Read More >>"> #SedikitCemasBanyakRindunya (Resah) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - #SedikitCemasBanyakRindunya
MENU
About Us  

Aku ingin berjalan bersamamu

Dalam hujan dan malam gelap

 

KOPINESIA, 23.58 WIB

Seminggu yang lalu, ada dua kejadian yang begitu mencengangkan. Seluruh “Kawan” di Kopinesia sedikit canggung untuk bertindak. Apa yang harus mereka pilih? Merayakan dengan sukacita kejadian peluk Anzza dan Mera? Atau menyepi dengan dukacita perpisahan Mas Rey dan Nabil?

Ya, apakah kalian sekarang setuju jika perihal cinta dan kematian adalah misteri besar?

Seminggu itu, Mas Mas Rey memang sering datang ke Kopinesia. Tapi nampaknya ia sedikit sangat murung. Masih berkabung. Tak banyak bicara. Semua tahu bahwa senyum sapa Mas Rey pada siapapun bukan sebuah senyum seperti biasanya. Jauh di dalam lengkung senyumnya, ia menyimpan duka. Seperti terpaksa. Atau memang sedang berusaha untuk menetralisir semua kejadian.

Hari ini, adalah week end akhir bulan. Dulu, pada awal bulan Novi usul, liburan sekarang destinasi yang dituju adalah Curug Putri, Palutungan, Kuningan. Biasanya Joan memberikan kode ketika waktu liburan datang. Tapi, untuk kali ini tidak ada bicara. Memberi kode. Atau apapun. Yang mereka tahu, tidak cukup bagi Mas Rey membuka dunia hanya dalam satu minggu setelah kepergian Nabil.

Ya. Tapi siapa yang tahu tentang hari selanjutnya? Memang pantas jika bagi semua karyawan bahwa Mas Rey adalah sosok Ayah yang selalu mengerti bahwa anak-anaknya perlu liburan. Jam menunjukan pukul 00.20 WIB. Kiranya semua karyawan baru saja sampai di rumahnya masing-masing. Tetiba, notifikasi dari grup WA “KOPINESIA” meluncur di setiap hape mereka.

 

 

Mas Rey: Seperti biasa ya, kumpul di kafe jam 7. Sesuai keputusan bersama, Curug Putri, Palutungan. Jangan lupa bawa jaket, dingin. Kecuali @Joan, udah ada yang ngangetin, iya enggak @Rara?

Anzza: Sip

Novi: O’ow. Sip, Thank’s @MasArdi.

Joan; @Anzza juga udah punya penghangat loh Mas, iya engga @Mera?

Rara; @Mera jangan pura-pura tidur!!

Mas Rey; Wah, selamat @Anzza & @Mera.

Anzza kebingungan apa yang harus dia jawab. Semantara, sungguh hanya Mera yang baru saja buka Handphone setelah ngecek memastikan Rina baik-baik saja di kamarnya.

Novi; Selamat.

Sigit; selamat

Joan; Selamat.

Anzza semakin bingung, Mera juga bingung. Entah mengapa keduanya buntu dengan tanda pendek

Anzza; ? (00.29)

Mera; ? (00.29)

Joan; Tuh kan bener. Udah cocok. Sama-sama ngirim tanya dengan waktu yang sama? Haha

Kecuali Anzza dan Mera, semuanya melanjutkan ledekannya. Anzza dan Mera saling diam di kamarnya masing-masing. Anzza sendiri sedang penuh tanya. Ia membuka sebuah buku dengan cover yang sudah berdebu di antara deret buku-bukunya. Ia ingat betul, sudah setahun lebih tidak membuka catatan tersebut. Ya, di catatan itu lah Anzza pernah menuliskan harapannya. Catatan itu adalah setengah dari dirinya. Cukup ia yang tahu. Ia mengambil sebuah pulpen di meja kecil milik Paul.

Dibukanya catatan itu. Ada sebuah foto seorang perempuan yang terselip. Mengenakan sebuah jaket rajut merah. Rambutnya terurai. Pipinya menyandang dua lesung. Giginya sedikit gingsul, membuat senyumannya begitu memanja. Ia membakar foto itu. Dan mulai menuliskan sesuatu;

PERGI

Hari-hari menjadi api, Janji kita mulai melepuh

Dibawa angin menuju pengingkaran

Masa lalu bukanlah waktu

Sekalipun jam pernah menghitungnya

Masa lalu sekadar ruang

Yang luasnya sebatas ingatanmu

 

Selamat tinggal.

_______________________________

Anzza mengembalikan catatan itu ke tempat sebermulanya. Ia berpikir untuk membeli buku baru. Maaf Ivanka, aku harus memulainya, selamat datang Mera, decaknya sembari mulai berusaha mengatupkan matanya.

Sementara di sana, Mera, merebah tanpa kutik. dia memandangi langit-laingit kamar. dia sendiri bingung. Entah apa yang ada dipikirannya. Bukannya apa-apa. Dibayangnya, ada dua sosok yang membuatnya susah memejamkan mata. Padahal, kaki itu sudah pegal digempur kerja. Ya, ada Anzza dan Bu Sasa. Antara Anzza dan ibunya. Berusaha memiliki Mas Rey rasanya bukan karena cinta, tapi karena ibunya. Hah, cinta? Jadi kalau ke An—? Cin—

Ah, tidak!, jerit Mera dalam hati.

Solusinya,..Tidur!

***

 

Di sepanjang jalan Anzza dan Mera jadi bulan-bulanan kawan-kawan, termasuk Mas rey. Utamanya dipelopori si manusia berambut kriting, siapa lagi kalau bukan Joan. Joan terus saja membanggakan dirinya. Bahwa dari awal dia sudah menebakk bahwa suatu saat Anzza dengan Mera akan menyatu. Dan nyatanya itu terjadi. Sekalipun baik di benak Anzza ataupun di benak Mera, mereka masih menepis-nepis ungkapan tersebut. Ataukah Mera sedang menunggu Anzza mengungkapkannya?

Terlalu klasik memang. Sebuah kisah roman yang selalu berulang dengan rantai alur; awalnya saling benci, kemudian saling mencintai. Di seluruh novel-novel teenlit. Sinetron. Teater. Bahkan di anime sekalipun. Kisah itu dengan gampang ditemukan. Anzza menyadari itu. Menyadari kisah klasiknya dengan Mera. dan semua akan berujung pada dua pintu; sad ending atau happy ending. Tidak ada yang tahu. Termasuk Anzza sendiri. Termasuk Mera sendiri.

Tapi untuk apa semua itu dibicarakan, toh nyatanya diantara Anzza dan Mera belum memastikan dirinya masing-masing untuk segera bersatu. Anzza akan tetap Anzza.dia pendiam. Dan Mera pun yakin dengan negative thingking-nya bahwa Anzza tidak terlalu memikirkan hal semacam percintaan.

“Mas, saya sama Rara, mau misah sebentar ya”, unjuk Joan, setelah baru beberapa menit sampai di air terjun atau curug Putri.

Kedatangan Kawan Kopinesia disambut oleh jejeran pohon-pohon ala hutan yang terawat. Tinggi menjulang penuh hijau dan suara beburung. Udara megepung hidung Kaawan Kopinesia agar terus menghirupnya dalam-dalam. Oksigen menari-nari di atas imajinasi tentang polusi ketika Kawan menjalani hari di Cirebon, kota yang digemingkan bakal seperti Jakarta. Lantai hutan selalu basah. Sebuah rumah-rumah semacam kamp untuk para pengunjung tersebar di setiap sudut. Bentuknya yang imut, sederhana, bermodal kayu dan dedauan, membuat Joan ingin sekadar memberhentikan kebisingan dunia bersama Rara.

Mas Rey, Anzza, Novi, Sigit dan Mera lanjut menuju curug. Tidak jauh dari gerbang masuk parkir kendaraan. Bebatuan hijau. Air membias hijau. Daun hijau. Di mata, semua bak hijau menyeluruh. Asri. Serangga, beburung dan hawan yang berada disini lebih hebat ketimbang manusia, benak Anzza. Mereka benar-benar memiliki kelebihan menjaga alam.

“Dingin...”, celetuk Mas Rey dengan dua tangan yang kegigilan, “Anzza mau pop mie? Anget kayaknya”.

“Engga deh Mas”.

Mas Rey melirik Mera yang sedang menyipakkan ujung jarinya ke aliran air terjun, “Kamu Mer?”

“Hm, makasih Mas”, tungkas Mera. Sebenarnya Mera juga kedinginan, enak juga dipikirnya makan pop mie yang hangatt. Tapi, engga enak juga Anzza saja menolak tawaran itu. Nanti dikira celamit.

“Novi, Sigit… mau?”

Novi dan Sigit saling berpandangan. Dan berbarengan juga menatap Anzza dan Mera.  “Mau mas”, rentak mereka sambil tersenyum.

“Yaudah, Anzza dan Mera tunggu disini ya. Kita bertiga ke depan dulu. Nyari pop mie”.

Anzza dan Mera melongo.

***

 

Gemericik air yang tumpah dari kepala curug, menata irama. Semacam musik alam. Kedua manusia yang dirundung bingung masih saling diam di tengah nyanyian burung. Adakah apa yang terjadi setelah diam beberapa menit ini? adakah pembicaraan basa-basi? Atau bertahan dalam kecaman rasa malu untuk sekadar menanyakan “dingin ya Mer?”. Ah, ada juga lelaki sepengecut Anzza. Apa pendiam? Alasan saja. Apa guna lelaki, jika tidak berani ambil resiko?

Mulutnya mulai membentuk ancang-ancang. Tapi siapa sangka gerimis menyergah mata mereka berpandangan. Dibawanya keempat mata tersebut mendengak ke atas. Menyela pandang menuju langit, di antara kanopi daun-daun pohon yang meneduhi area curug. Gagal. Anzza gagal hanya sekedar memulai obrolan “asyik yah”.

Hanya bermodal saling tatap pendek, mereka berdua menepi di sebuah gubug yang paling dekat. Tetiba handphone Mera berdering. Mera tak berbicara sedikitpun dalam telponnya. Matanya hanya berkaca-kaca. Terbengong setelah mengangkat teleponnya.

Anzza bingung apa yang sebenarnya terjadi, “Mer, kenapa?”. Mera masih terdiam. Matanya penuh tatapan kosong. “Rina….”, tungkas Mera datar. “Mera?”, tegas Anzza.

Tidak ada lagi sesuatu yang terjadi yang diketahui Anzza jika Mera panik tentang Rina. Ya, penyakit sedang menyerang Rina. Anzza memeriksa hapenya. Sial, sinyal internetnya mlompong, padahal sudah berniat mencari rental mobil terdekat. Mana mungkin Anzza mengajak yang lainnya pulang. Belum ada sejam disini. Belum lagi masih ada dua agenda lagi. Sore, memerah susu sapi di tempat penakaran. Setelah magrib, menikmati malam dari atas bukit seribu bintang.

Anzza menarik tangan Mera menuju gerbang masuk. Ia yakin Mas Rey ada disana. Di tengah hujan, Anzza dan Mera berlari kecil. Menaiki tangga dan jalan setapak. Di sana semua berkumpul. Melihat Anzza memegang erat tangan Mera sambil berlarian kecil, Joan dan kawan-kawan menertawakannya sebelum keduanya sampai bergabung.

“Wah, sudah jadian aja”, celetuk Joan. Semua tertawa.

“Eh beneran ya?”, polos Mas Rey.

Tapi, prediksi itu salah. Salah total.  Setelah sampai, mereka melihat jelas dari raut muka Anzza dan Mera ada sesuatu yang buruk sedang terjadi. Apalagi Mera sangat jelas sedang sesenggukan dalam tangis kecilnya. Anzza menarik Mas Rey agak menjauh dari teman-teman lainnya. Dilihat mereka, Anzza dan Mas Rey sedang berbicara serius. Setelah selesai, Anzza berlari menuju petugas di pos masuk curug putri. Berlari lagi menuju warung ke warung. Orang ke orang.

Sementara Mera masih terdiam dalam pelukan Novi dan Rara. Sigit dan Joan bingung harus gimana. Sedangkan mereka sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mas Rey pun tidak mau angkat bicara saat Sigit menanyakan apa yang terjadi, apa yang tadi dibicarakan dengan Anzza.

Beberapa saat Anzza membawa sebuah sepeda motor dan satu stel jas hujan. Dipasangkannnya jas itu di tubuh Mera. semua hanya terdiam. Melihat Anzza dan Mera terus memproduksi kecemasan.

Tak sanggup resah, Joan akhirnya bertanya “Ada apa sih Zza?”

Anzza hanya menatap Joan. Memberi tanda ia dengar lontaran tanya itu. Tapi hanya menatap. Tidak angkat bicara. Dan motor itu melaju meninggalkan Kawan Kopinesia. Hanya Mera yang memakai jas hujan. Di tengah hujan dan kabut yang bersekongkol. Anzza tak peduli. Ia terjang itu. Tanpa Jas. Ini perihal Mera. kelelakiannya harus siap lahir kapanpun.

“Kau pasti dingin”, bisik Mera.

 Anzza hanya terdiam. Sekalipun ia dengar ucapan itu pertanyaan yang perlu jawaban. ia tak ingin bicara. Ia lebih ingin fokus dengan jalan yang terjal sebab kabut semakin menyerang matanya.

“Jika tak tersinggung, boleh aku memelukmu?”

Anzza masih terdiam. Ia sepertinya tercengang. Ia memastikan apakah itu benar terlontar dari mulut Mera? apa ini? sebuah jawabankah? Tanpa persetujuan yang terucap dari Anzza, Mera memeluknya. Penuh lembut. Pikir Mera, hal itu sedikit menghangatkan tubuh Anzza yang tidak memakai jas hujan. Ia tak berniat apapun. Selain sedikit membalas jasa Anzza yang lebih mengantarkan Mera ketimbang menghabiskan waktunya dengan berlibur diri bersama kawan-kawan lainnya. Jasa Anzza yang lebih merelakan tubuhnya kedinginan, demi seorang wanita yang sedang memaniki adiknya yang kini terkapar di ruang ICU. Dan siapa sangka Mera mendapat sedikit ketenangan setelah memeluk erat. Sangat erat. Erat sekali pada tubuh Anzza. Disandarkannya kepalanya di bahu kanan Anzza.

Jalan motor tiba-tiba tidak seimbang. Ban depan bergoyang tak karuan. Nyata saja ban itu bocor. Mau tidak mau, Anzza dan Mera mendorong bersama motor itu. Di tengah toang perbatasan penuh sesawahan.

Tapi Anzza ingat betul, hanya  berjarak setengah kiloan ada sebuah bengkel. Di mana dulu saat Anzza dan Paul pernah juga  membenarkan motornya sebab businya terbakar setelah menaiki tanjakan bukit. Ditemani rintik hujan, mereka mencoba menenangkan diri sampai di bengkel itu.

Musabab motor yang dikendarainya model King, montir bilang ia harus mengambil ganti ban itu pada rekannya. Mau tidak mau, mereka berdua harus menunggu lama. Dan nyatanya, lama sekali.

***

Beda dengan perjalan Mera dengan Anzza, disana Kawan Kopinesia menikmati liburnya. Ya meskipun terlihat tidak seceria pada saat mereka lengkap dengan Anzza dan Mera. Tapi mau gimana lagi, Mas Rey sebenarnya nawarin Anzza untuk pulang bareng saja, biar liburan bisa diulang lagi minggu depan.  Tapi Anzza kekeh tidak enak rasa jika mengganggu liburaan kawan-kawan lain.

Mereka menikmati memeras susu sapi. Destinasi itu masih di area Palutungan. Sebenarnya Sigitlah yang menjadi obat nyamuk disana. Joan dengan Rara semakin rekat. Mengibuli sapi betina yang diberi nama “Santi” untuk saling memanja. Novi terus rekat dengan Mas Rey. Dan sigit lebih memilih mengajak ngobrol Pak Ono serta menikmati susu hangat di sebuah balkon kecil tempat rehat.

“Eh, Anzza kan nanti balik lagi ngembaliin motor. Apa kita cansel aja buat ke bukit seribu bintangnya? biar bareng sama Anzza?”

“Emang Anzza sama Mera kenapa sih Mas? Kok rahasia banget kayaknya?”, timpal Novi.

Mas Rey klagepan. Ia janji pada Anzza untuk tidak memberitahu mereka, sebelum Anzza sendiri yang menjelaskannya. “Hmm, aa, ee”

“Yaudah Mas, iya kita cansel aja”, sambar Joan. “Toh kita bisa nyantai nikmatin susu hangat disini, boleh kan pak?”, diarahkannya matanya ke Pak Ono.

“Boleh sekali”, sambut ramah Pak Ono.

***

Mera langsung menyambar daun pintu. Kebetulan sekali, mereka berdua datang tepat di jam jenguk. Sebab jika tidak, ruang ICU tidak menerima penunggu dua orang lebih. Anzza basah kuyup duduk di depan kamar rawat. Dari jendela Anzza melihat begitu tulus ciuman Mera mendarat di kening Rina.

Sementara, Bu Sasa hanya mematung melihat kedua anaknya sedang beradu pilu. Air matanya meramban membasahi kedua pipinya yang mulai keriput dimakan waktu. Saking pilunya, Mera lupa kepada Anzza yang sedang kegigilan.

Anzza berniat ke kantin sebentar. Guna membeli segelas teh hangat. Lumayan untuk menjaga daya tubuhnya. Sebab setelah ini ia harus menempuh perjalanan lagi, kembali ke Paluthungan guna mengembalikan motor yang dipinjamnya dari warung kopi lesehan. Ia pun pergi.

Bu Sasa mendekati Mera. Ia memeluknya dalam dalam. Diajaknya Mera untuk duduk. Bu Sasa berusaha menenangkan anak sulungnya. Anak perempuan yang akan diandalkan untuk menitipkan si bungsu Rina. Semakin tua ia semakin sadar, bahwa sudah menjadi ketentuan jika suatu saat ia akan meninggalkan kedua anak perempuannya itu.

“Mer”, ucap Bu Sasa lembut. Mera masih sesenggukan. Kepalanya menyandar di dada Bu Sasa. Bu Sasa membelai-belai rambut Mera yang belum kering dari resapan hujan.

“Andai saja bapakmu masih hidup, Rina tidak seperah ini—“

“Hust”, potong Mera.

“Ia masih bisa terapi di—“, pilu Bu Sasa.

“Bu…”,

Mereka saling menatap.  Sementara di luar ruangan Anzza sedikit lebih segar. Sembari melihat jam di tangannya ia terus berjalan pelan; berniat masuk ke ruangan dan izin pergi pada Mera dan Ibunya. Ketel pintu setengah diputar—

“Jadi, kapan kamu mastiin untuk menjadikan Mas Rey suamimu?”, Ucap Bu Sasa. Suara itu begitu memukul telinga Anzza. Ia mematung tepat di depan daun pintu. . Ia tidak bisa melanjutkan untuk masuk. Suara itu. Suara Bu Sasa, sangat jelas di telinga. Ia sendiri tak tahu kenapa seolah bumi berhenti berputar. Waktu mati. Ruang gelap. Sesak. Nafas tersengal. Dilepasnya ketel pintu itu, kreeeeek—

“Anzza,..’, desah Mera mendengar putaran ketel pintu. Segera ia bangkit melepaskan pelukan ibunya.

Anzza berjalan cepat. Mera tertinggal langkah. Lelaki itu keburu menjeburkan diri dalam lift. Anzza pura-pura tidak mendengar seru panggil Mera. Mera kekeh mengejarnya lewat tangga. Anzza keluar menembus gemericik hujan. Berjalan. Dengan terus menundukan kepalanya. Di antara air mendaras, raut muka itu mencair bersama kekecewaan. Menjadi begitu lebat menghujam setiap jengkal paping area parkir rumah sakit.

“Anzza!”, seru Mera tersengal-sengal.

Anzza berhenti, dan menengok, mencoba mengumbar senyum. Siapa yang tahu air mata turun, ketika di tengah hujan dan gelap malam?. Siapa?. “Eh, Mer”, jawab Anzza enteng. Berusaha mengumpat diri.

Mera segera mendekat.

“Sorry, aku tadi pengen pamit. Cumaaaa….eh”,

“Cuma apa Zza?”, Mera menatap.

“eh, e.. anu… aku tadi lihat dari jendela kamu nyandar ke ibu, kukira kamu tidur, jadi…”

“Bohong!”, mata Mera berkaca, “kamu tadi nyoba buka pintu kan?”

“Eh, Mer… sorry takut kemaleman, motornya ditunggu”.

Dengan muka kaku, Anzza kembali menuju  tempat motornya terparkir. Sementara mau tidak mau Mera harus melepas Anzza dengan seribu tanyanya. Dan tanya yang  menempati poin penting adalah; apakah Anzza mendengar obrolannya dengan Ibu? Tentang Mas Rey? Pasti!, benaknya menjawab sendiri.

Di sepanjang jalan keluar dari rumah sakit Anzza sudaah tak karuan. Ia lajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Terus. Terus dan mencoba melupakan apa yang didengarnya tadi.

Aku ingin berjalan bersamamu

Dalam hujan dan malam gelap

Tapi aku tak bisa melihat matamu….

***

 

KOPINESIA, 20.34 WIB

Sudah dua hari ini Mera tidak masuk kerja. Anzza tahu setiap malam Mas Rey menjenguknya. Mas Rey mengajaknya, tapi ia selalu menolaknya. Dengan alasan ia sudah menjenguknya setiap pagi. Mas Rey tahu itu bohong. Sebab setiap kali dirinya bertanya pada Mera, Mera selalu berkata tidak. 

Anzza selalu berfikir ada baiknya juga Mas Rey semakin dekat dengan Mera. Padahal, Mas Rey  tidak ada niatan apa-apa, selain sudah menjadi tradisi jika ada seorang Kawan Kopinesia tertimpa musibah, seperti sanak keluarganya sakit, setiap hari ia akan pergi menjenguknya.

Anzza kembali dingin. Ia menjadi manusia yang paling kaku yang ditemukan oleh Joan dan kawan-kawan. Bahkan jika Joan meledeknya dengan membawa nama “MERA”, ekspresinya menunjukan dia tidak merespon sama sekali. Datar. Begitu sangat datar.

“Mbak-mbak,…”. Panggilan itu menghuyungkan tubuh Novi untuk kembali menemui seorang gadis yang tak asing lagi, Alen.

“Mas Rey ada?”

“Oh, dia lagi jengukin orang sakit Mbak”, lagak Novi menjawab dengan senyum bahagia. Novi tahu, setelah Nabil tiada, kemungkinan besar orang baru ini yang akan merebut hati Mas Rey.

Novi lelah terus-terusan memendam perasaannya. Sebagai seorang perempuan ia terpaksa untuk menunggu. Sekalipun ia tidak tahu akankah yang ditunggu memang akan datang? Oh, Mas Rey!

Ya, benar. Novi sudah memendam perasaan lama kepada Mas Rey. Musabab keberadaan Nabil, Novi jadi tak benar-benar berharap lebih.

Bagi Mas Rey sendiri, ia sudah mengetahuinya sejak lama. Dari cara bagaimana Novi menatapnya. Sifat kakunya jika kebetulan kepentok berdua. Sampai sebuah dairi yang ia temukannya saat Novi menjatuhkannya di area dapur. Tapi, Mas Rey selalu jaga perasaan. Ia pura-pura tidak tahu akan hal itu. Ia tak ingin menanyakannya pada Novi. Toh enggak ada gunanya, hanya akan membuat Novi menjadi merasa malu dan canggung. Bisa-bisa dia keluar dari Kopinesia. Dan sedikitpun memang Mas Rey tidak menyimpan perasaan pada Novi. Sekalipun diantara 3 Kawan yang berada di kafe Kopinesia Novilah yang paling cantik dan diam memanis. Tapi, ya, namanya juga perasaan mana mungkin bisa dipaksakan?

***

 

Mera kembali bekerja. Menurut kabar, Anzza mendengar bahwa Rina masih dirawat di rumah sakit. Meskipun kini dia sudah dipindahkan dari ICU ke tempat perawatan biasa. Kafe Kopinesia kembali seperti dulu. Anzza dan Mera tidak pernah angkat bicara. Mereka berdua bekerja dalam diam. Memroduksi banyak tanya.

Siapa yang patut disalahkan? Apakah seorang lelaki yang belum siap mengungkapkan perasaannya? Ataukah seorang perempuan yang menyembunyikan misinya di balik badan, di depan seseorang yang sekiranya tulus mencintainya? Siapa? Anzza? Atau Mera?

Hai, Anzza. Bagaimana mungkin kau menyimpulakan bahwa Mera akan menemukan misi dan takdirnya dipelukan Mas Rey? Sebelum kau mendengar sendiri penjelasan yang ingin dia sampaikannya. Kau mungkin menganggap bahwa Mera senang dengan niatan Bu Sasa. Tidak Anzza, tidak! Kau seharusnya tahu tentang kehidupan seorang perempuan tanpa Ayah. Yang terus memaksa tega melihat ibunya bekerja untuk dirinya dan adiknya. Yang memiliki sebuah harapan memasukan adiknya yang sakit ke tempat terapi kembali.

Ah. Lelaki memang memiliki pola dasar yang sama. Mereka bisa sepengecut Rusa, yang memiliki kecepatan berlari sangat kencang. Tapi apa guna lari itu untuk kabur, hanya gara-gara satu gertakan Macan yang belum tentu macan itu ingin memangsanya.

Hai, Mera. Cepatlah ambil pilihan dari sekarang. Kau harus cepat memilih Mer. Memang seorang perempuan memiliki naluri yang lamban dalam menentukan pilihan yang beresiko vital. Sebab semua didasari atas pertimbangan perasaan diantara kedua belah pihak. Tapi, logikanya. Kau merasa nyaman dengan Anzza, dan kau pun tahu dari geriknya Anzza menyukaimu.. Sedangkan kau tidak tahu, bahwa apakah kamu yakin Mas Rey akan melirikmu? Seorang perempuan biasa yang kebetulan ikut bekerja. Ibu? Ya, ibu. Kau mencintainya. Rina? Ya, kau ingin menolong hidup Rina. Kau korbankan dirimu atas nama cinta. Hah, persetan.

Seorang perempuan memang memiliki naluri yang tak jelas. Mereka bisa sependek akal bekicot untuk menantang kancil berlomba lari. Ia membodohi kancil dengan siasatnya. Menjadikan kancil merasa menjadi kalah. Padahal, seharusnya bukankah ia patut belajar lari kencang pada si Kencang? Pada kancil, ia membodohi diri sendiri. Memenangkan kekalahan yang dimenangkan nurani alamiahnya. Percuma!

Novi mengadu pada Anzza, ada pelanggan yang komplen. Katanya, kopinya hambar. Kata Novi, ia pelanggan setia, dan baru kali ini mendapati kopi Kopinesia hambar. Anzza hanya terdiam, dan mencoba nyeduh kopi kembali. Jika kopimu hambar? Siapa yang kau kecam? Kopi? Bibirmu? Barista? Atau suasana hatimua?, lirih Anzza.

Dua orang yang kini saling asing kembali. Dua orang yang kini memberikan secara penuh bagaimana akhirnya mereka pada alur hidup. Berhari-hari. Menjadi bulan. Di Kopinesia semua menjadi hambar. Cerita klasik sekumpulan manusia yang memerankan dirinya sendiri.

Joan dengan Rara, yang terus bermesra tanpa peduli apapun. Mera dan Anzza, yang saling diam hanya beberapa ucap terpaksa jika salah satu diantara mereka membutuhkan bantuan. Novi, yang selalu memendam cemburu karena akhir-akhir ini Mas Rey terus diapeli oleh Alen; pelanggan setia yang dikiranya dia bukan penikmat kopi, melainkan pemburu perhatian Mas Rey.

Dan rasanya yang paling pantas menjadi si perfections  adalah Sigit. Ia tak pernah mencampurkan kehidupannya dengan sesuatu yang sering dipanggil mereka dengan sebutan “CINTA”.

***

Aku ingin berdua denganmu

Di antara daun gugur

Aku ingin berdua denganmu tapi aku hanya melihat

Keresahanmu…

Mbak Santi sudah dua hari kembali lagi kerja di Kopinesia. Setelah sekitar 3 bulan dia cuti, sebab ingin melahirkan anak pertamanya. Kini dia bergabung  lagi dengan dua penyeduh kopi.

Awalnya Mera ingin pindah sebagai pelayan saja.perjanjian pertama ia memang sebagai pengganti asisten Anzza sementara. Tapi Mas Rey tidak mengabulkan permintaannya itu. Baginya Mera sedang dalam proses menjadi barista yang professional. Karena sudah beberapa testimony dari para pengunjung kopi bikinan Mera semakin enak saja.

Bagi Mas Rey, menjadi seorang barista, bukan hanya sebatas karier. Penyeduh kopi adalah simbol penyelamat bagi para petani di Cibeurem, Kuningan. Di mana saat maraknya para Kapital membeli harga kopi dengan harga banting, berkat keberadaan para barista yang tulus, Mas Rey bisa sedikit menggolang perekonomian para petani kopi lewat koperasi yang didirikannya.

“Mas, maaf”, hadap Mera pada Mas Rey di tengah riuh pengunjung,”Rina kambuh lagi, kalau boleh saya izin lagi, Rinaaa…”, mata Mera berkaca-kaca.

Mas Rey terbelak, dia tahu betul apa yang terjadi jika berhubungan dengan Rina. Dia ingin mengantarnya, tapi kali ini dia harus menjamu para koleganya. Dilihatnya Anzza dan Santi yang sedang di meja seduh.

“Anzzaaaa!”

“Iya Mas”, tungkas Anzza berjalan pelan menuju tempatnya.

“Kamu antarkan Mer—“

“Mas…. engg—“

“Udah Mer, kamu itu lagi panik enggak baik buat nyetir”, saran Mas Rey, “Anzza, biar Santi yang sementara nyeduh”, tambah Mas Rey pada Anzza.

***

Aku menunggu dengan sabar

Di atas sini melayang-layang, tergoyang angin

Menantikan tubuh itu.

 Di sepanjang jalan diam adalah tema utama. Tanpa ada satu cakappun yang keluar dari mulut mereka. Pikiran mereka jalan sendiri-sendiri. Entah kemana. Ataukah pikiran mereka akan menemui satu cakap. Entahlah.

2 bulan yang lalu, mereka sebenarnya ingat benar saling berboncengan dari Paluthungan menuju Rumah Sakit. Dengan pelukan hangat. Kala itu, kesan menyusun kenangan. Secara mata kosong, kenangan membentuk sebuah sketsa gambar yang kini mengadakan pameran yang digelar di ingatan mereka. Melihatnya, begitu indah. Tapi ya sebatas melihat. Sebatas ingatan. Apakah bisa terulang kembali? Entahlah.

“Makasih Zza”, selonong Mera memasuki rumah sakit.

Anzza hanya mengamati tubuh Mera via belakang tubuhnya. Berjalan menjauh. Semakin menjauh. Anzza memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Tidak baik baginya, berlarut-larut dalam tatapan kosong melepas seorang peerempuan yang dulu pernah dia gamit dalam balutan kemesraan.

Setelah rampung di Kopinesia, Anzza begitu bergerak cepat menuju kosannya. Dilihatnya Paul sudah nyenyak dalam tidurnya. Ia menjatuhkan diri di atas kasur keras itu. Menatapi langit-langit, dengan beribu tanya kepada Mera. Apa yang harus ia lakukan?

Mera memang harus menjerat Mas Rey. Agar adiknya bisa mengikuti terapi lagi. Agar penyakitnya bisa dinetralisasi sedikit demi sedikit. Tapi, jujur. Jika aku tak bisa mendapatkan cinta Mera. minimal aku tidak tinggal diam membiarkan Mera berlarut dalam kekhawatirannya pada Rina. Rina harus sehat, Agar Mera tidak bersedih. Aku masih punya waktu untuk berusaha mewujudkan itu… hmm, tapi bagaimana?

Hmm, penghasilanku pas-pasan. Hmm, bagaimana aku bisa mengembalikan Rina untuk terapi? Aku harus secepat mungkin. Hmm, Ayah!

Tidak! Tidak mungkin!

Segera ia tidur. Menutup diri dari ingatannya tentang ayah. Itu tidak boleh terjadi.

***

 

Pagi benar Anzza kembali ngopi dan memanjakan gitarnya. Paul, sudah siap-siap pergi bekerja. dia sudah sedikit berubah. Lebih sedikit rajin. Alih-alih dia menyukai seorang permempuan tetangga kos sebalah. Dia ingin mengumpulkan modal untuk mengawininya. Dia kini bekerja di sebuah pabrik pembuat boks mobil di daerah Sunyaragi.

Anzza kembali memetik-metik gitarnya. Menimbang-nimbang pikirannya semalam. Ya, berhubungan dengan Ayahnya. Ayahnya adalah seorang pengusaha furniture dan memiliki sebuah hotel di bilangan Jakarta Utara. Anzza memutuskan pergi dari rumah, sebagai protes dirinya atas sikap otoritas ayahnya yang mengusai hidupnya.

Bermusik adalah hidup Anzza. Tapi, Ayahnya bersikeras agar Anzza serius kuliah di jururusan manajemen ekonomi. Baru satu semester Anzza mengikuti kuliah, ia kabur. Ia tak tahan dengan sikap Ayah. Dan ibu? Nampaknya Anzza adalah manusia yang paling sial jika dibandingkan dengan yang lainnya. Ia tidak pernah tahu siapa ibunya. Sejak kecil. Ya, ia sesekali berfikir lahir dari perut Ayahnya. Sebab tak ada bukti ia memiliki ibu. Satu foto pun tak ada sama sekali.

Tapi, tak ada jalan lain.

Ia googling nama hotel Ayahnya. Pada costumer service ia menanyakan nomor telepon Ayahnya. Cukup sulit meyakinkan bahwa ia sangat butuh kontak Ayahnya. Sampai pada satu titik Anzza bilang bahwa ia adalah anak tunggal dari Pak Subroto Utama. Sampai akhirnya ia berhasil.

Tapi, naas. Beberapa kali Anzza menelpon, Ayah tak mengangkatnnya. Ia pun memutuskan untuk mengirim pesan. Maklum, pikirnya, barangkali ayahnya adalah orang mahasibuk, sehingga untuk telepon saja ia akan memilih-milih.

Ayah. Ini Anzza.

Baru beeberapa saat saja, hape Anzza berbalik dering.

“Dimana kamu, Nak?”, suara Ayah langsung menyambar.

Anzza menghirup nafas sangat dalam. Suara itu baru ia dengar lagi setelah tiga tahun  yang lalu, “Aku butuh bantuan Ayah”.

“Katakan Nak, katakan!”, ucap semangat ayah sambil berkaca-kaca.

“Aku perlu uang, boleh? Maaf aku tak sopan”

“Berapapun akan ayah beri, tapi tolong ayah kangen. Ayah pengen ketemu kamu”

Tak terasa, Anzza diam membeku. Membiarkan air matanya turun perlahan. Jujur, Anzza juga seringkali terjebak bernostalgia dengan masa kecilnya dimana sang Ayah menemaninya main sepeda-sepedaan jika berkesempatan pulang sore.

Atau makan malam bersama. Mendongengi jika berkesempatan mendapati Anzza hendak tidur. Ya hanya sebatas jika ada kesempatan. Tapi, bagaimanapun juga, sejahat-jahat ayahnya, nuraninya selalu berkata seorang ayah tetaplah ayah. Rumah bagi anaknya. Tempat kembali untuk anaknya. Ini berat. Tapi, ya, untuk kebaikan seorang perempuan yang dicintainya. Ya, Mera Kadarhariarto.

“Baiklah Yah, bagaimana jika ayah yang ke Cirebon?

“Cirebon? Kau disana? Baik-baik Nak, sekarang juga ayah berangkat”

“Besok siang saja yah”,

“Katakan nak, dimana tepatnya?”

Anzza berfikir agar ayahnya gampang menemukan alamatnya, “di Jungle Preanger, Grage City mall”

Tut-tut-tuuuuut

“Nak, nak…”. Ayah berkaca-kaca sambil menurunkan handphone genggamnya.

***

 

Malam ini Mera kembali  ke Kopinesia. Dan Anzza kembali canggung dalam beraktifitas. Boleh dibilang sangat lucu sekali dua patner yang bekerja bardua, tapi mendapati hari-harinya sebagai dua orang yang saling asing.

Tapi, ah entahlah. Anzza tak peduli itu. Secepatnya ia amati gerak-gerik kabar tentang Rina. Apakah dia sudah pulang atau belum. Untung saja Joan rela membantu menanyakannya pada Mera. meski pada awalnya Anzza mendapat ledekan dari Joan. “Lo masih kepo ya? Masih cinta ya? Lagian pake diem-dieman gitu? Emang ada apa sih?” , celetuk Joan jual mahal bantuannya. Anzza hanya menimpali dengan senyuman dan bergegas kembali ke meja penyeduh.

“Mera, gimana kabar ibumu?”, tanya Mas Rey  mendadak di tengah karyawan lainnya, Anzza terkecoh sinis,”saya lupa, mamah saya nitip ini buat ibu kamu”.

“Ini undangan ulang tahun mamah, kalo bisa kamu ikut ya?, tambah Mas Rey pada Mera, “kalian semua juga, aku undang, besok malem kita libur dulu,”

Tawa kemenangan pun riuh di ruang itu.

“Makan makaaan… makan makaaan”, teriak joan, “Rara sayang besok kita dinner yaaa?”

“Hahaha”, gelak tawa kawan-kawan. “dinner kok gratisan, cowok enggak modal”, tumbenan Sigit nimbrung ngeledek.

“Hahahahaha”.

***

 

 

 

KOPINESIA,  Pukul 00.02 WIB

“Yakin kamu masih maju buat ngegaet Mas Rey Mer?”, tanya Rara, “perasaan kamu gak gerak sama sekali buat pdkt?”

“Aku juga bingung Ra. Rasanya aku gak bisa. Tapi mau gimana lagi, aku tetep harus berusaha dapetin Mas Rey. Biar adikku ada yang biayain berobat dan masa ibuku gak usah repot-repot kerja lagi”

“Tapi aku yakin kamu berhasil”, dukung Rara, “ya tadi aja tatapan Mas Rey beda, yang diundang ibu kamu, kamunya juga disebutin”

“Apaan siiiii, ih”

Novi masih saja menguping pembicaraan itu dari balik pintu kamar mandi. Dia tak menyangka bahwa Rara dan Mera bersekongkol. Menyembunyikan sesuatu darinya. Tak habis pikir bagi Novi. Setelah Nabil tiada, bukan hanya Alen si pelanggan itu yang akan jadi saingannya. Ada sosok Mera. Oh, Mas Rey, lirih Novi.

Anzza melihat keberadaan Novi dari belakang tubuhnya dengan tatapan aneh. Gara-gara penasaran, Anzza pun membuntut di belakang tubuh Novi. Terdengar dari dalam kamar mandi suara Rara dan Mera.

“Intinya aku bakal dukung sahabat aku”, sambung Rara,”semoga Mas Rey liat perjuanganmu, hehe”. “Dan kamu bisa lupain Anzza”, Rara terpekik menyebut nama Anzza.

“Ih, apaan lagi siii”, Mera senyum cemberut. Menampakkan bibir manyunnya.

Novi sudah tidaak kuat mendengarnya. Mas Rey yang didambakannya, didambakan juga oleh temannya sendiri. Novi berbalik badan dan… brakkk

Dua orang terjatuh seketika. Novi dan Anzza. Novi tak menyadari ada Anzza di balik badannya. Suara terjatuhnya mereka berdua sangat keras, membuat Rara dan Mera keluar dari kamar mandi.

“Anzza…”, ucap kaget Mera setelah diliatnya Anzza jatuh. “Novi…”, sambung Rara, “kalian,…”

Tanpa komando Anzza dan Novi berdiri, lalu lantas pergi tak jadi untuk salin baju. Mereka langsung menuju pintu keluar dan segera pulang. Joan menjemput Rara. Hanya Mera yang kini berdiri mematung di depan kamar mandi. Pasti Anzza mendengar obrolanku tadi, ah.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
About love
1097      509     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
Arion
972      549     1     
Romance
"Sesuai nama gue, gue ini memang memikat hati semua orang, terutama para wanita. Ketampanan dan kecerdasan gue ini murni diberi dari Tuhan. Jadi, istilah nya gue ini perfect" - Arion Delvin Gunadhya. "Gue tau dia itu gila! Tapi, pleasee!! Tolong jangan segila ini!! Jadinya gue nanti juga ikut gila" - Relva Farrel Ananda &&& Arion selalu menganggap dirinya ...
Love Dribble
9466      1686     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Langit Jingga
2498      841     4     
Romance
"Aku benci senja. Ia menyadarkanku akan kebohongan yang mengakar dalam yakin, rusak semua. Kini bagiku, cinta hanyalah bualan semata." - Nurlyra Annisa -
Me & Molla
493      275     2     
Short Story
Fan's Girl Fanatik. Itulah kesan yang melekat pada ku. Tak peduli dengan hal lainnya selain sang oppa. Tak peduli boss akan berkata apa, tak peduli orang marah padanya, dan satu lagi tak peduli meski kawan- kawannya melihatnya seperti orang tak waras. Yah biarkan saja orang bilang apa tentangku,
My Teaser Devil Prince
5564      1337     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
injured
1215      654     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
Gareng si Kucing Jalanan
6536      2772     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
Sisi Lain Tentang Cinta
721      388     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.