Read More >>"> Koma (Jadwal Pertunjukan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Derap langkah sepasang kaki gempal terlihat terburu-buru menapaki lantai koridor sekolah, lalu berbelok memasuki ruang seni.

"Sudah kumpul semua?"

Ruangan yang semula riuh mendadak hening. Dengan wajah sok seriusnya yang malah berkesan lucu, Bu Konde memperhatikan murid satu persatu sekaligus menghitung jumlah mereka dalam hati. "Mana Sello?"

"Ke toilet katanya, Bu," jawab seorang murid.

"Kamu susul dia," perintah Bu Konde kepada murid itu. "Kamu suruh cepat. Kelamaan di toilet nanti malah lain yang dikeluarkan."

Idan tertawa geli dan cepat-cepat mendekap mulutnya. Baginya ucapan Bu Konde sedikit cabul.

"Kamu!" Bu Konde menunjuk Idan pakai kipasnya. Tawa Idan langsung lenyap. "Kenapa kamu tertawa tadi? Apa kamu pikir Saya lucu? Apa kamu pikir saya badut, hah?"

"Oh, tidak, Bu. Tidak." Idan buru-buru menjawab.

"Apa yang kamu tunggu?" Bu Konde beralih pada murid yang disuruhnya. "Cepat susul Sello!"

Ketika murid itu hendak berdiri meninggalkan ruangan, Sello muncul di ambang pintu. Tanpa rasa bersalah dia masuk dan duduk bergabung bersama yang lainnya.

Bu Konde menyaksikan sikap Sello dengan jengkel. "Baiklah," ucapnya. "Karena kalian sudah lengkap, Saya akan umumkan pengunduran tanggal lomba drama yang kita ikuti. Pengunduran ini lebih dikarenakan adanya penambahan peserta dari sekolah yang semula ragu untuk mengikutinya. Tapi pengunduran ini sangat menguntungkan kita. Kita mempunyai banyak waktu untuk memperbaiki kualitas penampilan kita agar dapat memenangkan perlombaan. Saya yakin kita pasti menang."

"Lalu tanggal pengundurannya kapan, Bu?" tanya Idan was-was. Dia tak ingin tanggal pertunjukan drama bentrok dengan tanggal konser.

"Makanya kamu jangan cengengesan dari tadi. Kan sudah saya sebutkan!"

"Ha?" Idan bingung. Dia menoleh pada yang lain sambil bertanya, "Kapan?" dengan berbisik.

Bu Konde menggerak bola matanya ke kiri tengah, mengingat-ingat. "Saya tidak salah. Tadi Saya bilang tanggal dua satu dan dua dua desember."

"Huuu!!!" sorak murid-murid kecuali Idan dan Jujun yang saling berbisik.

"Bukannya tanggal dua dua itu tanggal konser kita?" tanya Jujun.

"Iya, benar. Syukur-syukur kita dapat tanggal dua satu. Nah, kalau dapat tanggal dua dua gimana?"

"Ah, mending mundur saja kalau begitu."

"Setuju."

"Tapi Sello tenang-tenang saja gue lihat. Gimana kalau seandainya dia lebih memilih pementasan drama?"

Jujun menutup telinganya rapat-rapat. "Gue tidak mau dengar. Tidak mau dengar!" Tanpa disadarinya, semua murid bahkan termasuk Bu Konde mendengar rintihannya.

"Kamu menentang keputusan persatuan panitia antar sekolah?!" hardik Bu Konde dengan mata melotot.

"Eh!" Jujun mengangkat kepalanya, celingak-celinguk seperti orang bodoh. "Bukan itu maksud Saya, Bu," katanya saat menyadari rintihannya barusan telah  mengundang tatapan bertanya. "Saya cuma tidak mau dengar anak-anak meneriaki Ibu."

Bu Konde menegakkan sebelah alisnya. "Baiklah," ucapnya. "Sudah sampai di mana latihan kalian?" Pandangannya mengarah pada Lara yang dipercaya untuk menyutradarai drama. Dia menganggap Lara mampu melakukannya dan dia hanya bertindak sebagai pengawas saja.   

"Babak ketiga, Bu. Adegan dansa Lori dan Deril," beritahu Lara.

"Mm... Saya suka bagian ini," gumam Bu Konde. "Silakan dimulai!"

Sello dan Vanda maju ke depan, saling mendekat, merapat dan mendekap. Sesil menyalakan musik dari ponselnya yang terhubung dengan speaker. Sello dan Vanda mulai menggerakkan badan mengikuti alunan musik.

"Ya, Tuhan," keluh Bu Konde dengan suara menggeram. "Ini yang kalian sebut dansa?"

Sesil mematikan musik. Sello dan Vanda pun berhenti berdansa.

"Yang kalian lakukan terlalu standard. Tidak ada passion-nya sama sekali. Tidak mewakili perasaan dari tokoh yang kalian perankan."

"Saya pikir juga begitu, Bu," sela Idan yang kemudian diprotes Jujun lewat sikutan. "Padahal mereka pacaran loh, Bu. Seharusnya chemistry-nya itu bisa didapat."

"Lo kok malah peduli?" hardik Jujun dengan gigi merapat. "Drama ini mengancam penampilan kita, tahu!"

"Ups!" Idan mendekap mulutnya. "Sori, gue terbawa suasana."

"Dodol!"

"Oo... begitu?" Bu Konde menatap Sello yang cengar-cengir dan Vanda yang cuek bergantian. "Sepertinya kalian ini harus ditunjukkan bagaimana cara berdansa yang baik." Bu Konde menunjuk Idan dan menyuruhnya ke depan. "Kalian perhatikan kami."

"Apa?" Idan syok, tak mampu berkelit ketika Bu Konde menyuruhnya lebih mendekat. Ya, Tuhan. Semoga badanku tidak remuk.

"Tidak. Bukan begitu," protes Bu Konde ketika melihat Idan melangkah takut-takut. "Kalian harus mendekati pasangan kalian sambil menatap matanya dengan segenap hasrat dan gairah." Lantas Bu Konde memperagakan ucapannya, tapi tereksekusi dengan gimik yang lucu, yang membuat murid-murid mendekap mulut, menahan tawa. Ada pula yang menggigit bibir agar tidak kelepasan tawa. Lalu Bu Konde mengangkat sebelah tangannya dengan telapak terbuka. "Ayo," desaknya sambil menyuruh Idan menyambut tangannya dengan lirikan mata yang genit.

Idan garuk-garuk kepala. Murid-murid bersorak memberi semangat. Mau tak mau Idan menyambut tangan Bu Konde, membiarkan dirinya remuk dalam pelukan badan yang dua kali lipat dari badannya sambil diiringi irama musik yang seolah berubah jadi musik pengantar kematian. Dia lebih banyak pasif dan berkali-kali kakinya terinjak kaki Bu Konde saat perpindahan langkah. Dalam hati dia ingin berteriak untuk melepaskan diri sekaligus berharap musik lekas habis.

"Nah, iya. Seperti itu," ucap Bu Konde di sela-sela dansa sampai musik berhenti. Usai memperagakan dansanya yang bisa dibilang bukan contoh yang baik untuk sebuah pertunjukkan, dia menyuruh Sello dan Vanda mengulanginya. "Kamu boleh kembali ke tempatmu," ucapnya pada Idan.

Ketika kembali ke tempat duduknya, Jujun berbisik, "Gimana rasanya dipeluk Bu Konde?"

"Seperti dipeluk induk gorila dan sepertinya juga aku perlu di-rontgen untuk memastikan tulangku tidak ada yang patah," jawab Idan yang disambut gelak tawa Jujun yang ditahan. Perhatian mereka kemudian beralih ke depan, menyaksikan Vanda dan Sello sudah saling mendekat.

"Apa kita harus mengikuti gerakannya?" bisik Vanda, enggan mengikuti gerakan Bu Konde yang dianggapnya norak dan sangat memalukan.

"Yeah, kita bisa sedikit improvisasi." Sello merangkul pinggang Vanda, lalu merapatkan diri sambil tersenyum nakal.

"Kau berlebihan melakukannya, tapi siapa takut?"

Musik menyala. Mereka mengayunkan langkah dan menggerakkan badan dengan anggun yang lebih baik dari yang diperagakan Bu Konde. Ruangan hening dalam penghayatan dansa dari pertunjukkan pasangan yang dilanda kasmaran.

"Andai saja kita bisa menghadirkan perasaan seperti ini setiap hari," gumam Sello.

"Apa?"

Sello mendekat ke telinga Vanda dan berbisik lembut, "Aku menginginkan suasana seperti ini setiap hari."

Vanda menghela nafas pendek, lalu dengan sengaja menggerakkan kakinya asal hingga menginjak ujung kaki Sello. Dia sengaja melakukannya. Berkali-kali. Dan berkali-kali pula dia minta maaf.

"Tidak apa-apa," ucap Sello sambil menghindari kakinya setiap kaki Vanda nyasar hendak memijak. "Aku masih bisa melangkah."

"Cukup, cukup!" seru Bu Konde. Sello dan Vanda berhenti berdansa. "Tadi itu sudah cukup bagus. Sudah pas dengan peragaan dansa Saya. Mengapa bisa jadi ajang pijak-memijak kaki?" cecarnya sewot.

"Maaf, Bu," ucap Vanda. "Saya kehilangan konsentrasi."

Kehilangan konsentrasi? Omong kosong, pikir Sello.

"Baiklah, tapi kamu harus ingat gerakan kamu yang pertama itulah yang akan kamu tampilkan dalam pertunjukan. Mengerti?"

"Mengerti, Bu."

"Sekarang kalian lanjutkan latihan," perintah Bu Konde. Sebelum keluar dia memberi peringatan pada para pemain untuk menuruti arahan Lara atau mereka akan berurusan dengan dirinya.

"Bu," panggil Idan sebelum Bu Konde keluar ruangan.

"Ya?" Bu Konde menjawab lembut. "Apa kamu mau les dansa tambahan bersama Saya? Kamu harus mengeluarkan biaya mahal loh," lanjutnya dengan percaya diri sambil mengibas-ngibaskan kipas.

Kepedean. Idan menggeleng cepat. "Tanggal berapa kepastian pementasan kita, Bu?"

"Kamu tidak menyimak tadi?" Bu Konde melotot.

"Tahu, Bu. Tapi penampilan kita di tanggal dua satu apa dua dua?"

"Mm... " Bu Konde mengingat-ingat. "Tanggal dua dua. Dan kita mendapat giliran ketiga sekitar pukul lima atau empat sore. Kenapa?"

"Mm... " Idan berniat memberitahukan ganjalan di hatinya. "Tidak apa-apa, Bu. Saya senang mendengarnya," ucapnya mengurungkan niat. Setelah Bu Konde pergi, dia buru-buru menghampiri Sello dan menggalau padanya. "Lo dengar tadi kan? Tanggal dua-dua, Sel. Dua-dua. Gila! Bisa-bisa kita gagal tampil bareng Noah. Demi Tuhan, gue tidak mau itu terjadi!"

"Easy bro, easy. Masih ada interval waktu sekitar tiga jam toh?"

"Aduuh, lo kayak tidak tinggal di Indonesia saja. Jam lima bisa jadi mundur sampai jam enam. Selesai jam tujuh. Sisa satu jam. Lo pikir menuju tempat konser bisa ditempuh cuma satu jam? Belum lagi persiapan kita. Ini Jakarta bro! Jakarta!"

Sello mendecak, lalu garuk-garuk kepala mencari ide untuk mengusir kegalauan sahabatnya dan jujur saja dia juga khawatir tidak bisa tampil di konser nanti. "Dengar, di pertunjukan teater ini cuma gue saja berperan hingga akhir per-tunjukkan. Sementara kalian di babak kesatu dan kedua sudah selesai. Nah, kalian berangkat saja ke acara konser dan gue menyusul kemudian. Gimana?"

"Tetap saja itu bukan solusi terbaik."

"Hei, kita masih punya Vanda, ingat?"

Idan melenguh. "Kita sudah melatih kemampuan bermusik kita lebih lama dari pertunjukkan drama ini. Gue cuma tak ingin apa yang sudah kita lakukan bersama menjadi sia-sia."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Someday Maybe
10004      1873     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
The Maze Of Madness
4003      1591     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Menghapus Masa Lalu Untukmu
2721      1044     1     
Romance
Kisah kasih anak SMA dengan cinta dan persahabatan. Beberapa dari mereka mulai mencari jati diri dengan cara berbeda. Cerita ringan, namun penuh makna.
Horses For Courses
10735      2131     18     
Romance
Temen-temen gue bilang gue songong, abang gue bahkan semakin ngatur-ngatur gue. Salahkah kalo gue nyari pelarian? Lalu kenapa gue yang dihukum? Nggak ada salahnya kan kalo gue teriak, "Horses For Courses"?.
THE LIGHT OF TEARS
18590      3966     61     
Romance
Jika mencintai Sari adalah sebuah Racun, Sari adalah racun termanis yang pernah Adam rasakan. Racun yang tak butuh penawar. Jika merindukan Sari adalah sebuah kesalahan, Sari adalah kesalahan terindah yang pernah Adam lakukan. Kesalahan yang tak perlu pembenaran. Jika menyayangi Sari adalah sebuah kegelapan, Sari adalah kegelapan yang hakiki yang pernah Adam nikmati. Kegelapan yang tak butuh pene...
THROUGH YOU
1294      817     14     
Short Story
Sometimes beautiful things are not seen; but felt.
Di Bawah Langit
2888      906     1     
Inspirational
Saiful Bahri atau yang sering dipanggil Ipul, adalah anak asli Mangopoh yang tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Namun, Ipul begitu yakin bahwa seseorang bisa sukses tanpa harus memiliki ijazah. Bersama kedua temannya Togar dan Satria, Ipul pergi merantau ke Ibu Kota. Mereka terlonjak ketika bertemu dengan pengusaha kaya yang menawarkan sebuah pekerjaan sesampainya di Jakarta. ...
Melankolis
2836      1033     3     
Romance
"Aku lelah, aku menyerah. Biarkan semua berjalan seperti seharusnya, tanpa hembusan angin pengharapan." Faradillah. "Jalan ini masih terasa berat, terasa panjang. Tenangkan nafsu. Masalah akan berlalu, jalan perjuangan ini tak henti hentinya melelahkan, Percayalah, kan selalu ada kesejukan di saat gemuruh air hujan Jangan menyerah. Tekadmu kan mengubah kekhawatiranmu." ...
Ujian Hari Kedua
568      321     1     
Short Story
Hei, kurasa kau terlalu sibuk menguras uang-uang kami. Jika iya, apakah kami mempunyai ruang untuk berkreasi disini? Aku terlalu muak dengan penjara yang kalian ciptakan. Aku tak mau menjadi seorang pengecut yang tunduk kepada orang yang bodoh. Aku pemberontak. Itu sebab aku lebih pintar dari kalian semua! -Kahar
Cadence's Arcana
5457      1445     3     
Inspirational
Cadence, seorang empath, tidak suka berhubungan dengan orang lain. Ketika dia kalah taruhan dari kakaknya, dia harus membantu Aria, cewek nomor satu paling dihindari di sekolah, menjalankan biro jasa konseling. Segalanya datar-datar saja seperti harapan Cadence, sampai suatu saat sebuah permintaan klien membawanya mengunjungi kenangan masa kecil yang telah dikuburnya dalam-dalam, memaksanya un...