Harum mawar di taman
menusuk hingga ke dalam sukma
yang menjadi tumpuan rindu cinta bersama
di sore itu menuju senja
Tak ada senja di pusat kota. Itulah yang harus Mera terima. Ia penyuka senja. Sangat menyukainya. Sekalipun di kesehariannya ia tak pernah menemukannya. Ya sesekali hanya dapat menemuinya ketika ia luangkan waktu untuk pergi ke danau Setu Patok. Atau menunggunya di dermaga pantai Kejawanan. Kedua tempat itu memang berada di kota tempatnya tinggal. Kota Cirebon. Tapi Cirebon lebih luas ketimbang dunia. Sebab kata pepatah, dunia hanya selebar daun kelor. Tak seperti Cirebon, yang luasnya dapat membelah langit senja, dan langit berwarna hambar.
Sore ini, Mera pergi ke sebuah toko kaset DVD. Hatinya sedang kosong. Seharusnya Fajar ada disini, gerutunya. Sekarang tanggal 6 Juni—tepat di mana 3 tahun yang lalu mereka mengikrar sebuah janji. Janji akan selalu bersama. Janji akan terus saling mencintai. Janji keabadian. Dan nyatanya, yang tidak terpelajari oleh sebagian manusia; bahwa saalah satu pihak memilih untuk mengingkari.
Ah, enyahlah. Semua sudah berlalu. Atau memang semua “harus” berlalu.
“Payung teduh.. payung teduh.. payung.. eh—”, sekelebat sebuah tangan menyerobot kaset yang baru saja ditemukannya.
“Eh, mas... itu punya saya”, Mera memandang tajam muka seorang lelaki yang baginya tak sopan sekali. Perempuan itu berang.
“Sini, tinggal satu mas!”
Lelaki itu hanya diam sambil membolak-balikan tubuh kaset tersebut. Sepertinya ia berniat mempermainkan perempuan yang memiliki rambut sebahu itu.
“Jika belum dibeli, ini masih milik toko”, tungkas lelaki itu dengan nada begitu datar.
Tanpa ba-bi-bu ia lepaskan kaset itu pada tempat sebermulanya. Tanpa syarat dan tanpa kata penutup, lelaki itu memalingkan wajah dan beranjak pergi mencari kaset ke box-box lainnya.
Aneh, judes ampuuun, Mera membatin. Tapi ya sudahlah. Yang terpenting bagi Mera bahwa ia mendapatkan kaset Payung Teduh sore ini. Sekalipun masih sedikit berang, toh nyatanya kaset itu kini di tangannya.
“Loh, Mas Anzza. Katanya nyari kaset Payung Teduh?” tanya Mas Deni—kasir toko tersebut. “Perasaan masih satu mas?”.
Mungkin Mas Deni sedikit heran. Yang ia tahu Anzza menanyakan kaset Payung Teduh. Tapi, saat dikemas malah sebuah kaset Film “Gulliver’s Travels” adopsian dari novel Jonathan Swift.
“Bentar lagi Mera pulang kok, Mah”
Suara itu menyelingi kekhusukan pembicaraan antara Mas Deni dan Anzza. Suara itu menyergah Anzza untuk sesegera menjawab pertanyaan Mas Deni. Sebuah suara perempuan yang baru saja menutup telepon genggamnya. Suara perempuan yang memaksa Anzza untuk melepas kaset yang dicarinya. Kini, sumber suara itu tepat berada di sampingnya.
Anzza membenak, namanya Mera! Sial.
Anzza hanya melempar senyum pada Mas Deni. Dan memalingkan wajah dengan tatapan tajam kepada Mera yang sedang mengantre di sebelahnya. Berharap Mas Deni paham kenapa ia tidak jadi membeli kaset Payung Teduh. Dan berharap perempuan di sebelahnya merasa tersindir, dia telah merebut apa yang Anzza cari!
“Mari Mas. Terima kasih”, Anzza lekas keluar dari toko.
Sementara Mera masih berang, “Mas emang siapa sih Mas dia?”
“Oh,.. itu Mas Anzza, mbak. Langganan sini”.
“Judesnya kok minta ampun!”
Mendengar gerutuan Mera, Mas Deni hanya tersenyum simpul, “dia aslinya baik kok mbak”.
Mendengar penjelasan si kasir, membuat Mera malah semakin jengkel, “Mas... mas, mana ada orang judes yang baik. Bikin kesel iya!”,
Mas Deni hanya mempertahankan senyumannya agar tidak turun sambil menghitung uang kembalian yang akan diberikan kepada perempuan yang ia kira kamu mbak yang judes, bukan Mas Anzza!
***
Ada dua hal yang Mera dapat di toko itu; kaset Payung Teduh dan sebuah rasa jengkel yang masih ia umpat. Belagu, benaknya sambil membayangkan lelaki sial itu!
Namun, seharusnya ada satu hal lagi yang belum Mera sebutkan. Bahwa kejadian “penyerobotan” kaset, membuatnya sedikit lupa bahwa ia sedang merindukan Fajar. Ia sadar, dikutuk menjadi perindu wajib kuat. Bagaimana ia harus memindahkan sepi demi sepi ke tempat yang jauh lebih sepi. Jangan tanya dimana tempat itu. sebab terlalu sepi untuk dinamai. Ya, sepi.
Ia melupakan ingatannya dengan tiga tahun yang lalu. Hari ini, ya hari ini; sama tepat dengan saat pertama kali Fajar menyatakan perasaannya. Menyatakan janjinya. Dengan sekuntum mawar. Di sebuah taman. Kala itu.
Di sore itu. Menuju senja.
***
Bersama
Hati yang terlukaaa
Tertusuk pilu menganga luka itu
Diantara senyum yang menapaki jejak kenangan
Mera. Adalah sebuah nama yang menempel di selingkar wajah perempuan nun manis itu. Tapi jangan bayangkan bahwa ia sosok yang feminis. Ia manis bukan sebab penampilannya modis. Ia sederhana, begitulah penjelasan Fajar pada suatu waktu saat ditanya Nadya kenapa kau menyukai Mera, Jar?.
Feminis tidak, tomboi juga enggak. Sedikit susah untuk menjelaskan apa yang terlihat di tubuh Mera. Bayangkan saja ia perempuan mahabiasa. Ia murah senyum. Tapi mudah juga terpancing emosinya. Ia tidak akan pernah mengenal kata “mengalah” ketika ia merasa di posisi yang benar.
Mungkin itulah penyebab bahwa Ia mudah berteman dengan siapa pun. Bisa diajak berbagi kapanpun. Tentunya dapat tertawa saat apapun. Tapi tidak sedikit juga teman-temannya yang malah ketakutan. Sebab dalam beberapa peristiwa ia sering menantang siapapun yang menjailinya di sekolah. Akhirnya ia hanya memiliki satu teman yang begitu sangat memahaminya. Hanya satu teman saja. Nadya.
“Mer,.. curhat lagi ya!”, suatu waktu teman karibnya Nadya, memulai obrolan saat mereka sedang duduk santai setelah lari pagi.
“Apalagi? Mau cerita Deri kamu itu lagi kan?”, tungkas Mera, “bosen ah!”.
Nadya cemberut, “gitu banget, Ra”, ucapnya begitu lirih penuh kecewa.
“Nad, sini deh, gue bisikin”, Mera memasang muka serius.
Dengan polos Nadya menyodorkan kupingnya mendekat ke mulut Mera.
“Nyeritain mantan itu sama saja nyeritain kegagalanmu Nadyaaaa.. gagal kok dipamerin, sombong banget sih!”, ledek Mera sambil mencubit kedua pipi Nadya. Ia tertawa. Tapi tidak dengan Nadya.
“Garing, ah! Gak usah ketawa”
“Jadi, kalo Dery gak sayang sama lo, jelas, karena dia sayang sama orang lain. Sesimpel itu, kenapa harus mikir?”, simpul Mera.
Nadya terdiam. Lalu, tersenyum.
“Hei Nad! Kok diem? Pikir geh!”
“Yah, pikun kamu Mer. Katanya sesimpel itu, kenapa harus mikir?”, bela Nadya.
“Oh, iya iya”
“Ha ha ha”.
Tawa pun menggelegar. Sebenarnya siapapun yang berada di dekat Mera dipastikan akan selalu ceria. Dengan catatan orang tersebut memiliki selera humor yang mumpuni. Jika tidak Mera tidak punya kata “serius” dalam kamus hidupnya! Kecuali perihal emansipasi hak perempuan, barulah ia menemukan kata serius di dalamnya.
“Lelaki boleh menang dari perempuan hanya dalam satu hal; memanjangkan kumis. Selebihnya, perempuan adalah pemenang. Jika tidak setuju, segera lihat wajah ibumu”, sindir Mera ketika suatu hari sedang bertengkar dengan Fajar. Hasil akhir lelaki KO.
Tapi sekarang semua berubah. Malam ini, dengan iringan lagu-lagu Payung Teduh ia berharap bisa segera tidur. Mesin senyumnya sedang mogok. Sedang tidak produksi. Wajar jika cemberut mulu.
Yang patut diambisikan Mera adalah bagaimana cara melupakan Fajar di hari yang seharusnya menjadi peringatan anniversary hubungannya itu. Sejujurnya ia memang benar-benar sedang rindu dengan Fajar. Tapi, rindu tak selalu benar. “Rindu” saat ini sedang salah. Ia salah sebab mendatangi orang yang sedang berusaha melupakan!
Rindu bersemayam dalam sebuah kenangan. Sebuah kenangan takkan mati begitu saja. Dengan itu malam ini, sebelum terlelap, seperti biasanya Mera mencoba membunuh kenangannya. Sekalipun ia selalu gagal, ia akan tetap berusaha. Kenangan harus mati. Fajar harus terlupakan. Kehidupan harus tetap berjalan.
Ia harus tidur. Juga, sebab besok ia harus menjalankan misi yang diperintahkan Bu Sasa. Ibunda tercintanya. Ya, sebuah misi rahasia. Sebuah misi yang menjadi strategi untuk masa depannya. Begitulah kata Bu Sasa. Ya, misi masa depan.
***
KAFE KOPINESIA, Pukul 23.16 WIB.
Semua kursi dipenuhi para pelanggan. Jelas, kafe masih sangat ramai. Padahal, seperempat menit lagi kafe ini seharusnya ditutup. Tapi, hukum klasik “tamu adalah raja”, masih diberlakukan disini. Mereka patut untuk dilayani seperti raja. Dan untungnya hal itu tak dipermasahkan oleh si pemilik kafe. Kafe selalu siap melayani para raja. Sepuasnya.
Di tengah peralatan penyeduh kopi, Anzza masih sibuk memainkan insting dan perasaannya untuk menyuguhkan kopi buatannya sendiri. Seperti makanan, beda koki beda rasanya. Begitupun dengan kopi. Kopi sama takaran sama metode sama. Tapi belum tentu hasilnya sama. Dan beruntunglah, sebab Anzza dikenal sebagai barista yang sudah cukup lihai di bilangan Kota Cirebon. Percayalah, Anzza bisa membuat para pelanggan takkan mampu untuk tidak datang lagi ke Kafe Kopenesia.
“Mas... Mas...”, seorang pelanggan memanggil Mas Rey, pemilik Kafe yang kebetulan sedang lewat di tengah-tengah sekumpulan pelanggan lainnya.
Begitu cekat Mas Rey mendekatinya. Dengan sebuah senyuman, Mas Rey menampakan ketersediaannya jika panggilan itu akan membawakan sebuah komplenan. Entah karena hidangannya, ataupun karena pelayanannya. Tentu, Mas Rey harus professional.
“Mas, maaf. Itu baristanya saya perhatiin dari kemarin kok kayak enggak bisa senyum ya?”, tanya perempuan yang kira-kira seumuran 20 tahunan itu. Ia duduk sendirian. Hanya berteman dengan beberapa buku-buku bacaan yang kiranya ia ambil dari rak milik kafe.
“Oh, itu toh mbak”, Mas Rey senyum lega sebab nyatanya panggilan tersebut bukan sebuah komplenan yang serius, “itu ya mbak, hehe”.
“Itu itu apa Mas?”
“Itu emang karakternya dia mbak, introvet gitu mbak”.
“Emang pemilik kafe ini enggak keberatan ya kalo nanti misalkan ada pelanggan yang kecewa atas muka masamnya tuh barista?”, dengan muka lugu sambil mengarahkan matanya menuju ke tempat Anzza berdiri, perempuan itu membuat Mas Rey sedikit menahan tawa.
Lah, wong aku CEO nya kok, batin Mas Rey.
Seketika Mas Rey menyodorkan tangan kanannya. “Perkenalkan mbak, nama saya Rey, pemilik kafe ini”, jawabnya ringan dengan sebuah senyum berbalur tawaan kecil.
“Ehhhh,.. maaf, maaf Mas, bukan maksud gitu Mas, hehe”, dia tersipu malu. “Lagian Mas make seragam sama kaya yang lainnya, ya,.. gitu mas”, perempuan itu kepalang kikuk.
“Emang kalo CEO gak boleh nyamain pakaian anak buahnya ya mbak? Hehe”.
Saking malunya, perempuan itu sesegera melepas jabat tangan dari Mas Rey, dan terus mengulang senyum sipu malunya, “hehe, Mas,…maaf maaf mas”
“Tenang mbak, engga papa kok”, jawab santai Mas Rey. ”O iyah, kalau udah lepas tangan masih boleh tahu namanya enggak?”
“Mas bisa aja... “, perempuaan itu tak hentinya tersenyum ringan. “Nama saya Alen Mas,.. saya baru semingguan di Cirebon”
“Pantesan...”, tungkas Mas Rey.
“Ya itu mas, pake muka masam aja kopinya enak begini, apalagi dicampur sedikit senyuman, kan, Mas? pasti weeeenaaaakkk toh!”, jelas perempuan yang perfections memakai dress biru dongker itu sambil menggerakan jempolnya dan senyum mungil.
Mereka tertawa. Bisa jadi, tertawa itu adalah salam perkenalan Mas Rey dan Alen. Bisa jadi juga, setelah ini mereka berdua dapat ngobrol kembali. Bisa jadi Alen akan terus kembali. Bisa jadi. Ya dunia ini penuh dengan spanduk “bisa jadi”.
Setelah sedikit memanjangkan tawanya, Mas Rey tidak mungkin mengurungkan niatnya untuk mengecek dapur. Sekalipun rasanya Alen sudah membuatnya ingin melayaninya lebih lama. “Ya sudah Mbak, saya mau ke belakang dulu ya”.
Begitulah Anzza di hadapan semua orang. Mukanya benar-benar datar. Ia bisa tersenyum hanya dengan orang-orang terdekatnya. Itupun tak bertahan lama. Sebab, ia tidak suka kumpul dan keramaian. Ia penyendiri. Entah introvert. Entah anti-sosial. Yang jelas ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar kosannya bersama Paul teman sekamarnya.
Tapi, itu bukan masalah bagi Mas Rey. Bukan hanya Alen yang mengadu perihal sikap Anzza kepada para pengunjung kafe. Sebelumnya pun sudah banyak yang mempertaanyakan sekaligus memberi saran ke Mas Rey. Namun, bagi Mas Rey sendiri itu hak-hak saja. Itu hak Anzza. Dan kesan pengunjungpun berujung terbantahkan oleh suguhan kopi bikinan Anzza. Mas Rey yakin rasa dan aroma akan membungkam mulut-mulut pelanggan itu.
Bulan kian beranjak, malam terus berlayar. Senyap perlahan. Seharusnya, kafe sudah ditutup. Tapi, Mas Rey dan para karyawan tak pernah tega untuk memotong waktu para pengunjung saat mereka sedang benar-benar menikmati kopinya masing-masing. Alhasil, seperti hari-hari sebelumnya. Ujung-ujungnya Kafe Kopinesia ditutup saat seluruh pelanggan benar-benar telah beranjak pergi. Kira-kira, sampai jam 12 malam bahkan lebih, kafe itu akhirnya bisa ditutup dan semua karyawan akan siap menuju kepulangannya.
***
Pagi ini Mera sudah berniat menghabiskan waktunya di rumah. Untuk membunuh rasa bosannya ia tetap menjalani kodratnya sebagai kaum Hawa. Membersihkan rumah dan menyuci baju. Atau bahkan menyapu halaman depan rumahnya. Dengan tak ketinggalan sebuah headset terpasang di kedua telinganya. Pastinya dengan lagu-lagu Payung Teduh kesukaannya. Terutama, ia akan mengulang-ulang lagu “Menuju Senja” itu. Mungkin ia kira adalah hak jika merasa menjadi peran utama dalam lagu itu. Ia dan Fajar. Begitulah kiranya. Semenolak-nolaknya mulut Mera perihal ingatannya pada Fajar, hati punya cara sendiri untuk berbicara. Uh, percuma!
Ini memang pagi. Tapi bagi Mera, mau pagi mau siang mau malam; senja akan tetap ada. Atau senja memang harus tetap ada. Memang, tak terlihat oleh mata. Tapi, jauh di dalam imajinasinya, ia menciptakan sebuah dunia yang memiliki satu langit. Langit penuh senja di sepanjang waktunya. Langit penuh senja di sejauh mata yang memandangnya; sekalipun hanya matanya sendirilah yang mampu melihatnya.
Sore nanti. Ya, sore nanti. Ia akan menjalankan misi ibunya. Misi rahasia antara ia dan ibunya.
“Mera sini sebentar”, Bu Sasa tiba-tiba memanggil Mera yang sedang membersihkan jendela rumah. Bu Sasa terduduk si sofa sambil mengeluarkan sebuah baju dari bingkisan yang kelihatannya baru ia beli ketika keluar tadi.
Jelas mahajelas baju itu feminim sekali, “bikin anak Bu Yeyen terkesan denganmu, kau ingatkan siapa namanya?”
“Mas Rey, Bu”, jawab Mera dengan nada datar.
“Ya sudah, Ibu mau kerja lagi. Dangdan secantik mungkin ya”.
Ah, misi ibunya itu memang benar-benar aneh. Baju tanpa lengan? Berwarna krim pula? Jelas itu bukan kesukaan Mera! Sial!
***
Di sana, Anzza mengurung diri di sebuah kursi panjang depan kamar kosnya. Lagi-lagi, ia hanya menghabiskan waktunya untuk memetik-metik gitar kesayangannya. Anehnya, ia tak pernah menyanyi. Ia hanya memetik-metik. Sepenjang hari.
Mentok-mentokya paling si Paul yang menyanyi. Sekalipun suaranya begitu sangat sangat fals, Paul tak pernah sedikitpun bertindak untuk menurunkan suara lantangnya itu. Perihal sering dapat teguran dari tetangganya, persetan baginya. Ada yang bilang suaranya mirip tokek, katak, monyet sendawa, cicak ngelahirin. Pokoknya semua nama binatang terabsenkan, gara-gara suara falsnya itu.
“Eh, Ul. Itu ada suara kucing ribut!”, suatu ketika Bu Geni tetangga sebelah memotong nyanyian Paul beberapa minggu yang lalu.
“Ehhhh”, Paul tersentak, nyanyianpun terhenti, “mana Bu?”,
“Nah, udah mandek tuh. Udah ya jangan nyanyi lagi ya Ul”, ledek Bu Geni sambil cengengesan.
“Sial!”, umpat Paul geram. Masa suaranya disamakan dengan kucing ribut! Tapi ia tak berkutik sebab Bu Geni tetap orang tua. Yang muda harus menghormati yang tua. Sekesal apapun. Itu hukum sosial. Jika tidak, dipikirnya bisa-bisa kualat. Ah, andai saja aku lebih tua dari Bu Geni, aku terima jadi kucing juga!kucakar mulutnya nanti!, gerutu Paul.
Kembali lagi ke Anzza. Anzza Putra Utama. Sosok lelaki misterius. Ia benar-benar pendiam. Sangat diam. Dalam sehari, ia bisa saja tak bicara sama sekali. Mentok-mentoknya jika dapat sapaan dari para tetangga atau teman-temannya sekalipun, balasnya begitu pendek. Parahnya terkadang ia hanya membalas sapaan seseorang dengan sebuah senyuman yang super singkat.
Tapi gitarnya begitu kontra dengannya. Gitarnya akan terus bersuara. Sepanjang hari. Setiap pagi. Mungkin, gitar adalah mulut Anzza yang sebenarnya. Suara petiknya adalah cara bicara Anzza. Kepada manusia. Kepada lingkungannya. Kepada alam. Atau bahkan kepada Tuhan-Nya? Begitulah pikir Paul. Mungkin. Ya, masih kemungkinan. Siapa yang tahu kehendak manusia?
Dan hari ini, rasanya Anzza akan menghabiskan harinya kembali hanya di kosan bersama gitarnya. Sebelum sore nanti ia nyeduh kopi kembali. Sebelum kebisingan menguasainya lagi.
***
Hari kembali sore. Sebenarnya ini waktu yang baik untuk Mera jika hendak menikmati senja di Setu Patok. Tapi, harinya harus berganti. Kebiasaannya harus diurungkan. Sekarang ia harus ke kafe milik Mas Rey. Anak dari Bu Yeyen. Anak dari teman SMA ibunya dulu. Menurut ibunnya, ini kesempatan yang bagus. Bu Yeyen adalah anak orang berada. Otomatis, Mas Rey anaknya itu adalah jalan bagi Mera untuk menyelamatkan hidupnya. Bukan! Bukan bagi Mera. Tapi, bagi Bu Sasa. Sepeninggal ayahnya, Pak Kadarhariarto, dipikiran Bu Sasa hanya ada uang, uang dan uang. Uang adalah kehidupan. Hidup adalah uang. Itu saja. Hmm, simple ya?
Tapi, ya sudahlah. Lagian, dalam nurani Mera, ia juga tak tega jika terus-terusan melihat ibunya kerja banting tulang sendirian demi membiayainya dan membiayai sekolah Rina, adik semata wayangnya itu.
Bikin dia kesengsem denganmu, adalah sebuah kode dari misi Bu Sasa. kode itu mulai bekerja. Menggerakkan seluruh tubuh Mera. Kecuali hatinya, satu-satunya organ yang sebenarnya terus enggan untuk bergerak. Dan pada akhirnya, melangkahlah. Aku siap, ia membatin saat kaki kanannya benar-benar menginjak sepetak keramik depan pintu rumah. Menuju kafe, dengan segera dan siap.
***
KOPINESIA, 15. 58 WIB
Kafe baru saja dibuka. Satu persatu karyawan di kafe Kopenesia berdatangan. Rara dan Novi bersih-bersih meja pengunjung. Joan dan Sigit, menyiapkan bahan-bahan menu di dapur. Sementara Anzza terlihat sibuk menyiapkan alat-alat penyeduh kopi.
Dan ternyata, Kafe Kopinesia adalah tujuan Mera. Dipikirnya kafe itu besar. Sebesar pujian ibunya ketika menceritakan keluarga Bu Yeyen yang katanya superkaya itu. Nyatanya, kafe itu biasa saja. Sederhana saja. Seperti kafe-kafe pada umumnya di kawasan Cirebon.
Seharusnya Mera sudah paham tentang keberadaan kafe itu. Sebab jarak antara sekolah Mera dulu dan kafe Kopinesia tak begitu jauh. Tapi dasarnya Mera tidak suka kopi. Mana mungkin ia tahu kalau tempat yang biasanya ia lewati ketika pulang sekolah dulu itu, adalah tempat yang akan menjadi arena kerjanya. Arena hidup yang baru.
Entah kebetulan atau semesta memang mendukung, bertepatan saat Mera baru saja sampai, ia meliahat seorang lelaki keluar dari sebuah mobil Cressida ala-ala big-boss berkumis tebal. Tapi, oh, Masa itu Mas Rey?, tanyanya dalam hati.
Lelaki itu paham betul dengan tatapan perempuan yang dilihatnya menampakkan wajah planga-plongo untuk mencari seseorang yang dapat ditanya, apa benar ini kafenya Rey?. lelaki itu yakin bahwa perempun itu adalah Mera. Sosok perempuan yang baru saja lulus sekolah dan ingin belajar bekerja bersamanya.
Mera adalah anak dari teman SMA ibunya yang katanya baru saja terjalin kembali melalui grup WA para alumni di sekolah SMA-nya dulu. Sekiranya begitulah sedikit penjelasan dari Bu Yeyen. Dan nampaknya ibunya itu, pikir Mas Ray, seharusnya wajib menyebutkan satu kriteria lagi, cantik,.. ya, tepatnya kalem.
“Mbak Mera ya?”
“Eh, iya iya Mas. Mas Rey ya?”, Mera sedikit kikuk, sebab Mas Rey memberi kesan senyum pertama yang menggelikan. Bayangannya salah. Dikiranya sosok Mas Rey adalah tipikal bos pada umumnya. Kaku. Yang kemana-mana pakai jas, dan arogan. Nyatanya? Mera pun benar-benar terkesan. Kayaknya tanpa disuruh pun, aku mau dah dapetin Mas Rey, Mera membenak, keliatannya nyantai kok.
Sementara dari balik kaca jendela, Anzza menerawang. Sedikit samar, Anzza yakin perempuan yang sedang berbincang di depan kafe adalah perempuan yang kemarin membuatnya sedikit kesal. Hanya saja, kali ini Anzza tidak bisa bersikap munafik, bahwa penampilan perempuan itu memikatnya sore ini. Mera begitu terlihat lembut, dengan penampilan barunya itu, Eh, tapi kenapa Mas Rey bisa bersama Mera? Sudahlah. Anzza kembali dengan mesin-mesin penyeduh kopinya itu.
“Joan, Sigit, Rara, Novi... sini, sebentar”, teriak Mas Rey saat memasuki pintu kafe. Mereka semua pun mendekat. Kecuali Anzza.
“Kenalin ini Mera”, Mas Rey mengenalkan Mera pada keempat pegawainya itu. ”Dia teman baru kita disini. Dia yang bakal jadi asisten Anzza,.. gantiin Santi yang lagi cuti kerja”
Mera pun menyalami semuanya.
“Novi”
“Aku Rara”
“Sigit”
“Panggil aku... sesukamu deh”, Joan tengil itu sangat erat enggan melepas tangan Mera “kalau bisa panggil aku Joan saja juga enggak papa kok”
“Yeee! Itu mah emang namamu keles! Udah lepas tuh tangan!”, cekat Rara.
“Ciee Rara cemburu yahhh”, Novi dan Sigit menimpali.
“ha ha ha”
Mereka tertawa lepas. Penyambutan yang lumayan aneh. Joan memang begitu. Sudah tahu ada Rara yang jelas-jelas pacarnya. Ya dasarnya tengil ya bakal tetap tengil. Tapi tenang. Rara selalu memaklumi lelakinya itu. Toh, Rara yakin Joan hanya sedang membuat suasana agar tidak membosankan saja. Dan sebab kesan perkenalan pertama terkadang mampu membuat penentu keakraban seseorang setelahnya. Dan sebuah keberuntungan bagi kafe Kopinesia memiliki salah satu karyawan yang selalu mampu memecahkan keheningan, Joan Rizka.
Mas Rey dan Mera mulai mendekati Anzza yang masih serius dengan alat-alat kopinya itu.“Anzza kenalin ini—”
“Mera”, Anzza memotong ucapan Mas Rey. Tapi, tak sedikitpun Anzza melihat wajah Mera. Jelas, Anzza tahu namanya. Kemarin kan ia mendengar Mera sedang menutup telpon sewaktu di toko kaset Mas Deni.
Tapi, asal tahu saja. Sebenarnya Anzza itu keceplosan. Tidak ada niatan untuk mengucapkan kata “Mera” dari mulutnya. Ada dua nama yang mudah dikenal; pertama adalah seseorang yang dicintai, dan—Anzza milih seseorang yang kedua—seseorang yang dibenci. Anzza ingat itu.
Tapi sikapnya memungkinkan alasan utama Anzza adalah sebab gugup. Biasanya ia bersikap dingin. Apa jangan-jangan benar, penampilan Mera membuat Anzza jadi kikuk?
“Kalian sudah saling kenal toh?”
Mera menyergah cepat, “engga.. engga Mas”,
“Terus?”, Mas Rey kebingungan.
Mera tiba-tiba memandang wajah Anzza dengan geram. Dan kali ini, Anzza benar-benar berbeda. Ia membalas tatapan Mera dengan cara yang sama. Menampakkan muka geram. Seribu geram. Keduanya memang membuka pintu tatapnya, tapi bukan berarti membuka pintu mulutnya.
“Sudah.. sudah, kok serem ya”, Mas Rey mendinginkan suasana. Firasatnya mereka berdua menyembunyikan sesuatu darinya. Dan apa itu, entahlah.
“Oke. Jadi Zza, Mera bakal jadi asistenmu”
“Mas... “, sergah Mera, memasang muka enggan.
“Anzza ini baik kok aslinya”, ucap Mas Ardi menenangkan Mera.
“Bukan itu Mas”, muka Mera semakin menampakan reaksi masamnya.
Sementara Anzza merasa menang. Dalam hati ia yakin bahwa Mera akan menolaknya, dan pastinya Anzza akan terbebas pula dari perempuan yang sangat menyebalkannya itu.
“Aku... Aku mau jadi asistennya Anzza!”, jawab Mera dengan nada yang riang penuh senyum.
Kaget bukan kepalang. Anzza reflek mendengakkan kepalanya. Seperti tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Anzza kira pertemuan awal yang mengenaskan itu akan membuat Mera jengkel. Sebagai balas dendam setelah kejadian di toko kaset kemarin. Tapi diluar dugaan jika Mera terlihat begitu riang! Ya! Mera begitu riang!
Aneh!
Mas Rey memberi keringanan kepada Mera. Sebagai penyambutan kawan baru (Sebab di kafe Kopinesia tidak ada bahasa karyawan sebenarnya. Hanya ada bahasa kawan). Mera dipersilahkan untuk menikmati menu yang yang ada di kafe Kopinesia secara gratis.
Satu hot Cappuchino dengan sepotong roti bakar keju beberapa saat sudah mampang di atas meja Mera. Pengunjung kian berdatangan. Dan aktifitas kafe sudah dimulai penuh hikmat.
“Misiku ternyata ada dua”, Mera membatin, sambil menatap Anzza yang sedang sibuk meracik kopi, lalu beralih menatap Mas Rey yang sedang menyapa para pelanggan.
Beberapa saat bayangan Fajar kembali lagi di sela bayangan senyum Mas Rey dan bayangan geram Anzza.“Aku akan melupakanmu, Jar,.. Kehidupanku dimulai kembali”, lirih Mera sebelum seseruput hot cappuchinonya mendarat di dermaga kedua lapis bibirnya nun tipis.
***
Di sore yang gelap ditutupi awan
Bersama setangkup bunga cerita yang kian
Merambat di dinding penantian
Baiklah. Mari kita korek, siapa sebenarnya Mera?
Mera Kadarhariarto. Sosok perempuan yang biasa saja. Sungguh, ia biasa saja.
Baru dua bulan yang lalu ia lulus dari bangku SMA. Baik di sekolah dan di kesehariannya, ia biasa saja. Serasa mungkin belum menemukan kelebihannya. Di sekolah? Ia tak pernah mendapat prestasi apapun. Tak pernah mengikuti ekstrakuikuler apapun. Ia hanya berangkat sekolah, selebihnya pulang. Di luar sekolah? Ia menghabiskan waktu bersama Nadya, teman karibnya. Selebihnya, bersama Fajar, mantan kekasih sekaligus pacar pertamanya itu.
Perempuan biasa saja? Kemungkinan kisahnya akan biasa saja. Jika dipaksakan menceritakan kisahnya, apa yang mau tunjukan? Apa memiliki kapasitas rindu yang begitu luas (kepada Fajar, utamanya) atau perempuan yang dapat mensyukuri kehadiran senja; dapat disebut perempuan yang memiliki kelebihan?
Mungkin, perempuan biasa saja paling mentok-mentoknya hanya sebagai tokoh figuran dalam sebuah novel ataupun film. Sekali lagi, ia hanya perempuan biasa. Tapi apa salahnya jika mengulik kehidupan orang-orang biasa?
Kira-kira hal yang detail dari orang biasa, mereka memiliki kesabaran yang lumayan. Bayangkan saja, di sekolah para guru hanya memuji-muji anak berprestasi atau paling tidak orang yang mendapatkan nilai tinggi. Kebanyakan guru hanya peduli itu. Bagaimana perasaan orang-orang biasa atau pelajar yang hanya memiliki kemampuan rata-rata ketika mendengarnya? Ia hanya bisa menerima dengan sabar, menjauhi rasa iri.
Orang tua? Ketika orang tua membanding-membandingkannya dengan anak-anak lainnya yang jauh lebih unggul, bagaimana perasaan orang biasa? Lagi-lagi ia hanya diam, menerima dengan kesabaran.
Dan Mera ada di posisi itu. Mera memang cantik. Tapi tak secantik anak-anak hits di sekolahnya. Ia tak pintar, seperti anak-anak kesayangan para guru di sekolahnya. Ia biasa saja. Tapi jauh lebih dalam, hal itu akan janggal, jika dikaitkan dengan kalimat “Tuhan Maha Adil”. Percayalah, Tuhan sungguh maha adil. Sebab, sebenarnya Mera memiliki suara yang indah. Namun ia tak mau memperlihatkannya.
Jadi, ada dua kemungkinan dalam diri orang-orang biasa. Pertama, ia sudah tahu kelebihannya, tapi masih kurang nyali untuk menunjukannya. Kedua, ia memang belum menemukan kelebihannya. Singkatnya masih dalam proses menempuh perjalanan menemui jati dirinya.
Mera hanya berani bernyanyi di satu tempat; kamar mandi pribadinya. Kamar mandi adalah panggung bagi Mera. Di sana ia selalu memperlihatkan perfomance-nya dalam bernyanyi. Tapi apa dayalah ketika pendengarnya hanya sebuah bathup mandi, shower, gemericik air dari kran, lalau sabun ataupun sampo?
Pak Kadarhariarto dan Bu Sasa, ataupun adiknya, Rina, sering mendengar suara indahnya itu. Tapi hal itu lebih dipandang sebagai kebiasaan anak-anak masa puberitas; ya kebiasaan menyanyi di kamar mandi!
Palingan Rina sempet nyuruh kakaknya itu untuk sesekali mengikuti audisi bernyayi. Sebab yakin suara Mera itu cukup bagus. Tapi, Mera menolaknya. Malah mengira saran adiknya itu tak lebih dari sebuah ledekan. Ambigu.
Hanya sekali ia menunjukan bakat menyanyinya di depan publik. Itupun karena terpaksa. Saat itu, tepaat saaat ia masih duduk di kelas sebelas SMA. Nilai keseniannya di bawah batas minimum. Untuk memperbaiki nilai tersebut, ia menuruti perintah Bu Sari; menyanyi di depan kelas. Tak ada yang menyangka bahwa suaranya itu di atas ekspektasi para siswa yang hadir dalam kelas. Semuanya bertepuk-tangan. Bahkan Bu Sari sendiri sampai-sampai berdiri dari duduknya. Dan kejadian itulah yang barangkali membuat Fajar menyukainya. Sebuah rasa yang tersusun setelah lagu The Way You Look At Me garapan Crishtian Bautista menggema di setiap sudut kelas.
Setelah kejadian itu teman-temannya menyarankan agar Mera meneruskan bakatnya itu. Tapi, Mera, Mera, dan Mera. Ia tak mempedulikannya. Ia malah acuh dengan saran tersebut. Rasanya, ia memang sudah nyaman dengan posisinya sebagai orang yang dipandang biasa saja. hingg akhirnya, tak ada kabar lagi tentang suara Mera di sekolah. Tak ada kabar lagi tentang seseorang yang menyarankannya untuk mengikuti ajang audisi menyanyi. Sekalipun saran itu dari Fajar. Ingat sebuah prinsip Mera untuk para laki-laki. Lelaki hanya boleh menang dari perempuan hanya dalam satu hal; memanjangkan kumis!
Ketika beberapa bulan lagi ia akan tamat jenjang SMA, ayahnya meninggal. Sebab serangan jantung. Dan disinilah, bagi Mera, kehidupan baru dimulai. Kehidupan yang sesungguhnya. Kehidupan yang sedikit menyebalkan. Kehidupan penuh dadu.
Bu Sasa yang dulunya hanya mengandalkan nafkah dari suaminya, kini bekerja sebagai karyawan di sebuah Toko Kue. Untung saja, ijazah D3 menejemen dulu masih laku untuk mengangkatnya sebagai atasan di toko itu. Minimal, ia tidak harus turun tangan menjadi pelayan kue.
Lalu Mera sendiri, ia pernah berimpian kuliah di ISI (Institut Seni Indonesia) yang berada di Yogyakarta. Dan ini juga yang menjadi alasan Mera menyembunyikan bakat emasnya. Ia berencana hanya ingin memperlihatkan kemampuannya sesuai dengan tempatnya. Ya di ISI. Tapi, ujung-ujungnya kandas sebab biaya. So, akhirnya seperti sekarang ini, mencoba bekerja di Kafe Kopinesia, demi membantu ibunya. Bukan! Bukan! Demi melancarkan misi ibunya.
Parahnya lagi, dengan tiba-tiba Bu Sasa menyuruh Mera untuk memutuskan hubungannya dengan Fajar. Sebab Fajar, hanya anak seorang Guru PNS di sebuah sekolah tinggat dasar. Aku pacaran sama anaknya, dan putus sebab pekerjaan orang tuanya, aneh!. Padahal, sebelumnya semua baik-baik saja. Bu Sasa tidak pernah mempermasalahkan lelaki yang dicintainya itu.
“Sekarang, lebih baik kamu megejar impianmu saja ya Jar”, ujar Bu Sasa pada hari terakhir itu.
Dengan bahasa yang begitu halus Bu Sasa mempersilahkan Fajar untuk pergi ,”jangan deketin Mera lagi ya, demi impianmu,.. kata Mera kamu bercita-cita ingin menjadi, hmm, apa itu,..programmer, kan?, kejar impianmu!”
Kalimat halus, bermakna kasar? Hah?
“Tapi, Bu...”
“Engga usah tapi-tapian ya, ini demi Mera dan kamu juga bukan!?”, Bu Sasa naik suara.
Mera hanya bisa menangis melihat seketika Fajar beranjak dari duduknya. Tanpa berkata apapun. Bahkan untuk sekedar ucapan perpisahan pun tidak! Fajar keluar rumah. Mera pikir kejadian itu hanya ada dalam sinetron-sinetron kesukaan Rina yang tayang setiap sore menuju malam. Ternyata tidak! Ia merasakannya. Ia begitu merasakannya. Inilah kehidupan yang sesungguhnya! Fajar memang terkanal santun, dan penurut. Tapi bukan itu yang Mera inginkan dari dia saat ini! Mana kelelakiannya? Fajar seharusnya berontak, penurut macam apa jika hanya didasari atas rasa ketakutan?
Nyatanya, hari itu adalah hari terakhir Mera melihat Fajar. Menurut orang tua Fajar, dia pergi bekerja ngikut pamannya yang ada di Kalimantan. “Hingga kini”, Fajar belum pulang dari perantauannya itu. Ya, “hingga kini” sampailah di sebuah sore yang menuntut Mera bekerja di Kafe Kopinesia.
Mera menghirup nafas yang panjang ketika sampai di depan Kafe Kopinesia. Di dalam Kafe, Anzza, Sigit, Joan, Rara dan Novi, terlihat sedang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Mera pun bergegas untuk nimbrung.
“Hari pertama kerja kok telat”, Anzza melirih saat Mera melintasinya.
Mera menarik langkahnya dan sesegera tepat berdiri di dapan Anzza. “Apa mas? Aku gak denger tadi?”
Mera memasang kuda-kuda dalam matanya.
“Anzza apaan sih,.. lagian tumben banget mau bicara”, Rara menyekat, “maaf ya Mer, Anzza gak biasanya bersikap gitu”
“Gak apa-apa, Ra”.
Sejurus kemudian para pengunjung berdatangan. Begitupun dengan Mas Rey yang baru saja sampai lalu mengucapkan salam begitu keras ketika melewati pintu masuk. Mera masih kebingungan dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang asisten barista. Ia berdiam di belakang punggung Anzza. Nih orang kok diemnya kayak batu gunung, gerutu Mera pada Anzza.
“Kok diem”, Anzza membuka mulut, nyindir Mera yang terbengong di belakang tubuhnya.
Siapa yang diam? Hah? Siapa!, jerit Mera jengkel dalam hati.
“Eh, Mera... ikutin apa kata Anzza aja yah”, tiba-tiba Mas Rey berada bersama mereka, “aku hari ini enggak bisa nyetand di Kafe dulu”.
“Gimana mau ngikutin Mas, ngasih petunjuk aja kagak”, Mera memasam.
Sebelum Mas Rey merespon aduan Mera, sesegera Anzza mengalihkan perhatian Mas Rey “hati-hati di jalan ya Mas”.
“Iya Zza..”
“Semuanya... aku pamit yaaa”, teriak Mas Rey,“Mera, nurut aja ya sama Anzzaaaa!”.
Mendengar itu seluruh karyawan pun tertawa. Ya, sebab penekanan suara pada kalimat “Anzza dan Mera”. Serasa semua memprediksi bahwa ada kehadiraan Tom & Jerry di kafe Kopinesia.
Mas Rey memang benar-benar baik. Ia tampak bukan seperti bos di kafenya sendiri. Ia adalah kawan bagi karyawannya sendiri. Ia juga seperti Ayah bagi mereka. Tak jarang, terutama Joan, meminta solusi ketika ia sedang terkena masalah.
Kabar baiknya lagi, setiap akhir pekan di setiap penghabisan bulan, seluruh karyawan di kafe diajaknya untuk jalan-jalan. Entah sekedar mentraktir makan, karaukean, ataupun menikmati destinasi wisata yang lumayan dekat antara kota Cirebon, Indramayu, Kuningan, atau Majalengkah.
“Tugasmu malam ini tak banyak”, Anzza mulai menatap Mera dengan penuh,”menakar ukuran kopi, lalu meng-grindernya”.
“Grinder?”
“Nggiling”, jawab Anzza kecut.
Segera Anzza mempraktekan seperti apa tugas Mera. Ukuran kopi harus sesuai dengan neracanya. Itu memang bukan hal yang pokok. Jika sudah lihai, seperti Anzza misalnya, biji kopi tidak usah ditimbang lagi. Anzza akan bermain insting. Sesuai kehendaknya. Tapi, berhubung Mera sangat awam perihal kopi, ya harus manual. Kemudian, kopi yang sudah ditakar akan di grinder atau digiling. Nah begitulah, tugas Mera Malam ini.
Setelah Anzza mempraktekkannya, Mera menampakkan wajah yang menyepelekan. Mudah sekali ya, nih orang ngremehin aku banget sih!, Mera membenak.
Aktifitas pun dimulai. Pengunjung semakin banyak. Semakin banyak pula pesanan. Semakin banyak pula kopi yang harus tersaji. Wajah Mera memerah. Ia tak habis fikir bakal kewalahan. Secepat-cepatnya tangan Mera. Tetap saja ia adalah perempuan. Tidak secekat kecepatan gerak seorang lelaki.
Anzza ikut turun tangan. Dirasanya asistennya itu lemot. Ia tidak lagi hanya mengandalkan Mera. Ia ikut menakar kopi dengan tanpa menimbang takarannya. Ia bahkan ngikut menggiling biji kopi. Sementara Mera yang masih kewalahan menuntaskan pesanan kopi-kopi sebelumnya, terlihat kebingungan. Atau jangan-jangan ia kelelahan?
“Lelet!”, Anzza melirih. Tapi siapa sangka Mera mendengarnya.
“Apa maksudmu hah?”, kali ini Mera benar-benar jengkel dengan sindiran Anzza.
“Udah ah! Berantem mulu,.. jodoh baru tau rasa lo!”, tiba-tiba Joan datang melerainya.
“Huh”, Mera menampakkan wajah ogahnya. Tersenyum kecil. Senyum jahat. Bagi Mera, jodoh dengan Anzza pastinya bencana paling buruk dalam hidupnya. Semacam tsunami bagi hidupnya. Semacam gunung meletus. Semacam tanah longsor. Semacam bencana lumpur panas yang membuncah dari dasar bumi.
Intinya, Anzza adalah bencana!
Tapi, di malam itu pula secara diam-diam Anzza mencuri-curi pandang pada Mera. Kau tampak lucu Mer, benak Anzza, kalau kewalahan seperti itu. Hah? Lucu? Ada apa ini?. Itu keringatmu Mer, itu...Ah, tidak tidaak!, Anzza lansung membunuh pikirannya tadi setelah ingat bahwa Mera adalah perempuan yang membawa sial baginya!
Jam sudah menunjukan pukul 09.00 WIB. Pukul 10.00 WIB. Pukul 11.00 WIB. Semuanya tak terasa. Pemesanan kopi, sudah ditutup. Anzza sedang membikin kopi single origin Bali Kintamani dengan metode Syphon. Sedangkan Mera sedang menggiling kopi terakhirnya. Hanya satu pesanan terakhir lagi.
Tiba-tiba sifat tengil Mera muncul.
“Woi!”, Mera mengoles serbuk kopi ke pipi dengan colekan jail. “diem-diem baeeee... ngopiiiii ngapa ngopi!”
“Ha ha ha”, Mera tertawa puas. Tertawa sendirian. Contrengan kopi itu membentuk kumis kucing yang hanya sebelah saja. Kumis kucing yang tak lengkap, payah.
Melihat tingkah Mera sok asyik, Anzza malah menanggapinya dengan muka datar. Lebihnya Anzza memasang muka jengkel. Anzza menatap tajam wajah Mera. Dengan kondisi seperti itu, seketika Mera terdiam. Ia tertunduk. Tidak berani menatap wajah Anzza lagi sedikitpun. Ia kali ini merasa takut. Padahal niatnya hanya untuk memecahkan keheningan dalam bekerja. Tapi Anzza beda Mera! Beda! Joan, Sigit dan teman-teman yang lainnya terbengong, menantikan apa yang akan Anzza lakukan kepada Mera.
Hening.
Lah kok? kok Anzza malah tiba-tiba tersenyum?. Joan dan kawan-kawan lainnya langsung menghembuskan nafas panjangnya. Mereka lega. Walaupun sedikit tak percaya jika Anzza bakal berubah wajah.
Joan dan kawan-kawan reflek ikut tersenyum. Mereka menahan sesuatu yang hendak keluar dari raut wajahnya, dan...
“Ha ha ha”. Ya, mereka mengeluarkan sesuatu dari raut wajahnya. Suatu ekspresi tawa melihat Mera yang tertunduk seperti Malin Kundang yang membatu dikutuk Anzza. Sementara Anzza hanya menyeimbangkannya dengan terus menahan senyum agar tidak berhenti sebelum Mera mengetahuinya.
Dalam keadaan tertunduk dan masih belum ngeh, Mera merasakan ada hal yang aneh. Ada suara tawa yang ganjal.
Seketika Mera langsung mendengakkan kepalanya, “sial”.
“Ha ha ha”, tawa teman-temannya malah semakin menjadi.
Mera jengkel. Mera merasa dikerjai Anzza dan kawan-kawannya. Senjata makan tuan. Mera semakin menampakkan wajah jengkelnya . Anzza masih tersenyum. Sungguh, sungguh manis ekspresi Mera ketika sedang cemberut. Sungguh, sungguh jarang Anzza tersenyum lebar seperti sekarang. Percayalah!
Kafe akan tutup beberapa menit lagi. Pelanggan masih menikmati kopinya masing-masing. Sambil diselingi makanan ringan yang dispesialisasi Rara dan Joan. Seperti biasanya, malam ini sama. Tutup bukan berarti semua akan pulang. Mereka akan pura-pura tidak tahu. Ya pura-pura. Sebab, di depan pintu sudah terpampang jelas batas jam kafe ditutup. Tapi, sekali lagi Mas Rey bukan saja bos. Ia adalah kawan bagi siapapun. Termasuk untuk pelanggannya sendiri. Ia tetap membiarkan mereka menghabiskan kopinya. Coffe-time-nya.
Katanya, semua orang berhak menikmati kopinya. Barangkali kenikmatan kopinya, baru mereka dapatkan ketika di tetes terakhirnya. Mas Rey tidak mau menghilangkan kenikmatan itu. Mungkin juga, karena sikap Mas Rey yang super baik, makanya kafenya itu selalu ramai.
“Eh, Kok mati ya?”, Mera merasa motornya kloset. Lampunya tidak nyala. Sigit pun ikut mengeceknya. Ternyata memang mati. Mera sendiri merasa aneh, ah,… padahal baru pagi aku lihat lampunya nyala.
“Gimana kalo motor kamu tinggal di kafe dulu, sementara kamu bonceng ama...”, Rara melirik ke arah Anzza.
“Ogah!”, Mera memasang muka masamnya. Sedang Anzza hanya terdiam. Memasang muka datar. Seolah-olah ia tak mendengar apa-apa.
“Aku sama Joan, Sigit sama Novi lawan arah… jauh lagi. Mau naik apa lagi hayo? Jam segini mana ada angkutan umum”
“Bentar aku pesen ojek online dulu”, Mera masih mencari seribu alasan agar bisa menolak untuk bonceng pada Anzza. Ingat! Anzza adalah bencana!
Tiba-tiba Anzza turun dari motornya. Ia menyerobot dan memasukkan motor Mera ke dalam kafe. Semuanya diam. Tak ada yang berani nanya, apalagi menyergah Anzza. Pada saat genting seperti ini, diam adalah emas. Kalian harus tahu, muka Anzza begitu sangar ketika melakukan sesuatu tanpa ada kata sedikitpun.
Selepasnya Anzza menarik tangan Mera menuju motornya. Mera terdiam di sebelah motor. Tercengang. Ia tak habis pikir untuk menaiki motor si bencana itu!.
“Udah, aku khawatir”, Anzza melirih.
“Apa?”, Mera tak percaya apa yang keluar dari mulut Anzza. Tapi, Anzza tak menggubrisnya sama sekali.
“Hati-hati ya!”, Joan, Sigit, Rara, melambaikan tangan pada Anzza dan Mera, yang tanpa pamit langsung melaju.
***
Malam ini adalah malam paling ambigu bagi Mera. Bagi, Anzza juga. Sekalipun dengan berbagai cara ia hendak menolak berboncengan dengan Anzza. Tapi, di sisi lain ia juga merasa takut jika harus ngojek malam-malam.
Jelas, pikirannya banyak alasan untuk menolak berboncengan. Secara, Anzza adalah orang yang sudah menjadikan hari-harinya sial. Dari perebutan kaset. Sampai yang barusan terjadi, ia merasa diremehkan yang hanya diberi tugas menakar bebijian kopi. Tapi, pikirnya toh pantas jika berharap ketika seorang perempuan membutuhkan bantuan, lelaki harus lugas membantunya.
Bagi Anzza, mungkin kurang pas jika dikatakan sedang ambigu. Ambigu adalah ketika berhadapan dengan dua jalan yang janggal. Tapi, Anzza tak merasa begitu. Mungkin, lebih pantasnya ia bingung, dan lalu bertanya pada dirinya sendiri, “Kenapa aku tadi ngelakuin itu?”
“Mer, nanti mampir beli makan dulu ya”
“Ya”
Suasana hambar, mungkin? Atau hati mereka yang hambar?
Selang beberapa menit, Anzza memarkirkan motornya di depan sebuah warung ronggolawe. Dan duduk di sebuah kursi yang telah disediakan.
“Mas, pecel lelenya satu ya”
Mera hanya diam. Ia benar-benar geram. Ia sebelumnya sedikit berpikiran baik, barangkali Anzza mengajaknya makan adalah cara dia menebus kesalahannya. kesimpulannya bahwa Anzza akan tetap Anzza. Manusia yang tidak berperi-kemanusiaan.
Seoraang pelayan dengan seporsi hidangan yang sudah dipesan menghampiri Anzza, “Itu pacarnya gak mau makan Mas?”
Ih jiji! Sontak Mera dalam hati.
“Lagi diet dia Mas”, jawab Anzza tanpa ragu, “sekalian pecel lelenya bikin dua lagi ya Mas, dibungkus”.
Diat diet diat diet, nawarin juga kagak!
Mera menatap tajam mata Anzza. Sebenarnya ia lapar. Tapi seketika kenyang setelah sadar bahwa Anzza adalah manusia tidak berperi-kemanusiaan.
“Kamu lapar?”
“Enggak!”, tungkas Mera.“Boro-boro lapar… enek iya”,gerutu Mera.
Anzza balik melirih, “Jadi cewek kok judes!”
“Anzzaaaaaaaaaaa!”, teriak Mera tiba-tiba. Seluruh mata pengunjung tertuju pada Mera. Mera tidak memperdulikannya. Ia sudah tidak tahan dengan sikap Anzza.
Anzza adalah bencana!
***
Perjalanan dilanjutkan kembali. Setelah teriakkan itu, tidak akan ada kemungkinan yang baik. Mera semakin geram dengan sikap Anzza. Namun ada dua hal yang kiranya ia selalu menarik amarahnya untuk tidak mengambil keputusan yang fatal. Pertama, tujuan Mera adalah menarik hati Mas Rey dan Anzza anggap saja sebagai rintangan. Kedua, rasanya jika ia nyerah, Anzza akan merasa menang. Aku harus balas dendam! Lelaki hanya boleh menang dalam satu hal: memanjangkan kumisnya.
Motor tiba-tiba berhenti di perempatan jalam Perum.
“Ayo ikut sebentar”
“Kemana lagi?”
Anzza tak menggubris. Dengan terpaksa Mera mengekor. Mereka melewati sebuah gang kecil. Menuju sebuah rumah kecil. Diteras rumah itu ada seorang perempuan setengah baya sedang melipati pakaian dengan penuh.
“Bu, Reksanya di dalam?”
Perempuan itu baru sadar kedatangan tamu, “Eh Mas Anzza”. Lalu matanya tertarik menuju pada Mera.
Spontan Mera meresponnya, “malam bu”.
“Masuk aja mas, pas banget baru aja dia pulang”
“Ini bu, buat sahur”, Anzza memberikan pecel lele yang barusan ia beli, “besok senin kan?”
Dengan sebuah senyum perempuan itu menerimanya, “kebiasaan.. makasih mas, ngrepotin mulu, hehe”
Kembeli ke instruksi semula, Anzza dan Mera bersegera memasuki sebuah pintu yang hanya memiliki ketinggian setara dengan bahu Anzza itu.
Baru saja masuk, seorang bocah sekitar berumur 10 tahunan sedang memegang gitar dan sibuk menuliskan sesuatu di secarik kertas. Ya, dia Reksa.
Anzza merindik dari belakang tubuh Reksa. “Fokus banget”.
“Eh Om Anzz”, Reksa terkaget, “iya om, susah banget nyari kunci lagu, lupa inget lupa lagi”
Anzza melirik kertas itu, “Oh Payung Teduh… sini gitarnya?”
“Itu siapa om?”
“Ini kenalin, mbak Mera.. temen om”
Mera pura-pura tidak mengerti. Sama sekali ia tidak melirik Reksa. Malah sibuk memainkan handpohone-nya. Yang akhirnya memancing Anzza untuk kesal dengan sikap Mera yang tidak menghargai keberaadaan Reksa, “Mer!”
“Apaan lagi?”
“Udah Sa, biarin aja. Sini om ajarin, tapi kamu nyanyi ya”
Anzza pun mulai memainkan gitarnya. Reksa mulai tersenyum dan bersiap menyayi. Sementara Mera masih saja terpaku dengan HP-nya. Sebuah lagu berjudul “Menuju Senja”, mulai memenuhi ruangan. Petikan gitar Anzza dan suara halus Reksa mulai membentuk sebuah suasana. Suasana malam yang begitu syahdu.
Tidak bisa ditolakkan bagi Mera. Ia menikmati lagu itu. Suara Reksa memang begitu merdu bagi seusianya. Apalagi diiringi petikan gitarnya Anzza. Sebuah kolaborasi sederhana yang membentuk nada istimewa. Ditambah Payung Teduh adalah band kesukaan Mera. Lengkap sudah. Mera menikmati ini. Begitupun Anzza. Begitupun Reksa.
“Gila”, lirih Mera.
Hanya saja Mera masih pura-pura fokus dengan HP-nya. Padahal, ia ingin sekali ngikut bernyanyi dan berkolaborasi dengan mereka. Apalagi ekspresi Anzza dan Reksa begitu tenang penuh bahagia membawakannya.
Tapi Mera gengsian. Ia masih berusaha menyembunyikan perasaannya dalam menikmati lagu itu. Ia tetap berusaha menampakan wajah kesalnya pada Anzza. Sayangnya Anzza tidak peduli itu. Lagu terus mengalir.
“Anzza.. Ayo balik, udah malem”, ucap Mera dan seketika Anzza memberhentikan aksinya. Ia mengasihkan gitarnya pada Reksa. Mukanya merah. Sangat merah.
Anzza berdiri dan menarik tangan Mera, “Ayo!”
“Kasar baget sih!”, berontak Mera, ia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Anzza.
Anzza tidak peduli. Mera pun lagi-lagi mengekor di balik punggung Anzza yang mempercepat langkahnya.
Perjalanan dilanjutkan. Keduanya saling diam penuh marah. Anzza terlihat masih tak terima dengan sikap Mera yang tidak menghargai Reksa. Ditambah lagi malah memberhentikannya menyanyi. Malam semakin sunyi. Kendaraan sudah terhitung jari. Beberapa saat ia tiba di depan rumah yang sudah diintruksikan oleh Mera.
Bu Sasa mengintip lewat jendela. Mera tahu itu. Mereka turun dari motor tanpa ada satu patah katapun yang keluar. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal di hati Mera. Ia marah. Tapi, ia juga sudah sepatutnya berterimakasih kepada Anzza.
“Makasih Zza”, lirih Mera, “Aku takut,.. Rina”.
“Takut? Rina?”
“hati-hati di jalan yah”
Mata Anzza seperti menyimpan seribu tanya. Melepas Mera yang berjalan sedikit cepat memasuki rumah. Tapi, apa mau dikata. Mera kok tiba-tiba halus?
“Siapa itu?”, sambut Bu Sasa, “mana motormu? Kok bukan Mas Rey yang nganterin?”
Mera segera menyambut tangan Bu Sasa untuk bersalaman, dan bergegas menuju kamarnya, “Anzza, temenku”.
Bu Sasa masih berdiri di tempat, “gagal!”
Usahanya hari ini gagal. Percuma Bu Sasa rela-rela mencari Odik siang tadi untuk memotong kabel penghubung kabel lampu motor. Ia gagal. Bukan Mas Rey, tapi Anzza. Bukan mobil, tapi motor. Bukan anak konglomerat, tapi hanya sekadar teman. Terus berjuang!, gumamnya.
***
Pagi mulai berjingkrakkan. Embun enggan untuk mempercepat tetesnya. Perlahan ia mencuri perhatian Anzza yang sedang termenung di sebuah kursi halaman depan kosan. Anzza terpikat sembari terus memanjakan gitar dan matanya.
Seorang lelaki bercelana pendek tanpa kaos berjalan sangat pelan agar isi dalam dua cangkir yang ia bawa tidak tumpah, “Ini kopinya Zza?”
“Enggak kerja Ul?”
“Dipecat aku Zza”, singkat Paul lalu mencoba menyeruput kopinya.
“Kenapa lagi?”
“Sudahlah, kita ngopi saja”
Paul sebenarnya ingin cerita bahwa sebenarnya ia bukan dipecat. Melainkan mengundurkan diri. Atasannya yang dibilang cukup masih baru, selalu mempermasalahkan penampilannya, yang sedikit rock n roll. Katanya, bikin pelanggan jadi pada takut. Padahal, dari dulu sampai sekarang tidak ada satu pelanggan manapun yang mempermasalahkan itu. Setiap hari dapat cibiran, mana tahan Paul terus-terusan menutup kupingnya. Sudah gajinya pas-pasan, eh ditambah ómelan mak lampir itu! Begitu Paul mengutuknya.
“Ul, aku pengen cerita boleh?”
“Wah, ada angin apa? Tumben-tumbenan nih… hehe”
“Aku… aku”
“Aku kebelet kencing, permisi Ul”
“Sial!”, tungkas Paul.
Anzza tidak bermaksud untuk bercanda. Ia ingin sekali berbagi cerita dengan Paul. Tapi, apa boleh buat. Nyatanya ia belum siap untuk berbagi. Ia masih malu, jika sebenarnya ia ingi bercerita tentang seorang perempuan yang membuatnya gelisah. Seorang perempuan yang membuatnya tidak tidur semalaman. Perempuan yang Anzza sendiri tidak tahu kenapa ia bersikap kasar kepadanya, padahal dalam hati ingin sekali memperlakukannya dengan baik. Perempuan biasa, namun memiliki mata yang entah kenapa ia menyukainya. Tapi, ya sudahlah. Keputusan terakhirnya, ia menyimpannya sendiri dan bersegera membuang pikirannya itu nebeng pada keluarnya air seni.
***
Ada yang mati, saat itu dalam kerinduaan
Yang tak terobati
Mera masih panik. Di ruang lobi IGD bersama Bu Sasa. keringatnya berkucuran. Rina, adaiknya itu, masih ditangani oleh dokter dan beberapaa perawat lainnya. Rina kambuh lagi. Dan kejang-kejang. Iya memiliki epilepsi yang dijalaninya semenjak kecil.
“Gimana dok?”
Melihat perempuan itu panik, dokter meneduhkan suasana “Rina enggak papa kok, biarkan ia istiraahant dulu”
Bu Sasa dan Mera sesegera menghampiri Rina.
Mera membisikkan sesuatu pada Rina yang belum sadarkan diri, “Sabar ya sayang, ada kakak disini”
“Mera…”
“Iya Bu”
“Kamu sayang dengan adikmu?”
“Ibu kok nanyanya gitu sih?”
“Kalau sayang, cepat bikin Mas Rey terpikat sama kamu”.
Mera terdiam seketika. Kalimat itu mencabik-cabik perasaan Mera saat ini. Mera tidak munafik, bahwa ia juga terkesan dengan Mas Rey. Tapi, bukan begini caranya. Apalagi diucapkan saat genting mahagenting seperti ini.
“Kamu maukan Rina kembali menjalani terapi rutin lagi. Seperti saat Ayah masih hidup”
Ya Tuhaaaaan…
Mera masih terdiam. Ia tundukkan lagi kepalannya dan mencium kening Rina. Ia menguatkan hatinya. Ia harus kuat. Ia harus memaklumi sikap ibunya akhir-akhir ini. Ia sadar, ia adalah anak pertama. Ia harus siap menjadi tulang punggung keluarga. Ia harus siap!
Tapi, Ayah. Sosok ayah kini begitu kencang mengaliri nadi Mera. Ia rindu Ayahnya. Ia juga sedikit kangen dengan pundak Fajar yang selalu sedia menjadi bandara ketika kesedihan sedang terbang di kehidupan Mera.
Ada yang mati,
saat itu dalam kerinduaan,
Yang tak terobati.
***
Malam ini malam minggu. Dengan itu, Anzza dan kawan-kawan lainnya sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Berangkat lebih awal dari jam biasanya dan siap bertempur. Sebab, malam minggu masih menjadi malam yang menggemaskan. Pengunjung kafe Kopinesia bisa mencapai tiga kali lipat dari biasanya.
Semua berjalan seperti semestinya. Pengunjung sudah mulai berdatangan. Anzza sepertinya sedang mengharapkan seseorang segera datang. Siapa lagi kalau bukan Mera? Ia merasa akan kerepotan. Tapi apakah benar-benar karena takut kerepotan? Bukan karena yang lainnya? Rasa khawatir gitu, misalnya? Ah, enyah.
“Mera belum datang?”, tanya Mas Rey yang baru datang dan mngagetkan Joan.
“Belum Mas...”.
“Masih baru aja udah telat-telatan terus”, gerutu Anzza yang kebetulan mendengar percakapan Joan dan Mas Rey.
Mas Rey menghampiri Anzza dengan senyum penuh rahasia, “Anzza… hei! Kamu kok keliatannya sensi terus ama Mera?. Jangan-jangan…?”
“ Iyah tuh Mas”, tambah Joan, “Kalo di sinetron mah nanti ujung-ujungnya jodoh!”
“Ha ha ha”
“Apaan si!”.
Dengan sikap Anzza seperti itu, Mas Rey dan Joan semakin menaikkan suara tawanya. Mereka yakin Anzza itu sedang malu. Malu-malu kucing. Cuek tapi nyariin.
“Tapi, kemana ya dia? Apa bener gak betah disini?”, Mas Rey masih melanjutkan tanyanya. Tapi, buntu juga. Sebab, tidak ada yang punya nomor HP Mera untuk sekadar menanyakan keberadaannya.
Malam terus bergulir. Seharusnya tidak hanya malam minggu yang patut dirayakan. Semua malam. Malam adalah sketsa surga yang didambakkan para manusia setelah lelah menggempur hari dengan bekerja. Ataupun setelah anak-anak remaja yang rehat dari buku-buku diktat yang mengharuskannya duduk berjam-jam memainkan gerak otaknya. Dan Anzza selalu berpikir, kopi adalah menu utama di dalam surga dan tempat manusia untuk menikmati masa produktifitas daya cipta senyumnya.
“Maaf telat”, seketika kedatangan Mera membuyarkan kawan-kawannya yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Anzza melirik jam besar yang terpampang di dinding kafe. Lalu kembali menyeduh kopi.
“Masih baru aja udah telatan”, lirih Anzza “manja banget sih”.
Mera mendengar itu. Mendengar kalimat itu. Kalimat yang tidak berperasaan sama sekali. Ia masih berdiri di depan Anzza. Perlahan air matanya turun. Ia merasa hatinya kacau. Ingin sekali ia menggigitnya. Atau membendung mulutnya dengan sandal.
Anzzza melirik Mera kembali, “nangis lagi,.. gak ngaruh”
Mera sudah tidak kuat. Ia lari menuju kamar mandi.
Melihat itu, Rara menghampiri Anzza, “gitu baget sih Zza”
Sesegeraa Rara menuju kamar mandi. Dilihatnya Mera menghadap ke sebuah cermin besar, dengan air mata yang terus mengalir melewati setiap centi pori-pori pipinya. Mera meletakkan tangannya ke pundak Mera dan terus mencoba memahami keadaan Mera.
“Aku emang salah Ra. Aku telat. Tapi Rina kambuh Ra… adikku kambuh. Aku harus ke rumah sakit dulu. Kenapa Anzza enggak mau mengerti”, tutur Mera bercampur isakan tangis.
Mengdengar alasan itu Rara terenyuh. Rara memang baru kenal Mera. tapi dalam benaknya ia membaca bahwa Mera sebenarnya sosok yang kuat dan bertanggung jawab. Perlahan Rara membalikkan badan Mera dan memeluknya, “sabar Mer, aku ngerti perasaanmu”
“Tapi kenapa Ra?”, dengan sedikit sesenggukan Mera begitu dalam mengutuk kejadian tadi.
Rara terus berusaha menenangkan Mera, “yang terpenting Mas Rey bakalan ngertiin kamu Mer. Toh apapun yang yang terjadi di kafe ini, pelayan-pelayan disini, itu kan Mas Rey yang ngasih keputusan. Jadi tenang yah”
“ya sudah kamu cuci muka gih”, tambah Rara, “Mas Rey sedang disini. Enggak papa kok. Nanti aku yang jelasin ke Mas Rey”
“Makasih Ra”, Mera mulai melepaskan pelukan Rara, lalu mencoba untuk tersenyum.
Mera mencuci mukanya. Menghilangkan bekas tangisnya. Sementara Rara masih menunggunya. Rara ingin keluar bersama. Untuk memaastikan Mera akan baik-baik saja.
“Mas Rey..”, celetuk Rara kaget melihat Mas Rey yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi.
“Kenapa kamu Mer? Sakit?”
“Enggak papa Mas”, tungkas Mera tanpa memberhentikan langkahnya.
“Ra, sebenarnya ada apa dengan Mera?”
“Biasa mas… Anzza”, jawab Rara datar, “maaf ya Mas, masih banyak pesanan”
Rara kembali ke pekerjaannya.
“Iya iyaa Ra”.
Mas Rey masih menyimpan seribu tanya. Tapi ia juga mengerti tidak baik terus mengintrogasi dalam keadaan seperti ini. Tapi melihat sikap Mera tadi sepertinya ia memendam masalah yang besar, bukan hanya sekadar masalah sebatas dengan Anzza.
Mera kembali bekerja. Ia bergelut kembali dengan sesorang yang bernama Anzza! Sementara Anzza sebenarnya juga sedikit gelisah. Anzza sempat menebak, bahwa Mera sedang mempunyai masalah di rumahnya. Tapi semuanya sudah terlanjur.
Anzza jadi merasa sangat bersalah atas kejadian tadi. Tapi ia bingung harus gimana. Sikap tengsin dan egonya mengalahkan nurani yang mendorongnya untuk sekadar megatakan maaf pada Mera. Sesalah-salahnya seseorang, tidak seharusnya Anzza bersikap seperti itu pada Mera. Tapi sekali lagi; sudah terjadi. Suasana pun semakin kikuk. Dan berjalan sebagaimana perjudian kondisi; entahlah akan bagaimana setelah ini.
***
“Mer, motor kamu kan kayaknya masih di bengkel?”, tanya Novi.
“Tadi aku naik ojek online… buru-buru. Ini aku lagi ngontek tukang ojegnya lagi”, jawab enteng Mera, “ojeg online, hehe”. Mera mencoba membuat semuanya tidak mengkhawatirkannya.
Sesaat Mas Rey yang baru saja keluar kafe, melihat hanya Mera yang rupanya sedang bingung untuk pulang sembali mengutak-ngutik HP-nya. “Mer saya anterin ya? Hayu!”
“Makasih Mas, bukannya nolak. Aku sudah terlanjur mesen ojek”
“Enggak papa, nanti aku bilang ke tukang ojeknya”
Mera hanya tersenyum, “Makasih Mas”.
Sebuah sorotan lampu motor datang. Itu pasti ojeg yang dipesan Mera. Mera sedikit lega akhirnya.
Tapi, tiba-tiba Anzza berlarian kecil menuju sorot lampu itu, dan memberhentikannya. Selang beberapa saat kemudian motor putar balik arah. Mas Rey Mera dan kawan-kawan lainnya mlongo dengan tindakan Anzza. Mau apa lagi dia?
Sasaat Anzza menghampiri Mera dan menarik tangannya.
Mera mencoba berontak dari genggaman tangan Anzza, “apaan sih!”
”Ayo aku antar pulang”
“Enggak usah! Aku bisa pulang sendiri!”
“Aku khawatir!!!”, Anzza sedikit berteriak. Menaikkan suaranya. Tidak ada yang menyangka Anzza akan bilang seperti itu. Tapi tetap saja, jika kalimat itu diucapkan dengan nada kasar, Mera tidak mungkin mau menerima ajakannya. Semua pun tahu seorang wanita sangat rentan terhadap gentakan.
“Mas Rey, ayo Mas… katanya mau nganterin aku”, ucap Mera menuju mobil Mas Rey. Memalingkan Anzza yang hanya bisa mematung. Dengan reflek, Mas Rey membukakan pintu mobil. Dan bersegera menyusul masuk.
Anzza masih berdiri kaku. Melihat mobil Mas Rey mulai keluar dari area kafe. Kawan-kawan lainnya melanjutkan untuk menaiki motornya masing-masing. Sebelumnya Joan menepuk-nepuk pundak Anzza. Mengisyaratkan Anzza agar tenang.
Anzza pun bergerak membuntuti sebuah mobil Cressida yang ditumpangi sepasang manusia yang membuatnya jengkel. Mas Rey dan Mera. Jengkel? Atau cemburu?
Pikiran Anzza sedang kacau. Di perjalannya, ia bingung dengan sikap ia akhir-akhir ini kepada Mera. Ia terus bertanya pada dirinya sendiri ada apa ini? Ada apa dengan Mera?
***
Mobil itu berhenti di depan RS. Ciremai. Kok ke rumah sakit?, Anzza membenak. Anzza terus mengikuti Mas Rey dan Mera. Menyelinap dengan mengandalkan contong jaketnya.
Dari balik kaca pintu ruangan rawat inap, Anzza melihat Mera sedang mencium seorang gadis yang memakai jaket Doraemon sedang terkapar. Sedangkan keberadaan Mas Rey sedang berbincang dengan sosok perempuan tua. Anzza yakin itu adalah ibunya. Ibu dari Mera.
“Oh, Mera punya adik toh”, lirih Anzza.
Anzza sangat merasa bersalah. Tidak seharusnya ia bersikap sedemikian rupa terhadap Mera. Mera telat pasti karena ia harus mngurusi adiknya dulu. Ah, persetan!
Dan kejadian ini juga membuat Anzza sadar bahwa sebenarnya ia belum kenal dengan sosok Mera yang sebenarnya. Ia selalu beranggapan bahwa Mera adalah sosok wanita yang menjengkelkan. Seenaknya sendiri. Tidak disiplin. Lelet. Semua itu hanya anggapannya. Ia bisa salah. Tapi apa gunanya aku berlarut memikirkannya? Ah! Persetan!
***
Suatu pagi seharusnya dijadikan sebagai tempat manusia menghirup udara segar dan menyambutnya dengan semangat baru. Langit begitu sangat cerah. Dua pohon mangga di depan kosan mungkin sedang riang. Sebab pagi ini begitu banyak burung yang hinggap di rerantingannya. Anak-anak kecil, anak-anak sekolah dasar, saling melempar tawanya sepanjang perjalannan menuju sekolahnya. Para pekerja mulai berseliweran menapaki setiap jengkal jalan. Kehidupan dimulai kembali. Malam memang bukan sebuah akhir. Tapi, pagi selalu menjadi peta awal waktu bagi manusia keumuman untuk memulai memilin harapan kembali.
Dan tidak ada yang beda dengan hari-hari Anzza. Sebuah kursi panjang di teras kosan selau menjadi tempat favorit untuknya merenung. Atau jangan-jangan bukan tempat favorit melainkan tidak ada tempat lagi untuk ia menyunyikan diri? Lalu sebuah gitar kesayangannya selalu menemaninya. Menerimanya dalam kondisi apapun. Sepanjang hari. Tanpa pernah protes kenapa pemiliknya itu hanya sekedar memetiknya tanpa mencoba untuk mencarikan seseoraang untuk menyanyikan sebuah lagu-lagu kisah cinta? Bukankah tugas gitar menjadi sang pengiring dan lagu adalah tuan putrinya?
Pikiran Anzza kali ini sedang berputar sangat kencang. Mencari cara untuk meminta maaf kepada Mera. Kepada wanita yang kiranya selalu disalah-pahaminya.
“Tapi berhasil engga ya?”, lirih Anzza. Ia sedang membayangkan strateginya, bagaimana jika ia membelikan sebuah bingkisan untuk adik Mera yang sedang sakit. Tapi, dipikirannya pula sedang mengambil ancang-ancang. Mengatur kondisi. Mungkin saat ini Mera sangat jengkel kepadanya. Jadi bagaimana caranya agar bingkisan itu tidak sampai ketahuan sama Mera. Sedikitnya juga ia berpikir akan merasa malu jika pemberiannya itu akan ditolak.
Bebeberapa menit kemudian pun ide itu muncul. Sebuah ide dimana bingkisan itu akan diantar memakai jasa ojeg online.
Tapi mau beli apa aku ya? Ah sudahlah, keluar aja dulu. Liat nanti dapetnya apa.
Kali ini tebakan kondisi salah. Anzza kelihatannya begitu sangat semangat. Ia secepat kilat bersiap-siap untuk mencarikan sesuatu. Ya, untuk adik Mera. Yang entah dia bernamakan siapa.
***
Anzza berhenti di sebuah toko kue. Toko kue tempat Paul dulu bekerja. Ia tahu sebab dulu Paul sempat memintanya untuk mengantarkannya bekerja, saat motornya sedang sakit dan sedang dirawat di bengkel Pakde Jon.
Pikirannya mengatakan mungkin pantas jika membingkis sebuah kue roti untuk orang yang sedang sakit.
Di sela-sela saat Anzza memilih-milih kue yang terpampang di etalase toko, ia memperhatikan seorang pegawai perempuan sedikit berumur yang sedang berada di toko itu. Ia yakin pernah melihatnya. Ingatannya mulai bergerak, itu kan perempuan yang semalam ada di rumah sakit sama Mera? Ia sangat yakin, diyakinkan lagi dengan sebuah tahi lalat yang cukup besar di dekat sebelah kanan hidungnya.
Kesimpulannya Anzza tidak jadi membeli kue roti disitu. Ia yakin sekali itu ibu dari Mera dan adiknya. Mana mungkin ia akan mengasihkan sesuatu kepada orang, namun sesuatu itu dibelinya dari ibunya dari sesoraang tersebut. Anzza pun kembali mencari sesuatu yang lainnya. Ia bergegas keluar dari toko kue.
Kalau aku belikan dia boneka doraemon gimana yah? Benak Anzza saat ia masih dalam perjalanana dalam misi mencari biingkisan untuk adik Mera. Landasannya sebab ia melihat adik Meraa terkapar semalam sedang mengenakan sebuah suiter doraemon. Itu saja.
Ah ide bagus… doraemon!
***
“Kak… kakak. Udah jam 3 banguuuun,.. udah sore, Mamah udah dateng”, ujar Rina membangunkan kakaknya yang tertidur sambil duduk di sebelahnya.
Mera mulai membuka matanya. masih setengah sadar ia memeriksa apa yang dilihatnya setelah terpejam cukup lama.
“Eh Mamah”, ucap Mera sambil mencium tangan ibunya itu, “ya sudah aku siap-siap kerja dulu ya Mah”..
“Sebentar Kak, ini buat kakak aja”, Rina memberikan sebuah boneka doraemon.
“Dari siapa?”
“Enggak tahu… enggak ada nama pengirimnya, tadi ada ojek online nganterin. Apa gara-gara aku make suiter doraemon punya kakak, aku dikira suka doraemon?”
“Ogah banget doraemon iyuuuhí”, tambah Rina.
“Enggak tau ya”
“Tapi, berarti, orang itu udah ngeliat aku disini. Kakak sempet ngajak temen?”
“Iya Rin”, serobot Bu Sasa, “mungkin itu Mas Rey… bosnya Kak Mera. Semalem dia kesini, kamunya masih tidur”.
Bu Sasa tersenyum dan menggoda Mera, “baik yah Mer?”
“Cie-cieeeee”, Rina nimbrung.
“Apaan si, hu”, tungkas Mera.
Suasana sedikit menjadi riang. Bu Sasa dan Rina terus meledek Mera. Mera sendiri hanya bisa tersenyum malu-malu. Ia tidak menyangka Ardi sebegitu perhatiannya padanya. Kepada keluarganya. Padahal baru dua hari ia kerja di kafenya.
“Udah ah Bu, Rin… kakak kerja dulu ya”, Mera membalikkan badan bergegas keluar.
“Pepet terus Mer, pepeeeeet”, ledek Bu Sasa.
“hehe, Wassalamualaikum…”
“Waalaikumussalam”
***
Suasana kafe sebenarnya akan selalu sama. Sebuah meme-meme motivasi berderet dengan bingkai klasik. Sebuah ruangan bernuansa retro. Mungkin tepatnya vintage. Tiga warna dasar memenuhi ruangan itu; hitam, coklat dan kuning. Di pojok kiri sekumpulan buku berjejer rapih di sebuah rak yang cukup panjang. Sebenarnya itu buku-buku pribadi milik Anzza. Sebelum Anzza bekerja di kafe ini, kafe ini terbilang biasa-biasa saja. Dan memiliki barista yang standard. Tapi, berkat kedatangan Anzza, Mas Rey seperti mendapatkan angin yang segar.
Anzza yang mengkonsep kafe ini menjadi semacam kafe pustaka. Dan mulailah kafe Kopinesia melesat dari telinga ke telinga sampai seluruh pelosok kota Cirebon. Ya walaupun berkonsep kafe pustaka, bukan berarti banyak orang yang suka membaca buku-buku yang disediakan. Mungkin hanya segelintir orang yang menyentuhnya.
Mungkin sebab efek ruangan yang penuh artistik, oraang-orang mulai mengakui bahwa Kafe kopinesia nyaman untuk dikunjungi. Ya apa mau dikata, jika akhir-akhir ini buku hanya bak lukisan atau guci. Sebatas untuk dilihat dan dipajang saja. “besok kamu free?”, sela Anzza saat Mera sedang sibuk menakar berat kopi.
Hanya bermodalkan pendengaran dengan tanpa melirik Anzza, Mera mencoba meresponnya, “Kenapa?”
“Biar kamu lebih nyaman, besok kita belajar nyeduh kopi, gimana?”
Mera hanya sesekali melirik wajah Anzza, “Oke”
Percakapan itu begitu singkat. Anzza sudah kehabisan pikir. Dari gelagat jawaban Mera, Anzza jadi kebingungan. Tanggapannya begitu hambar. Ia tidak melihat Mera marah, apalagi riang. Semuannya datar. Ini yang ditakutkan Anzza. Lebih baik ia mendapat omelan marah Mera seperti saat berebut kaset. Ketimbang didiamkan. Sebab Anzza tahu, mendiamkan seseorang adalah salah satu cara manusia yang sedang kecewa untuk menguasai dirinya dari rasa emosi yang bakal berlebihan..
“Mer, kabar Rina gimana?”, tanya Mas Rey yang tiba-tiba nongol.
“Mendingan kok Mas”
“Kalo kamu pulang, sekalian ya, aku titip sesuatu buat Rina… pengennya mah ngasihin langsung, cuma malem ini ibuku minta minta anter ke bandara, mau ke Maluku”
“Waduh Mas, jadi ngerepotin nih. Kemaren boneka,.. sekarang—“
Mas Rey menyergah bingung, “boneka?”
“Iya Mas… jangan pura-pura deh Mas”
Mas Rey memperlihat wajah yang semakin heran, “serius saya enggak tahu Mer?”
“Lalu… siapa ya?”, Mera ikutan bingung,“yaudah deh Mas, tinggal ke aku aja nanti ya, hehe”
“Siap! Sekalian sampaikan salamku buat mamahmu ya”
“Siap komandan”, Mera memperagakan gaya hormat ala pasukan tentara. Mereka berdua pun tertawa. Dalam benak Mera sepertinya ia merasa ada sinyal penuh dari Mas Rey. Ia harus mendapatkan hati Mas Rey. Agar kehidupan dapat terus berjalan.
Sementara Anzza masih bergeming. Kenapa ia tidak bisa jujur bahwa boneka itu darinya. Dan kenapa pula dipikiran Mera menebak yang memberi boneka itu adalah Mas Rey? Apa tidak ada dugaan lain? Mas Rey lagi… Mas Rey lagi, hu!
***
“Zza, akhir-akhir ini kamu kok beda ya?”, Joan membuka intermezzo-nya, ketika mereka sedang bersiap-siap untuk pulang.
“Beda gimana Jo?”
“Ya Maaf nih ya, semenjak ada Mera aku liat ada yang beda sama kamu Zza,.. marah-marah terus di depannya”,
“Ya—“
“Ya tapi kalo dibelakangnya, aku sering liat juga kamu natap Mera sambil senyum-senyum gitu… apa jangan-jangan”, Joan mulai tertawa, “Kamu itu?”
“Hust! Masa aku suka sama dia,.. ngawur aja!”
Joan terbengong, “Loh? siapa yang bilang kamu suka Mera?”
“Terus?”
“Ya jangan-jangan kamu punya dua dimensi… tapi kok nyrempetnya sampe kesitu? Kamu suka beneran yaa?”, Joan memekik.
Muka Anzza tiba-tiba memerah, “Apaan sih! Enggak!”,
Joan memanggil Novi dan Rara yang sedang sibuk dengan HP-nya, “Sini Vi, Ra!”
“Bentar”.
“Udah cepet sini!”
Novi dan Rara mengalah. Bersegera ia menghapiri Joan. Semantara Anzza diam, tak tahu dengan apa yang akan dilakukan Joan. Joan mulai membisiki Novi dan Rara.
“Ekhem. Ekheeeeem, Mera”, ledek Rara.
“Oh, gitu toh Zza! Alhamdulillah aku enggak khawatir lagi…”, Novi angkat bicara.
“Khawatir?”, Anzza masih bingung dengan sikap Joan, Novi dan Rara.
“Ya berarti kamu normal toh”
“Ha ha ha”
“Sial!!!”
‘Tapi itu bener Zza?”, Rara masih sedikit Ragu.
Anzza pura-pura tidak mengerti. Padahal, sudah seratus persen Anzza tahu gelagat pembicaraan itu menyangkut dirinya dan Mera, “benar apanya? Aneh!”
“Udah ah aku pulang”
***
Di area depan kafe, Mas Rey sedang mengasihkan sesuatu pada Mera. Mungkin itu bingkisan yang dimaksud buat adiknya yang sakit.
Secara perlahan, Anzza sebenarnya sudah sedikit mulai membuka hatinya untuuk jujur pada dirinya sendiri. Ia cemburu dengan Mas Rey. Tapi, sebelum berlanjut pada pikiran seperti itu, sementara masih mencari tahu kenapa ada perasaan yang berbeda pada Mera. Bukankah Mera hanya perempuan biasa saja? Cantikan juga Novi, dan jelas dia masih jomblo. Tapi, enyahlah. Anzza masih belum dapat menemukan jawabannya.
Apa aku suka Mera?
Anzza Putra utama. Seorang laik-laki yang bagi teman-temannya belum jelas asal usulnya. Jangankan bagi Mas Rey, Joan dan kawan-kawan lainnya. Paul yang jelas-jelas satu kost dan merangkap jadi teman dekatnya saja, tidak tahu sebenarnya Anzza itu siapa.
Anzza datang ke Cirebon diantar oleh seseorang yang tergolong masih seusianya. Hanya itu yang Paul tahu dari Anzza. Tak lebih. Adapun Mas Rey bertemu dengan Anzza bukan sebab Anzza melamar kerja ke kafenya. Melainkan mereka bertemu di suatu acara festival kopi di dekat stasiun kereta api Kejaksan. Saat itu ada sebuah sesi dimana para pengunjung dipersilahkan untuk meracik kopi sendiri. Kebetulan Anzza sedang meracik kopi dengan metode V60 kadar smooth. Kebetulannya lagi Mas Rey mencicipinya dan dipersilahkan oleh Anzza. Ada yang beda pada kopi bikinan Anzza, yang membuat Mas Rey jadi membuka obrolan dengannya.
Alhasil bertepatan Mas Rey sedang mencari pengganti barista untuk kafenya, dan Anzza memang sedaang membutuhkan sebuah pekerjaan. Mungkin sulit jika beranggapan bahwa Mas Rey dan Anzza berkedudukan sebagai bos dan pegawai. Lebih cocok menyebutnya sebagai partner. Mereka berdua sangat saling memahami. Dan nyatanya sampai-sampai Anzza dipersilahkan untuk mengonsep kafe milik Mas Rey itu.
***
MERA KADARHARIARTO
Aku masih kesal dengan sikap Anzza. Dan akan selalu kesal. Dia adalah lelaki yang tidak memiliki sifat lelaki. Sebab lelaki adalah penjaga bagi setiap perempuan. Lelaki harus bisa memposisikan diri sebagai makhluk yang mengalah. Ingat! Lelaki hanya boleh menang dalam satu hal; memanjangkan kumisnya.
Setelah ayahku wafat, ibu yang berubah sifat, Rina yang terpaksa berhenti terapi atas penyakitnya, kini ditambah lagi satu beban pikiranku. Ya, keberadaan Anzza. Sekali lagi, Anzza adalah bencana!
Aku masih tidak habis fikir jika harus bertemu dengan makhluk astral itu. Memang jika kulihat dari cover-nya—kuyakin kalian juga—tidak akan menyangka bahwa dia adalah makhluk yang ganas. Dia adalah bencana. Dia adalah monster. Dia adalah makhluk kaku. Kalian tidak akan percaya. Dan itu terserah.
Sebab aku sendiri mengakuinya, bahwa dia tampan, rapih, dan hanya satu yang agak mengganggu penampilannya; rambutnya panjang sebahu. Ya sekalipun rambutnya kelimis dan lurus, tetap saja aku tidak suka lelaki yang berambut panjang. Rasanya sebaiknya dia adalah anak orang kaya. Bukan menjadi pegawai. Dari karismanya, seharusnya dia adalah orang baik dari kalangan orang berada. Bahkan, jujur saja, Anzza lebih ganteng jika dibandingkan dengan Mas Rey. Ini penilaian pribadiki. Hanya saja Mas Rey lebih rapih rambutnya. Pantas juga sih, Mas Rey kan anak orang kaya; di mana penampilan adalah struktur dasar nilai wibawa.
Sekali lagi, jika saja itu semua hnaya dilihat dari cover-nya!
Tapi, ya, Anzza tetap saja seperti kedondong. Luarnya halus, dalemnya kasar. Ah!
(“Kak, Mas Rey baik yah… tahu dari mana ya kak, kalo aku suka roti stroberi”)
“kak! Kakak!”
“Eh iya iya dek, kenapa?”
“Yee,.. malah ngelamaun. Ngelamunin apa sih kak?”
“Enggak kok, hu!”
“Itu kak, Mas Rey baik banget ya, tahu kesukaanku”
Aku hanya menjawabnya dengan senyuman dan mengelus-elus rambut yang sedikit pirangnya itu.
Kenapa? Kenapa aku harus mikirin Anzza sial itu! Bener kamu dek, kakak ngelamun! Ngelamunin si sial itu. Tapi kenapa? Bukankah sebaiknya aku memikirkan kebaikan Mas Rey yang jelas-jelas didukung pula oleh ibu. Seorang lelaki muda yang sudah cukup mapan, baik, ganteng pula. Satu lagi, pengertian dan selalu memahami. Tidak seperti Anzza!
Ah, Anzza lagi! Anzza lagi! Sial!
Malam ini aku menginap di rumah sakit. Kasihan ibu. Di usianya yang mulai senja, seharusnya aku sudah bertanggung jawab atas semuanya. Termasuk tanggung jawab menjaga adikku, Rina.
Tapi, kata Dr. Nina, besok setelah pemeriksaan pagi Rina sudah diperbolehkan untuk pulang. Semoga saja Rina memang sudah benar-benar membaik keadannya.
“Udah ngemilnya? Tidur gih, udah jam 2 malem, masih ngalong aja”
“Iya iya kak… tapi ada syaratnya ya? Gimana?”, Rina menggerak-gerakkan alis matanya. semacam membuan sinyal permohonan.
“Kamu yang tidur kok, aku yang diberi syarat? Hellow!!”
Rina memasang wajah cemberut, “yaudah aku enggak mau tidur!”
“Iya iya sayaaaaang…. Apa sih kamu mau apa? Syaratnya apa?”
Rina mengisyaratkan bahwa ia ingin membisikkan sesuatu padaku. Ia pun melancarkan aksinya. Aku mendengarkannya benar-benar. Adikku harus tidur. Agar ia benar-benar membaik dan bisa pulang besok pagi.
“Enggak-enggak!”
“Yahhh… kakak”, Rina kembali cemberut, “yaudah aku enggak mau tidur!”
“Kakak sih bisa-bisa aja nemuin kamu sama Mas Rey. Tapi kakak tahu siapa kamu. Akal bulus kamu. Pasti bakal malu-maluin kakak kan?”
“Enggak Kak, Rina janji, he… Rina Cuma pengen ngucapin makasih secara langsung”
“janji yah?”
“janji!”
“oke!”
“yes!”
***
Rutinitas adalah diri kita yang lain. Sebab ia adalah bagian dari diri kita sendiri. Ketika hal itu tidak dikerjakan, aku merasa ada yang hilang. Maka itu aku selalu mencoba untuk konsisten dengan keputusanku dalam menentukan sebuah rutinitas. Dan sore ini, aku harus kembali ke Kafe. Ini rutinitasku.
Setelah mempersiapkan segala keperluan untuk Rina yang akan kutinggalkan. Aku mencoba untuk bersemangat dalam menjalani sesuatu yang akan kujalani. Aku akan mencoba untuk menata bahagiaku sendiri. Anggap saja Anzza hanyalah pemeran antagonis dalam kisah hidupku yang akan kalah. Ya kalah. Aku percaya Tuhan, bahwa orang jahat akan kalah!
Kali ini aku sampai di kafe lebih gesit dari sebelumnya. Di sana ada Joan dan Rara saja. Anzza, Sigit dan Novi belum juga sampai. Aku akan mencari kenyamanan di kafe ini. Demi aku. Demi ibu. Demi Rina. Dan demi Mas Rey!
“Ra, kamu udah berapa tahun di kafe ini?”
“Semenjak awal kafe ini dibuka, Mer. Sekitar 3 tahun yang lalu”
Kami pun akhirnya berbincang-bincang sambil membereskan dapur. Kata Rara, ia betah di sini ya karena sudah nyaman. Apalagi Mas Rey baik kepadanya. Salah satunya, saat adik Rara sakit Mas Rey bela-belain ngejenguk sambil membawa bingkisan. Jarang sekali ada atasan yang seperti itu pada bawahannya. Kecuali atasan tersebut menganngap bawahanya adalah kawan.
Dari situ aku harus sadar. Kukira Mas Rey menginginkan sesuatu dariku. Sampai bela-belain ngasih sesuatu buat Rina ketika ia sakit. Ternyata Mas Rey memang baik terhadap semua orang. Aku tidak boleh banyak berharap lebih. Atau bagaimana jika aku harus terus berharap dan lalu aku berusaha? Barangkali takdir berpihak kepadaku? Agar ibu merasa bahagia di usianya yang berkepala lima. Agar aku ada yang melindungi dari godaan Anzza yang terkutuk!
“Orang sebaik itu emang enggak ada yang naksir?”
“Banyak lah… sampe-sampe ada beberapa pengunjung wanita yang selalu dateng ke kafe, karena pengen ngeliat Mas Rey. Tapi…”
“Tapi apa?”
“Ya, Mas Rey kan sudah punya Mbak Nabil”
“Mbak Nabil?’”
Rara pun melanjutkan ceritanya. Mbak Nabil itu orangnya baik. Bahkan Mas Rey sendiri pernah bercerita bahwa kafe ini tidak akan ada jika tidak ada Mbak Nabil. Sebab kafe ini berdiri atas idenya. Sekalipun perempuan, Mbak Nabil sangat menyukai kopi. Selain untuk merakit bisnis, katanya sekalian bantu petani kopi Nusantara. Katanya banyak pemikul yang memberi harga anjlok. Sedikit-sedikit Mas Rey dan Mbak Nabil membantu membuatkan sebuah koperasi unit kopi yang bermarkaas di Cibeurem, Kuningan, Jawa Barat.
Tapi kini ia sedang kuliah di London. Usut demi usut, katanya sudah setahun lebih Mas Rey tidak sedikit pun dapat kaber darinya. Ia ingin mencarinya—menyusul ke London. Tapi, amanat terakhir, jika lelaki berkumis ciker itu benar-benar serius dengannya. Mas Rey harus sabar menunggu kepulangannya. Agar Mbak Nabil fokus belajar di sana.
Aku ingin jauh lebih dalam mencari informasi tentang Mas Rey. Namun, kedatangan Anzza dan yang lainnya membuat pencarian itu diberhentikan sementara. Tapi, aku akan terus menggali itu. Ya, mungkin tidak ada salahnya juga aku mencari teman dekat. Rara, mungkin. Setelah Nadya temaan karibku kuliah di Yogyakarta, jujur aku belum memiliki teman curhat lagi. Ya, Rara, mungkin.
Gawat. Anzza datang menghampiriku. “Mer, maafin aku”. (Anzza mengucapkannya begitu cepat, seperti sungkan. Ditambah tak sedikitpun melirikku)
Jlekkkk! Ah maaf? Ada siasat apalagi dia? Sementara teman-teman yang lainnya aku tahu sambil mengerjakan sesuatu mereka mencuri-curi pandang melihat aku dan Anzza. Seolah aku dan Anzza adalah teater langsung yang digelar setiap hari di kafe Kopinesia.
“Enak banget yah”, aku melirih. Namun lirihan itu sengaja aku keraskan. Menyindir Anzza.
“Mer… maafin aku”.
Waw? Tumben Anzza enggak nyolot lagi. Kalo udah kayak gini, ya….
“Iya Zza. Nyantai aja”,
“Jadi kapan kamu bisa luangin waktu. Buat belajar nyeduh kopi?”
“Ya Allah… maaf, maaf. Aku baru inget”.
Oh my God! Aku lupa ada janji. Lagian Anzza juga salah juga kan ya? Dia enggak ngabarin. Atau sekedar ngingetin gitu?
“itu nomorku, cek WA yah”, ucap Anzza dengan halus.
Brakkkkk! Ternyata Anzza ngasih kabar. Tapi kan emang udah prinsipku, nomor baru tidak akan kubuka. Kecuali dia telepon!
“Iya, maaf. Tadi aku nelpon dulu sebelumnya, tapi enggak kamu angkat”
Brakkkkk. Maaf-maaf Zza. Itu nomormu toh. Maaf tadi aku lagi mandi. Bukan salahku kan?
“Eh, gitu yah. Maaf Zzah. Kiraen nomor siapa tadi”
Malam ini begitu sangat berbeda. Anzza begitu ramah. Sungguh dia sangat tampan. Sesekali saat kami kewalahan dengan pesanan pelanggan, dia memberi senyum untukku. Aku tak tahu Anzza lagi kesurupan apa. Tapi jelas ada sesuatu yang mungkin membuatnya jadi begini. Andai saja ia bisa seperti ini terus. Tapi… apa pentingnya juga ya sama aku? Ah!
Mas Rey malam ini katanya tidak bisa ke kafe. Toh sebenarnya sebagai pemilik kafe tidak wajib juga datang setiap hari. Ya karena sikap baiknya saja yang menuntut dia selalu menjadi bos yang sangat menyenangkan.
Ngomong-ngomong perihal Mas Rey. Jujur, dia sangat perfect. Baik, perhatian, ganteng, masih muda. Hanya selilih 3 tahun dari usiaku. Masih muda, sudah mapan. Siapa perempuannya yang tidak melirik?
Aku pun sedikit ada keinginan untuk menarik perhatiannya. Ya sedikit. Walaupun sampai sekarang nyatanya aku belum pernah ngasih sinyal bahwa aku meliriknya. Sebab yang kuyakin ujung-ujungnya aku hanya kagum dengan dia. Adapun utuk sejurus dengan misi ibu. Aku belum yakin betul akan hal itu, sebenarnya. Lagian aku juga tidak terlalu cantik. Di kafe ini saja, Novi kurasa masih memegang estafet perempuan paling cantik., semenjak ketidakhadiran Mbak Nabil, tambah Rara. Tapi mau gimana lagi, permintaan ibu harus aku turuti. Kasihan juga ibu. Adapun dengan hasilnya aku belum tahu pasti. Aku hanya bisa usaha semampuku.
“Mer, malam ini aku boleh numpang tidur di rumahmu engga? aku lagi males denger ortu berantem”, tetiba Rara berucap demikian saat kami sedang beres-beres kafe yang mau tutup.
“Kok kamu bilang gitu? Kamu emang tahu bokap nyokap mau pada berantem?”
“Aduh Mer, udah jadi kebiasaan setiap malem pasti mereka berantem”.
“Yaudah, ceritanya sekalian di rumah aku aja gimana?”
“ide bagus tuh, hehe”
Setelah sekiranya semuanya rampung, pulang kali ini aku aku tidak sendiri lagi. Ada Rara yang akan menjadi temanku malam mini. Benar saja, semesta memang mendukung agar aku menjadikan Rara sebagai teman curhatku. Baru saja aku berbenak aku ingin mendekati Rara secara lebih. Agar mau jadi teman curhatku. Eh, tahu-tahu malam ini ia malah menyerahkan diri untuk siap menjadi teman curhaatku. Begitupun sebaliknya.
Sementara aku dan Anzza malam ini biasa saja. Tidak ada pembicaraan seperti kemarin-kemarin. Tepatnya tidak ada acara berantem-beranteman lagi seperti kemarin. Tapi, kenapa aku malah merasa seperti ada yang hilang? Masa iya aku kangen suasana rusuh dengan Anzza lagi? Tidaaaaaaak!!!
Malam terus bergulir. Secara perlahan malam memberikan sebuah kode untuk seluruh makhluk bahwa malam mungkin benar, ia ada sebagai sketsa surga bagi manusia yang lelah sebab seharian digempur kerja.
Setelah menjumpai ibu yang sedang sibuk dngan kerjaannya mencatat laporan, melihat Rina yang sudah pulas tidur. Aku dan Rara segera masuk ke kamar. Kami adalah kaum cewek! Jadi pantas jika sebelum tidur kami buka sebuah curhatan yang mungkin akan panjang.
Pertama-tama, aku persilahkan Rara untuk menceritakan segala keluh kesahnya. Utamanya perihal kenapa ia ingin menginap di rumahku. Sebuah tanya kembali bergerak, ada apa dengan kedua orang tua Rara?
“Enak kamu Mer. Pulang-pulang disambut nyokap. Lah aku?”
“Sebenernya gimana si Ra?”
“jadi gini Mer…”
Rara adalah anak tunggal dari pasangan yang keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dari kecil, Rara hanya ditemani Mbok Yem. Kisah hidup seperti ini, Rara mengira “lagi-lagi” hanya ada dalam sinetron-sinetron tv. Orang tua yang super sibuk, sehingga anaknya terlantar dan hanya pembantunya yang dapat mengerti keadaannya. Ternyata tidak. Rara merasakan sendiri, bahwa hal itu memang nyata. Bahwa kemungkinan besar memang sinetron-sinetron itu memang terinspirasi dari dunia nyata yang kejam. Dan salah satunya diambil dari dunia Rara. Begitulah kiranya.
Sampai-sampai saking enggak mau ambil pusing, saat Rara berhenti untuk kuliah, sebab jarang masuk. Ayahnya begitu sangat gampang berkaya, “yasudah, tinggal keluar aja,.. toh uang bapak cukup buat modal hidup kamu nanti”.
Aku : “Lalu untuk apa kamu kerja?”
Rara : “emang uang segalanya Mer?”
Aku: “jawab dulu pertanyaanku tadi”
Rara: “aku hanya perlu teman. Aku hanya kesepian. Dan aku benar-benar bersyukur Tuhan telah mempertemukan aku dengan teman-teman di kafe”.
Aku hanya bisa diam, mendengarkan curhatannya dengan penuh.
Rara : “Utamanya ada Joan, dia paling bisa bikin aku enggak kesepian, hehe”
Aku: “Huuu, pamer nih ceritanya?”
Aku & Rara : “ Ha ha ha”
Aku hanya bisa merenung dibalik tawa. Hai Rara. Uang memang bukan segalanya. Tapi uang juga yang merubah hidupku secara drastris. Aku putus dengan Fajar, Ibu harus bekerja di usia tuanya, Rina berhenti melakukan terapi untuk penyakitnya. Bagaimana jika kita tukeran nasib? Bagaimana? Ah, pikiranku kok jadi kemana-mana ya. Sadar Mera, sadar!
“Sok atuh… katanya kamu juga mau curhat?”
“lain waktu aja deh Ra, udah malem”
“Yahhh”, Rara sedikit kecewa.
Mungkin dia belum ngantuk. Aku juga belum ngantuk. Tapi aku harus tetap tidur. Besokkan harus nepatin janji sama Anzza. Lumayan juga ia mau ngajarin aku nyeduh kopi. Aku jadi enggak bosan hanya sekadar nakar-nakar kopi saja.
***
Setelah semua pekerjaan Rumah selesai yang begitu cepat super cepat sebab dibantu Rara, termasuk perihal sarapan juga. Rara pamit. Aku hendak mengantarnya. Tapi ternyata sudah ada jemputan. Siapa lagi kalau bukan Joan?
Motor Joan sudah mampang di teras Rumah bertepatan Mera dan Rara sedang duduk santai di depan sambil minum teh, “Enak yah”, teriaknya.
“Susah banget sih Mer alamat rumah kamu?”
“Enggak juga ah, kamunya aja lebai. Tuh Ra! Pengen dimanja kali..”
“Ha ha ha”
“Tuh Ra,.. Mera aja ngerti pengennya aku. Udah yuk jangan lama-lama disini,.. kasihan Mera kita repotin mulu”
“Ah dasar kamu. Alesan aja. Ngomong aja dapet kesempatan emas”.
“Kamu ikut yuk Mer?”
“Naik apa? Gebet tiga?”
“Kan kamu punya motor Mer. Nanti berangkat bareng. Kamu ke barat aku ke selatan gimana?”
“Sial! Ngapain aku ikut kalo misah mah!”
“Ya, kali di sana bisa ketemu Anzza”
“Apaan sih Jo. Anzza Anzza mulu”
Entah mengapa aku juga tidak mengerti ketika mendengar sesuatu yang berbau Anzza, aku langgung merasakan suatu kehambaran. Dan anehnya aku tidak tahu juga apa yang dimaksud dengan hambar. Aku hanya meyakini apa yang aku rasa adalah kehambaran.
Tapi, kenapa Anzza belum ngabarin juga ya? Sekedar ngirim WA kek. Apa dia mau bales dendam? Enggak enggak, aku harus positive thingking!
***
“Ul, banguuuun! Molor mulu!”
“Rese lu Zza”, rengek Paul, “gue itu pengangguran is freedom”
“Lah, gua lu-luan, ya cari kerja kek!”
“Duit pesangon gue masih cukup buat makan sampe minggu depan”
“serah lu deh bang!
Paul sedikit terpelongo melihat Anzza sedang dangdan dan menghadap ke cermin. Anzza memang sudah biasa make parfum, cuma saat ini yang Paul cium parfum itu berlebihan. Dan ya. Anzza tumben juga membuka mulut..
“Rapih banget mau kemana?
“Woi! Lu rapih banget Zza, ketemuaan yaaa?”, tambah Paul.
Anzza tidak menjawab satu pertanyaan pun dari Paul. Ia langsung menyawut kunci motornya dan seoooookkk, ia sudah pergi dengan senyum-senyum sendiri. Dalam benaknya ia tidak boleh telat. Semoga ia tidak salah baju, dan Mera tidak lupa lagi. Sengaja ia tidak mengabari Mera dulu sekalipun hanya sekedar via WA. Ia yakin Mera datang. Itu saja.
***
MERA KADARHARIARTO
“Anzza mana sih?,.. mana kuncinya kan ada di dia, hu!”.
Apa jangan-jangan dia balas dendam sama aku?. Wah, pantes aja dia baik sama aku semalem. Apa ini strateginya buat ngelabuhin aku? Sial, sial, siaaaaaal! Anzza sial!
Anzzaaaaaaaaa! Kamu mau apalagi sih! Kenapa juga aku mau. Dan masih duduk disini. Kenapa kakiku susah melangkah. Sudah tahu Anzza enggak bakalan datang. Kenapa disini. Pergi!
Suara motor terdengar samar memasuki area kafe,. Aku masih menutup mataku dengan kedua tanganku. Sesaat suara itu hilang. Tuh, kan bukan Anzza. Udah ilang suaranya. Huh!
Tapi semacam ada suara seseorang melangkahkan kakinya, dan membukakan rantai gembok. Sesegera aku menccoba membuka mata.
“Anzza…”, spontan aku memanggilnya.
Sungguh, kalau rapih seperti ini Anzza sangat tampan. Ia tampan sekali hari ini. memakai kemeja slimfit dengan dilapisi kaos rajut, celana berwara krim muda menyingkronkan diri dengan pernik warna coklat di antara warna dasar baju rajut yang hitam pekat. Anzza,..
“Nunggu lama yah, maaf telat”, ucap Anzza yang masih sibuk melepaskan rantai gembok, “ada macchiato iced sama brownis keju tuh,.. minum dulu gih. Biar seger”
“Iyah,..”
Seketika semua amarah itu padam. Bagaimana mungkin aku akan marah. Ia telat sedikit waktu, dan menggantikannya dengan segelas macchiato dan brownis keju. Dua pasangan yang selalu memanjakan citra rasaku. Mana mungkin aku bisa marah? Jika saja tidak malu ingin aku teriak, “Terimakasih Zza, terimakasih!”. Tapi apa cuma kebetulan saja ia tahu cemilan favoritku?
***
KOPINESIA, 10.12 WIB
Kafe Kopinesia kini milik Anzza dan Mera. Suasana yang berbau vintage membuat siang ini menjadi sangat melankolis. Sedikit demi sedikit Anzza mempraktekkan keahliannya. Begitupun dengan Mera, dengan penuh ia mencermati setiap apa yang dilakukan oleh Anzza.
“Jadi, modal awal dari membuat kopi adalah—“
Anzza meletakkan tangannya diatas dada Mera. Mera tahu yang dimaksud oleh Anzza adalah perasaan. Modal utama dalam membikin kopi adalah perasaan. Seketika waktu seperti berhenti. Diberhentikan oleh kedua mata yang saling bertatapan. Mereka saling menatap tajam antar matanya. seperti ada sesuatu yang membuat Mera teduh menikmati dirinya yang tersketsa menjadi bayangan di altar bola mata Anzza. Begitupun sebaliknya. Terus, terus. Dan lagi.
Suuuuuuuuuuuuuuuutttttttttt
Bunyi air yang mendidih membuyarkan mereka berdua. Seketika Anzza bersegera mematikan kompor gas. Terlihat keduanya sangat salting dengan kejadian barusan. Sedikit ada kesunyian diantara mereka. Mera pamit untuk ke kamar mandi sebentar.
Di sana ia menghadap ke cermin besar. Tujuannya sama seperti kejadian beberapa malam waktu yang lalu. Ia berdiri di depan cermin musabab Anzza. Bedanya, dulu ia terisak tangis. Sekarang ia senyum-senyum sendiri. Tuhan, ada apa ini, ucap Mera dalam benak.
Mera masih melanjutkan ritual senyum anehnya di depan cermin. Beberapa saat. Kemudian mencuci mukannya dan bergegas kembali menemui Anzza.
“Udah cebok?” ucap Anzza menyambut kedatangan Mera.
“Sial!”
“ha ha”
Baru kali ini ia Mera melihat Anzza tertawa dengan lepas. Dan baru kali ini juga Anzza merasa bisa membuat Mera tertawa. Setelah itu mereka saling mencari tawa dalam setiap tindaknya. Menciptakan sebuah perkenalan baru dengan riang. Bukan pertemuan yang ditafsiri sebagai kabar buruk saat pertama kali dan beberapa hari kemarin terjadi.
“Nyari makan yuk”, ajak Anzza.
“Gak mau ah”, singkat Mera.
“belum laper?”
“aku maunya beli aja, gak mau nyari,.. susah”
“Ha ha ha”
Ya hari ini, tawa menggelegar di kafe yang memiliki 2 pengunjung saja. Mereka bukan lagi seoraang pegawai siang ini. Sebab, Anzza merasa dilayani Mera. Mera merasa dilayani Anzza. Mereka merasa saling melayani.
Entah hasil Mera bagaimana setelah sudah kursus seduh kopi sama Anzza. Dalam benak Mera ia tidak terlalu memperdulikan itu. Yang ia pedulikan, bahwa dirinya seperti menemukan kebahagiaan yang baru. Melihat senyuman dari seseorang menyeramkan? Bukankah hal itu sebagian hal yang magic?
MERA KADARHARIARTO
Sebenarnya aku masih ingin lebih lama dengan Anzza. Tapi, aku tidak tega meninggalkan Rina sendirian di rumah. Ibu suda beramanat. Ibu sore ini harus pergi kondangan ke anak temannya yang melangsungkan pernikahan di Masjid Hijau, yang berada di samping Grage City Mall.
Sore ini sebenarnya sangat pas untuk menikmati senja. Entah menikmatinya dari danau Setu Patok, atau Pantai Kejawanan. Yang penting senja. Dan sebenarnya Anzza sudah menawariku untuk sebebasnya menentukan tujuan setelah lahap menikmati Empal Gentong milik H. Apud; makanan khas Cirebon yang sudah mashyur itu.
Tapi, aku tetap memilih pulang. Mungkin Rina juga senjaku. Ia teduh. Ia memiliki mata yang begitu mirip dengan Ayah. Ayah juga adalah senja. Senjaku sebenarnya di mana-mana. Aku punya senja sendiri.
Motor menepi di pertempatan daerah Perum.
“Jadi mau ke Setu Patok, Kejawanan, apa pulang Mer”, Anzza menanyakan kembali.
Entah karena jawabanku tadi masih ngambang. Atau memang Anzza juga masih berharap jauh lebih lama denganku.
“Pulang saja deh Zza”,
“katanya kamu suka senja, mumpung libur kerja kan?”
“Hmm, minggu depan mungkin, hehe”
Anzza tiba-tiba membuka tas kecilnya. Ia memasangkan headset pada HP-nya. Kemudian kepala headset itu dipasangkannya di telinga kananku dan telinga kanannya. Anzza mengintruksikan agar aku segera memakai helm kembali.
Sebuah lagu pun terputar dan segera Anzza menyalakan motornya.
Harum mawar di taman
menusuk hingga ke dalam sukma
yang menjadi tumpuan rindu cinta bersama
di sore itu menuju senja
“Lagunya adem kan?”
“iya Zza”
“Pegangan kalo takut”
Anzza mungkin mengode, sebab dari awal kita berboncengan aku tak berpegangan. Aku hanya menyenyuminya.
Di sore yang gelap ditutupi awan
Bersama setangkup bunga cerita yang kian
Merambat di dinding penantian
Aku kira tidak salah juga aku berpegangan, yang sama artinya aku memeluknya dari belakang. Ini demi keselamatan penumpang, pikirku.
Ada yang mati,
saat itu dalam kerinduaan,
Yang tak terobati.
Apakah Anzza juga akan menjadi senjaku?
Husssssstttttt!!!