benar berniat untuk pergi, kupikirkan hal yang mendukungku untuk pergi. Hari ini aku nganggur dan tidak ada acara, aku membutuhkan uang saku tambahan mungkin, dan aku tidak ada kerjaan. Oke, mungkin sekarang waktunya pergi.

Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali aku merasa benar-benar hidup seperti ini, pikirku saat hendak pergi ke tempat itu menggunakan sebuah aplikasi grab. Rasanya terakhir kali aku begitu bersemangat dan hidup seperti ini, mungkin saat aku masih di sekolah menengah yang jika kuingat pada saat itu aku benar-benar menyukai basket. Sesuatu yang menarik mungkin menantiku, entah itu baik atau bukan, baik itu palsu atau bukan, biarlah perkara nanti. Seluruh dunia yang hitam putih mendadak mulai berwarna sedikit demi sedikit di mataku, anehnya pikirku. Padahal aku belum tau aku sedang menuju tentang masalah apa, belum tentu juga dengan apa yang aku temui nanti. Hatiku berdebar-debar, entahlah semua keraguanku sewaktu di rumah tadi sudah hilang, aku sekarang merasa benar-benar yakin dengan apa yang kulakukan. 'Resiko pekerjaan anda:nyawa' oh pekerjaan apakah itu, dalam sehari saja bekerja nyawa dipertaruhkan? Tentunya itu bakal sangat menarik. Setidaknya mungkin dapat lebih menarik dibandingkan kehidupanku pada akhir 3 tahun ini mungkin, hanya sekolah belajar bermain, oh begitu menyedihkannya. Aku bahkan tidak tau aku akan menjadi apa kelak, alasanku hidup akhir-akhir ini hanyalah dengan alasan kelak besar nanti mungkin aku harus membantu kedua orangtuaku membiayai kehidupan adik-adiku yang masih kecil. Menikah?Berkeluarga? Oh , bahkan terlintas pun tidak, entahalah mungkin belum.Dari dulu aku tidak pernah takut untuk berbicara atau mendekati lawan jenis, karena aku tau mereka tidak akan menyukaiku. Orang yang menyukaiku memang tergolong orang bodoh, karena mereka menyukai pria yang tidak memiliki apa-apa yang bahkan terkadang kesulitan harus makan apa sewaktu istirahat makan siang.

Pernah terlentas dibenakku bahwa suatu hari kelak aku ingin menjadi pemain basket di NBA , aku cukup yakin bahwa aku cukup layak untuk menjadi pemain basket yang baik sewaktu aku tergabung dalam tim sekolahku dulu. Tapi realita menamparku keras-keras, yah memang sulit untuk menjadi keluarga orang kurang mampu dan memiliki mimpi besar, apalagi tidak disertai bakat yang memadai.

Beberapa kali aku mencoba menghubungi teman-teman setimku dulu , namun mereka kerap kali mengabaikanku layaknya jaman sewaktu mereka bermain denganku sudah habis. Aku tidak bisa menyalahkan mereka juga, mungkin memang sewajarnya hal itu terjadi karena dunia selalu berputar dan keadaan selalu berubah. Jika kuselidiki lagi lebih dalam, dulu aku menganggap seluruh sekolah itu temanku. Betapa periangnya aku dan betapa cerewet nan menyenangkannya aku dahulu, yang jelas sangat berbeda dengan aku yang menyedihkan dan separuh hidup seperti zombi sekarang ini. Wajar saja, mungkin karena seiring berjalannya waktu manusia dapat berubah.

Kami berjalan semakin menanjak terus selama beberapa menit terakhir, entah tempat lamaran apa yang berada di dekat pegunungan. Sang sopir grab nampaknya mulai kebingungan dengan arah tujuannya, tentu saja begitu juga aku. Pada peta di gadgetku menunjukan lokasinya, tetapi alamat rumah tersebut memang tidak berada di peta. Beberapa menit berselang dan kita tetap tidak menemukan rumah, beberapa kali salah alamat dengan masuk ke rumah penduduk. Bertanya pada penduduk pun tidak ada gunanya karena mereka tidak tau tentang alamat yang kumaksud. Ditipu? ya , tentu saja betapa bodohnya aku asal saja pergi pada surat lamaran dari orang jahil yang mengirimku pesan. Berdoa saja semoga siapapun yang mengirim pesan itu sekarang tidak sedang membuntutiku dan tertawa terbahak-bahak melihat orang bodoh yang percaya begitu saja dengan pekerjaan lewat pesan.

09.45 Akhirnya supir itu tidak sanggup lagi terus mencari sesuatu yang entah ada atau tidak, ia menurunkanku tepat pada titik destinasi di peta. Tidak ada yang bisa kucegah untuk meminta supir itu mengantarku lebih lama, toh aku juga tidak yakin kalau tempat yang sedang kutuju memang ada. Aku menyandarkan setengah badanku pada pembatas jalan, tidak banyak kendaraan yang lalu lalang entah mengapa. Suasana pegunungan memang masih dingin walau matahari sudah memunculkan rupanya.

Aku melihat ke sekelilingku, tidak ada apapun selain pohon cemara yang berdiri menjulang dimana-mana. Sejenak terpikir untuk kembali ke rumah, namun separuh dari diriku merasa tidak ikhlas karena sudah menghabiskan cukup banyak uang sakuku untuk pergi ke tempat ini. Aku terdiam melamun ke arah pohon cemara yang tingginya menjulang sendiri lebih tinggi dari yang lainnya.

'Cemara yang berbeda dari yang lainnya, kasihan' gumamku.
'Cemara.' gumamku lagi entah merasa sesuatu tentang cemara mengganggu pikiranku. Dan beberapa detik kemudian aku mengumpati diriku yang bodoh ini.

Siapapun yang memberi surat lamaran itu memang sepertinya kurang kerjaan ataupun jailnya kelewatan jenius. Aku merogoh kantong kananku kemudian kuambil gadget dan kuperiksa kembali pesan itu. Mau tidak mau aku tertawa kecil seakan sesuatu tengah menggelitiki perutku. Jantungku lagi-lagi berdetak lebih kencang dari sebelumnya, entah mengapa aku merasa sangat bersemangat dan antusias hingga aku berbicara sendiri. 
"Perhatikan cemara dan lampunya. Oh, ini pasti menarik."

Aku berjalan dengan percaya dirinya memasuki hutan cemara itu. Aku tidak melihat adanya tanda lampu atau apapun, dan tentu saja mungkin menebak itu tidaklah sulit ,mungkin. Pohon Cemara tidak memiliki daun yang lebat seperti pohon lainnya, jadi mudah saja bagiku untuk mengikuti arah matahari pada saat itu. Aku melirik kiri kanan tidak ada apapun, hanya pepohonan dan rerumputan hijau, suasana disana begitu damai dan sejuk. Mungkin jika memang ini semua ulah orang jail pun tidak masalah, ini tempat yang bagus untuk bersantai.

Beberapa menit aku berjalan belum ada perubahan apapun. Sesaat aku mulai ragu walau aku terus melangkah maju tanpa henti. Rasa penesaranku sudah mengalahkan keraguanku sejak pagi tadi. Hingga akhirnya pertanda bagus muncul begitu saja dihadapanku. Kulihat didepanku bukan lagi rerumputan yang menjadi pijakan melainkan tanah berwarna coklat selebar dua kali badanku. Entah pertanda bagus atau bukan, tetapi aku merasa bahwa ini jalan yang benar.

Mungkin jalan setapak ini tidak pernah digunakan, karena jalan itu begitu mulus tanpa adanya bekas ban maupun bekas telapak kaki manusia. Rumput-rumput liar ternyata yang menutupi jalan setapak sebelumnya hingga tidak terlihat lagi. Jika tebakanku benar, mungkin jalan ini sudah tidak digunakan paling lama selama sebulan. Sejenak terlintas dipikiranku bahwa aku akan menjadi pemotong rumput, tapi betapa bodohnya. Pemotong rumput tidak memiliki resiko nyawa. Tentu saja bisa beresiko nyawa, jika yang dipotong bukanlah rumput liar, melainkan mahkluk hidup.

Beberapa meter sudah aku berjalan, perasaanku menjadi sedikit lega. Ternyata jalan tersebut memiliki pembatasnya berupa batu bata yang dipasang berjejeran. Awalnya batu tersebut tidak mudah dilihat karena rumput liar, tapi seiring aku berjalan akhirnya dapat kulihat batu bata tersebut lebih jelas. Dan kabar bahagianya lagi, akhirnya aku melihat penghujung jalan dimana sinar matahari menyembur menyilaukan cahayanya. Tentu saja kabar buruknya aku bakal kepanasan, tapi kabar baiknya aku dapat mengetahui kebenaran dari semua ini.

Keringat mulai bercucuran dari badanku, entahlah sepertinya menggunakan kemeja lengan panjang bukan kostum yang pas untuk hari ini, bahkan sepatuku harus kotor karena tanah. Aku harap seseorang yang mewawancaraiku maklum akan semua ini. Aku akhirnya berada di penghujung jalan setapak, sinar matahari membuyar begitu saja sehingga kau harus menutupi kedua mataku untuk menyesuaikan masuknya cahaya. Jalan tanah tersebut kembali digantikan dengan rumput, tapi kali ini bukan rumput liar yang akan sakit jika berjalan tanpa alas kaki. Rumput ini sepertinya dipotong dan dirawat dengan baik secara berkala. Akhirnya mataku dapat menyesuaikan dan aku pun melihat ,dan--
'Woww!'
Aku melongo entah mulutku terbuka atau tidak yang pasti aku kehabisan kata-kata. Dibalik dari rimbunnya hutan, ternyata terdapat lapangan terbuka seluas lapangan sepak bola. Rumput menghampar luas sejauh mataku memandang, dan kemudian kulihat sebuah mansion (rumah besar) yang sama spektakulernya dengan semua itu. Kulupakan semua keraguanku sejenak, yang ada hanyalah rasa syukur pada diriku sendiri karena membiarkan rasa penesaran menuntunku.

Sebenarnya rumah itu tidak terlihat terlalu besar jika dibadingkan lapangan itu, namun sewaktu aku berjalan mendekat rumah itu memang terlihat seperti raksasa. Mungkin ini merupakan 4 rumah yang disatukan, ada sekitar beberapa pintu masuk sehingga membuatku bingung harus memilih yang mana. Rumah itu separuh nya berwarna merah kecoklatan seperti batu bata, sementara bagian atasnya berwarna putih dengan garis-garis berwarna hitam berpola kotak-kotak. Orang bodoh sepertiku pun tahu bahwa rumah ini merupakan orang kaya, dan berurusan dengan orang super kaya biasanya memang membutuhkan nyawa, masuk akal juga. Kurogoh kantongku dan kuambil kembali gadgetku, '09.58' Yah, sepertinya aku tepat waktu.

Jantungku berdebar-debar saatku menaiki tangga yang melingkar itu dan mengetuk pintu. Sepertinya aku tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila, akhirnya aku sampai juga pada ujung rasa penesaranku. Entahlah rumah seperti ini mungkin tidak menggunakan bel, atau mungkin ada cctv , yah apapun pokonya lebih baik aku mengetuk. Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki yang mendekati pintu, kemudian ia memutar kuncinya dan membuka pintu. Dan munculah seorang pria asia berambut hitam berkulit putih mengenakan kemeja dan celana hitam. Ia mengenakan kacamata , mukanya bulat sejenak kuperhatikan ada beberapa bekas luka di mukanya. Awalnya ia melihatku dengan kaget, namun akhirnya ia tersenyum. Aku menunjukan pesan yang ada di gadget ku dan kemudian ia mempersilahkanku masuk.

Ruang di dalam tidak terlalu berbeda dengan luarnya, warna temboknya sama persis seperti diluar. Tidak ada suara apapun, tempat itu begitu sepi hingga bunyi butiran air yang terjatuh dapat terdengar. Ruangan itu berbau khas pepohonan dan daun, kulihat perabotan disana dibuat dari kayu yang mengkilap kecuali sofa nya. Pria itu duduk di salah satu kursi, kemudian ia mempersilahkanku duduk dihadapannya. Berdasarkan bekas-bekas dilukanya mungkin pria ini dulunya seorang berandalan atau tukang pukul sewaktu ia sekolah, tapi sifatnya begitu tenang dan ramah untuk menjadi seorang berandalan. 
"Kau datang tepat waktu sekali." 
"Lebih baik datang lebih awal tiga jam daripada telat 1 menit kan?" 
Pria itu tertawa kecil sehingga dapat kulihat sedikit lesung pipinya. 
"Pecinta hamlet kah?" 
Aku hanya mengangkat kedua bahuku menanggapinya, sebenarnya itu merupakan pertama kali dan terakhirnya aku membaca novel romantis, tapi biarlah tidak terlalu penting mungkin. 
"Perkenalkan, aku Sagan Theodore. Kuduga kamu sudah membaca semua persyaratannya?".
Aku mengangguk sambil memberitahukan namaku, yah walau itu sepertinya tidak perlu. 
"Dan alasan kamu tetep ingin mengambil pekerjaan ini? Kuduga bukan hanya untuk uang saku?"
"Menurutku persyaratanmu menarik, walau gila. Bolehkah aku bertanya sekarang?" 
"Tentu. Upah?" 
Aku menggelengkan kepala dan kusambung, " Mengapa harus aku?" 
Kuduga pria itu cukup pandai mengendalikan ekspresinya, setelah aku bertanya tentang hal itu raut senyum yang terpampang dimukanya lebih terlihat seperti dipaksakan. 
"Dan mengapa kau berpikir begitu?" 
"Karena kau mencantumkan namaku, yah mungkin itu tidak ditujukan untuk umum jadi kupikir." Entahlah aku tidak terlalu yakin dengan yang aku pikir, tapi sepertinya jawaban itu bukan pertanda bagus. Pria itu melepas kacamatanya di meja , dan ia menyatukan kedua tangannya seperti orang berdoa. Senyum ramah diwajahnya hilang digantikan dengan raut muak tanpa ekspresi. Nampaknya basa-basi telah usai untuknya dan sekarang waktunya untuk berbicara cukup serius. Jantungku sempat berhenti sejenak dengan perubahan suasana yang begitu cepat dan drastis, namun karena semua ini memang sudah mungkin terjadi aku coba untuk menenangkan diriku lagi. 
"Jika begitu mungkin kamu sudah mengira-ngira tentang pekerjaanmu. Dan mungkin menjelaskannya tidak akan begitu sulit."

Pria itu menjelaskan pekerjaanku secara luasnya, walau memang terdengar cukup rumit. Ia berbicara bahwa aku akan bekerja untuk salah satu perusahaan senjata yang cukup besar, walau ia tidak berbicara itu dengan nada bangga. Aku akan menghadiri sebuah pernikahan seorang mafia, dimana aku akan berpura-pura menjadi tunangan dari pemilik perusahaan kami, aku cukup yakin saat ia menyebut kata 'tunangan' mukaku meledak karena merona. Sebenarnya aku tidak terlalu pandai berurusan dengan perkara itu, tapi mungkin berpura-pura tidak sesulit itu, tapi mari lupakan itu sebelu mukaku meledak lagi karena merona. Ia lanjut menjelaskan bahwa dalam pernikahan itu akan diadakan banyak negosiasi dari pihak-pihak lain sehingga ada kemungkinan terjadinya baku tembak. Dan ia bicara 'baku tembak' layaknya itu bukan apa-apa. Walau sebenarnya aku tidak tau apa hubungannya pernikahan yang seharusnya menjadi kebahagiaan akan berakhir menjadi peperangan. Tugasku dalam pernikahan itu hanyalah melindungi 'tunanganku' kemudian menjadi telinga dan mata mereka, yah cukup simpel berdasarkan penjelasannya. Kemudian hal terakhir yang ia bilang hanyalah bahwa kemungkinan terjadinya baku tembak dalam negosiasi hanyalah kemungkinan, jadi ada kemungkinan bahwa aku akan mendapatkan upah secara cuma-cuma. Semuanya masih tidak terlalu mengejutkan walau pekerjaanku bukan menjadi seorang pemotong rumput, atau korban dari eksperimen gila.
"Itu semua ga ngejelasin kenapa harus aku." 
"Tolong jangan dimasukan ke hati perkataanku sekarang. Pertama, kamu bukan orang kaya sehingga lebih terkesan bahwa kamu yang membutuhkan kami dibanding kami yang membutuhkan kamu, karena kamu butuh uang. Kedua, kami butuh orang yang niat walau sudah dengan persyaratan seaneh itu, contohnya seperti sedikit teka-teki tentang tempat ini. Dan terakhir, kamu bukanlah orang yang begitu mencolok baik dalam sekolah maupun dalam masyarakat, sehingga jika terjadi sesuatu memalsukan kehilanganmu lebih mudah." 
Walau perkataannya memang terkesan menyakitkan, tapi semuanya memang masuk akal. Sebenarnya aku ingin bertanya tentang bagaimana ia menemukanku, tapi setelah kupikir-pikir mungkin bagi perusahaan besar tidak akan sulit melacak beberapa orang sesuai keinginan mereka. Aku mengangguk menanggapinya, kemudian kulanjutkan bicara.
"Jadi, sekarang aku harus apa? Mungkin mafia gabakal nikah siang-siang?"

Akhirnya suasana serius itu mulai luntur, ia tertawa mendengar perkataanku yang membuat lesung pipinya terlihat jelas.

"Pernikahan jam 5 sore, sedangkan sekarang masih jam 10.30. Kita bakal kumpul lagi sekitar jam 2. Mungkin lebih baik kamu tidur dulu sekarang, mari kutunjukan kamarnya." 
"Kalo aku gabisa tidur? Susah juga tidur lama-lama pada jam segini untuk orang normal sepertiku." 
"Oh kami juga normal kok. Kalo kamu gabisa tidur yah kamu bebas mau ngapain juga, makan apa aja yang ada, jalan-jalan. Hanya saja, tolong jangan naik ke lantai 2." 
Ia memberi penekanan yang cukup dalam dalam kata-kata terakhirnya, seperti 'kau ke lantai 2 kau mati.', yang walau sebenarnya jika ia berbicara begitu hanya membuatku semakin penesaran. Ia mengenakan kembali kacamatnya dan beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah pintu menuju ruangan lain. Pada saat yang sama aku hendak mengambil gadget dari kantung celanaku dan memberi kabar pada orangtuaku bahwa aku akan pulang cukup larut hari ini, dengan anggapan aku dapat pulang. Namun sebelum aku bahkan sempat untuk menyalakannya, pria itu mencengkram tanganku dengan sangat keras hingga sedikit menyakitiku. Ia menatapku dengan tatapan penuh amarah yang sekarang hanya berjarak beberapa senti dari mukaku. Namun beberapa saat kemudian ia nampaknya seperti baru sadar telah mencengkramku begitu kuat sehingga ia melonggarkan cengkramannya. 
"Maaf, tapi bisakah kau memberikan gadget mu itu? Akan aku kembalikan setelah semua ini usai." Aku memberikan gadgetku tanpa bantahan lebih lanjut, aku mengerti mengapa ia bereaksi seperti itu, ini hanyalah masalah kepercayaan ,dan tidak mungkin seseorang percaya orang yang baru dikenalnya. Ia mengambil gadgetku, menaruh disakunya dan kemudian membalikan badan kembali sambil membuka pintu. Aku mengikutinya, tapi ia berhenti lagi layaknya ia melupakan sesuatu, kemudian ia berkata dengan nada yang datar mengancam tanpa emosi. Walau nadanya datar tanpa emosi, aku sekarang memiliki alasan untuk tidak penesaran dengan apa yang berada di lantai 2 dan alasan yang cukup kuat untuk takut.

"Saran dariku jangan menghianati kami. Beberapa dari anggota kami terkadang tidak mengerti bahasa manusia.

Kata-katanya terngiang dalam otakku, walau setiap yang kami lewati begitu damai dan sunyi. Dimana anggota yang lain, pikirku, tapi mungkin tidak baik bertemu dua berandalan dalam kurun waktu beberapa menit jadi aku cukup bersyukur mereka tidak ikut menyambut kedatanganku. Ruangan-ruangan tersebut hebat sebagaimananya rumah orang kaya, walau memang rumah itu jelas lebih terlihat seperti rumah pada umumnya dibandingkan markas dari perusahaan senjata. Lukisan-lukisan, perabotan-perabotan, semuanya terlihat mahal dan normal dimataku. Sagan tidak berbicara apa-apa lagi selama kami berjalan menuju kamarku, entahlah mungkin jam humornya sudah habis.

Hingga akhirnya kami sampai di depan sebuah pintu, ia menyerahkan sebuah kunci kepadaku yang kuduga mungkin kunci dari ruangan itu. 
"Pikirkan lagi tentang pekerjaanmu, kau boleh kabur lewat jendela jika berubah pikiran. Dan jika tidak kembalilah ke ruangan tadi jam 2 nanti." dan ia pun pergi entah kemana. 
Tentu saja aku tidak akan kabur atau meninggalkan pekerjaanku setelah gadgetku diambil alih. Butuh beberapa tahun untuk orangtuaku untuk membelikanku barang itu yang mungkin tidak akan kudapatkan lagi jika aku meninggalkannya begitu saja. Sepertinya hasrat penesaranku sekarang mulai terkalahkan oleh rasa takut, tapi biarlah.

Aku memasukan kunci itu dan masuk ke dalam kamarku untuk beberapa jam ini. Kamar itu begitu rapih, entah memang ada seorang pelayan ruangan atau ruangan itu bekas seorang wanita. Lemari-lemari kayu besar, dan sebuah meja lengkap dengan kursinya ditata begitu rapih dan pas. Kulihat dua bilah pisau yang masih ditutupi berwarna hitam pekat yang kuduga mungkin bukan pisau untuk memotong sayuran bergeletak begitu saja diatas meja. Kuputuskan memikirkan hal itu nanti, dan kuarahkan pandangku keujung ruangan tersebut terdapat kasur yang menempel dengan tembok dekat jendela. Perkataan pria itu benar, jendela itu cukup besar bagiku untuk lewat dan kabur.

Walau tidak pas waktunya, tapi aku berbaring di kasur yang lembut dan nyaman itu. Entah kapan terakhir kali aku bisa tidur sendirian tanpa adanya adikku yang mendengkur disampingku. Setelah mendengar sejumlah perkataan pria itu sebagian dari hatiku sepertinya memintaku untuk pulang, tapi aku tidak tahu apa sebabnya. Penyebab itu ada di dalam otakku, tapi aku tidak tahu itu apa, dan semakin aku memikirkannya malah semakin menjauh jawaban itu dari bayang-bayangku. Kuputuskan untuk tidak terlalu memikirkan itu karena mungkin sudah terlambat dan fokus dengan apa yang akan aku hadapi sekarang. Badanku merasa sangat rileks dan santai, entah mungkin mencari-cari rumah ini cukup menguras tenagaku atau perkataannya yang menguras keberanianku. Angin-angin yang membelai sungguh membuatku nyaman, walau sekarang ini mungkin sudah tengah hari tapi suasana begitu sejuk. Walau aku tidak terlalu ingin, akhirnya mataku mulai memberat dan aku pun tertidur.

Entah sudah berapa lama aku tertidur aku tidak peduli. Aku sedang bermimpi begitu indah tiduran di padang rumput yang sejuk, begitu damai dan tentram layaknya aku tidak memiliki beban dan hanya ditakdirkan untuk berbaring menikmati kemalasan. Dedaunan dan rumput hanya bergerak kesana-kemari dibawa angin, oh sungguh daun yang malas. Namun perlahan aku mulai sulit bernapas, leherku terasa dingin layaknya sebuah es krim tengah menempel. Badanku membeku saat aku sedang bergerak, aku tidak bisa menggerakan seluruh badanku layaknya aku sedang ditimpa oleh sesuatu yang begitu berat bahkan aku tidak bisa menggerakan leherku. Hingga aku bangun ,dan -
'Waaa!!!!'
Untunglah aku menyimpan teriakan itu hanya dalam otakku. Tubuhku berkeringat dingin, wajah seorang wanita berkulit hitam kecoklatan hanya berjarak beberapa kepalan tangan dari mukaku. Wanita itu begitu cantik, tapi sayangnya ia sedang mencekikku sambil menodongkan sebilah pisau yang sudah menempel tepat dileherku yang kuduga itu merupakan pisau dari meja tadi. Untunglah aku hanya mencoba menggerakan leherku hanya di mimpi, jika aku mencoba menggerakannya sekarang maka aku akan merobek leherku sendiri. Sejenak kukira jantungku sudah jatuh dari tempatnya, namun benda itu akhirnya mulai berdetak lagi begitu hebat hingga aku sendiri pun yakin ia dapat mendengarnya. Matanya berwarna hitam pekat yang awalnya kukira itu sebuah lensa tapi begitu melihatnya sedekat itu aku cukup yakin kalau itu bukan. Ia sedang menduduki perutku layaknya itu sebuah matras, walau ia tidak gendut tapi itu bobot tubuhnya cukup untuk menahanku. 'Jangan memasang muka layaknya ia berat!' perintahku pada demi sendiri demi kemanan dan keselamatanku. Pada saat yang sama terlintas permohonan dalam benakku supaya apapun yang terjadi semoga saja bukan wanita ini yang menjadi tunanganku hari ini. 
"Aku tidak sudi orang selemahmu menjadi tunangan Hel walau cuma sehari." 
Mulutnya berbau pepermint anggur, dan aku pun mendeham lega mendengar pernyataannya bahwa ia bukan tunanganku. Sepertinya ia tidak terlalu suka dengan ekspresiku soalnya ia semakin mendekatkan pisaunya ke leherku sementara aku harus mundur walau tidak sebenarnya tidak bisa. 
"Pertama-tama bisakkah kita bicara sambil duduk?--" Aku baru tersadar saat melihat bahwa ia memang sedang duduk, hanya saja diatas badanku. 
"Tentu saja maksudku kita berdua bisa duduk dan bicara?" Sambungku dengan senyum permohonan agar tidak dibunuh sekarang. Sepertinya menjalin negosiasi dengan wanita memang semudah itu, ia bahkan masih harus bergulat dengan pemikirannya sendiri hanya untuk memilih membiarkanku duduk atau membunuhku. Setelah beberapa saat yang sulit untuknya berpikir, ia mulai melonggarkan cekikannya yang bisa membuatku bernafas lebih mudah. Walau terlihat sangat tidak ikhlas, ia perlahan-lahan menarik pisaunya itu dan duduk dan beranjak dari tubuhku ke ujung kasur tersebut.

Aku menghampirinya dan memberanikan seluruh tekadku untuk duduk disampingnya tanpa membuatnya mengacungkan pisaunya kembali. Ia menunduk sambil memandangi pisaunya, dan serempak aku menyadari bahwa tatapannya tadi bukan tatapan benci maupun marah, itu semua merupakan dampa dari kekhawatirannya. Entah siapa wanita tunanganku sehari nanti mungkin itu begitu berharga untuknya. Mungkin Sagan pun memiliki perasaan yang sama saat mencengkram tanganku begitu kuat tadi, mungkin ia pun khawatir pada entah siapa wanita itu. 
"Aku Dwi. Dwi Anata." kataku mencoba sedikit mengalihkan pemikirannya dari pisau itu. Ia tidak menjawab perkataanku dimana itu sedikit menyakitkanku. Ia mengenakan sebuah tank top berwarna hitam dan celana tentara. Rambutnya berwarna hitam bergelombang sepundak lebih sedikit yang sewarna dengan baju yang ia kenankan. Ia tampak begitu tidak semangat dan lesu, ia hanya menatap kosong pisau yang sekarang hendak kembali dimasukannya kedalam penutup itu. Melihatnya seperti itu membuat hatiku ikut berempati padanya, walau tadi ia hendak membunuhku, sekarang ini ia lebih terlihat baru saja kalah dalam final pertandingan basket. 
"Tenanglah. Aku akan menjaga temanmu itu. Itulah pekerjaanku hari ini." Kataku mencoba agar perkataanku setidaknya terdengar meyakinkan. Akhirnya ia menatapku, kali ini aku dapat melihat seluruh mukanya begitu jelas. Ia berkulit hitam kecoklatan, matanya yang hitam melihatku dengan tatapan bingung yang harus kuakui ia terlihat imut walau tetap menakutkan dengan sebilah pisau yang ada didekatnya. 
"Maksudmu hari ini?" 
"Ya, aku hanya untuk bekerja untuk kalian hari ini. Dan ngomong-ngomong siapa namamu?"

Ia sepertinya sedikit terganggun dengan hal yang kami bicarakan tapi ia nampaknya perlahan mengerti. 
"Aku Thalia. Dan sebaiknya kamu memegang kata-katamu 'Dwi', jika tidak aku bersumpah demi seluruh dewa yang ada untuk mencarimu dan sisanya kau tahu sendiri." 
Entah darimana ia mendapatkan semangat membunuhnya kembali, bahkan ia mengucapkan namaku layaknya itu sesuatu yang menjijikan seperti kecoa terbang. Setidaknya melihatnya bersemangat seperti ini lebih baik daripada melihatnya lesu. 
"Tenanglah, aku saja tidak bisa bergerak saat kamu menduduki--" Mulutku seperti tersumpel begitu saja, memang seharusnya aku memerhatikan apa yang aku katakan. Aku melihatnya memalingkan wajahku sedikit demi sedikit ke arahnya bersiap dengan apa yang akan pisau itu lakukan. Dan oh untunglah demi dewa keberuntungan! Ia tidak menyadarinya. Malahan bibir merah kecoklatannya mulai melebar sedikit demi sedikit dan ia pun tertawa hingga aku dapat melihat gigi-gigi putihnya. Aku bersumpah mungkin akan menyukainya jika aku melihatnya tertawa lebih dulu daripada melihatnya ingin membunuhku kemudian tertawa. Aku pun ikut tertawa kecil bersamanya, hatiku sekarang cukup tenang karena kematianku mungkin akan diundu-. Aku baru menyadari bahwa aku sekarang hanya tertawa sendiri, kemudian aku melihat ke arahnya. Senyuman manisnya sudah hilang, ia menatap lurus datar tanpa ekspresi. 
"Jadi maksudmu-" Ia menahan kata-katanya yang datar tanpa ampun disitu sambil hendak mengambil pisau yang berada disampingnya. 
"Aku gendut ya?" Aku masih mencoba memberikan senyuman permohonan, namun sayangnya itu tidak berhasil dua kali. Dan--
"Bukk!!"
Aku mati.

Di kematianku, aku melihat diriku saat dulu masih sekolah menengah. Sorak sorai penonton bergemuruh di lapangan itu, sementara kulihat diriku sedang bermain di lapangan. Melihat diriku sendiri dari sudut pandang lain sedikit membuatku geli, aku jadi teringat dulu aku begitu kecil yang membuatku terlihat seperti kurcaci diantar pemain basket lainnya. Melihatku yang penuh gairah, penuh semangat dan ambisi saat itu memang terlihat begitu menyenangkan sekaligus begitu menyakitkan karena sekarang semua tidak sama lagi. Aku ingat pertandingan itu, itu merupakan pertandingan final terakhirku semasa di sekolah menengah dan aku kalah sangat tipis saat itu. Sesudah pertandingan itu kami semua satu tim menangis bersama seperti anak kecil, tapi itu juga merupakan bagian yang menyenangkan, sedih dan senang bersama. Sorak sorai penonton semakin bergemuruh, timku tertinggal beberapa poin dan pertandingan telah mencapai menit-menit akhir. Walaupun memalukan tetapi aku tidak menyangka diriku pernah bersinar seterang itu dulu, disaat kritis seperti itu pun aku tetap menyemangati temanku. Aku begitu optimis akan segala hal saat itu dan merasa bisa melakukan segalanya jika berusaha yah walau akhirnya kami kalah.

Pandangan berubah menjadi saat aku sendiri di ruang ganti yang sedang merenung. Pada saat itu perasaan sedih membanjiriku, namun bukan karena aku kalah, malah melainkan fakta bahwa ini merupakan pertandingan terakhir untuk tim kami. Aku mengingat kejadian ini, kejadian yang membuka seluruh pandanganku. Aku mencoba menutup mata, aku tidak mau mengingat kembali kejadian ini dua kali, tapi nampaknya mimpi tidak mengijinkanku. Beberapa saat terdengar bunyi langkah sepatu, bunyinya begitu teratur dan tenang. Hatiku berasa remuk bahkan bernafas serasa berat walau dimimpi. Aku lebih baik harus terbangun saat Thalia mencekiku, mungkin itu akan lebih baik daripada aku harus melihat semua ini. Tapi aku tidak terbangun, aku tetap melihat diriku sementara suara langkah kaki yang mulai mendekat. Dan munculah dia.

Ia berdiri bersandar di pintu dan melihatku yang sedang duduk bersedih. Wanita itu berkulit putih kecoklatan rambutnya berwarna coklat terang diikat kuda sementara matanya berwarna biru samudra sedang melihatku datar tanpa ekspresi. Aroma tubuhnya begitu khas hingga walau ia tidak berbicara diriku dalam mimpi itu dapat menyadari bahwa ia ada di dekatku. Walau tidak ingin, tapi hatiku tidak bisa berbohong jika ia memang begitu cantik bahkan saat memakai seragam. Diriku yang masih merah mukanya bekas nangis hanya tersenyum bodoh melihat wanita itu. Aku mencoba menutup kedua kupingku, aku tidak ingin lagi mendengar pembicaraan bodoh ini, aku tidak ingin hidup dalam masa lalu. 
"Menyerahlah. Untuk orang kurang mampu sepertimu melakukan semua ini hanya membuang waktu. Di Negara ini atlet tidak begitu didukung dan butuh biaya mahal untuk pergi ke luar negri." Percumah saja, suaranya yang lembut tapi tanpa emosi itu masih dapat kudengar. Bahkan dengan posisiku yang sekarang ini, mendengarnya berbicara seperti itu masih begitu terasa berat dihatiku, seaakan lubang yang kutambal mulai terbuka kembali. Diriku pada saat itu hanya terdiam tidak dapat membantah semua perkataannya, karena memang semua yang ia katakan pun benar. 
"Aku tidak ingin punya cowo yang suka berhayal. Mungkin mendingan kita udahan aja." 
Dan ia pun lenyap. Ia mengucapakan semua perkataan itu layaknya ia bilang 'hallo' dan 'dadah'. Hatiku serasa remuk. Rasa sakit yang dulu tengah kualami seperti terjadi kembali. Aku tidak percaya aku dulu pernah menyukai perempuan seperti dirinya, walau memang ada banyak alasanku untuk menyukainya. Mulai dari kejadian itu aku tidak pernah lagi melakukan hal yang tidak memberiku keuntungan atau kegunaan, aku jadi membenci hal-hal yang berbau romantis. Aku mencoba menjadi realistis seperti yang dia inginkan dengan harapan ia akan kembali. Namun percuma saja, setelah kelulusan ia menghilang entah kemana. 
'Aww!' 
Seseorang sepertinya telah mencubit pipiku dengan sangat keras. Pengelihatanku tentang dirku perlahan mulai menabur bagaikan sinyal tv yang buruk. Aku mulai dapat merasakan seluruh kujur tubuhku lagi, sejenak aku ingat bahwa pipiku baru saja terkena pukulan keras dari Thalia. Seseorang sepertinya tengah memukul pipiku lagi, karena begitu sakit tak karuan. Dan aku pun terbangun. 
 

dug!. Lagi-lagi aku terbangun dengan seorang wanita didekatku. Tapi untungnya kali ini wanita itu tidak menodongkan pisau ataupun mendudukiku. dug!. Kulitnya berwarna putih cerah sedangkan warna matanya berwarna merah kecoklatan. Ia mungkin sekitar 2 atau 3 tahun lebih tua dariku dan nampaknya sedang mengganti kapas tanpa menyadariku yang sudah bangun. Kuduga kapas untuk mengobati luka di pipiku yang membengkak akibat pukulan Thalia. dug!. Ia mengenakan kemeja putih dan kaos berwarna hitam polos didalamnya. dug!. Kurasakan sesuatu yang lembut dan hangat tengah menggenggan tanganku, dan sesaat langsung kusadari bahwa ia sedang memegang tanganku. dug! . Serempak mukaku meledak dan memerah merona, aku ingin memalingkan muka cuma aku tau bahwa ia akan menyadarinya. Tapi sebelum aku sempat memikirkan hal itu, ia sudah memalingkan wajahnya ke arahku sambil mengarahkan sebuah kapas yang sudah dibasahi obat. Pandang kami bertemu, entah mengapa suhu tubuhku naik drastis begitu saja, bahkan detak jantung yang sudah meledak-ledak sedari tadi semakin mendobrak keluar yang kuharap ia tidak menyadarinya. Tangannya masih menggenggam tanganku, nampaknya ia sedikit terkejut melihatku yang babak belur ini sudah bangun dengan mukaku memerah dan keringat yang bercucur. Aku tidak bisa menenangkan diriku, bahkan aku tidak mampu memalingkan wajahku darinya. 
"Cinta yang dicari adalah baik, tetapi membiarkannya tanpa dicari, adalah lebih baik" Gumamku. 
Sepersekian detik setelah aku berbicara itu aku menutup mulutku rapat-rapat. Oh tidak tidak tidak, apa yang aku lakukan. Mukaku semakin memerah, mungkin dalam hitungan beberapa detik akan meledak. Entahlah, sepertinya aku harus mencari Thalia untuk membunuhku dari rasa maluku sekarang. Aku memalingkan mukaku, aku tidak sanggup melihat raut mukanya yang menyangkaku orang gila atau orang yang melantur.

Keheningan membanjiri kamar itu. Bahkan suara kapas yang jatuh pun dapat kudengar, dan mau tidak mau aku melihat ke arahnya. Ia menutup mulutnya dengan satu tangan sementara satu tangannya lagi tetap menggenggam tanganku. Ia tertawa, entahlah sepertinya ia tertawa ditutupi seperti itu mungkin karena menghargaiku. 
"Tidak apa, tidak perlu ditahan." kataku. 
Kemudian ia membuka tangannya, ia seperti sedang menahan tawa sehingga yang terdengar hanyalah bunyi nafasnya yang keluar secara paksa. Ia tersenyum cukup lebar yang lagi-lagi membuat jantungku semakin bergejolak yang sekarang bahkan menyesakan nafasku. 
"Sesuaikan tindakan dengan ucapan, dan ucapan dengan tindakan" Saat ia berbicara aku bersumpah senyumannya lain dari yang tadi, senyuman ini adalah senyuman jail yang mengesalkan. 
"Berbicara tanpa melakukan, adalah salah satu jenis perbuatan" 
" Tetapi kata-kata bukanlah perbuatan" 
"Oh, Bisakah kita berhenti membicarakan Hamlet ini?"
"Oh! Kau yang memulai."
Aku terdiam melihatnya tersenyum penuh kemenangan dengan senyum jahilnya. Sekarang aku punya hal untuk membencinya. Wanita ini entah siapapun sangat suka menggoda seseorang. Tetapi sayangnya semua itu terlambat.

Suatu hari pada 24 Desember 2017, Seorang pria biasa jatuh cinta pada seorang putri. Kemudian sang putri tersenyum. Karena ia mengetahuinya. 


 

Untunglah suasana canggung itu dapat diatasi dengan mudah berkat godaannya yang mengesalkan. Disaat aku bertanya apakah ia suka membaca buku seperti novel juga ia hanya menjawab beberapa. Dan 'beberapa' yang ia maksud melebihi lebih dari banyak novel yang kubaca. Entahlah ia memiliki waktu darimana hingga dapat membaca dan memimpin sebuah perusahaan senjata. Bisa jadi kabar baik atau kabar buruk karena ialah yang akan menjadi tunanganku selama sehari, tentu saja hatikulah yang berbicara bahwa ini kabar baik dan kabar buruknya aku takut benar-benar jatuh padanya. Tapi mari tidak usah memikirkan itu dan nikmati lah saat-saat ini.

Namanya Helena Sylvia, dipanggil Hel. Entahlah mungkin dipanggil Helen atau Silvi lebih mudah ketimbang Hel yang mirip dengan 'Hell' atau neraka, tapi biarlah sesukanya. Ia bertanya tentang bagaimana kehidupanku , aku menjawabnya tentang bagaimana keluargaku dan kehidupanku yang seperti zombie. Ia masih menggenggam tanganku sambil mengobati bengkak yang berada dipipiku, walau terkadang ia tidak halus kepada pipiku yang berdenyut-denyut ini, tapi suasana ini tidaklah begitu buruk. Kami bercerita bisa dibilang cukup terbuka, aku bertanya tentang bagaiman kehidupannya dan ia bercerita bahwa ia terkadang harus melakukan transaksi dengan baku tembak atau ledakan yang dibuat oleh salah satu anggotanya. Keluarganya tidak kalah menakjubkan, ayahnya merupakan salah satu pemasuk baja besi emas, kakak perempuannya merupakan seorang ilmuan yang kuyakini aku tidak ingin menemuinya dalam waktu dekat. Terkadang saat ia bercerita bagaimana mewah dan berbahayanya hidupnya aku terkadang merasa iri, begitu juga dengannya yang terkadang iri dengan kehidupan sederhanaku. Menurutku sangat bodoh jika ada orang yang iri terhadap hidupku, namun aku mengerti. Ia tidak bisa pergi kemana-mana dengan bebas karena ia bilang bahwa seorang pemimpin dari perusahaan senjata memiliki banyak musuh, mendengarnya memberiku sedikit empati untuk memberi ia pekerjaan menjadi tunanganku selama satu hari di rumahku yang sederhana. Yah, walau memang tidak terdengar bagus. Kemudian ia bercerita tentang anggota-anggota timnya, pertama ia bercerita tentang Sagan yang menjadi seorang agen perantara, informan, dan apapun itu aku tidak terlalu mengerti. Kemudian ada Thalia yang memukulku yang bertugas sebagai semacam bodyguard, Hel bilang Thalia tidak sengaja memukulku tapi aku tidak mau mengungkitnya bahwa aku bilang bahwa Thalia gendut walau secara tidak langsung. Thalia merupakan mantan anggota pasukan khusus wanita yang namanya terlalu sulit untuk kusebut dilidahku, dan tidak mengherankan satu pukulannya untungnya hanya membuatku pingsan dan bengkak-bengkak. Ada John sang pria hitam berkacamata perakit bom, sebenarnya ia ahli kimia tapi ia sangat terobsesi pada bom. Hel bilang hobinya adalah meledakan sesuatu tetapi hasilnya harus berakhir sesuai dengan keinginannya, entahlah bukan orang yang ingin kutemui kecuali aku sedang butuh ledakan untuk mengeluarkan jantungku yang belum tenang. Kemudian ada Mura seorang mantan anggota tentara, ia biasanya bertugas menjaga Anggota tim mereka dari jarak jauh saat bernegosiasi karena ia seorang penembak jarak jauh. Kemudian ada Frank yang bisa dibilang tangan kanannya karena ia orang yang berada disisinya paling lama, kuduga pria itu sudah cukup tua. Kemudian ada Philip seorang supir segala kendaraan, Hel bilang jika aku sedang butuh tumpangan super cepat maka aku harus menghubungi Philip, dan aku tidak tertarik menghubunginya karena berdasarkan bagaimana cara ia memberitahu pasti Philip ini sama anehnya dengan kawannya yang lain. Dan yang terakhir ada Diana, ia merupakan ilmuan yang begitu terobsesi tentang segala hal yang otomatis, karena ia terlalu malas. Diana tidak sering berkumpul dengan mereka, dan kutebak pasti si Diana ini terlalu malas.

Kutebak mungkin ketujuh anggota timnya cukup berarti untuknya. Berdasarkan cara ia menjelaskan pastilah ketujuh orang ini bukan hanya sekedar bawahannya. 
"Ngomong-ngomon, makasih udah megang tanganku waktu aku tidur." Entah mengapa aku tiba-tiba ingin berbicara seperti itu walau butuh waktu untukku menyelsaikan kata-kata itu.
"Sewaktu aku datang kamu sudah tertidur dan kamu berkeringat sambil berbicara kata-kata yang aku tidak mengerti jadi aku memegang tanganmu dan kamu jadi cukup tenang setidaknya. Kuduga mimpi buruk?" 
Tunggu sebentar. Apakah barusan ia bilang aku mengigau? Oh semoga saja bukan sesuatu yang penting. Mendengarnya memegang tanganku karena aku mimpi buruk membuatnya lebih terlihat seperti kaka atau ibuku dan aku merasa begitu tidak berguna. 
"Yah sesuatu kekanak-kanakan. Mau dengar?" 
Matanya berbinar-binar ingin tahu dan ia pun mengangguk.

Aku bercerita padanya tentang bagaimana pertandingan bola basketku hingga bagaimana kejadianku di ruang ganti yang sebenarnya tidak ingin kuungkit. Namun karena Hel begitu terbuka, aku jadi merasa ingin bercerita. Aneh juga, aku baru bertemu dia beberapa menit mungkin dan begitu mudah berbicara sesuatu kepadanya. Ia mengangguk mendengar ceritaku sambil berkali-kali berkomentar 'Apakah kamu menang?' 'Kalah berapa angka?' hingga ceritaku yang seharusnya singkat menjadi cukup panjang. Hingga pada bagian akhir dimana aku bertemu dengan wanita itu, entah mengapa ia mulai diam dan tidak banyak bertanya. Saat aku mulai pada bagian dimana wanita dalam mimpiku berbicara padaku, kuraskan ia menekan kapas ke pipiku yang bengkak terlalu kencang hingga aku berpikir mungkin itu akan membuat bengkaknya semakin menonjol. Kemudian setelah aku asik bercerita aku melihat kembali ke wajahnya, ia hanya tersenyum. Tapi kali ini bukan senyum hangat maupun senyum menggoda, kuyakini ini senyum lain yang ia miliki seperti senyum peringatan 'Lanjutkan ceritamu dan kubuat bengkakmu menjadi dua.'. Kemudian ia kembali menekan kapas ke pipiku namun kali ini lebih keras dari sebelumnya hingga aku harus sedikit menghindar. Sejenak suasana ruangan berubah, ia terus saja mencelupkan kapas itu ke dalam cairan obat dan menekanku semakin lama semakin keras hingga aku terkadang harus sedikit meronta. Apa yang salah kali ini dengan wanita ini, pikirku. Aku berpikir sejenak sebelum ia sempat menekankan kapasnya kembali kepipiku. Dan terlintaslah ide gila. Apakah ia Cembur--
"Jangan bercerita tentang mantanmu didepan Tunanganmu." 
Balasnya datar sambil tetap tersenyum yang sekarang terkesan lebih menakutkan. Sejenak pemikiranku menjadi bercampur aduk, entahlah malahan bodohnya ada sebagian diriku yang senang dengan responnya tapi sebagian dari diriku terlalu takut untuk menanggapinya. Tetapi mari kita selamatkan pipiku dulu. 
"Itu cuma masa lalu. Sekarang sudah berbeda." Kataku mencoba terdengar lebih meyakinkan.
"Tapi kau masih sakit karenanya." 
Entahlah apakah ia semacam ratu debat atau apa. Sangat sulit memenangkan argumen darinya. Pada saat yang sama ia sedang menarik kapas yang ditangannya keluar dan mengarahkannya kembali ke arah pipiku. Secara refleks langsung kugenggam pergelangan tangannya, aku baru menyadari bahwa ia begitu kurus, bahkan pergelangannya dapat kugenggam sepenuhnya. 
"Percayalah padaku."
Mukaku meledak merona karena kata-kata yang begitu menggelikan keluar dari mulutku, sehingga aku memalingkan mukaku darinya karena malu. Namun saat aku memalingkan pandanganku ke arah pintu kulihat seorang wanita mengenakan tanktop hitam dan celana tentara sedang membawa handuk dan melihat kami sambil melongo. 'Oh Demi Dewa Dewi betapa tidak beruntungnya aku.'. Hel melepaskan genggaman tangannya dariku dan beranjak pergi dari kursi disampingku. Ia berjalan ke arah pintu dan sebelum ia menghilang dari pintu ia bicara pada Thalia. 
"Tolong jangan buat dia terlalu babak belur, dia harus pergi ke pernikahan denganku. Tentunya kau tidak ingin aku pergi dengan seseorang yang babak belur kan Lia?" 
Kemudian ia tersenyum jahil ke arahku sambil memamerkan sedikit lidahnya dan hilanglah dia dari pandanganku. Aku mengumpati diriku , aku bersumpah aku membenci wanita itu. Tapi sebelum aku sempat membalaskan dendamku, Thalia berjalan ke arahku dengan tatapan yang kurang menyenangkan. Dan aku mati. Lagi.

 

Lagi-lagi aku diduduki dan dicekik, ini semua terasa seperti dejavu. Thalia mengira aku akan membawa Hel pergi, entah otaknya sudah terbentur apa. Mana mungkin aku berani-berani menculiknya disaat ia sudah bercerita tentang gilanya anggotanya. Membujuknya tidak lah mudah, untungnya ia tidak sesulit Hel. Butuh beberapa menit bagiku hanya untuk menenangkannya, tentu saja aku tidak menceritakan kejadian sebenarnya padanya tentang pembicaraanku tadi. Bisa saja pisau yang tergeletak dimeja itu ia todongkan kembali kearahku jika aku bercerita yang sebenarnya. Aku harus menceritakan bagaimana lemahnya diriku dan keadaan keluargaku yang tidak memungkinkan untukku menculik seorang pemimpin perusahaan senjata. Dipaksa bercerita karena keadaan hidup dan mati bukan perkara mudah, aku harus bercerita tanpa boleh berbicara hal yang akan menyinggungnya dan menguatkan cengkramannya pada leherku. Hingga akhirnya ia dapat tenang dan duduk disampingku yang sebelumnya diduduki Hel. Sekarang aku mengerti bahwa jangan pernah membuat masalah dengan wanita, terutama wanita pedagang senjata maupun wanita mantan agen khusus.

Ia mencelupkan handuk yang dibawanya ke obat yang sebelumnya digunakan Hel. Aku tidak tau untuk apa ia menggunakan itu, tapi sekarang aku cukup siang untuk kabur dan berlari ke arah pintu yang terbuka dihadapanku. Setelah ia mencelupkannya ia mengarahakan handuk yang sudah basah karena obat ke arah wajahku, secara refleks aku harus menutup mata karena aku tidak tau apa yang hendak dilakukannya. Kemudian kurasakan handuk yang basah sedang mengusap pipiku yang berdenyut kembali sewaktu terkena handuk itu. 
"Cuma bengkak aja, jangan kaya anak kecil gitu." 
Ternyata ia hanya mencoba mengobatiku. Mungkin ia sedikit amnesia bahwa yang menyebabkan luka ini adalah dia sendiri, tapi mari tidak menyinggung itu. Walaupun memang tidak selembut Hel tapi untuk seukuran tukang pukul kuhargai usahanya itu. 
"Maaf sebelumnya aku memukulmu, itu refleks." 
Meski aku tidak yakin ia benar-benar meminta maaf atau tidak, tapi itu sudah cukup baik untukku. Aku pun tidak mau mengungkit tentang penyebab ia memukulku, aku takut akan ada bengkak kedua dipipiku yang sebelahnya. 
"Jadi apa anggota-anggota yang lain udah datang?" Kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Frank Mura John sudah datang, Philip akan datang sekalian menjemputmu dan Hel nanti. Dan bagaimana kau tahu bahwa ada anggota yang lain?" 
"Yah Hel bercerita padaku." 
Dan ups, kesalahan besar Dwi. Thalia melihatku datar dan tanpa perlu ia bicara aku tau bahwa 'Jelaskan semuanya' yah entah sejak aku datang kemari aku dapat telepati.

Terimakasih banyak untuk abang Mura, paman John dan kakek Frank. Terima kasih sudah datang disaat yang paling tepat. Beberapa detik sebelum aku mulai bercerita seorang pria berambut pirang melompat ke depan pintu sambil berteriak 'Hallo!' dan disertai dua orang lainnya. Untunglah Thalia tidak bersikeras bahwa aku harus bercerita dihadapan mereka, ia hanya meliahatku tajam dan aku langsung mengangguk paham bahwa aku akan bercerita lain waktu. Abang Mura mungkin berumur sekitar duapuluhan, ia mengenakan skinny jeans hitam dan denim biru yang membuatnya terlihat keren seperti anak muda. Tapi sayangnya kehidupannya tidak begitu lama, setelah berteriak itu ia langsung menggoda Thalia dengan 'Oh! Thalia , anak itu milik nona Hel, kau tidak boleh memilikinya.' Dan tersaranglah tinjuan ampuhnya dipipi yang kuduga mungkin akan membenjol sepertiku. Mura terjatuh dan Thalia menyeretnya keluar kamar, dan aku tidak tertarik dengan kelanjutannya, pokoknya kukenang selalu jasamu Abang Mura.

Paman John mengenakan baju hangat berwarna kuning yang seperti langit pada sore hari dan celana jeans gombrang. Ia mengenakan kacamata yang biasa dipakai oleh kutu buku, sehingga mudah mengetahui bahwa ia memang ilmuan. Matanya berwarna coklat muda ramah menatapku saat ia memperkenalkan dirinya. Umurnya sekitar mungkin empatpuluhan, kuduga ia memiliki keluarga dengan cincin yang dikenakannya. Mungkin walau Hel tidak menceritakan tentang obsesi paman John tentang bom , aku dapat mengetahuinya karena hal pertama yang ia bicarakan padaku setelah memperkenalkan dirinya adalah, 'Hai Dwi, apakah mungkin kamu punya ketertarikan tentang bom atau sesuatu yang blablablabla' Untunglah Kakek Frank menahan ocehannya. Ia menepuk punggang sobatnya itu dan berbicara seperti, 'Tenanglah John, jangan buat teman kita ini mati untuk kesekian sekalinya.' layaknya ia memang satu-satunya orang yang penuh pengertian dengan kondisiku. Aku tersenyum hormat pada kakek Frank, tanda terima kasih karena telah menyelamatkan kewarasanku pada hari ini. Kakek Frank menyuruhnya agar menunggu di ruang tamu bersama dengan yang lainnya, walau awalnya ia terus mengoceh kesal karena ia belum memberitahuku tentang bagian terbaik dari ceritanya itu tetapi akhirnya ia menurut dan pergi dengan lesu. Kemudian duduklah Frank di kursi tempat Thalia sebelumnya, entah sudah berapa orang yang menjenguku hari ini, tapi mungkin aku sanggup menahan untuk satu orang lagi.

Kakek Frank mungkin berumur sekitar limapuluhan rambutnya yang berwarna hitam sudah mulai ditumbuhi rambut-rambut putih. Walau sedikit terlihat tua, ia tampak begitu kekar dan galak dengan badannya yang berotot ditambah bekas luka yang berbentuk garis dipipi sebelah kanannya. Ia mengenakan kaos tampa lengan berwarna hitam ditutupi kemeja tentara, serta celana jeans yang dipenuhi terlalu banyak kantung higga aku bahkan dapat menyembunyikan gadgetku tanpa perlu ketahuan oleh Sagan. Matanya berwarna biru laut yang sudah terdapat bekas keriput disekitarnya yang memberinya kesan bahwa ia memang orang yang sudah mendapat banyak pengalaman semasa hidupnya. 
"Kuduga bekas dipipimu itu, Thalia?" 
Suaranya sangat tenang dan santai yang membuat lawan bicaranya nyaman. 
"Yah, siapa lagi?" 
Pria tua itu tertawa, walau tawanya tidak terlalu terdengar tapi tawanya itu begitu tulus.
"Mengertilah, ia tidak terlalu bagus dalam berbicara jadi terkadang tangannya yang bicara."
"Oh, aku sangat sangat mengerti Pak Frank." Ketusku.
Pria itu tertawa lagi, entahlah diantara yang lain pria tua ini tampak paling normal diantara yang lainnya, cukup senang rasanya bisa bicara dengan manusia normal lagi. Pada saat yang sama muncullah Sagan. 
"Waktunya bersiap kawan." balasnya sambil menunjuk jam ditangannya. 
"Aku dan teman baru kita akan menyusul sebentar lagi." 
Sagan mengangguk dan menghilang entah kemana. 

Teman? Kawan? Jika dipikir-pikir itu merupakan kosa kata yang sudah jarang kugunakan beberapa tahun terakhir ini. Yah, sebagai zombie cukup sulit bagiku untuk mendapat teman, jangankan teman. Mendapatkan kelompok saja sudah cukup sulit bagiku, entah mengapa seperti terdapat tembok besar yang memisahkan aku dengan orang-orang yang satu sekolah denganku. Tetapi orang-orang disini memang cukup lain, bahkan jika memang ada tembok diantara kita mungkin mereka tinggal memukul tembok itu atau meledakannya dengan bom. 
"Apakah kau sudah yakin dengan pekerjaanmu, bocah?" 
"Ya, tentu kakek." Akhirnya aku punya kesempatan untuk memanggilnya begitu. Ia mengerutkan keningnya yang nampaknya tidak terlalu suka dengan sebutan barunya itu, tapi ia mengabaikannya. Akhirnya aku dapat melihat raut mukanya yang serius walau ia masih menyimpan kesan santainya dibalik kerutan diwajahnya itu. 
"Kalau begitu kami percayakan keselamatan nyonya kami padamu." 
"Ya ya, tentu akan sulit jika ada bom yang tiba-tiba meledak atau sekelompok teroris yang menyerang kami. Tapi, kau bisa percaya padaku." Walau aku sendiri memang tidak yakin, tapi aku cukup yakin bahwa sekarang ini aku mengerjakan pekerjaan ini bukan cuma sekedar penesaraan, melainkan aku sekarang ini memang ingin menjalakan pekerjaan gila ini. Kemudian ia melambaikan tangannya diudara layaknya itu semua masalah sepele, dan kami pun meninggalkan kamar rumah sakitku. 
 

 

Akhirnya rasa penesaranku bisa hilang karena sekarang aku dan kakek Frank sedang berjalan ke lantai 2. Suasana disana sangat berbeda dengan suasana yang sederhana di lantai sebelumnya, seluruh tembok itu berwarna putih kayu. Dan akhirnya perusahaan senjata yang sebelumnya terkesan normal sekarang lebih terkesan seperti perusahaan senjata sesungguhnya. Kulihat senjata-senjata ditata begitu rapih di setiap penghujung ruangan, mulai dari senjata ringan seperti pisau hingga senjata berat yang amunisinnya dapat kujadikan kalung leher. Kulihat ada beberapa granat, bom asap,bomt tempel, bom rakit yang kuduga buatan Paman John, dan beberapa bom lainnya yang kelihatannya begitu rumit hingga sulit kumengerti. Ditengah-tengah ruangan itu sudah ada enam orang duduk dihadapan meja persegi yang berbentuk setengah lingkaran tiap ujungnya. Diujung meja itu Sagan sedang asik dengan laptopnya, kemudian di sebelah kanannya ada Mura dengan lebam dipipinya yang duduk dengan gaya malas-malasan sambil menaikan kakinya ke meja, dan disebelahnya ada Pak John yang sedang asik dengan kabel-kabel yang tidak akan aku pikirkan untuk apa itu. Dihadapan Sagan ada Thalia yang sedang berbincang dengan Hel yang posisinya menengahi Thalia dan Sagan, kemudian disamping Thalia ada wanita yang mengenakan jas lab putih dengan rambut acak-acakan seperti baru bangun yang kuduga itu Diana. Kami berjalan ke arah mereka, dan sejenak kedatangan kami menyita perhatian mereka.

Tanpa basa basi setelah melihat kedatanganku Sagan langsung menyampaikan pidatonya tentang pernikahan nanti. Ia menjelaskannya begitu detil dari bagaimana bangunan disana yang hanya ada sebuah bangunan serbaguna sebesar gor ditengah lapangan parkir yang empat kali besarnya dari gedung itu. Ia melanjutkan dengan posisi Mura yang berada di sisi gedung terdekat akan memantau situasi yang mencurigakan, dan seterusnya. Aku tidak dapat berkonsentrasi sama sekali mendengar penjelasan Sagan, kulihat wanita bernama Diana itu sedang menatapku dari ujung kaki hingga ujung helai rambutku seperti sedang memikirkan percobaan apa yang pas untukku, cara menatapnya sungguh tidak nyaman. Berkali-kali Sagan harus memanggilku seperti, 'Dwi kau masih bersama kami?' atau 'Dwi masih belum terlambat untuk mundur.'. Aku ingin membela diri, tapi setiap aku hendak bicara bahwa Diana memerhatikanku , perhatiannya langsung tertuju pada sesuatu yang lain.

Akhirnya aku dapat memfokuskan perhatianku pada penjelasan Sagan yang tentunya menguras tenanga. Ia menjelaskan bahwa saat di dalam gedung nanti aku akan dikerumuni banyak orang yang berbahaya, mafia, pedagang senjata, sebuah organisasi bernama yakuza dan beberapa organisasi mengerikan lain yang tidak tertarik untuk didengar. Ia tidak menjelaskan secara sepesifik siapa orang yang harus kuwaspadai, tapi itu malah membuatku berpikir bahwa semuanya harus kuwaspadai. Semakin aku mendengar bagaimana penjelasannya, akhirnya aku semakin ragu. Namun aku bukan ragu untuk mengambil pekerjaan itu, malah aku ragu tentang mengapa aku yang dipilih untuk pekerjaan ini. Aku yakin bagi mereka semua Hel itu penting, tapi mengapa menyerahkan tugas pendampingnya untukku, dan bukan untuk orang yang lebih berpengalaman lainnya seperti Thalia atau paman Frank. Saat Sagan tengah menjelaskan bagaimana posisi Thalia dan kakek Frank yang diam di mobil, aku sudah tidak sanggup menahan rasa penesaranku. 
"Eh maap." Semua mata tertuju padaku. Aku menelan ludahku kemudian melanjutkan bicara.
"Aku sudah tau mengapa aku yang dipilih mendampingi Hel. Tapi bukankah jika berada ditengah orang berbahaya seperti itu akan lebih baik jika seseorang yang lebih berpengalaman seperti Thalia atau Frank." 
Sejenak semua mata tertuju pada Hel layaknya ialah semua sumber masalahnya disini. Ia mendeham malas kemudian ia angkat bicara. 
"Mari kita bicarakan di tempat lain, kemarilah." Katanya sambil beranjak dari kursinya. Aku menatap mereka semua dan serentak mereka semua terlihat lesu tak bersemangat kecuali Thalia yang sepertinya sangat tidak setuju dengan gagasan itu tapi ia tidak berbicara apapun dan tetap duduk dikursinya. 
"Pergilah, nanti kujelaskan padamu." Lagi-lagi kakek Frank menjadi penyelamatku. Aku pun mengangguk dan pergi mengikuti Hel menuruni tangga.

Hel membawaku ke tempat dimana aku berbincang awalnya dengan Sagan. Awalnya aku ingin duduk di kursi dihadapannya, namun ia menepuk-nepuk sofa disampingnya dan aku pun duduk disampingnya. 
"Sebenarnya aku yang memilihmu hari ini." Katanya tanpa menatapku hingga aku tidak tau apa ia sedang menggodaku atau bukan. Tapi secara alamiah hatiku senang mendengarnya berkata seperti itu. Kemudian ia menundukan wajahnya, rambutnya menutupi ekspresi wajahnya. Beberapa kali aku dapat mendengar suara desahan nafasnya yang berat layaknya ia hendak mengucapkan sesuatu yang tidak ingin ia ucapkan. Hel yang biasanya selalu tersenyum dan selalu menggoda jahil sekarang terlihat lesu dan lemas. Entah apapun yang hendak ia katakan, melihat tubuhnya yang sudah kekurangan lemak menjadi semakin lemas seperti itu membuatku berempati. 
"Tenanglah, apapun alasanmu aku tidak akan pergi dan kabur." 
Akhirnya ia sedikit tertawa dan ia mengangkat kepalanya dan menatapku. Aku menyadari akhirnya, entah apapun yang coba ia katakan pastilah hal itu membuatnya takut. Raut mukanya terlihat begitu kaku dan tegang walau ia tersenyum. 
"Mungkin ini akan terdengar memalukan dan bodoh, tapi tolong tahan tawamu." 
Aku mengangguk menganggapinya dan kemudian ia menarik nafas panjang-panjang bersiap untuk berpidato. 
"Sekitar setahun lalu aku mendapat semacam perjanjian negosiasi di sebuah kafe. Kira-kira saat itu sore hari, dan banyak murid-murid yang berkeluaran pada saat itu. Mereka semua memakai kendaraan tapi kebanyakan dari mereka memakai sepeda motor, tentu ada beberapa dari mereka yang berjalan. Tepat pada saat itu aku melihat seorang pria berjalan sendirian tanpa ada seorangpun teman disampingnya, tapi ia tidak mempedulikan hal itu. Ia tetap berjalan lurus tanpa memandang ke arah lain layaknya tidak ada hal yang menarik lagi untuk menarik perhatiannya. Awalnya aku mengira dia semacam orang stres yang sedang patah hati atau semacamnya, tapi jalannya begitu santai dan tenang sehingga aku tidak jadi berpikir seperti itu. Pria itu menyita perhatianku, sehingga sewaktu pulang dari negosiasi itu aku meminta Sagan untuk mencari informasi tentangnya. Aku melihat data pendidikan yang diberikan Sagan, semua pelajaranya bisa tergolong rata-rata, atletis, seni, sastra, mipa, seluruhnya. Pikiranku sejenak terpusat padanya, aku begitu penesaran, begitu ingin menemuinya. Berkali-kali setiap ada jam kosong aku pergi ke kafe itu hanya untuk sekedar melihatnya, dan tanpa kusadari aku menyukai zombie itu." 
Sebelumnya mukaku sudah cukup merah padam tapi aku tidak ingin terlalu percaya diri, namun saat ia menyebut 'zombie' mukaku langsung meledak. Jantungku lagi-lagi berdegup kencang tak karuan hingga mungkin dapat didengar olehnya. Dan kesalahan fatal terjadi, Hel melihatku yang sedang merona merah padam itu dan ia pun akhirnya tersenyum jahil, tapi kali senyumnya berbeda yang mungkin ia tersenyum lega melihat ekspresiku. 
"Mungkin aku terlihat bodoh karena menyukainya." 
Entah darimana semangat yang ia dapatkan, tapi akhirnya ia punya energi berlebih untuk menggodaku kembali. Tapi apa kuasaku, ceritanya memang sudah terlalu membuat hatiku senang walau digoda olehnya. 
"Ya ya mungkin terlalu bodoh. Tapi mengapa kau tidak menemui zombie itu?" tanyaku.
"Aku ingin menemuinya. Akhirnya aku bicara pada anggota-anggotaku dan mereka semua langsung menolak gagasanku itu. Mereka bilang jika aku menemuinya dan kami menjalin hubungan maka itu akan banyak berakibat buruk pada pria itu dikarenakan dengan pekerjaanku ini. Aku tidak memikiran hal itu saat itu hingga mereka memberitahukannya padaku, dan aku merasa terpukul karena mereka memang benar. Tapi sayangnya aku ini bukan orang yang mudah menyerah, aku mencari-cari cara untukku agar bisa bertemu dengannya. Aku memikirkan berbagai cara yang mungkin hingga datanglah hari ini. Aku memohon pada mereka bahwa aku berjanji hanya akan menemuinya hari ini, tentu saja awalnya aku bukan ingin pergi ke pernikahan melainkan aku hanya ingin bertemu dengannya untuk sekedar berbicara karena kebetulan aku berada di dekat lokasi rumahnya. Aku tahu kamu pasti merasa tidak suka dikorek-korek informasi pribadinya seperti itu, dan aku harap ia memaafkanku karean kelakuanku itu. Kemudian akhirnya anggota-anggotaku berbaik hati mengijinkanku menemui pria itu tapi tentu saja itu pun mereka memberikan persyaratan yang rumit. "
"Dengan pernikahan ini kuduga, tapi kenapa?" potongku.
"Sabarlah. Mereka memperbolehkan kita bertemu asalkan pria itu siap dengan semua konsekuensinya yah dan jadilah persyaratan dalam surat lamaran itu. Walau pedih rasanya hanya untuk pertemuan terlalu banyak yang harus ia korbankan dan ketidakpastian pria itu akan datang atau tidak. Saat aku beres dengan negosiasiku di tempat lain, aku langsung buru-buru datang ke tempat ini, dan ternyata akhirnya aku melihat pria itu berbaring sudah babak belur dan bermimpi buruk. Oh aku benar-benar tidak percaya ia memimpikan mantannya dihadapan tunangannya!"

Mau tidak mau aku tersenyum malu mendengar perkataan terakhirnya. Tapi mendengar seluruh ceritanya mau tidak mau itu membuatku berpikir. Aku pernah bermimpi besar tapi tidak memiliki kekuatan untuk mewujudkannya, sementara Hel bermimpi tapi kekuatannya terlalu besar hingga dapat menyakiti mimpinya itu jika diwujudkan. Kita begitu mirip tapi pada saat yang sama kita jauh berbeda. Kutatap wajahnya yang masih tersenyum, tapi memancarkan penuh kesedihan. Perlahan-lahan senyumnya hilang dan ia kembali murung. Perasaanya pasti campur aduk dari kesedihan , kesal, dan marah. Aku pernah merasa seperti itu, dan aku tidak ingin ia mengalaminya terutama disaat aku sudah memiliki perasaan padanya. 
"Maafkan semua keegoisanku karena aku sudah menyeretmu kedalam semua ini." 
Aku tau ia mengatakan semua itu dengan tulus, ia tidak ingin menyeretku ke dalam semua kegilaan ini dan aku mempercayai setiap kata yang keluar dari mulutnya. Bahkan disaat aku tidak sadar bahwa sekarang ini aku sedang membahayakan keluargaku juga, ia sudah memikirkannya dan merasa begitu bersalah karena melakukan semua itu. Tapi aku tidak ingin membiarkannya menyalahkan diri seperti itu, entah walau memang semua ini sudah direncanakan tapi akulah yang membuat semua keputusan untuk datang ke tempat ini, dan aku tidak akan menyesal karena itu. Kupegang tangan kecilnya yang sedari tadi mengepal tegang. Kubuka jemari-jemari kecilnya kemudian kugenggam dan kehangatan memancar begitu saja ke dalamku. Ia menatapku melakukan semua itu, tapi ia membiarkannya begitu saja.
"Mau dengar ceritaku?" 
Ia pun menggangguk walau terlihat sedikit enggan.
"Suatu hari , seorang zombie yang melihat dunia hitam putih tidak berwarna mendapatkan sebuah lamaran kerja yang persyaratannya sangat mencurigakan. Tapi karena aku ini penesaran, maka aku pergi ke tempat itu. Tempat itu sulit ditemukan, bahkan ada semacam teka-teki hanya untuk melamar pekerjaan, tapi hatiku malah semakin tertarik dengan itu. Akhirnya aku dapat menemukan alamat yang ternyata rumah besar didalam hutan itu, dan seorang pria menyambutku dan bercerita bahwa aku bekerja untuk sebuah perusahaan senjata dan berpura-pura menjadi tunangan seseorang. Pasti kasihan untuk wanita itu karena menjadi tunangan seorang zombie sepertiku, tapi aku menerimanya. Kemudian disaat aku tertidur di rumah besar itu aku terbangun dengan seorang gadis mencondongkan senjata kearahku, ditambah lagi ia memukulku sekali pukul aku langsung pingsan. Saat aku pingsan aku bermimpi buruk tentang mantanku yang menghancurkan mimpiku, dan saat aku terbangun. Aku jatuh cinta pada seorang wanita yang ternyata tunanganku, saking kagetnya kata-kata dari Hamlet keluar dari mulutku. Oh bukankah itu sangat memalukan?" 
Akhirnya ia dapat tersenyum dan tertawa kembali. Mukanya sudah tidak kaku dan tegang lagi yang membuatnya sekarang lebih cantik tidak seperti patung hidup. 
"Oh! Itu sangat sangat memalukan." Katanya seakan itu hal yang sangat berlebihan. 
"Disaat aku mulai menemukan warna dalam duniaku dan aku akhirnya tahu bahwa wanita itu juga memiliki perasaan yang sama denganku. Ia malah meminta maaf! Oh bisakah kau bayangkan betapa menyedihkannya itu?" 
Akhirnya Hel dapat tertawa lepas. Otot-otot di pipinya mulai terangkat dan gigi-gigi putihnya dapat terlihat saat ia tertawa. Mau tidak mau aku pun tertawa bersamanya karena hal memalukan dan bodoh yang sudah kukatakan. Tapi mengatakan semua itu rasanya membuatku lega tanpa beban, aku yakin ia merasakan hal yang sama berdasarkan reaksinya. Kemudian ia menyandarkan badannya ke pundakku. Aku belum terbiasa dengan semua itu sehingga mukaku memerah walau tidak semerah sebelumnya. Badannya terasa hangat dan ringan. Jantungku berdebar tapi kali ini tidak mengusikku, suasana begitu hangat dan nyaman. 
"Kau yakin dengan semua ini?" sahutnya. 
"Dengan apa?" 
"Yah, banyak masalah menanti kita."
"Tenanglah, aku bahkan belum mati setelah Thalia memuku--"

"Siapa memukul siapa?" Suara baru muncul dari arah pintu. Oh tidak, kumohon tidak lagi. Hel meluncur dari sampingku dan kabur menghilang. Tepat sebelum ia menghilang ia memberikan senyuman terakhirnya. Aku tahu senyuman itu, oh aku bersumpah sangat membenci wanita itu. Entah berapa lama mereka sudah menonton kami berbicara, tapi mereka semua serempak pergi begitu saja menyisakan Thalia yang berdiri tegak mengarahku. Kali ini Abang Mura dan Kakek Frank tidak mampu menolongku, dan untuk kesekian kalinya aku mati. Lagi. Dan Lagi.                

                 Thalia ternyata tidak memukulku, padahal posisiku sudah meringkuk siap menahan benturan. Thalia menghampiriku dan duduk disampingku.  Walau sepertinya ingin memukulku walau hanya sekali, tapi entah apa penyebabnya ia menahan kehendak itu. Aku akhirnya memutuskan untuk menghilangkan mode pertahananku dan duduk tegak disampingnya. Thalia mulai angkat bicara, ia menceritakan semua rencana kami nanti, yang belum sempat kudengar seluruhnya. Thalia yang memukulku terlihat lebih normal dibanding ia yang tenang seperti ini yang lebih terkesan menyeramkan. Ternyata pernikahan yang akan kudatangi merupakan salah seorang pria mafia bermuka India yang pernah berhutang uang pada Hel. Thalia  Frank dan Sagan akan menunggu mereka dilapangan parik dalam sebuah mobil, sementara Mura dan John akan memantau dari kejauhan. Aku akan diberi semacam headset mini sebagai alat komunikasi untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Tidak ada lagi yang begitu penting dalam ceritanya, sewaktu aku didalam aku hanya perlu mendampingi Hel jalan-jalan. Ia tidak menyinggung tentang ada baku tembak atau kemungkinan lain yang buruk, walau aku yakin masih ada kemungkinan itu. Dan aku menghargainya, sepertinya ia tau tentang moodku dan Hel yang sedang bagus sekarang ini, aku menghargainya karena tidak menyinggung itu. Ia menyuruhku segera mandi dan berganti pakaian, ia bilang bahwa aromaku seperti bau mayat. Entahlah, aku lebih cocok dengan zombie, aku tidak merasa seburuk itu hingga menjadi mayat, tapi biarlah. 

Suatu hari pada 24 Desember 2017, si pria biasa mencoba lagi suatu hal yang pernah meredupkan warna dihidupnya. Yah, itulah mimpi.

 

               Mereka semua terlihat hebat, terlihat begitu elegan. Jas-jas mahal, gaun-gaun mewah, tidak ada yang mengenakan kemeja lengan panjang sepertiku. Ah, aku kangen dengan kemejaku, memakai jas hitam ini membuatku begitu sesak. Belum lagi memakai dasi memang begitu sulit hingga Hel menggodaku. Mungkin mereka terlihat tampan dan cantik, tapi wanita disampingku ini memang terlihat lebih bersinar dari semuanya. Hel mengenakan gaun hitam polos dengan balutan kain-kain transparan dan sepatu hak yang membuatnya 10 senti lebih tinggi yang hampir melebihi tinggi badanku, dan itu sangat menggangguku. Entah parfum atau bukan, tapi aroma tubuhnya seperti bunga lavender, rambut-rambut hitam kecoklatannya itu dibiarkan digerai lurus sepunggung. Ia mengenakan sedikit rias muka yang membuatnya sekarang makin rupawan walau makin membuatnya terlihat lebih tua, dan tentu saja aku tidak bilang tentang itu padanya. Ia menyelipkan lengannya pada lenganku dan membawaku masuk ke gedung serbaguna itu. Sewaktu pertama kali ia melihatku yang sudah berpakaian formal ini, ia berkomentar bahwa aku terlihat aneh, walau memang seorang zombie mengenakan jas itu memanglah wajar jika terlihat aneh. 

           Sesuatu begitu menggangguku saat keempat orang berdiri menyalami kami, yang mungkin kukira ia adalah anggota keluarga dari pemelai wanita maupun pria. Tidak satupun dari mereka terlihat seperti orang India, bukan maksudku untuk rasis tapi hal itu menggangguku. Mereka berempat lebih mirip orang-orang barat, rambut kedua wanita itu berwarna pirang sedangkan kedua pria yang bersamping wanita itu berwarna hitam, tapi tidak satupun dari mereka mirip dengan pria India yang ditunjukan oleh Thalia sebelumnya. Hel sepertinya tidak terlalu terganggu dengan mereka, dan mereka pun sepertinya mengenal Hel , saat Hel dan aku berjalan dan menyalami mereka reaksi mereka sepertinya kelewat senang melihat Hel. Dan hal itu cukup menggangguku. Sang wanita yang bergaun berwarna hijau daun bertanya siapa aku, sebelum aku hendak menjawab ia mendahuluiku dan bicara bahwa aku ini tunangannya tanpa keraguan. Menuntunnya dengan menyelipkan lengannya padaku saja sudah membuatku cukup merona, entah bagaimana raut mukaku setelah ia memamerkanku dengan begitu terbuka. Aku tersenyum pada mereka dan Thalia membawaku masuk ke dalam gedung itu. 

        Bukannya aku meremehkan seorang mafia, tapi ruangan itu benar-benar terlalu simpel untuk seorang mafia yang kuduga kaya. Tidak ada aksesoris apapun, begitu aku masuk melewati keempat orang itu ruangan terbuka langsung begitu saja, tidak ada aksesoris, tidak ada foto-foto sebelum pernikahan. Aku sudah pernah menghadiri pernikahan orang lain, tapi setidaknya mereka memajang foto-foto kebahagiaan mereka sebelum menikah walau mereka bukanlah orang yang kaya. Ruangan itu sudah dipenuhi oleh orang-orang, meja-meja bundar berisi makanan minuman sudah terampang disana. Di ujung ruangan seorang wanita dan pemain musik tengah melantunkan lagu yang kuduga lagu itu merupakan lagu bahagia. Meja-meja dan kursi yang sudah ditutupi sehelai kain berwarna putih berdiri di setiap penjuru ruangan. Panggung yang sebesar setengah lebarnya ruangan itu berada tepat diujung pintu aku masuk. Panggung itu dihiasi bunga-bunga matahari dipinggirannya, kursi-kursi berwarna putih polos diatas panggung itu masih kosong. Latar dari panggung tersebut hanyalah ukiran-ukiran plastik yang bermotif ombak yang besar. 
"Masih pelit saja seperti biasanya, padahal ini hari bahagianya." Gumam Hel yang sepertinya juga sedang melihat panggung itu. 
"Mungkin ini bukan hari bahagianya." Sambungku asal.
Hel mengalihkan pandangannya padaku dan kemudian ia tersenyum.
"Tentunya yang kita nanti tidak akan seperti ini." 
Wanita itu memang tidak bisa membuatku berhenti salah tingkah, dan kebiasaannya itu memang harus diberi sedikit sentuhan Thalia. 

          Aku memerhatikan orang disekelilingku. Kerap kali aku beradu pandang dengan orang aneh seperti, aku tidak sengaja melihat seorang pria Jepang dengan tato simbol yang tidak kumengerti dilehernya sedang bersama seorang wanita dan secara naluriah aku langsung memalingkan wajahku ke arah yang lain. Kemudian ada seorang pria yang memiliki wajah orang Spanyol , wajahnya bulat seperti badannya, entah daging apa yang ia makan hingga membuatnya seperi itu , tapi ia menggandeng lengan seorang wanita cantik disampingnya, money power pikirku. Hingga seorang pria tampan keturunan asia-eropa yang berambut hitam sedang berbicara dengan beberapa orang disekitarnya, kududga ia mungkin tukang cari perhatian atau tukang pamer, sesaat aku melihatnya terlalu lama ia menyadarinya dan berkedip ke arahku, kuharap dia bukan penyuka sesama jenis. 

         Akhirnya pandanganku tertuju pada seorang pria kira-kira berumur 60. Ia memegang tongkat yang berbentuk seperti tanda tanya berwarna hitam yang dibaluti ukiran-ukiran emas. Rambut pria itu rata-rata sudah memutih hingga tidak banyak rambut hitamnya yang terlihat, badannya berdiri tegak walau ditumpu dengan tongkatnya. Pria itu sedang menggandeng tangang seorang wanita. Wanita itu terhalang dengan pria tua itu sehingga menghalangi pandanganku. Tepat pada saat itu wanita itu berjalan menghadap pria itu layaknya hendak mengatakan sesuatu. Serempak seluruh otot di badanku menegang, kulit wanita itu berwarna putih kecoklatan , rambunya yang berwarna coklat cerah diikat kuda dan akhirnya kulihat matanya yang besar berwarna sebiru samudra. Keringat mulai bercucuran di sekujur tubuhku, firasat buruk mulai datang menghantuiku. 'Tidak tidak tidak, itu tidak mungkin dia. Mungkin itu hanya orang yang mirip dengannya.' pikirku mencoba membuatku merasa baikan. Tapi hati kecilku tidak membiarkanku berbohong pada diriku sendiri, aku tidak mungkin salah mengira bahwa itu dia. Aku hanyut dalam pikiranku hingga Hel menyenggolku. Aku baru sadar bahwa ada seorang pria berkumis gelombang membentuk huruf 'W' dengan seorang wanita disampingnya. Mereka bertiga sedang sedang menatapku yang kuduga telah dirakukannya sedari tadi. 
"Apa yang kau pikirkan? Aku hendak mengenalkanmu pada salah seorang kawan baikku." sahut Hel dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya. 
Pria itu tersenyum padaku, dan saat ia hendak bicara kumisnya pun ikut terangkat. Mungkin aku akan tertawa melihatnya jika saja aku tidak melihat dia. 
"Oh melamun itu hal yang biasa Hel. Dan Halo tuan, Dwi? Aku teman tunanganmu cantikmu ini, Jackson Prince. Kuharap kita bisa berteman baik karena mungkin kita akan sering bertemu nantinya." Pria itu memnyodorkan tangannya ke arahku sewaktu ia berbicara. Aku melepas gandenganku dari Hel dan kusalami pria itu sambil mencoba tersenyum ramah. Aku tidak tau jika dia menyadariku atau bahkan masih mengingatku atau tidak, yang pasti aku tidak ingin berada terlalu dekat dengannya, malahan jika bisa aku ingin membawa Hel pergi dari tempat ini. Kemudian aku bicara pada Jackson bahwa aku perlu bicara dengan Hel. Hel melihatku dengan bingung sambil dan mungkin masih marah karena aku mengabaikannya tadi. Tapi aku tidak bisa memikirkan itu sekarang, kugandeng lengannya dan kutarik dirinya. Walau awalnya ia terlihat enggan, tapi akhirnya ia mengikutiku sambil terus beranya-tanya mengapa aku melakukan hal itu padanya. 

               Kami berdiri tempat di depan pintu kami masuk tadi. Hel yang sepertinya sudah tidak tahan melepaskan gandengannya kemudian berjalan ke hadapanku yang membuatnya memungguni pintu keluar itu. Sejenak kulihat keempat orang yang menyalami kami tadi sudah tidak ada, dan kuputuskan itu bukan kabar yang baik. 
"Dengar Hel, tadi aku meliha--"
Tepat saat aku belum sempat menyelsaikan kalimatku, kulihat kedua pintu besar itu mulai menutup. Otakku langsung berpikir bahwa itu bukan kabar yang baik, tapi aku tau bahwa aku tidak dapat cukup cepat menariknya keluar dan melewati pintu itu. Hanya butuh sepersekian detik untuk otakku membuat keputusan, dan kemudian kudorong Hel sekuat mungkin hingga akhirnya ia terjatuh dan pintupun menggebrak menutup. Aku langsung mendekati pintu itu, kemudian kucoba untuk memutar engselnya tapi pintu itu tidak terbuka. Pintu itu sepertinya terkunci dari luar atau mungkin pintu itu rusak, pikirku. Sejenak aku merasa lega bahwa aku dapat mengeluarkan Hel. Tanpa berpikir panjang kurogoh kantong jasku, kupencet satu-satunya tombol kecil yang ada di alat itu  kemudian kupasangkan benda berwarna hitam yang terlihat seperti alat bantu dengar itu ditelingaku. 

            Butuh usaha yang cukup berat untuk memanggil seseorang yang tidak ada disampingmu tanpa menarik perhatian orang-orang. Aku begitu panik hingga kucoba memanggil siapapun bahkan Thalia. Hingga akhirnya suara wanita muncul ditelingaku dan itu begitu melegakanku. Thalia begitu panik, ia terus-terusan bertanya tanpa henti hingga sulit bagiku untuk menjelaskannya hingga aku berpikir untuk berteriak agar ia dapat berhenti tidak jelas. Tapi gagasan berteriak itu kulenyapkan sejenak, dan kugunakan satu-satunya kata-kata yang dapat membuatnya terdiam. 
"Hei, Gendut." 
Kucoba untuk mengucapkan itu dengan lantang agar dapat terdengar cukup jelas ditelinganya. Dan itu berhasil, ia langsung terdiam yang sepertinya memikirkan skenario untuk menyeretku keluar sebentar dan kemudian mengembalikanku lagi dalam keadaan tidak utuh. Tapi sebelum ia sempat mengoceh aku langsung mengambil kesempatanku untuk bicara. 
"Tolong jemput Hel di depan pintu tadi, tolong jangan bertanya mengapa dan cepatlah." Kucoba memberi penekanan saat berbicara tanpa membesarkan suaraku. 
Tepat setelah itu, aku mendengar suara benda terjatuh yang kuanggap itu sebagai kabar baik. Beberapa detik menjelang tidak ada suara apapun, hingga akhirnya aku merasa suara sinyal radio rusak dan kemudian munculah suara pria. 
"Tenanglah, dan tolong jelaskan semuanya, Dwi." 
Suaranya yang tenang bagiakan orangtua itu langsung membuatku menyadari bahwa itu Frank. 

            Kucoba menjelaskan semua kejadian itu sesingkat mungkin. Dari awal aku melihat keempat orang yang menyalami kami di depan pintu,  kecurigaanku pada terlalu simpelnya pernikahan itu sampai tidak ada foto sebelum pernikahan satupun, kemudian setiap orang yang kuamati sampai dengan pria yang berkedip kearahku, hingga kecurigaan terbesarku karena dari puluhan orang yang berada disana tidak ada seorangpun orang india maupun orang yang mungkin tergolong seperti keluarganya, dan akhirnya aku bercerita tentang bagaimana aku mengeluarkan Thalia. Aku tidak menceritakan bagaimana aku bertemu dia, karena aku pribadi merasa tidak perlu membicarakan hal itu. Entah Frank mengerti atau tidak dengan semua penjelasan yang kuberikan, tapi Frank terdiam seperti sedang berpikir. Beberapa saat kemudian saking sunyinya suara ditelingaku, akhirnya aku kembali memusatkan perhatian pada ruangan disekitarku. Orang-orang masih berbicara santai layaknya tidak ada apa-apa, tentunya dengan suara orang yang berbicara sebanyak ini sebuah bunyi gebrakan pintu tidak akan terlalu terdengar. Kemudian aku mendengar suara seperti orang yang mengetukan jarinya pada meja, awalnya aku mengira Frank yang sedang berpikir. Tapi akhirnya suara itu semakin besar dan besar dan kusadari bahwa itu suara orang yang berlari. 
"Oh Hel kau baik-baik saja?" kata suara dalam telingaku. 
Hatiku merasa lega dan tenang pada saat itu menyadari bahwa dirinya selamat dan berhasil pada anggota-anggotanya. Kemudian Hel berteriak yang tidak terdengar terlalu jelas dan suara dalam teringaku berubah lagi menjadi suara sinyal radio selama beberapa detik. 
"Aku bersumpah akan membunuhmu jika kau mati!."
Mendengar suaranya semakin membuatku lega walau itu semacam ancaman pembunuhan. Suaranya begitu keras , ia begitu terdengar kesal, begitu marah tapi aku mendengar nada khawatir dalam suaranya. Suara nafasnya yang tak karuan terdengar ditelingaku, mungkin ia baru saja berlari, pikirku. Walau terdengar bodoh ia ingin membunuh orang yang sudah mati. Tapi aku ini zombie, mungkin ia dapat membunuhku lagi. 

"Haloo!! Apakah suaraku terdengar?" 
Aku sedikit meloncat terkejut. Entah darimana datangnya suara itu bergema ke seluruh ruangan. Semua pembicaraan hening sejenak melihat-lihat sekitar dengan bingung termasuk aku. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi seperti seperti 'dug! dug! dug!' layaknya ia sedang mengecek mikrofon itu benar berfungsi atau tidak. Berdasarkan dari suaranya yang terdengar begitu jelas, aku melihat ke arah langi-langit ruangan. Dan benarlah, sebuah pengeras suara terpasang di setiap sudutnya. Tidak butuh lama bagi orang lain untuk menyadarinya, tidak ada satupun dari mereka yang kembali melanjutkan aktivitasnya. Hel sedang berbicara sesuatu ditelingaku, tapi suara itu muncul lagi yang membuatku tidak mendengar perkataannya. 

"Sebelumnya terimakasih banyak sudah datang ke pernikahanku, dan dengan berat hati maaf karena aku tidak bisa datang." 
Suaranya berat seperti suara pria dewasa, ia mengucapkan perkataannya itu dengan nada memelas yang begitu dibuat-buat hingga aku yakin orang disekitarku menyadari itu.
"Ehm.. Jadi begini." Suara itu terhenti sejenak dan kemudian pria itu bicara lagi. 
"Mari kita persingkat saja. Aku ingin kalian semua mengirimku 1 triliun uang tidak kurang dan boleh lebih. Terserah bagaimana caranya kalian ingin patungan atau satu dari kalian ingin langsung memberiku semuanya aku tidak peduli. Sekitar 10 menit dari sekarang, Jika kalian terlambat maka bom di ruangan ini akan meledak. Jika kalian mencoba keluar lewat apapun seperti pintu, jendela dan lain-lain maka akan meledak. Saranku tidak perlu banyak berpikir mencari bomnya dan cepatlah kirim uangnya maka masalah kita beres." 
Mendengar penjelasannya itu memang terdengar terlalu mudah, seperti 'Bayarlah karcis dan kita beres'. 
"Oh dan 1 lagi. Aku akan meledakan satu bom, tapi tenanglah itu jauh dari wilayah kita. Dalam hitungan 3, 2--"
"DUARRR!!"
Entah pemikirannya tentang lokasi yang jauh dari wilayah kita itu seperti apa. Tapi bunyinya terasa begitu dekat hingga getarannya membuat tanah bergetar seperti gempa. Mungkin aku yang dulu akan panik menangis dan berdoa, tapi sekarang ini aku bekerja untuk pekerjaan senjata jadi hal seperti ini mungkin tidak aneh. 

                Setelah diam beberapa saat setelah ledakan, akhirnya aku sadar dari tadi Hel tengah bicara padaku. Aku terlalu fokus pada suara pria itu tadi hingga aku mengabaikan suaranya. 
"Berapa lama kau akan mengabaikanku?" suaranya datar sedingin es. Nafasnya sudah teratur sekarang dan ia tidak lagi panik seperti sebelumnya. Aku menceritakan pada Hel tentang apa yang baru saja aku dengar. Tanggapannya begitu santai dan tenang hingga membuatku ragu apakah ia masih mengkhawatirkanku, atau hendak pulang kembali ke rumah. 
"Yauda kita bayar aja. Coba kamu bicarain sama yang lain pada mau patungan ato ngga." Akhirnya aku sadar bahwa ia tidak sedang santai. Suaranya begitu lesu dan pasarah layaknya waktu awal ia hendak menceritakan alasan ia memilihku sebagai tunangannya. Aku mengerti perasaannya, tapi sejenak ide gila terlintas dibenakku. 
"Berikan aku waktu 5 menit. Dan tolong panggil Pak John."
"Oh Dwi! Sekarang bukan waktunya menjadi seorang detektif."
Suaranya berubah menjadi lebih terkesan kesal, tapi bukan kesal amarah. Ia mungkin terkesan dengan kecewa keputusanku, yang ia inginkan hanyalah semua ini berakhir dan aku tidak mati. Aku pun menginginkan itu, hanya saja aku merasa pria bodoh ini tidak sebodoh itu untuk membuat seluruh mafia dan orang-orang gila lainnya ini memusuhinya. 
"Percayalah padaku. Pria itu tidak bilang jika kita membayar maka kita akan selamat, Hel."
Wanita itu masih kurang setuju nampaknya, tapi ia beranjak pergi karena bunyi sinyal radio yang berbunyi. Kemudian aku mendengarnya bicara pada seseorang yang kukira ia mungkin memanggil paman John. 

             Seseorang menepukku dan begitu kulihat ternyata itu si kumis gelombang. Ia bertanya dimana Hel karena ia membutuhkannya untuk negosiasi harga ini. Aku menceritakan bahwa Hel sudah tidak lagi diruangan ini, dan akulah yang menjadi wakilnya. Kemudian si pria kumis gelombang membawaku ke sekerumunan orang. Tampaknya saat aku bicara dengan Hel mereka langsung seperti memecah menjadi dua grup. Pria itu membawaku ke kerumunan yang terdapat pria yang barusan berkedip padaku, itu membuatku tidak semangat. Si pria Jepang bertato dan si pria Spanyol pun ada di kerumnan itu. Aku baru saja hendak berharap semoga tidak ada dia, tapi harapan itu pupus karena dia berada di kerumunan yang sama denganku. Matanya yang sebiru samudra itu akhirnya beradu pandang denganku. Ia menatapku kaget layaknya ia melihat seorang alien, walau lebih tepatnya zombie. Sepertinya banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan padanya padaku, tapi waktu sepuluh menit tidaklah lama, jadi saat kami sampai dikerumunan itu kami langsung bicara pada inti pembicaraannya. 

           Mereka semua bertanya-tanya siapa aku termasuk wanita itu. Wajar saja, sulit membicarakan negosiasi tentang pembagian uang 1 triliun dengan orang kurang mampu. Aku menjelaskan pada mereka bahwa aku ini Tunangan Hel. Entah Hel mendengarnya atau tidak, tapi orang-orang disekitarku tidak terlalu mempedulikan itu, terkecuali dia. Matanya tidak henti menatapku, entah berapa lama ia sanggup menahan rasa penasaran itu. Ada sekitar 16 orang disekitarku, dan mereka semua merupakan ketua tau bos-bos dari perusahaan maupun organisasi mereka. Mereka semua memang benar-benar tenang, tidak ada rasa takutpun dari setiap perkataan yang mereka katakan. Mungkin mereka semua memang terbiasa, dan berada disekitaran mereka memberiku ketenangan. Tidak ada perdebatan , begitu Jackson angkat bicara dan menyarankan bahwa uang itu lebih baik dibagi rata mereka semua sepertinya langsung setuju begitu saja. Yah, tidak ada perdebatan setidaknya saat akhirnya aku mulai angkat bicara. Aku memberitahu mereka tentang pendapatku bahwa tidak ada jaminan selamat walau kita membayar. Kemudian si pria Jepang langsung bertanya, "Jadi apa saranmu?" .
"Kita cari dan jinakan bomnya." 
Mereka semua melongo ke arahku, layaknya aku ini sedang mengigau. 
"Caranya?" sambung si Pria Spanyol. 
"10 menit menemukan bom di ruangan sebesar ini memang tidak mungkin. Tapi untunglah pria yang merencanakan ini orang yang pelit. Jika kalan lihat sekitar, tidak terlalu banyak aksesoris maupun benda-benda lain." Kataku sambil memperlihatkan seluruh ruangan itu dengan tangan kananku. Entah mereka ini bodoh atau apa, tapi sepertinya mereka baru menyadari itu. 
"Lanjutkan." sahut si pria asia-eropa itu. Untunglah ia tidak mengatakan itu sambil mengedip. 
"Tidak usah basa-basi. Jackson!" kataku, dan si pria berkumis menoleh ke arahku.
"Jika kau ingin memasang bom, dimana kau akan menaruhnya?" tanyaku. 
"Tentu saja di tempat yang sulit dijangkau?" Ia nampak tidak yakin dengan pernyataannya, tapi aku pun langsung mengangguk setuju. 
"Dan, pria itu tadi bilang 'pernikahanku' yang menandakan ia pemelai wanita atau pria. Jika aku memang seorang pemelai pria atau wanita menurut kalian dimana aku akan menaruh bom di tempat yang dipastikan tidak pernah dijangkau mereka?"
Padahal aku sudah berharap ia akan tetap diam, tapi ia menjawab pertanyaanku begitu saja. 
"Tentu saja, di kursi pengantin." 
"Yah, tentu." kataku sambil mengangguk, kerumunan orang-orang itu langsung melihat ke arah kursi kosong yang berada di panggung. Beberapa mereka masih tampak tidak puas, tapi sebagian lagi nampaknya percaya dengan perkataanku. Aku mengangguk menanggapi pernyataannya, kemudian melanjutkan.
"Tapi aku tidak tau apa yang memicu bom itu. Bisa saja bom itu meledak setelah kita temukan, aku tidak tau bom itu dipicur secara manual atau otomatis. Mungkin diantara kalian punya teman yang dapat menjinakan bom atau ahli tentang itu. Aku akan sangat berterima kasih jika kalian mencoba menghubungi mereka dan bertanya-tanya.Sebelum itu, adakah dari kalian yang menghitung berapa waktu yang tersisa?"
"Sekitar 7 stengah menit. Apa kau yakin kita punya cukup waktu?" kata si pria asia-eropa itu, untungnya ia tidak mengucapkan itu sambil berkedip.
"Jika kita tiga menit tersisa tidak ada kemajuan, kita akan mengirim uangnya sesuai yang direncakan."
Tanpa aba-aba lainnya mereka semua serempak mengeluarkan telepon genggamnya dan mulai menelfon. Begitu juga denganku.

           Aku menjauhi kerumunan itu, aku mencoba memanggil-manggil Hel. Beberapa saat tidak ada suara yang muncul, dan kemudian suara nafas yang tersenggal-senggal mulai terdengar dalam telingaku. Sepertinya paman John berlari dari gedung yang jauh ke mobil itu. Aku menjelaskan semua situasinya padanya, aku menjelaskan bagaimana bom itu akan meledak dan perkiraanku tentang letak bom itu. Aku dapat mendengar suara Hel dan Frank yang sedang berbincang walau tidak terdengar begitu jelas, mungkin mereka telah mengubah saluran suaranya agar dapat terdengar olehkku. Pak John nampaknya terdiam dan sedang berpikir. Beberapa detik berlalu begitu terasa, sepuluh menit memang bukan waktu yang lama, tapi aku merasa seseorang telah mempercepat waktu dua kali lebih cepat dari biasanya. Badanku mulai berkeringat tak karuan, akhirnya aku merasa tekanan yang mulai muncul ketika memikirkan kejadian-kejadian yang kali ini benar-benar dapat membunuhku. Aku menjadi lebih gelisah Aku melihat-lihat seluruh ruangan itu tak karuan. Aku mencoba lebih fokus pada situasi itu. Jika bom itu dipicu secara manual maka itu akan mempersulit semuanya, entah orang itu berada di dekat kami atau dia dapat melihat semua kegiatan kami dalam ruangan itu dan itu bukan kabar yang bagus. Sebaliknya jika bom itu memang dipicu secara otomatis, maka itu akan mempermudah semuanya. Aku tingga harus menemukan penyebab dari hal yang dapat menyebabkan bom itu meledak, atau menjinakan bom itu dengan harapan Pak John dapat membantuku, bahkan jika memang orang yang memasang bomnya berada di dalam ruangan itu pun aku tinggal harus menjinakannya sesuai yang direncanakan. Pilihan keduanya tidak begitu bagus, tapi patut dicoba. 
"Anata" Sejenak aku mencium bau yang begitu khas hingga tidak butuh waktu lama untukku menyadari siapa asal suara itu. 
Suara muncul dari belakangku dan aku langsung membalikan badan. Kulihat sesosok wanita berambut cokla terang diikat kuda dan matanya sedang menatap kearahku.
"Sudah lama juga ya, Anna." Aku mencoba mengucapkan itu sesantai mungkin, layaknya ia hanyalah sebatas kawan lama. 
"Aku tidak mengira orang sepertimu bisa berada di tempat seperti ini. Tapi mungkin saja, karena tunangamu kan pedagang senjata yang sukses." 
"Memang sulit untu orang kurang mampu sepertiku berada di tempat yang akan meledak kapan saja." 
Ia tersenyum, mungkin hendak tertawa tapi ia menahannya.
"Kami semua panik dan ketakutan. Tidak berpikir panjang yang kami pikirkan hanyalah membayar pria itu dan kabur dari sini. Tapi mereka menjadi lebih tenang karenamu, sebenarnya aku pun merasa begitu." Ia berjalan mendekatiku lebih dekat hingga berjarak satu langkah dariku. 
"Kamu berubah." katanya lagi sambil meneliti diriku seluruhnya. 
"Sekarang kamu terlihat lebih realistis. Walau fakta bahwa kamu menyukai wanita itu merupakan tanda bahwa kamu masih seseorang yang suka bermimpi."
Entah darimana ia tahu semua itu, tapi perkataannya yang membawa-bawa kata 'mimpi' sellau mengingatkanku pada hari dimana ia meninggalkanku. 

             Waktunya mengingat masa lalu telah usai. Pak John menyuruhku untuk melihat pengeras suara itu dan melihat apakah kabelnya menjulur diluar tembok atau didalamnya. Serempak aku langsung melihat ke arah pengeras suara itu, dan aku mengumpati diriku yang bodoh itu karena tidak menyadari hal itu. Semua pengeras suara itu terhubung oleh sehelai kabel berwarna hitam. Aku melihat alur dari kabel-kabel itu, kabel itu menjulur dari pengeras suara yang satu ke yang lainnya. Aku terus mengukit arahnya seperti denah rel kereta, hingga akhirnya pengeras suara terakhir berada tepat diatas pintu itu. Kabel itu menjulur sampai ke bawah yang terhalang kursi-kursi yang berbaris. Aku menceritakan itu pada Pak John dan ia memintaku untuk memeriksa itu. Bahkan tanpa ia harus memerintahkan itu aku sudah berniat untuk memeriksanya. Tapi sebelum aku hendak memeriksanya, aku berbicara pada Anna bahwa aku hendak memeriksa kabel itu. Kabar buruknya Anna langsung menggandeng lenganku tanpa pemberitahuan yang jelas dan menggandengku menuju kursi-kursi disamping pintu tersebut. 

             Walau terkesan terlambat, akhirnya kau bertanya pada Pak John tentang kondisi mereka diluar. Katanya keadaan disekitar gedung benar-benar kosong tidak ada seorangpun. Sementara anggota-anggota dari organisasi lain sepertinya mulai panik tak karuan melihat bos mereka hendak menuju ajal. Mobil-mobil baru mulai berdatangan dan mengeluarkan lusinan orang bersenjata lengkap. Untunglah aku mengatakan semua kejadian itu tepat waktunya, karena awalnya Thalia mencoba mendobrak pintu masuk itu. Hel sedang marah besar dan meminta Sagan melacak lokasi pria India yang hendak menikah dengan bom itu. Aku tidak ingin memikirkan apa yang hendak Hel lakukan pada pria itu, tapi itu bukan sesuatu yang bagus pikirku. Mura masih  berada di gedung sebelah memantau keadaan, Pak John bilang kalau Mura diijinkan Hel untuk melumpuhkan siapapun yang terlihat mencurigakan disekitar gedung tersebut. 

            Kulihat si pria Spanyol itu sedang memaki-maik orang yang bicara di telponnya. Ia berteriak-teriak hingga menarik perhatian semua orang. Wanita yang tadi digandengnya bersama dengan Jackson sepertinya sedang mencoba menenangkannya. Si pria Jepang bertato terlihat sangat tenang saat ia berbicara dengan seseorang ditelfonnya sama seperti pria asia-eropa itu. Aku memalihkan pandanganku dan kemudian melihat arah kabel yang menjulur disamping itu. Aku mengangkat kursi tersebut dan kemudian melihat ke bawah. Hatiku lega setelah melihat sebuah mesin kotak kecil untuk memutar rekaman, tapi begitu melihat kotak disampingnya yang terhubng dengan seutas kabel kecil membuatku lesu. Kotak kecil hitam disampingnya berwarna hitam dan tidak ada tombol yang menarik untuk ditekan. Di ujung kotak it lampu berwarna hijau bulat menyala, dan disampingnya ada lampu lain yang mati, kuduga itu lampu merah tadinya.  Aku menceritakan apa yang aku lihat pada Pak John, dan nampaknya mendengar reaksi lega orang-orang yang berada ditelingaku menandakan bahwa dugaanku benar. Bom itu dipicu secara otomatis. Anna disampingku sepertinya masih terlihat bingung dengan apa yang ia lihat, tapi sebelum aku menjelaskan padanya aku memintanya untuk mengumpulkan orang-orang yang sedang asik menelfon tersebut. Anna melepaskan gandengannya dan pergi ke arah orang-orang tersebut. Kira-kira tinggal 5 menit waktu tersisa, tapi masah ada masalah yang belum kupecahkan. Aku tidak mengerti bagaimana bom itu dapat memicu ledakan jika kita mendobrak pintu atau melakukan hal yang lain. Mungkin ada pemicu lain, atau mungkin pemicu itu berada diluar ruangan. Jika seperti itu, pasti paman John atau bahkan Hel sudah menyadari hal itu. Kemudian aku menyadari sesuatu yang bodoh. 
"Hel,kau disana?" sahutku. Sejenak suara langkah mendekatiku dan itu cukup untuk menyadari pertanyaanku. 

            Setelah bunyi sinyal radio rusak, dan beberapa saat suaranya muncul bertanya kenapa aku memanggilnya. Suaranya masih tenang tapi terasa begitu lesu tak bersemangat, mendengarnya seperti itu memberiku semangat lebih untuk tidak mati hari ini. Aku bertanya padanya apakah ia melihat seseorang saat aku mendorongnya keluar tadi, seperti orang yang menutup pintu semacamnya atau orang yang hendak berlari. Ia tampak berpikir sejenak dan ia berkata bahwa ia melihat keempat orang yang menyalami kami di depan pintu tadi. Thalia sudah mengamankan keempat orang itu, ia mengucapkan kata mengamankan seperti sudah membungkamnya.
"Pak John tidak bilang padaku tentang ini." 
"Mereka tidak ada hubungannya dengan ini. Percayalah!" Dia sedikit menaikan intonasinya seperti sedang kesal tapi ia berhasil meyakinkanku. 
"Aku percaya. Terus siapa keempat orang itu?" 
"Mereka semua cuma mahasiswa biasa. Aku sudah memastikan itu , Sagan sudah mencari semua asal-usul mereka. Mereka mengambil pekerjaan mereka online, dan mereka diminta untuk menutup kemudian mengunci itu setelah semua tamu itu masuk. Oh Dwi, bagaimana keadaan di dalam sana? Sekarang sudah 5 menit seperti waktu yang kau minta. " ia berbicara sedikit tergesa-gesa. Ia mulai panik. Sepertinya kesabarannya sudah mulai habis.  
"Aku aman. Sekarang aku membutuhkan Pak John kembali, kumohon Hel, berikan aku waktu, percayalah padaku." Walau sepertinya ia enggan melakukan itu, tapi aku mendengar suara pria , Kakek Frank membujuk Hel untuk memberikan mikrofon itu pada Pak John. Walau tidak terdengar jelas apa yang dikatakan kakek Frank, tapi aku berterima kasih padanya untuk mempercayaiku. Dan Pak John kembali dalam saluran itu. 

              Pak John menceritakan kotak yang aku temukan tadi mungkin menjadi pemicu bom yang berada di kursi pengantin itu, tapi ia tidak mengetahui bagaimana pemicu bom itu akan meledak jika pintu atau jendela itu terbuka. Gagasan bodoh muncul diotaku, aku percaya pada saat itu aku tersenyum. Apakah mungkin sesimpel ini? pikirku. Kemudian aku melihat ke arah kerumunan orang yang sudah berada dihadapanku. Mungkin sekitar 35 orang termasuk aku. Aku memperlihatkan mereka kotak kecil yang kuduga akan menjadi pemicu ledakan itu. Mereka semua terlihat lebih cerah sekarang, bahkan si Pria Jepang yang garang dan menakutkan kali ini tersenyum ke arahku. Aku tidak menyadari betapa perbedaan raut muka mereka sebelumnya jika dibandingkan sekarang, otot-otot di wajah mereka yang menegang sekarang sudah mulai melemas. 
"Aku sudah menghubungi temanku yang ahli dengan hal seperti ini. Ini mungkin mudah untuknya, ia bisa membimbing kita untuk menjinakannya." si Pria asia-eropa itu tersenyum mengatakan itu sambil tersenyum puas. Semua orang melihatnya bagai pahlawan, si pria spanyol menepuk-nepuk pria itu sambil tersenyum puas. Waktu yang tersisa mungkin tersisa hanya tinggal tiga menit. Bukan waktu yang banyak untuk seorang pemula menjinakkan bom. Anna yang bersama dengan pria tua itu disampingnya berjalan ke sampingku. Ia menggandengkan lengannya ke arahku , dan kemudian berbisik ke telingaku yang menggelitik sekujur tubuhku. 
"Oh, aku tau siapa pahlawanku disini." Ia tersenyum, aku mengenal senyum itu. Itu senyum yang sama saat Hel menggodaku. 

            Aku bilang pada sekerumunan itu bahwa mereka semua tidak perlu ikut, dan lebih baik menunggu di dekat pintu keluar itu agar dapat lari dengan cepat. Hanya aku, Anna,  si Pria Jepang bernama Hanamata, si Pria Spanyol yang berlagah sok kuat bernama Vasco, dan si Pria asia-eropa bernama Tomy yang ikut bersamaku ke arah panggung itu. Masih ada satu hal yang harus aku pastikan untuk mengetahui gagasan bodohku itu dan aku perlu melihat bom itu untuk memastikannya. Hanamata merupakan salah seorang pimpinan Yakuza yang entah ada berapa pimpinan yang memimpin disana, tapi ia orang yang cukup baik walau memang sifatnya terkesan sangat kaku bagai robot. Ia menawarkanku agar sekali-kali berlibur ke tempatnya dan ia akan menyambutku disana, tawaran yang menggiurkan hanya saja aku tidak punya uang untuk membeli tiket. Sedangkan si Vasco adalah bos minuman keras seperti anggur, alkohol dan lain-lain. Ia menawarkanku stok yang banyak dengan diskon yang besar, tapi aku hanya tersenyum ramah dan menolaknya karena aku bukan pemabuk yang harus minum beberapa dus minuman keras. Tawaran terakhir yang paling sulit adalah dari Tomy, ia menawarkanku untuk menjadi asistennya. Tomy merupakan pemimpin salah satu perusahaan minyak, tapi sayangnya aku sudah berada dalam organisasi lain jadi aku harus menolak tawarannya walau ia menggiurkanku dengan uang dan tempat tinggal untuk keluargaku. Aku menceritakan pada mereka bahwa aku hanyalah orang kurang mampu, mereka percaya begitu saja dengan hal yang kuucapkan, mereka tetap ramah dan baik pada orang sepertiku. Disampingku Anna masih menggandeng lenganku, entah apa yang akan Hel bilang jika ia melihat ini, tapi aku tidak berani memintanya untuk melepaskan gandengannya itu. 

           Akhirnya kami berada tepat dihadapan kursi pengantin putih yang selebar sekitar dua meter. Mereka semua masih melihatku bingung termasuk Anna. Aku melangkah lebih dekat dengan kursi itu, kemudian kuraba dudukannya. Sesuai dengan harapanku dudukannya tidak lembut seperti busa, dan tanpa aba-aba lain kurobek kain yang menutupinya itu. Empat balok itu menyala-nyala. Besarnya sekitar sepanjang lenganku dan tebalnya seperti batu bata. Tidak seperti di film tidak ada kabel kuning atau biru untuk diputus. Mereka semua melongo terkejut setelah melihatku melakukan itu. Anna yang masih saja menempel disampingku pun sepertinya cukup terkejut. Vasco sepertinya yang paling takut akan hal itu, ia mundur beberapa langkah yang membuatnya hampir jatuh dari panggung. Mungkin ia akan berlari jika tidak ada kami disini. Tapi kualihkan kembali pandanganku pada bom-bom itu. Kemudian kuarahkan pandanganku pada satu kotak hitam diujung kursi itu yang diatasnya terdapat lampu bulat berwarna hijau seperti yang berada di dekat pintu. Semua rasa takutku hilang, hatiku berdebar-debar hebat tapi bukan takut. Hatiku tak sabar karena terlalu senang akhirnya aku dapat bertemu dengan wanita yang menungguku dengan sabar diliuar. Aku menghembus nafas lega, dan Anna memandang kearahku. Matanya memandangku waspada, tapi ia tidak melepaskan gandengan tangannya. 
"Sepertinya kau mengharapkan ini terjadi." 
Aku tersenyum lebar, hatiku sepertinya hendak berteriak seperti 'Oh Untunglah!!!!' , tapi kuurungkan niatku kembali. Mungkin sekitar 2 menit waktu yang tersisa. 
"Tolong jelaskan semua ini, Dwi." tuntut Hanamata. 
Kali ini aku begitu yakin gagasan bodohku benar, kuteliti sekali lagi memastikan bahwa kotak hitam itu merupakan kotak yang sama dengan yang berada didepan pintu tadi. 
"Kita telah dibodohi oleh orang kaya yang pelit." Sahutku setelah cukup yakin bahwa itu kotak yang sama. 
Mereka masih menatapku bingung dengan apa yang kukatakan. 
"Jadi kita baru saja diibodohi. Tidak ada bom yang menempel dipintu atau hal semacamnya." 
Mereka menatapku semakin bingung, bahkan Vasco yang hendak kabur kembali melangkah maju. Aku menghela nafas.

  
"Aku sudah bilang bukan tentang semua aksesoris dan segala hal yang terlalu simpel dalam ruangan ini dan ceritaku tentang bagaimana aku membuat Hel keluar?" Mereka semua langsung mengangguk dengan kompak. Kemudian aku melanjutkan, 
"Jadi sewaktu Hel berhasil keluar, ia melihat keempat orang yang menyalami kita tadi di depan pintu. Kemudian temanku menanggkap mereka dan mengintrogasi mereka. Tapi mereka cumalah mahasiswa biasa yang mendapat pekerjaan online untuk menutup pintu dan mengunci pintu itu setelah semua tamu itu masuk. Hel sendiri sudah memastikan itu. Karena terlalu banyak anggota-anggota kalian diluar, jadi kusimpulkan bahwa tidak mungkin bom itu disimpan diluar karena jikapun itu memang ditaruh diluar mereka pasti sudah menemukannya. Jika kalian melihat dari sifat pelitnya dan bagaimana cara ia merekrut anggota yang tidak berpengalaman dan bagaimana caranya meyakinkan kita dengan meledakan satu bom sehingga membuat kita panik dan dalam waktu yang sangat singkat membuat kita langsung berpikir untuk membayarnya. Ia berhasil membuat kita panik. Bom yang diledakannya hanya untuk memastikan tidak satu pun dari kita untuk mencoba keluar karena ia bilang bahwa setiap jalan keluar akan meledak." Mereka semua sepertinya masih mengerti dengan perkataanku sejauh ini. 
"Tapi mari kita kembali ke sifat pelitnya. Membuat bom disetiap pintu keluar terlebih lagi dengan setiap pemicu yang begitu rumit pastilah tidak murah." Mereka sepertinya terkesiap melihat gagasanku, tapi tidak satupun dari mereka tertawa. 
"Jadi maksudmu tidak ada bom di pintu keluar atau semacamnya?" sahut Tomi yang sepertinya masih mencerna setiap perkataanku. Aku menggeleng dengan yakin. Entah mengapa setiap kata yang keluar dari mulutku memang bodoh, tapi aku memang yakin akan hal itu. Karena setiap manusia pasti menunjukan sifat terkuatnya saat mereka hendak membuat sesuatu, dan kebetulan lah sifat yang dimiliki pria ini pelit. Kemudian Tomi maju sambil mengangkat telfonnya di kupingnya. 
"Ehm.. saranku kita tidak usah menjinakan bom itu. Cukup sulit untuk pemula menjinakkan bom dalam waktu sekitar satu menit." 
"Jadi apa saranmu?" Vasco menimpali panik. 
Kemudian kurasanakan Anna bergerak disampingku. Aku melihat ke arahnya yang nampaknya sedang membenarkan posisi haknya. Beberapa saat aku menyadari bahwa ia bukan sedang membenarkan haknya, ia sedang mematahkannya. Anna membaca pikiranku, ia tahu tentang apa yang akan hendak kukatakan dan lakukan. Dia tersenyum gila kearahku, dan aku membalasnya. Hatiku bergejolak bersemangat entah kenapa, aku tidak sabar untuk menemuinya. 
"Tentu saja, kita lari!!" akhirnya aku bisa berteriak cukup keras hingga hatiku puas, dan kami pun melesat. 

               Aku tidak tau bahwa Anna bisa berlari secepat itu. Entah mengapa kami berlari sambil bergandengan tangan seperti sedang berlomba lari berpasangan. Wanita itu tertawa, entah kapan terakhir kali aku melihat tawanya itu. Perlahan-lahan aku pun mengikutinya, aku tertawa awalnya hanya cengegesan biasa, tapi hatiku seperti dipicu adrenalin yang entah darimana datangnya. Aku tertawa terbahak-bahak sambil berlari seperti orang gila. Ketiga orang di kiri kanaku sama gilanya denganku, entah mengapa mereka tertawa juga. Bahkan Hanamata yang sekaku robot itu dapat tertawa walau terlihat sedikit menakutkan. Vasco dapat menyamai langkah kaki kami entah mengapa, dengan badannya yang bulat-bulat itu ia berlari begitu cepat hingga berada tepat disamping kami sambil tertawa seperti orang mabuk. Sekerumunan melihat kelima orang gila sedang berlari, mereka melongo bingung. Mungkin dimata mereka , mereka sedang melihat lima orang kesurupan yang sudah pasrah akan nyawanya. Tapi Tomi langsung berteriak penuh semangat 
"Lari untuk nyawamu!!!" 
Mereka masih terdiam tidak mengerti. Tapi saat aku sudah tinggal beberapa meter dengan pintu yang masih terkunci itu aku menatap Anna yang nampaknya juga memikirkan hal yang sama denganku. Telepatiku berfungsi kembali, dengan diam kami seperti berkata 'Kakiku atau kakimu?' kami berdebat dan tidak menemukan jawaban, kemudian kutatap ketiga orang lainnya dan kami mencapai mufakat. Beberapa meter sebelum benturan kami mendekatkan jarak kami berlima seperti sedang lomba lari. Serempak kami mengangkat kaki kanan kami setelah tinggal dua meter dihadapan pintu itu. Menjadi seorang atlit taekwondo tidaklah mudah terutama saat sedang berlari, bahkan Vasco hampir terjatuh hanya dengan mengangkat kakinya. Dan
"DUAKK!!" Pintu terbelah. 
Seprtinya kakiku keseleo atau semacamnya sehingga langkahku dan Anna melambat. Para wanita sudah sadar, mereka mengangkat gaunnya dan ikut berlari bersama kami begitu juga dengan pria. Tidak ada ledakan, atau tembakan kami berlari menuju langit yang mulai gelap. 

                 Jauh dipandanganku, aku melihat seorang wanita yang sedang mondar mandir menggunakan gaun hitam sewarna malam. Mungkin karena suara dobrakan itu yang begitu keras, ia terkejut dan melihat ke arahku sambil melongo. Ekspresinya yang melongo ini tidak boleh kulupakan. Kakiku yang keseleo mendadak terasa sembuh begitu saja, raut mukanya yang melongo mulai tersenyum hangat. Langkah kakiku semakin cepat dan cepat. Walau aku tidak pernah lagi berolahraga rutin sejak sekolah menengah, tapi tidak ada rasa letih sedikitpun. Yang ada dipikiranku saat itu hanya satu, 'menemuinya'. 

            Aku melepaskan gandengan Anna dan aku langsung memeluknya. Terdengar suara bom meledak dibelakang kami, tapi aku tidak  perlu mempedulikannya lagi. Aku memeluk tubuhnya dengan erat, aroma lavender menjajah paru-paruku. Kurasakan lengannya yang tadinya kaget, sekarang mulai mendekapku dalam pelukannya. Hatiku serasa ingin meledak. Aku begitu gembira hingga aku tidak peduli dengan sekitarku. Tubuhnya yang hangat menghangatkanku, menyembuhkan semua lukaku dan ketakutanku saat aku berada di dalam sana. Aku melepaskanku dan memegang kedua pundaknya. Aku melihat wajahnya, bibirnya sudah berwarna pucat pasi, raut tegang diwajahnya sepertinya sudah hilang. Ia tersenyum padaku, mungkin aku jatuh cinta lagi pada orang yang sudah aku cinta, pikirku. 

          Mendadak raut senyum Hel berubah menjadi datar. Ia melepaskan lenganku yang memegangnya dan kemudian ia menujuk ke belakangku. Aku tidak mengerti apa yang hendak dilakukannya, tapi akhirnya aku tersadar. Bodohnya aku. Aku lupa bahwa aku tadi berlari bersama Anna. Matanya menatapku dingin tanpa belas kasih. 
"Jadi. Jelaskan tentang wanita ini." suaranya dingin bagai gunung es. Aku bingung, aku tidak tau harus menjelaskannya darimana. Tepat pada saat itu suara guntur bagai hujan berbunyi dari langit, awalnya aku mengira akan hujan. Tapi begitu aku melihat ke langit, ternyata sebuah benda dengan baling-baling berputar diatas kami. Helikopter itu menerbangkan rambut kami kesana kemari. Entah masalah apa lagi yang akan datang, tapi mungkin hari ini sudah cukup, pikirku. 
"Aku Anna Castrea. Aku ini satu-satunya mantan Anata."  
Leherku tercekat seperti ada yang mengganjal, kemudian kulihat Anna yang tersenyum ke arah Hel. 'Oh tidak tidak tidak' pikirku. Ia tersenyum mengejek, dan itu bukan sesuatu yang bagus. Anna maju beberapa langkah hingga kemudian berada disampingku. Aku baru tau apa yang namanya perang dingin pada saat itu. Anna dan Hel saling beradu pandang, sebenarnya mereka berdua tersenyum tapi sayangnya itu bukan senyum yang menyenangkan. Telepatiku tidak berfungsi, aku tidak tau apa yang mereka hendak perdebatkan, mereka seperti sedang berseteru begitu hebat tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku ingin kabur dari tempat ini, ini tidak baik untuk kesehatan mental dan psikis ku. Tepat saat aku berpikir untuk kabur, tiba-tiba sebuah tangga muncul dari atas langit. Mungkin ini utusan dari Tuhan, pikirku untuk menyelamatkanku. Sebelum aku sempat naik ke tangga itu, Anna mencium pipiku, dan saat aku meliriknya ia sudah menggantung di tangga itu. 
"Sampai bertemu lagi nanti, Anata!" katanya sambil helikopter itu naik semakin tinggi dan menghilang dari jarak pandangku. 

         Angin sudah tidak lagi berderu kencang sejak hilangnya helikopter itu. Frank dan yang lainnya masuk ke dalam mobil. Hel masih menatapku, badanku serasa ingin menggil. Senyum pertarungannya dengan Anna sebelumnya sudah hilang, kali ini ia melihatku kembali dengan tatapan datar tanpa ampun. Mampuslah aku. Anna baru menciumku dihadapan Hel, dan kata-kata tidak akan mampu menyelamatkan situasiku pada saat ini. Hel selangkah maju mendekatiku. Aku hendak mundur tapi aku tau itu akan membuatnya semakin rumit. Tubuhnya sudah berada beberapa senti dariku, hawa dingin begitu memancar darinya. Hel tiba-tiba memegang wajahku dengan kedua mukanya. Tangannya berkeringat basah layaknya ia mengepal kedua tangannya sedari tadi. Aku menyadari betapa khawatir dirinya yang ingin berbuat sesuatu tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Badannya semakin mendekat hingga menyentuh badanku. Dan kemudian ia menciumku.    

 

Suatu hari pada 24 Desember 2017. Seorang wanita dan teman-temannya menghidupkanku kembali. Dan hanya butuh satu hari untuk itu. 

             


 

               

             

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1328      651     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Do You Want To Kill Me?
4927      1438     2     
Romance
Semesta tidak henti-hentinya berubah, berkembang, dan tumbuh. Dia terus melebarkan tubuh. Tidak peduli dengan cercaan dan terus bersikukuh. Hingga akhirnya dia akan menjadi rapuh. Apakah semesta itu Abadi? Sebuah pertanyaan kecil yang sering terlintas di benak mahluk berumur pendek seperti kita. Pertanyaan yang bagaikan teka-teki tak terpecahkan terus menghantui setiap generasi. Kita...
Starlight and Integra
7493      1842     8     
Fantasy
Siapakah sebenarnya diriku? Apa saja yang sebenarnya disembunyikan oleh orang-orang di sekitarku? Dimana kekeasihku Revan? Mungkinkah dia benar-benar telah tewas saat peristiwa pelantikan prajurit itu? Atau mungkinkah dia ditangkap oleh Kerajaan Integra, musuh kerajaanku? (Roselia Hope, warga Kerajaan Starlight)
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4424      1448     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5453      1516     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.