XXXIX
Malam hari semakin dalam menghampiri,
Gelap semakin datang.
Rasanya, aku sendiri dengan rasa ini,
Merasa hilang dari hatinya,
Anganku yang dulu aku rajut indah, Sirna,
Kenyataan telah mengoyaknya,
Mungkin aku pantas mendapatkannya, Mungkin juga tidak,
Mungkin hati ini perlu dikasihani, Mungkin juga ingin,
Tapi, ini adalah aku,
Take it, or leave it,
Jangan membawa aku ke dunia yang fana,
Dunia yang aku tidak suka,
Aku ingin ada di dunia ini, dan mati juga di dalamnya,
Izinkan aku ada di dunia ini selamanya,
XL
Taman sekolah,
Saat hari yang berat itu tiba.
Alam bawah sadar Novi semakin tinggi merangkak menuju alam sadar.
Apa yang tidak disadari atau ditekan cewek itu semakin muncul pada kesadarannya.
Terlihat, Novi berdiam diri.
Cewek itu sedang bingung dengan perasaannya sendiri.
Novi harus tetap bersikap profesional,
Tapi dirinya yang lain menginginkan jeda sejenak dari aktifitas dunia.
Dengan tatapan kosong Novi memandangi bunga – bunga.
Mendengarkan gemericik air, tanpa merasakannya.
Juga hanya lalu dihembus dinginnya angin.
Sungguh Novi merasa tersiksa.
Ingin dirinya bebas dari kekalutan itu.
Tapi cewek itu bingung harus melakukan apa.
Tanpa Novi sadari, dari kejauhan,,
XLI
Di ambang pintu ruang kelas,
Rista melihat tampilan temannya kacau.
Aura cewek itu hilir mudik.
Juga kesadarannya sedang tidak hadir.
Rista menghampiri temannya.
Tampak kepala cewek semok itu ditidurkan di atas meja.
Dengan tatapan kosong menghadap ke pintu.
Rista merasa kasihan dengan kondisi temannya itu, tampak tidak hidup.
Dirinya mendudukkan raga di sebelah kanan temannya.
Menjadi terheran – heran. “?? Ada apa, Ris?” Mengangkat kesadarannya yang berat.
“Enggakk,, pingin nemenin kamu aja,”
“Kamu itu aneh, Nemenin aku buat apa?”
“Kan kamu temen aku,”
Novi menyadari maksud kedatangan Rista.
Dengan santai cewek semok itu berkata pada temannya,
“Tenang aja, Ris,, Aku udah tau jawabannya kok, Kamu nggak usah khawatir,”
Menghela nafas. “Meskipun kamu sudah tahu jawabannya, tapi kayaknya kamu butuh teman,”
“Kemarin malem aku juga udah sholat malem, dan rasa – rasanya aku mesti kayak gini dulu,”
“Ohh gitu,, Syukurlah,”
“Lha trus nanti rencana kita latihan gimana?,”
Dengan coba menunjukkan antusiasnya, Novi menjawab, “Ya tetep latihan, ngelanjutin yang kemarin,”
“Kok rasa – rasanya progres kita lambat ya,, Nggak biasanya deh,, Padahal Siska juga normal – normal aja,”
Novi menyadari yang dimaksud Rista adalah dirinya.
“Iya, aku juga ngerasanya gitu,”
“Kayaknya akan ada something deh,”, ucap prasangka Rista.
Novi terheran – heran. “Something apaan?”
“Ya nggak tau, Hahaha,,”
“Moga aja nggak ada hal yang menyulitkan terjadi,”
“Amin,,”, sahut Rista sangat berharap.
Novi kembali menidurkan kepalanya di atas meja. Dirinya tampak lelah.
XLII
Warteg Harum Nikmat,
Sambil Reno menikmati makan siang, dirinya mengetik pesan.
“Assalamualaikum, Nis,”
Lalu laki – laki itu mengirimkannya.
Sesendok nasi rames dilahapnya, sambil menunggu balasan pesan dari seseorang.
Melihat tingkah temannya. “Makan dulu, Re,”
“Iya, Sol,, udah tak kirim kok,”
“Kamu kan tahu adabnya makan itu gimana,”
“Iya, iya,” Reno sedikit kesal.
Balasan pesan tiba,
Reno meraih hp nya.
Solikin melihat tingkah temannya.
Reno pun melihat ke arah temannya.
Membatin, “Ah, bodo amat,”
Laki – laki itu melihat isi pesan.
Solikin geleng – geleng kepala, tampak kecewa.
Lalu laki – laki itu melanjutkan makan siangnya.
“Waalaikum salam,, Ada apa, Re?”
Laki – laki alim itu kembali mengetik pesan.
“Haha,, enggakk, Mau nge WA kamu aja, Lagi kuliah ya?”
Lalu Reno mengirimkan pesan itu. Dan kembali memakan nasinya.
Solikin tampak tidak suka dengan sikap temannya.
Laki – laki itu menggeser tempat duduknya, menjauhi Reno.
Melihat hal itu, Reno terheran – heran. “Bodo amat,”, gumam batinnya.
Balasan pesan dari Yanisa tiba lagi,
“Oh, enggak,, Aku lagi nunggu dosen aja,”
Kesadaran Reno tampak fokus membalas pesan.
Laki – laki itu sudah tidak peduli lagi dengan temannya.
“Ntar sampai jam berapa kamu kuliahnya?”
Setelah mengirimkan pesan itu, Reno kembali makan.
Dan seterusnya, hingga dirinya menghabiskan satu porsi nasi rames.
XLIII
Pukul 17.30,
Setelah selesai latihan menari.
Terpaksa, Rista tinggal sejenak di rumah Siska.
Hujan sedang turun dengan lebat.
Dan petir – petir menggelegar di sana – sini.
Rista menunggu dijemput ayahnya.
Di dalam ruang tamu,
Pandangan mata Rista melihat keluar jendela.
“Udahh,, jangan mbok liatin terus, Ntar kamu kumat lagi paniknya,”, ucap Siska.
Menghela nafas. “Aku kok mesti takut ya sama hujan kayak gini?”
“Tenang aja, Nggak usah khawatir,, kalo kamu menjalani terapi kamu itu dengan sungguh – sungguh kamu pasti nggak akan takut lagi sama hujan kayak gini,”
“Padahal dulu waktu kecil aku seneng hujan – hujannya pas hujan deras gini,”, ucap Rista, menerawang.
“Ya aku nggak tau, Mungkin aja ada kejadian yang bikin kamu ketakutan banget sama hujan deres,”
“Ya sebenernya kalo hujan aja aku nggak takut, Aku takutnya tu kalo campur petir itu lo, baru aku takut,”
“Sebenarnya itu wajar sih kalo kamu takut sama petir,, Orang aku kadang denger bunyinya petir aja ketakutan,”
“Aku nggak bisa mbayangin kamu kok berani sendirian di rumah pas hujan lebat campur petir gini,”
“Yaa,, nggak tau, Lagian aku nggak sendiri kok, ada mbok Jare,”
“Apa mama kamu masih kerja di luar kota?”
“Iya, mama selalu sibuk, Jarang bisa nemenin aku di rumah,, Jadi kalo terjadi apa – apa ya aku tangani sendiri,”
“Masya allah,, kamu bener – bener calon orang sukses, Sis,, Udah bisa mandiri di usia yang seperti kamu sekarang,”
“Yaa,, Iya sih, Tapi sebenernya aku nggak terlalu suka juga, Aku pingin mama ku kayak mama – mama yang lainnya, bisa nemenin anak – anaknya di rumah,”
“Amin,, Insya allah suatu saat nanti mama kamu pasti bisa nemenin kamu lagi, Sis,”
“Amin,, Aku berharap banget sama tuhan itu bisa terwujud, Ris,”
Rista melihat layar hp nya.
“Papa kok lama banget ya,”
“Sabar, Ris,, Hujan deres gini nggak mungkin bisa ngebut,”
“Iya, Aku jadi kasihan sama papa, Hujan – hujan gini jemput aku,”
“Nggak usah kamu pikirin itu, Papa kamu justru merasa bertanggung jawab dengan menjemput kamu pas hujan – hujan gini,”
“Ya, alhamdulillah,, Papa sama mama sayang banget sama aku, Sakitku kumat sedikit aja, mereka langsung panik gitu, Astaghfirullah,”
“Yaa,, namanya orang tua, Pastinya khawatir kalo anaknya kenapa – kenapa gitu,”
“Iya,” Rista kembali melihat layar hp.
XLIV
Ketika eksistensi perasaan semakin mencekik kesadaran,
Sambil menyandar pada dipan, Novi berkirim pesan dengan seseorang.
“Mas, kamu kok jarang WA aku lagi sih? Udah nggak peduli sama aku,?”
“?? Ya masih dong, Nov,”
“Kalo masih kok kamu jarang ngubungi aku?”
“Lha mau ngubungi gimana? Telpon nggak mbok angkat, WA ya nggak kamu bales,”
Membaca balasan pesan WA itu, Novi semakin membuncah rasa kesalnya.
“Apa kamu masih ngerasa nggak bersalah ngatain aku cewek murahan waktu itu?”
“Novi, aku nggak bermaksud ngatain kamu cewek murahan, Aku cuma ingin menasehati kamu aja,”
Membatin, “Nasehatin kok kayak gitu,”
Mengetik pesan, lalu Novi menyampaikannya.
“Kamu harusnya bisa menerima aku apa adanya, mas,”
“Bukan maksud ku kayak begitu, Nov,, Kamu memang harus berubah,”, balas Reno. “Jujur, aku nggak bisa menerima diri kamu yang sekarang ini, Nov,”
“Oh gitu, berarti kamu memang minta putus ya, mas?”
“Nov, Kamu jangan berprasangka gitu, Aku nggak bermaksud minta putus, Aku hanya pingin kamu mengubah penampilan dan sikap kamu aja,”
“Kayaknya aku nggak bisa menerima sikap kamu itu, mas,, Aku hanya ingin kamu menyadari aku juga punya kehidupan aku sendiri,”
“Baiklah, Kalo memang kamu menginginkan kehidupan seperti mau kamu, Mungkin baiknya mulai sekarang kita jalan sendiri – sendiri saja,”
Novi tidak membalas pesan dari laki – laki itu.
“Oh ya, Baiklah,, Aku udah putus dari Reno sekarang,”
Pandangan mata cewek itu tampak membayang, melihat layar hp.
Kesadarannya setengah melayang.
Tanpa disadari Novi meneteskan air mata.
XLV
Sore nan cerah itu Rista sedang ada di ruangan pak Slamet.
Beliau, pak Slamet adalah psikiater Rista selama lebih kurang 2 bulan terakhir.
Seperti biasa cewek itu hendak mencurahkan diri atas rasa cemasnya.
Duduk di kursi wawancara. Tampaknya pak Slamet siap mendengarkan kabar kecemasan dari klien lamanya itu.
“Gimana, dik Rista? Gimana perasaan kamu?”
“Baik, pak,” Sambil cewek itu duduk menyandar pada sofa kain nan empuk.
“Bisa kamu ceritakan bagaimana kabar kamu sampe hari ini,”
“Yaa,, Apa ya? Kemarin itu saya pingsan karena lampu mati trus takut juga karena denger petir, Teruss,, saya juga pernah sore itu mengunci diri di kamar karena takut bilang ke mama kalo saya dapet job nari, Mau minta izin ke mama tapi nggak berani,” Sambil Rista mengingat – ingat kejadian – kejadian lainnya.
Pak Slamet menulis apa yang diungkapkan cewek itu pada lembaran jurnal.
“Itu kapan pas kamu pingsan karena mati lampu?”
“Kira – kira seminggu yang lalu, pak,, Waktu hujan deras,”
“Apa yang kamu rasakan saat hujan deras itu?”
“Ya, takut,, Malem – malem kok hujan, ada petir, Trus mati lampu juga,”
“Kamu ada dimana waktu hujan deras itu?”
“Saya waktu hujan deras itu ada di kamar, pak,”
“Kamu sedang apa di kamar waktu hujan deras itu?”
“Waktu itu sebenarnya saya sedang belajar, tapi karena petirnya terus – terusan menggelegar saya jadi takut, Saya menyudahi belajar saya lalu selimutan di atas tempat tidur,”
Pak Slamet tampak menulis sesuatu.
Lalu beliau bertanya, “Apa setelahnya atau sebelumnya kamu sudah meminum obat yang bapak resepkan?”
Dengan lugas Rista menjawab pertanyaan itu,
“Sudah, pak,, Sesudah makan malam saya sudah meminum obat itu, dan saya minum satu lagi ketika hujan deras itu mulai menggelegar petirnya,”
“Kamu masih ketakutan setelah minum obat itu?”
“Ya waktu dengar petirnya sih nggak begitu, pak,, Tapi setelah listrik padam saya ketakutan banget sampe pingsan gitu,”
Beliau tampak mendengarkan dengan saksama cerita Rista.
“Trus waktu hampir – hampir pingsan gitu, Apa yang kamu rasakan?”
“Yaa, takut, berdebar – debar, trus pandangan mata kabur,, Saya nggak bisa membedakan itu gelap atau enggak, karena listriknya mati, tapi saya bisa denger ada yang manggil – manggil saya tapi saya nggak menjawab,”
“Mm,, Begitu,, Iya, iya,,”, sahut pak Slamet. “Lalu kejadian yang selanjutnya waktu kamu minta izin buat nari gimana?”
“Waktu itu saya dikasih tau Siska kalau kami bertiga dapet job nari pertengahan November nanti, Denger itu saya langsung bingung, “Mama ngizinin saya ikut show itu apa enggak,” Trus sorenya saya mau minta izin ke mama mau ikut show itu, tapi saya sudah khawatir dulu kalo mama nggak ngizinin saya ikut show, karena kemarin – kemarin saya baru pingsan karena listrik mati itu, makanya saya mengunci diri di kamar karena takut gitu mau bilang ke mama,”
Sejenak beliau tampak mencerna cerita yang disampaikan Rista.
“Oo, jadi sebelumnya kamu udah berpikiran kalo mama kamu bakal tidak setuju kamu ikut show itu?”
“Iya, pak,”
“Trus selanjutnya? Waktu kamu mengunci diri di kamar,”
Beliau siap mendengarkan lagi apa yang diungkapkan oleh Rista.
“Yaa,, waktu saya mengunci diri di kamar,, Maksud saya, saya ingin menguatkan diri tapi nggak bisa – bisa, Saya tetep khawatir gitu kalo mama nggak setuju, Sampe akhirnya mama maksa mbuka pintu trus nanya – nanya ke saya,”
“Waktu itu mama kamu nanya nya gimana? Marah nggak?”
“Kalo marah sih enggak, mama cuma kesel aja kelihatannya karena saya belum makan malam,”
“Mm,, Trus selanjutnya?”
“Yaa,, setelah didesak – desak trus sama mama, saya ngaku kalo saya ada show bulan November nanti,”
“Kamu pingin ikut show itu?”
“Ya pingin, lagian itu sudah kontrak saya sama temen – temen buat ikut show,”
“Tapi kamu nggak merasa terbebani kan dengan show itu?”
“Enggak sih, pak,, Biasa aja, Saya juga suka nari juga,”
“Mm,, begitu,, Ya, ya,”, sahut beliau.
Sambil laki – laki berkacamata itu menulis sesuatu pada jurnalnya.
XLVI
Cinta itu menyenangkan, sekaligus menyegarkan.
Layaknya disiram air pegunungan.
Kesadaran menjadi sejuk, Juga batin terasa jernih.
Seperti ada di dalam rumah sendiri.
Reno merasa dirinya sudah lengkap.
Angan – angannya telah terwujud.
Laki – laki itu mendapatkan gadis yang sesuai.
Berkerudung, sholihah serta parasnya cantik.
Tinggal menunggu waktu untuk membawa gadis itu ke KUA.
Mereka berdua tampak menikmati segarnya udara pegunungan.
Dengan penuh rasa takjub mereka melihat – lihat luasnya alam nan hijau.
Rasa syukur dan kagum tak habis – habisnya mereka haturkan kepada sang khalik.
“Nis, aku sungguh senang kita bisa jalan bersama seperti ini,”
Dengan malu – malu, “Saya juga, Re,, Bersyukur sekali rasanya bisa jalan dengan kamu,”
Sungguh Reno merasa telah utuh.
Tapi, sejenak laki – laki itu tampak termenung.
“Kenapa, Re?”
“Oh, enggakk, Nggak pa – pa kok,”
“Jangan bilang gitu, Aku ngerasa lo, Re,, kalo kamu nyembunyiin sesuatu,”
“Yaa,, gimana ya, Nis? Aku kok jadi kepikiran sama Novi.”
Sontak Yanisa merasa kecil hati.
“Lha kenapa?”
“Yaa, itu,, karena dia kayaknya belum mampu jadi cewek berkerudung kayak kamu,”
Cewek itu pun menyadari akan sesuatu.
Yanisa kembali mengatur gregetnya.
Membenamkan inginnya demi sesuatu yang lain.
Dengan bijak cewek berkerudung itu berucap,
“Ya jangan gitu lah, Re,, Kamu jalani saja dulu, Buat dia mengerti dengan mau kamu itu,”
“Novi orangnya keras kepala, Nis,, Kalo dia mau nya kayak gitu ya gitu, Nggak ada yang lainnya,”
“Oh gitu, Lha trus gimana dong?”
“Yaa,, kemarin sih aku bilang kita jalan sendiri – sendiri dulu aja,”
“Lha kamu siap nggak dengan hal itu?”
Laki – laki itu tampak diam sejenak, berpikir akan sesuatu.
“Yaa,, gimana ya, Nis? Aku terpaksa siap aja, Orang Novinya juga kayaknya udah bulet minta putus gitu kayaknya,”
Yanisa tampak semakin sadar diri.
“Re, kamu harus yakinin dulu perasaan kamu itu, Jangan karena prasangka dan menduga – duga itu kamu menjauhi Novi,, Aku khawatirnya kalo kamu menjalin hubungan dengan cewek lain, cewek itu bakal kebawa – bawa masa lalu kamu,”
“Kayaknya enggak kok, Nis,, Aku udah mantep buat putus kok, Aku cuma kasihan sama Novi nggak bisa jadi cewek yang berakhlak gitu,” Reno tampak kesal.
“Astaghfirullahal adzim,, kamu kok ngomongnya gitu sih, Re,, Ngomong kayak gitu nggak baik lo,”
“Tapi kan itu bener, Nis,, Setiap wanita kan harus menutup auratnya, Sedangkan Novi malah selalu mempertontonkan auratnya,”
“Astaghfirullah,, Novi itu pacar kamu sendiri lo, Re,, Mosok kamu tega ngomong gitu ke pacar kamu sendiri?”
“Maksudku kan mau mbenerin sikapnya aja, Nis,”
“Tetep aja kamu salah, Re,, Kamu nggak sepatutnya menyalahkan cewek karena belum mau berkerudung, Itu butuh proses yang nggak mudah,”
Tampaknya ucapan cewek itu membuat Reno menjadi gamang.
“Kamu sebenernya masih suka kan sama Novi?”
Terhenyak. Reno tidak tahu harus berkata apa.
“Yaa,, sebenarnya iya sihh, Aku masih suka sama Novi, Aku tu pingin banget Novi berubah jadi cewek berkerudung gitu,”
Dengan berbesar hati Yanisa berucap, “Berarti kamu harus balikan lagi sama Novi, Kamu harus bikin Novi jadi cewek yang sholihah,”
“Tapi, Nis,,”
“Udahh,, Kamu nggak usah mikirin aku, Aku ngerti kok posisi aku dimana, Aku nggak ingin jadi penghalang hubungan kamu sama Novi,”
“Nis, maafin aku ya, Kayaknya aku udah jahat banget sama kamu,”
“Justru dengan kamu menyadari perasaan kamu sendiri gini, kamu jadi ngerti kamu itu inginnya gimana, Kamu nggak mau kan ujung – ujungnya kita break di tengah jalan?”
Reno tampak speechless. Ingin sekali dirinya berterima kasih kepada temannya itu.
“Ya udah, Sekarang kamu jadiin Novi itu cewek sholihah, Aku bakal dukung kamu, Insya allah aku juga bakal yakinin Novi supaya dirinya mau mengenakan kerudung,”
“?? Makasih ya, Nis,, Makasih banget,, Aku jadi nggak enak hati sama kamu,”
“Haha,, Nggak usah ngerasa sungkan gitu, Re,, Kayak kita baru kenal kemarin aja,”
Menghela nafas. Cewek itu merasa lega sudah mengetahui perasaan Reno sesungguhnya.