Siang ini jam 10, Pak Subroto akan tiba di tempat yang telah dijanjikan. Kafe Juggle, Grage City Mall. Anzza tidak mengerti selama tiga tahun belakangan dia meraasa jika sedang merindukan ayahnya, cukup dengan memandangi wajahnya dari balik foto kenangan yang terselip di dompetnya.
Tapi, kali ini berbeda. Hanya hitungan menit dia akan bertemu Ayahnya dalam dunia nyata. Tapi rindu memburu habis tenaganya. Seperti Lintah; rindu itu lunak tapi begitu keras menghisap darah. Dia berkeringat. Mencoba berlari dari kejaran rasa bersalah dirinya, karena meninggalkan Ayahnya sendirian.
Dikiranya, setelah keluar dari jerat-jebak kekuasaan Ayahnya dia akan hidup lega. Nyatanya di luar begitu kejam. Umpamanya begitu kejamnya rasa sakit yang telah Mera berikan!
Dia sengaja datang lebih awal. Dia tidak mau membiarkan Ayahnya yang menunggu. Sebuah topi, jaket levis, kaos oblong dan jins sudah merekat dalam tubuhnya. Sebuah gaya berpakaian ala ketika dia kuliah dulu. Dan gaya ketika dia terakhir kali melihat ayahnya.
Semoga saja Pak Subroto, Ayahnya, langsung mengenalinya. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama untuk perubahan bentuk tubuh dan muka. Hanya sedikit polesan jambang rambutnya yang sengaja memanjang tak dipotong.
Dia pun siap melaju.
Semoga Ayah berubah.
***
Bu Sasa terlalu senang pagi ini. Sampai-sampai ia izin untuk masuk siang, mengambil jatah “ada keperluan” yang didispenssikan kantor untuk para karyawannya. Ini adalah kesempatan besar, gumamnya.
Ia tak sabaran menunggu Mera sedang mandi, “cepat sayang”, teriaknya beberpapa kali dalam jangka hitungan menit yang pendek. Bu Sasa berencana sengaja mencari baju baru khusus untuk menghadiri ulang-tahun pernikahan kedua orang tua Mas Rey. Mereka adalah calon besanku, lirih Bu Sasa percaya diri.
“Emang mau dimana belinya bu?”, ujar Rara sambil mengucir rambut halusnya. “Kok buru-buru amat!”
“Udah ayuk, jangan lupa bawa STNK-nya”, tungkas Nu Sasa tergesa, “ke Grage City, tadi Ibu searching lagi ada diskon, lumayan lah…”
“Iya iyaa bu”.
***
Dua orang sedang saling tatap. Matanya saling berkaca. Keduanya seolah mematung. Saling menatap tajam. Sangat tajam. Dari tempat duduknya, Anzza berdiri. Seorang lelaki dengan rambut berseling uban yang kini mendominasi pucuk kepalanya tak kepayang menyergap dengan pelukan sejadinya.
“Anzza…”, rengek lelaki tua itu, “gimana kabar kamu nak?”, semakin erat ia memeluknya,”Ayah kangen sama kamu Nak, Ayah kangen!”
Anzza mencoba merenggangkan pelukannya. Menuntun ayahnya untuk duduk. Dua cangkir espresso tepat datang. Untung saja Anzza selalu ingat, bahwa ayahnya penikmat espresso, bahkan double espresso.
Anzza mempersilahkan ayahnya untuk tenang dulu. Mempersilahkan ayahnya untuk sekadar minum dulu. sebelum acara temu kangen akan digelar dengan cerita-cerita dari kedua belah pihak yang sudah lama tidak bertemu.
***
“Bu jangan yang ini deh”, tolak Mera, “masa warnanya ngejreng banget”. “Banyak pernak-perniknya lagi… norak!”
“Nah, sini, sini Mer”, Bu Sasa menemukan pilihan bajunya lagi. “Biru dongker, polos tapi elegan”
Mera mendekati Bu Sasa. Dan membolak-balikan baju pilihan Bu Sasa yang ke sepuluh lebih itu.
“Bu,.. terlalu pendek”. Mera menyodorkan mulutnya tepat di telinga kanan Bu Sasa, “emang mau paha Mera keliatan, nanti calon besan ibu ngira aku wanita nakal?”, goda Mera.
“Enggak-enggaaak!”, tungkas Bu Sasa.
Jelas. Mera hanya sebatas merayu dengan membawa-bawa kata “calon besan” untuk menolak baju-baju pilihan ibunya. Baginya, Bu Sasa adalah sosok kurdet dalam fashion.
“Ini nih Bu”, Mera menunjukan sebuah baju dress panjang dengan warna krim. “pas untuk ngadirin pesta ulang tahun, sopan lagi”.
“Hmm, iya deh”, ujar Bu Sasa ngalah.
Mereka berdua pun bergegas menuju kasir. Setelahnya Mera izin ke kamar mandi, sedangkan Bu Sasa memilih untuk menunggunya di bawah escalator lantai satu. Dengan gontai dan senang hati Bu Sasa terus tersenyum sepanjang kakinya melangkah. Ia masih tak menyangka, bahwa dulu Mera sangat keras kepala untuk menjalankan misinya merebut hati Mas Rey. Kini Bu Sasa dengar sendiri dari mulut Mera yang mengucapkan “calon besan”. Itu artinya, Mera sudah menerima dengan senang hati misi ibunya.
Mata Bu Sasa berhenti pada dua orang yang sedang asyik ngobrol di dalam kafe. “Itukan si… siapa tuh yang nyoba deketin Mera, hmm! Si Anzza!”.
Tapi kok bisa ya dia sama orang yang keliatannya orang penting. Jas, dasi, elegan. Siapa dia?
Bu Sasa terus mengamatinya. Serasa ada sesuatu yang patut ia cari.
***
“Baiklah, tapi kamu janji minggu depan akan balik ke rum—“
“Sementara Yah,.. kan aku kerja disini”, sambar Anzza.
“Iya Zza, iya. Ini atm-nya”, Ayah menggeletakannya ke dekat bidang meja Anzza, “berapapun Zaa, silahkan”
“Makasih, Yah”, mata Anzza berbinar,”Anzza pamit dulu ya yah”
“Alamat kosmu?”, sergah ayah.
“Anzza kan minggu depan main ke rumah, sekalian nanti saja”
Anzza berdiri diikuti Ayahnya. Ayah mencuri satu pelukan lagi sebelum Anzza benar-benar pergi meninggalkannya lagi. Ayah terduduk kembali. Sambil matanya berkaca-kaca menundukan diri.
Seorang perempuan pengintai makin tergelak melihat Anzza berpelukan dengan seorang lelaki tua itu. Lelaki yang dimatanya pasti seorang penting, minimnya seorang direktur di sebuah perusahaan. Terlihat dari gaya pakaiannya. Elegan.
Perempuan pengintai tersebut semakin penasaran dan memberanikan diri menghampirinya. Tanpa strategi apapun, perempuan pengintai itu maju.
“Tadi siapa Pak?”, ucap perempuan pengintai.
“Anak saya, Anzza”, jawab cepat Pak Subroto. Tak sedikitpun Pak Subroto memandang wajah perempuan pengintai. Pikirannya masih tak karuan, “dia kabur dari rumah, sudah tiga tahun lebih, cuma gara-gara tidak mau diwariskan perusahaan ayahnya sendiri, ya saya”, jelas Pak Subroto tanpa peduli siapa yang bertanya. Ia masih terbuai suasana.
Perempuan pengintai itu tak menyiakan kesempatan jengah itu. Ia lebih menelisik, “ Kalau boleh tahu perusahaan apa memangnya Pak?”
“Saya punya dua hotel, juga bergerak di bisnis furniture”, Pak Subroto mulai membelak dan memandangi perempuan itu, “Maaf, siapa anda?”
“Saya Sasa Pak”, tanpa ragu Bu Sasa menjawab pertanyaan mudah itu, “Anzza itu teman kerja anak saya”
“Hah? Sebutkan Bu. Dimana alamat anak saya bekerja”
“Di kafe Kopinesia, Jln. Pasuketan. Emang—“
“Bu!”, panggil Mera menggelegar.
“Sudah ya pak,.. permisi”. Bu Sasa segera mendekati anaknya.
Mera menatap penasaran, “siapa itu Bu?”
“Ah sudah, ayuk pulang”, segera Bu Sasa menarik tangan Meraa.
***
Tanpa mengulur waktu, Anzza langsung mengambil uang yang dirasanya cukup. Untung saja ia selalu mengingat apapun yang berhubungan dengan Mera. Termasuk nama tempat terapi Rina dulu. Ia menancapkan gas motornya.
Anzza mensiasati semuanya. Mera tidak boleh tahu akan rencananya itu. Setelah mendaftarkan Rina, ia pun menjelaskan maksud baiknya. Setelah salah satu perawat di tempat terapi itu paham strategi Anzza. Anzza membawa perawat itu menuju Rumah Mera.
Yang lebih mendukungnya lagi perawat itu, Abang Gandi, kenal dengan sosok Mera. Ya bagaimana tidak, dulu Mera sering menunggu adiknya, jikalau Bu Sasa sedang ada keperluan mendadak. Atau katanya, Mera dulu datang dengan seorang pria bernama Fajar. Jelas nama pria itu asing di telinga Anzza. Tapi ya sudahlah. Itu tak penting juga.
“Assalamualaikum”, ketuk Bang Gandi, “permisi”
“Waalaikumussalam”, suara salam balik berseru dari dalam, “Hmmm.. Bang—“, Mera menarik nafas mengingat nama pemuda yang kini di hadapannya itu.
“Gandi, Mbak Mera”
“Oh ya, maaf, maaf. Bisa lupa gitu ya. Mari bang duduk dulu”
“Sudah mbak saya perlu sebentar saja”.
Bang Gandi pun menjelaskan maksud dari kedatangannya. Bahwa Rina kini dapat kembali mengikuti terapi untuk penyetabilan kondisi tubuhnya. Diceritakannya bahwa pemerintah mengadakan bantuan khusus untuk pasien penyakit epilepsy. Mendengar kabar itu, Mera begitu sumringah. Di otaknya langsung berpikir, setelah ibu datang dari kerjanya dan Rina dari sekolahnya, ini adalah kabar yang begitu digembirakan. Mereka pasti tak percaya ini…
Setelah semuanya selesai Bang Gandi segera menghampiri Anzza yang sedari tadi menunggu di depan gerbang rumah. “Berhasil Mas”, ucapnya senyum.
Anzza tersenyum menang, “makasih ya Bang”. Anza dan menyodorkan sebuah amplop cokelat. Sebagai rasa terima-kasih atas jasa Bang Gandi. Semua rampung dan Anzza patut merasa lega.
Sekali lagi. Jika Anzza tidak bisa mendapatkan cinta Mera. Minimal, ia tidak membiarkan Mera berlarut dalam kesedihannya. Itulah prinsip baru Anzza. Prinsip yang membuatnya menjadi sedikit ringan dalam menjalankan aktifitas nanti. Entah mengapa, ia pun merasa bahwa pola pikirnya kini berubah drastis.
Pertama, Anzza kini lebih menurunkan kapasitas keegoannya. Yang tak terasa, mulai dari penyerahan dirinya terhadap Ayah. Semua di luar logika. Seperti seorang buronan kabur yang di tahun ketiganya ia menyerahkan diri ke kantor polisi dengan cuma-cuma.
Kedua, Anzza lebih memilih kebahagiaan orang lain. Tanpa memikirkan dirinya sendiri. Mera harus bahagia, pikirrnya. Entah bahagianya dengan siapa, Anzza tidak peduli. Sekalipun dia bahagia dengan teman sekaligus bosnya sendiri, Mas Rey. Semua itu tidak masalah. Bukan ia tak mau berjuang, tapi pikirnya, merelakan adalah satu bentuk perjuangan seorang lelaki sejati.
Tak bisa dipungkiri, semua itu sebab Mera. Mera Kadarhariarto.
***
KEDIAMAN MAS REY, Pukul 21.23 WIB
Pesta digelar. Tamu undangan sudah memenuhi area yang disediakan. Bu Sasa, Mera dan Rina. Joan dan Rara. Novi dan Sigit. Dan tamu undangan lainnya.
Mas Rey sedang menemui kolega-koleganya, yang kemudian menghampiri Bu Sasa. Mera hanya diam membantu, mendengarkan obrolan basa-basi Bu Sasa dan Mas Rey. Sambil sedikit tulalit. Mera mencari seseorang. Bukan. Bukan kedua orang tua Mas Rey. Mereka belum keluar. Lantas matanya bersikeras memandangi setiap sudut. Anzza. Apa Anzza tak hadir?. Lah kenapa sih, Anzza lagi!, gertaknya dalam hati.
Sementara, di dekat sana Novi semakin berang. Cemburunya semakin menjadi. Melihat Mas Rey dekat dengan keluarga Mera, Novi mensiasati rencana buruk. Baru sedikit jengah, Mas Rey memisah dengan Bu Sasa, bersegera Novi menarik lengan Mas Rey menuju tempat yang sekiranya sedikit sunyi.
“Ada apa si Nov?”, heran Mas Rey.
“Hati-hati Mas. Mera punya maksud buruk”, jelas Novi dengan nafas yang tak teratur.
“Kamu ngomong apa sih!”, lugu Mas Rey, “Aku gak ngerti”.
“Jadi, Mera kerja di Kopinesia itu ingin misinya, dia pu—”
“Misi apalagi?”, potong Mas Rey.
“Dia bersekongkol dengan ibunya,… hmm, intinya dia ingin kamu dan Mera nikah”
Mas Rey diam. Jujur kabar demikian membuatnya penasaran. Tapi, Mas Rey juga sedikit berpikir mungkin hanya kecemburuan Novi pada keluarga Mera. Ya, begitulah jadinya jika seseorang memendam rasa, tapi sebenarnya sudah diketahui. Ya, Mas Rey tahu Novi menyukainya.
“Eh, tuh lihat.. mamah papahku keluar”, tutur Mas Rey mengalihkan tema, “kesana yuk!”
***
Anzza masih memetik-metik gitarnya. Tumben benar, Paul mau menemaninya malam begini. Biasanya dia lebih memilih untuk ngapel ke tetangga sebelah. Mereka bernyanyi, sambil Paul menebak-nebak apa yang sudah terjadi dengan Anzza. Ia lihat dengan jelas Anzza sepertinya menyimpan sesuatu yang intim. Berat. Susah untuk ditebak rupanya.
Paul berjudi dengan keadaan. dia bilang dalam benaknya, setelah lagu ini, Anzza akan membawakan lagu apalagi. Jika lagunya ngebit, kemungkinan Anzza murung hanya karena capek. Tapi jika lagu itu melankolis. Gak salah lagi, Anzza sedang patah hati. Sebab, meskipun Paul tidak tahu jelas Anzza sedang jatuh cinta dengan siapa, perubahan Anzza yang terlihat sumringah bulan lalu, Paul memvonis Anzza benar-benar sedang jatuh cinta.
Lagu “Fana Merah Jambu” milik Fourtwenty baru rampung. Anzza memetik-metik mencari nada. Jelaslah petikan itu merujuk pada lagu “Resah”, Payung Teduh. Paul pun dengan suara falsnya menimbrung bernyanyi.
Tidak salah lagi dugaan Paul. Anzza sedang patah hati.
“Stop, stoop Zza?”, sela Paul di tengah nyanyian. diaa memandang penuh Anzza. Anzza berbalik memandangnya. Seperti tahu apa maksud Paul, Anzza berpaling dari tatapannya dan kembali memetik gitarnya lagi. Menata irama, memetik-metik. Barulah ia menyanyi. Ya, baru kali ini suara nyanyian Anzza terdengar.
Ayah dengarkanlah,..
Aku ingin bernyanyi
Walau… air mata—\
Paul merebut gitar dari tangan Anzza, “cerita Zza,… aku iki temenmu toh”
Anzza terdiam sesaat. “boleh aku cerita”
Paul mengangguk, tanda sambut senang untuk mendengarkan curahan hati Anzza. Selama lebih 3 tahun mereka berteman. Baru malam ini, Paul benar-benar akan mendapatkan kesan istimewa dari teman satu kosnya itu. Ya, Anzza beranikan diri untuk bercerita.
***
Bu Sasa masih bimbang. Melihat sikap orang tua Mas Rey yang semalam, rasanya ia baru sadar. Dikiranya, dari mulai Bu Sasa meminta bantuan agar anaknya bisa kerja di kafe Kopinesia, Mas Rey sering jengukin Rina. Sampai diundang ke hari ulang tahun pernikahan mereka. Bu Sasa meramal, bahwa mereka sudah menaruh hati pada Bu Sasa, utamanya pada Mera.
Tapi, Bu Sasa kini sadar. Sikap kedua orangtua Mas Rey semalam, tidak menunjukan sikap mengistimewakannya. Bahkan dibanding dengan kehadiran Bu Sasa, Bu Yeyen lebih menyambut hangat para kolega-koleganya. Lebih banyak berbicara dengan mereka ketimbang dengan Bu Sasa ataupun Mera.
Dan pikiran itu, tiba-tiba beralih pada teman Mera yang sering ia lihat mengantarkan Mera ke rumah sakit, atau saat dulu mengantar Mera pulang ke rumah; saat lampu motor Mera mati.
Ya, Bu Sasa ingat. Namanya Anzza. Dan secara selidik demi selidik, Bu Sasa mengingat kejadian-demi kejadian, ia bertanya pada dirinya sendiri, apa Mera suka sama anak itu? tapi pastinya dia suka. Hanya saja dia tak mau ngomong ke aku, karna aku kekeh bujuk dia untuk ngejar si Rey. Apa begitu?
Dari pertanyaan itu, Bu Sasa muncul ide. Bukan hanya Mas Rey yang kaya, toh Anzza juga kaya. Anak seorang pengusaha furniture sekaligus punya hotel. Duhhhh, kenapa aku enggak kepikiran ke dia sih? Iya, ya, si Anzza.
Sarapan sudah siap. Bu Sasa makan dengan kedua anaknya. Kemudian Rina pamit berangkat sekolah. Kali ini, pikir Bu Sasa, ia harus bisa bujuk Mera.
“Mer”, Bu Sasa memberhentikan gerak Mera yang sedang membereskan piring bekas sarapan, “kamu dekat dengan Anzza?”
Mera tertegun mendengar pertanyaan itu. Dia tetiba kaku, dan duduk kembali di kursi makan,”kenapa Bu?”
“Anzza!”, tegas ibu. Mera masih bengong. Ada angin apa hingga ibu menanyakan Anzza. Andai ia boleh membentak ibunya; “Sudah, Bu, sudah… lelaki itu, ingin aku lupakan, aku telah menyakitinya, aku telah memberikan cintaku juga lukaku padanya! Atau dia Cuma pengecut yang tak mau usaha lebih untuk meyakinkan aku bahwa aku juga mencintainya, ketimbang aku harus mengejar si Mas Rey pilihan ibu itu!”
Bu Sasa kebingungan didapatinya Mera malah bengong, “Hai, Mer”.
“Eh iya Bu”, Mera membuyar, “engga Bu dia cuma teman”.
“Huh, andai saja kamu bisa dapetin hati dia, detik ini juga ibu restuin”, lirih Bu Sasa
“Apa Bu?”, Mera meyakinkan diri bahwa ucapan tadi keluar dari mulut ibunya.
“Ya ibu kira kamu sama dia dekat sekali, gapapa deh kamu sama dia”
Mera tertegun lagi.
“Telat, Bu. Dia sudah tahu misiku untuk ngejar Mas Rey”, Mera tertunduk, “sebenarnya,.. aku juga mencintainya Bu,”, Mera melemas.
“Lagian kamu enggak bilang, kalau Anzza itu anak seorang pengusaha kakap, dianya juga pengangguran pakainya motor bebek, sampe kerja jadi karyawan lagi”, tutur ibu.
“Bu?”, Mera tercengang,”kata siapa Bu?”
“Kamu inget pas kemaren ibu nemuin seorang laki-laki tua di Grage City?”, Mera mengangguk,”dia itu Ayah si Anzza”
Aliran darah Mera tetiba terasa mengarus kencang dalam tubuhnya. lengannya gemetar. Ia marah. Sangat marah. Ia merasa dibodohi oleh Anzza. Entah dengan alasan apapun, Anzza adalah manusia kejam. Ia pembohong. Anzza tak pernah jujur siapa dia sebenarnya.
Otak Mera semakin kencang bergerak. Ia pun kemudian ingat, ada satu hal yang akhirnya ia sadari. Pengobatan terapi Rina. Mana mungkin klinik swasta dapat bantuan dari pemerintah. Pasti kerjaan Anzza. Mera terasa diinjak-injak harga dirinya. Mera merasa dikasihani. Diibai. Kenapa aku harus mencintai pembohong! Penindas!
***
KOPINESIA, Pukul 15.56 WIB
Kopinesia. Disini waktu berputar kembali. Semua karyawan sedang beres-beres ingin membukanya. Tapi, mata Anzza jelalatan. Menengk-nengok. Ke kanan-ke kiri.
“Woi”, santi mengagetkan dari belakang punggung,”kenapa Zza?”
“Paling nungguin Mera”, celetuk Joan.
“Dua manusia aneh”, sambung Sigit.
“Ketemu diem, pisah nyariin”, Rara nimbrung,”kayak jalangkung!”
“Raraaaaa!”, teriak Novi , “gak nyambung!”
“ha ha ha ha”
“hayo, hayooooo”, Mas Rey datang,”seru banget, lagi gosipin apa sih?”
Berniat Joan menjelaskannya pada Mas Rey, matanya lebih memilih tekun membelak ke arah seorang perempuan yang berjalan menghampiri kawan-kawan lainnya yang jelas-jelas dia membawa air mata di kantung pipinya. Ya, Mera. dengan tergesa dia berjalan cepat. Menghampiri Anzza dan,… prettttt .
Sebuah tamparan mendarat di pipi Anzza. Semua terdiam. Bahkan Mas Rey sebagai panglima di kafe Kopinesia pun tak berkutik. Anzza dan Mera saling menatap. Hanya hitungan beberapa saat, Mera berlari terisak tangis keluar lagi dari kafe.
Anzza mengejar.
Ditariknya tangan Mera dari belakang. Anzza belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Apalagi Zza? Cowok pengecut!”
“Pengecut”, kedua tangan Mera menggebuk-gebuk tubuh Anzza, ”pengecut pengecut pengecut pengecut pengecut pengecut pengecut”. Seketika Anzza memeluknya. Mera terus terisak. Anzza tak bicara sedikitpun. Ia peluk dalam-dalam. Mengelus-elus rambut Mera.
Mera masih terisak,”kamu pengecut Zza, pengecut!”. “kenapa kamu gak bilang kamu itu siapa?”
Mendengar itu Anzza merenggangkan pelukannya, tapi tak melepaskan jerat tangannya pada tubuh Mera, “Maksudmu?”, Anzza menatap tajam mata lebam Mera.
“Kamu anak seorang pengusaha, kamu golongan elit!!”
Anzza melepaskan tangannya dari tubuh Mera, lantas pergi kembali ke arah Kafe.
“Kenapa Zza!”, teriak Mera.
Anzza berbalik badan, “yang kaya Ayahku, bukan Aku! Kamu sudah benar, kejar Mas Rey itu! dia yang kaya!”
“Kamu nyangka aku matre?”, teriak Mera,”kamu gak tahu rasanya jadi aku, yang harus menjual harga diri seorang perempuan yang hanya ingin membahagiakan orang tuanya dan menyelamatkan adiknya!”
“Aku benci kamu Zza!”, teriaknya lebih kencang. Lantas lari menuju motornya.
Anzza melanjutkan langkahnya meninggalkan Mera. Melihat Anzza masuk kafe kembali dengan muka berang, Rara cekatan keluar mencari Mera. tapi nihil. Mera sudah tidak ada. Rara masuk kembali dengan wajah yang sangat cemas.
Mas Rey berbuat apa-apa. sebab Mas Rey tahu jika menyangkut perasaan, tidak ada yang berhak ikut campur. Kecuali dua hati yang bersangkutan. Mas Rey menepuk bahu Anzza, yang sangat begitu nampak murung. Kawan-kawan lain melanjutkan aktifitasnya.
“Mas kalo boleh aku izin ya?”, tutur Rara ketika Mas Rey duduk termenung. Memang benar, penghuni Kopinesia sudah seperti keluarga sendiri. Tidak sebatas tempat kerja bagi mereka. Mereka keluarga. Satu sakit, semua merasakan sakit. Satu resah, semua pun gelisah.
“Aku mau ke Mera”, sambung Rara, “khawatir,..”
“Lagian kan sekarang ada aku Mas”, Santi menyerobot,”aku kan multifungsi bisa jadi pelayan juga”
Mas Rey menganggukan kepalanya. Setuju.
***
KOPINESIA, Pukul 20.13 WIB
Malam ini Alen datang lagi. Novi sudah menebak, dia datang hanya untuk menggoda Mas Rey. Setabah mungkin Novi tidak mau memperlihatkan jengkelnya.
“Mas Rey ada?”
“Mau pesen apa mbak?”, sindir Novi.
Alen tersipu malu, “Oh ya, Vietnam drip tanpa susu satu yah,..”
Novi hendak berbalik, Alen melambaikan tangannya “Nov, Novi”. “Mas Rey mana?”
“Saya disini”, sambar Mas Rey dari belakang punggung Alen, ”Kangen toh mbak?”
“Ha ha ha”, Alen memekik.
Novi kabur. Berang. Si perempuan itu memang ganjen!
***
Jargon “penyesalan ada di belakang” sedang terpampang di depan kehidupan Anzza. Sehabis kejadian kemarin sore, ia sadar, benar kata Mera. Dirinya memang pengecut. Seharusnya, kalau benar seorang lelaki mencintai, ia harus bisa berusaha. Ketika ia memungkinkan diri untuk mencintai, kenapa tidak bisa memungkinkan diri untuk berusaha? Mera, Mera,..dengusnya.
Anzza juga berpikir, sekalipun Anzza tahu Mera punya misi menjeraat Mas Rey, toh sampai saat ini tidak ada peristiwa apapun yang sepesial diantara mereka? Anzza juga tidak melihat Mera mencari perhatian Mas Rey. Apa jangan-jangan Mera sendiri sebenarnya benar; dia tidak mau menjerat Mas Rey? Hanya sebatas perintah ibunya saja? Dan Anzza yakin, Mas Rey pun belum tahu tentang ini. semua belum terlambat. Masih ada waktu untuk Anzza mengejar cintanya. Mera. Ya, Mera Kadarhariarto.
Tapi bagaimana caranya? Anzza bingung untuk memulai langkah awalnya. Anzza sediri, meyakini Mera memiliki rasa yang sama. Bagaimana Mera sering ia lihat mencuri pandang. Bagaimana energy tawa Mera ketika mereka berdua bersenda-gurau saat kerja. Bagaimana cara Mera memeluk Anzza dengan penuh hangat. Ya, pelukan penuh perasaan. Begitu hangat. Anzza tahu itu pelukan sebuah kasih. Sebagaimana pernah ia dapatkan dari sosok Ivanka Lazarova. Hah? Ivanka? Lupakan! Itu sudah berlalu!
Hmm, aha, sumringah. Anzza sumringah. Ia punya ide. Bagaimana untuk mencari momen yang tepat untuk meminta maaf. Hari ulang tahunnya. Ia harus mencari hari ulang tahunnya. Di hari bahagianya.
Dan jalan satu-satunya adalah mencari tahu di biodata media sosialnya. Dan saat seperti inilah medsos seperti penyelamat. Meskipun Anzza tak pernah bermain medsos seperti manusia milenial jaman now, setidaknya semasa SMA-nya dia pernah dibikinkan sama Ivanka. Hah? Ivankan? Lupakan! Itu sudah berlalu.
Selesai berselancar, mencari nama Mera Kadarhariarto dan mencocokkan dengan foto profilnya, “Apa! dua hari lagi!”
***
Dari kemarin sore Mera mengurung diri di kamarnya. Dan barangkali kejadian inilah yang membuat Rina bingung. Sepanjang dia hidup bersama kakaknya, ia baru melihat kakaknya serapuh ini. Pulang dengan muka penuh tangis. Matanya lebam. Untung saja sore kemarin ibu belum pulang hingga tak menyaksikan kejadian itu.
Rina dilarang masuk ke kamar kakaknya. Setahu Rina, dari dulu kakaknya tidak seperti ini. Bahkan saat Bu Sasa memaksa Mera menyudahi hubungannya dengan Fajar, Mera memang nangis. Tapi baru sebentar ia ceria lagi. Jarang sekali Mera sedih berlarut untuk masalah yang bukan urusan keluarga.
Ya, Rina mengakui kakaknya bisa sedih berlarut ketika dia menjumpainya kambuh sakit, atau ibunya kecapeaan. Tapi Rina yakin, kali ini, dari sorot mata kakanya bukanlah perihal dia dan ibunya. Dan dari dalam kamar, Rina mengutuki nama Anzza.
Ya, Rina ingat betul sosok Anzza adalah seorang lelaki yang dulu pernah menjenguknya dan membawakan martabak kesukaannya. Rina yakin ada yang terjadi dengan mereka berdua. Dan satu kesimpulan yang baru di dapat Rina, oh, Kak Mera punya hubungan toh sama Mas Anzza.
“Dasar, orang dewasa! Cinta-cintaan kok kayak drama korea”, kutuk Rina. Sebuah dering berbunyi dari handphonya. Dilihatnya, “Rasya”. “Ini lagi, gak kapok-kapok. Cowok sok kegantengan! Ujung-ujungnya bakal bilang Rina aku cinta kamu”, seketika Rina me-rejeck pa
nggilannya, “masih SMA juga! Cinta-cinta! Makan tuh cinta!”
***
“Tumben Zza, kamu ngajak keluar”, sambut Mas Rey yang baru datang , “untung aku free”
“Hehe, iya Mas”, senyum Anzza, “maaf ya”.
“Ada apa Zza? Penting banget ya?”
Anzza terdiam sejenak, “Mera Mas”, Anzza gugup, tak yakin dengan inisiatifnya. “Mas Rey …hmm, Mera,..”
“Iya tenang Zza”, sambar Mas Rey ringan, “Iya aku tahu”.
Anzza melongo. Apa maksud Mas Rey? Mas Rey tersenyum, “iya Mera memang punya misi buat ndeketin aku, tapi ya….”, Mas Rey tidak meneruskan ucapannya malah menyambungnya dengan senyum-senyum gak jelas. Anzza tercengang.
Apa? Mas Rey sudah tahu? Dari siapa? Kok bisa? Novi? Semua terlambat. Anzza sedikit menegang. Rencananya gagal. Ternyata Mas Rey sudah tahu. Ia malu. Sangat Malu. Bagaimana ini?
“Aku juga sayang Mera”, tegas Mas Rey sambil memberhentikan senyumnya merubah wajah dangan tatapan tajam ke arah mata Anzza yang seketika membelak. Anzza mnaiki dosis tercengangnya. Menatap penuh mata Mas Rey. Tubuhnya tetiba dingin. Entah harus apalagi yang bisa diusahakan. Semua tak tertebak. Anzza kacau mendadak.
“Sebagai teman dan karyawanku”, sambung Mas Rey memekik tawa.
“Maksud Mas?”, kata Anzza bingung. Mas Rey semakin terbahak melihat wajah serius Anzza.
“Ya, aku sayang Mera sebagai teman dan karyawanku, gak lebih Zza”
“Jika Mas tahu Mera mau mendekati Mas, berarti Mera sering—”
“Tapi nyatanya Mera tak mendekatiku, dia tak pernah nyari perhatian atau apa. ia hanya mau mendekatiku, sekadar mau, sekadar niatnya saja”, Mas Rey menghembuskan nafas panjang daan menepuk bahu Anzza, “sudahlah Zza, aku tahu kau dan Mera saling menyukai”.
“Jadi laki-laki harus berusaha dong, kejar”, lanjut Mas Rey.” Aku memang tahu Mera punya niatan mendekatiku, mungkin karena kondisi keluarganya, utamanya adiknya. Sekalipun aku tak tahu persisnya gimana. Yang aku tahu Persis dia menyukaimu juga. Jadi aku membiarkan semuanya berjalan sebagaimana mestinya. Sebab aku percaya suatu nanti cinta yang nyatuin kalian. Dan sekarang mungkin sudah waktunya, kau harus menyatakannya. Berusaha!”
Anzza menghirup nafas lega. Benar. Mas Rey adalah malaikat bagi penghuni Kopinesia.
“Tapi masalahnya”, prolog Anzza. Anzza bercerita tentang semua yang terjadi. Khususnya perihal strateginya yang merencanakan perayaan kecil ulang tahun Mera. di saat momen itu, Anzza ingin meminta maaf dan memberaanikan diri untuk menyatakan cintanya.
Rencananya Anzza meminta Kopinesia sebagai tempat bukti cerita Anzza dan Mera. Sebab di Kopinesia seolah kisah mereka mengalir.
Anzza ingin membawa Reksa, adik angkatnya, berkolaborasi dengannya memainkan gitar dan membawakan sebuah lagu untuk Mera. Dan yang musti Mas Rey bantu adalah mengizinkan Kopinesia dipakainya untuk konser mini itu. Dan yang kedua membujuk Mera untuk hadir. Sebab Anzza yakin semenjak kejadian sore kemarin sepertinya Mera resign dari Kopinesia.
“Setuju!”, jawab tegas Mas Rey.
Anzza tersenyum puas. Rencana dimulai. Sementara, nanti malam Anzza akan membujuk Reksa untuk main bersamanya. Sementara Mas Rey mencoba menghubungi dan merayu Mera untuk hadir besok malam ke Kopinesia
***
Mera mendapat pesan WA dari Mas Rey. Rencana bereaksi. Benar saja, Mera kekeh tidak mau menginjakan kakil lagi di Kopinesia. Sekalipun hanya satu malam. Mas Rey terus membujuknya, bahwa malam itu sebagai malam perpisahan dengan Mera. sebab bagaimanapun Mera adalah bagian dari keluarga Kopinesia.
Pesan demi pesan berlalu. Hingga pada ujungnya mendapat sebuah kesepakatan: Mera hadir dengan syarat Anzza tidak ada di Kopinesia. Ya Mas Rey terpaksa bohong.
Anehnya Mera tidak menyadari bahwa agenda malam perpisahannnya itu tepat di malam yang ketika jam jatuh di angka 00.00, umurnya bertanda bertambah. Ya, memang kesedihan yang sedang dirasanya saking kejamnya, telah menghapus ingatan tentang hari kebahagiaannya. Hari ulang tahunnya.
Bagi Anzza waktu begitu sangat cepat. Jauh dalam dirinya, ia menyimpan sebuah raasa khwatir jika rencananya gagal.
Malam berganti pagi. Gelisah kian merembak. Pagi itu Anzza segera menemui Reksa untuk menjelaskan maksudnya. Sayang sekali saat Anzza sampai di rumahnya Reksa sedang tidur pulas. Kata ibunya ia baru tidur jam 6 pagi tadi. Mau tidak mau Anzza menunggu Reksa sampai bangun.
Satu jam, dua jam, tiga jam. Sampai pada akhirnya Reksa bangun. Dengan sedikit penjelasan, sudah barang tentu Reksa akan mengiyakannya. Sebab Reksa sudah menganggap Anzza adalah Abangnya sendiri.
Dan di luar dugaan, bagi Reksa sendiri ini adalah momen yang ia dambakan. Bisa main gitar selain di jalanan, dan berduet dengan guru gitarnya. Sungguh hidup penuh kejutan. Dan terlebih malah kelihatannya Reksa yang tidak sabaran menunggu konser mini itu berlangsung.
***
Kopinesia. Lebih dari sekadar kafe. Di sana panggung kehidupan di gelar. Kisah Mas Rey dan Mbak Nabil yang kandas sebab kepergian Mbak Nabil menuju surganya-Nya. Kisah Rara si perempuan korban broken home menemukan hidupnya yang baru. Hidup bersama Joan si lelaki pelawak berambut kriting mie ayam. Kisah Novi yang masih saja memendam perassaannya pada Mas Rey. Dan sekarang, nanti malam, apakah yang akan terjadi pada Mera dan Anzza? Entahlah.
Panggung mini telah tersusun rapih. Dua gitar akustik berserta mikrofonnya. Sedikit hiasan foto-foto kenangan yang terjadi di Kopinesia, sengaja Mas Rey cetak dadakan. Di tambah dengan foto-foto yang ia minta dari segenap keluarga Kopinesia. Foto-foto itu dikaitkan pada benang-benang yang menjalar. Sedikit lampu lengkap warna mulai menyala. Di depan panggung itu Anzza berdiri mengamati setiap sudutnya.
Mas Rey menepuk bahunya, “Kamu pasti berhasil Zza”. Anzza menimpalinya dengan senyuman terimakasihnya. Mas Rey memang malaikat. Semua sudah siap. Tinggal menunggu kedatangan Mera.
Sesuai rencana, Anzza sementara disembunyikan dulu sampai Mera benar-benar mau duduk tenang. Karena bagaimana pun juga pada kesepakatan awal Mera tidak mau melihat batang hidung Anzza.
Mera datang. Kali ini dia membawa adiknya, Rina. Mula mula Mas Rey dan Joan menyambutnya. Mempersilahkan kakak beradik itu untuk duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan.
Mera duduk tenang. Kelihatannya dia bingung melihat panggung mini itu. dia menengok-nengok seetiap sudut tempat itu. Perlahan dia mengingat kenangan-kenangan yang terjadi di tempat itu. Canda tawa. Waktu pertama kali dia belajar menyeduh kopi. Kenangan saat jalan-jalan ke Palutungan. Dan pada ujungnya, wajah Anzza muncul dalam rangkaian ingatan . Dia pun segera sadar dari imaji kenangan itu.
Mas Rey mengajak Mera dan Rina mengobrol santai. Sekadar basa-basi. Sebalum akhirnya Anzza akan naik panggung. Hingga pada akhirnya, dua orang berjalan santai manaiki panggung. Seorang bocah dan sosok Anzza yang malam itu baru pertama kalinya ia berpenampilan kasual. Sebuah kemeja merah maroon polos, dengan levis gelap. Dan rambutnya tertudung topi ala seniman.
Tubuh Mera gemetar, saat di depan sana Anzza mulai menatapnya. Aliran darahnya begitu cepat. Keringat dingin mulai terproduksi. Antara kesal, dan terperangah dengan sosok Anzza yang begitu mempesona malam ini. Mera bingung apa yang harus ia lakukan. Semempesona-pesonanya Anzza saat ini, tetap saja di matanya adalah lelaki pengecut. Lelaki yang telah menyakiti hatinya. Dan Mas Rey bohong. Cukup sempurna untuk hal tadi membuat Mera terdiam beku.
Seketika matanya mengeluarkan setetes air mata. Mera begitu cepat beranjak dari tempat duduknya berniat untuk pergi. Tapi Joan lebih sigap, penuh kuat mendudukan Mera pada tempat duduknya kembali. Kejadian itu mencuri fokus para pengunjung lainnya.
“Selamat Malam”, Anzzaa membuka bicara dengan mikrofonnya, sambil menatap muka merah Mera.
“Izinkan saya dan adik kecil saya, Reksa, membawakan sebuah lagu”, tutur Anzza penuh yakin, “lagu ini akan menjadi saksi,.. bahwa saya Anzza Putra Utama, mempersembahkan sebuah lagu untuk sosok perempuan yang berbaju merah itu”. Anzza mengarahkan matanya ke arah Mera dengan tajam, memberi sinyal ke semua pengunjung bahwa perempuan itu sedang duduk dan ditatapnya. “sebagai permintaan maaf saya dan perempuan itu juga….”, Anzzaa terdiam. Menarik ulur nafas panjanganya, “adalah seorang wanita yang saya cintai”.
Tepuk tangan pengunjung bergemuruh memenuhi Kopinesia. Mera tak tahan lagi untuk menumpahkan seluruh air matanya. Ia yakin, air matanya itu berubah haluan. Dari arah kesedihan yang berkecamuk, menuju ke arah kebahagiaan. Rina di sebelahnya tersenyum dan keras menepuki itu. Rina yakin, kakaknya pantas mendapatkan perlakuan istimewa ini.
Reksa memulai dengan petikan, disusul Anzza. Berkolaborasi. Intro music memadati suasana. Anzza mulai bernyanyi.
Ada yang tak sempat tergambarkan.. oleh kata
Ketika kita berdua
Hanya aku yang bisa bertanya
Mungkinkah kau tahu jawabnya
Malam ini begitu sempurna, decak Mera. Mera berdiri menuju panggung. Menyambut sebuah Mikrofon. Dan mulai ikut menyanyi…
Malam jadi saksinya
Kita berdua di antara kata
Yang tak terucap
Berharap waktu membawa keberanian
Untuk datang membawa jawaban
Mungkinkah kita ada kesempatan
Ucapkan janji
Takkan berbisah selamanya…
Tepuk tangan bertubi-tubi menggelombang. Benar. Benar sekali. Rina tersenyum, akhirnya. Suara Mera memang begitu indah. Suara yang dia pendam sekian lama, kini keluar. Seperti harta karun yang baru ditemukan oleh detektif; semua terkejut.
Anzzaa dan Mera membawakan lagu penuh rasa. Mengalir. Memenuhi setiap hati yang terpanggil untuk bernyanyi menikmati kopi dan malammnya.
Setelah mengakhiri lagu, Anzza menatap penuh Mata Mera.
“Aku mencintaimu”
Tepuk tangan bergemuruh.
“Maukah kau jadi,…?”
Sebelum ungkapan itu selesai, serentak seluruh pengunjung berteriak “terima,.. terima,… terima,…” dengan iringan tepukan tangan. Begitupun Mas Rey, Rina. Novi. Joan dan Rara. Semuanya. Semuanya berteriak. Sekian detik tegang. Mera menatap Anzza dengan penuh.
Dan Akhirnya. Mera tiba-tiba memeluk Anzza.
Tepuk tangan bergemuruh kembali. Bertubi-tubi. Dua pasang hati telah menyatu. Mengawali cerita pada malam ini. Pelukan itu begitu erat. Sangat erat. Seorang bocah ikut tersenyum tepat di sebelah mereka berdua. Tepuk tangan mulai menyusut.
Seorang bocah itu, ya Reksa, muncul membawa sebuah kue ulang tahun dan berdiri dantara Anzza dan Mera. Kejutan bertubi-tubi. Malam ini akan menjadi momen yang tak terlupakan bagi Mera. semua pengunjung ikut antusias menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun”.
Mera meniup lilin itu. Mera baru sadar malam nanti ia ulang tahun. walaupun sedikit bingung. “Anzza, kan nanti malem baru ultah?”
I”Lebih cepat lebih baik, he”, jawab ringan penuh lirih.
***
Setelah Anzza dan Mera turun panggung. Seluruh Kawan Kopinesia berkumpul. Hanya Reksa yang sudah pulang, dipesankan Grab-car.
Sekadar ngopi bersama. Tentu, mereka terus menyoraki Anzza dan Mera. sampai mereka berdua tak bisa bicara, hanya ikut tertawa. Ledekan demi ledekan.
“Mas Rey, kalau Sigitkan udah pasti gak normal nih”, cetus Joan.
Semua pun tertawa. “Apaan si Jo”, sergap Sigit. “Ya masa cuma lo yang belum berpasangan?”
“Novi gimana?”, Sigit membela diri. Semua menatap Novi sambil menahan tawa. Novi cemberut.
“Eit”, sambar Mas Rey, ”Novi mah tinggal jawab mau apa engga juga udah lepas lajang”.
Semua melongo. Masih kurang paham dengan maksud Mas Rey.
“Maksudnya?”, tanya Novi.
“Apa aku harus bikin acara kaya Anzza dulu biar kamu faham Nov?”, kata Mas Rey..
“Jadi,…” Novi gugup.
Mas Rey mendekati Novi, ”kamu mau jadi,..”, Mas Rey memegang kedua tangan Novi sambil menedipkan mata.
Semua tegang. Mereka yakin, ini serius. Menegang.
Novi hendak mengucapkan sesuatu. Tapi segera telunjuk jari kanan Mas Rey membendung mulutnya, “Jangan bilang kau juga mencintaiku, sebelum itu, tuhan sudah lebih dulu membisikannya padaku”
“Uhhhhhh,”, gelagak Joan. Semua tertawa. Melihat Novi benar-benar resmi menjadi kekasih Mas Rey hanya dalam satu anggukan.
Mas Rey memang seharusnya sadar. Memang Mas Rey sudah tahu semenjak ada Nabil, sebenarnya Novi menyukainya. Tapi bukan berarti gara-gara kepergian Nabil, akhirnya Mas Rey menerima Novi. Bagi Mas Rey; cinta tak pernah datang disengaja, tapi juga bukan sebuah kebetulan. Cinta itu ada. Ya, ada.
Semua menikmati malam ini. Kopinesia lahir dengan wajah yang baru. Sorak, tawa, terus berayunan detik demi detik. Tapi,..
Seorang lelaki tua datang di tengah-tengah asyiknya canda. Anzza tahu betul siapa dia. Pak Subroto. Ayahnya sendiri. Dan di sebelahnya, seorang perempuan seumurannya berdiri penuh senyum; Ivanka Lazarova. Ivanka sembari memeluk seorang wanita keibu-ibuan yang tak Anzza kenal. Wanita tua itu memandang Anzza sambil matanya berkaca-kaca.
Wanita tua itu menyambar peluk tubuh Anzza dan mengisak tangis,”Anzza,… kamu Anzza. Kamu sudah besar Nak, ini Mamahmu”. Anzza berdiri tak berkutik. “Maafin Mamah, Nak”. “Maafin Mamah”. Anzza semakin tak berkutik.
Semua hening.
“Aku sudah buktiin. Aku bisa menemukan Mamahmu toh?”, tutur Ivanka menatap Anzza.
Dalam benak Mera, oh Anzza punya adik toh, tapi kok kayak seumuran ya?. Ivanka menyalami semua keluarga Kopinesia, “salam,.. Ivanka,”
“Rey”. “Joan”. “Rara”. “Sigit”. “Mera”.
Mera memberanikan diri bertanya, “Kamu adiknya Anzza yah?”. Ivanka tercengang.
“Hmm, maaf, saya,.. kekasihnya Anzza”.
Jlebbbb. Mera enggak bisa ngomong apa-apa. darahnya kembali deras. Bendungan jantungnya bobol. Mengalir keras. Sedikit tak percaya dengan apa yang ia dengar.
Sementara Anzza masih berdiri dipeluk Mamahnya tanpa kutik.
Kau Zza, hari ini memang penuh kejutan.
Tanpa mendung, hujan turun dari kedua matanya. Adakah sebuah payung yang teduh untuk Mera malam ini?
Bagaimana selanjutnya? Nantikan! SEBUAH PAYUNG YANG TEDUH 2: Akad.