Read More >>"> Koma (Calm Down) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Bunyi klakson.

Maira mengernyitkan dahi dan mendecak kesal mendengar suara klakson yang seperti disengaja diulang-ulang. "Siapa sih?" Dia meletakkan majalah yang dibaca dengan agak menghempas, lalu beranjak membuka pintu untuk menegur si pelaku.

"Sore Tante!"

Maira mengerutkan mata, memperhatikan dengan jelas pengendara motor di depan pagar rumah.

"Ini Sello Tante." Sello membuka helm.

"Kamu toh. Tante pikir anggota genk motor mana yang nyasar kemari dan bikin keributan."

Sello cengengesan. "Lara ada, Tan?" Dia turun dari motor, membuka pintu pagar, lalu memarkikan motornya di halaman rumah.

"Lama tidak melihat kamu. Kemana saja?" Maira bertanya.

"Biasalah, Tan. Di sekolah banyak kegiatan." Sello menjawab.

Maira mempersilakan Sello masuk.

"Ra, ada tukang pos nih yang mencari kamu!" Maira berteriak memanggil.

Tukang pos? Sello tegak menunggu di ruang tamu.

"Kamu duduk dulu gih. Tadi Lara lagi mandi."

Sello duduk menjejalkan pantatnya ke sofa. "Yang lain mana, Tan?"

"Yang lain? Maksud kamu?"

"Memangnya Lara tidak bilang?"

Maira mengerutkan mulutnya dengan dahi mengernyit, lalu geleng kepala.

"Kami sekitar enam orang mau hang out. Nah, titik kumpulnya di sini."

"Begitu? Siapa yang bertanggung jawab di kelompok kalian?"

Sello memperlihatkan ekspresi bertanya.

"Di dalam suatu perkumpulan atau kelompok harus ada salah seorang yang bertanggung jawab. Jika seandainya terjadi apa-apa—amit-amit, mudah-mudahan tidak—maka ada seorang dari kalian yang bisa dimintai keterangan atau tanggung jawabnya," jelas Maira.

"Harus ya, Tan?"

"Harus dong."

"Tapi kami cuma hang out saja kok Tan."

"Kelihatannya masalah ini memang sepele. Tapi kalian harus membiasakan untuk menunjuk salah seorang dalam kelompok sebagai ketua yang bertanggung jawab selama kalian berkegiatan, apapun kegiatannya, termasuk hang out. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi selama kalian hang out, bukan? Lagipula ini bisa jadi pelajaran bagi kalian jika kelak kalian berada dalam komunitas yang lebih besar."

"Iya deh, Tan," sahut Sello tak ingin Maira memperpanjang ceramahnya.

Maira menghela nafas. "Tante cuma tidak mau terjadi kenapa-kenapa pada Lara."

"Tenang deh, Tan. Saya akan menjaga Lara."

"Terima kasih," ucap Maira. "Mungkin ini dikarenakan Tante belum dapat melupakan kepergian Kakak dan Papa Lara meski sudah lama berlalu."

"Mm... memangnya apa yang terjadi, Tan?"

"Keduanya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas dalam jarak waktu yang berdekatan."

"Maaf." Sello baru tahu jika Papa Lara sudah tidak ada. Lagipula dia baru-baru ini saja "mengenal" Lara dan itu dikarenakan Vanda. Seandainya Vanda tidak hadir di kehidupan mereka, barangkali selamanya dia tidak akan pernah tahu tentang Lara.

Maira tersenyum getir. "Maaf. Tidak seharusnya Tante cerita kesedihan ini di saat kalian mau bersenang-senang."

"Tidak apa-apa kok, Tan. Saya mengerti."

"Ehem."

Sello dan Maira sama-sama menoleh pada Lara yang sudah rapi dengan rambut terurai setengah basah. Lara mengenakan busana terusan lengan panjang dengan motif kombinasi batik.

"Hai, Ra," sapa Sello.

"Hai," sahut Lara. "Sudah lama?"

"Tidak terlalu lama."

"Ibu ke dapur dulu mau bikin minuman." Maira beranjak dari duduknya, melangkah ke dapur.

Lara menggantikan tempat ibunya. "Maaf, sudah membuatmu menunggu."

"Tidak sampai jamuran kok." Sello diam sejenak, teringat cerita Ibunya Lara barusan. "Mm, kamu pasti sangat merindukan Papamu."

Lara mengangkat wajah, memandang Sello dengan tatapan muram.

"Maaf, aku tidak bermaksud..."

"Pasti. Itu sudah pasti. Dan kenangan bersama Ayah tidak pernah terlupakan olehku. Aku mempertahankan kenangan itu dalam ingatanku," Lara berucap lirih.

"Boleh kutahu kenangan yang paling berkesan?"

"Mm... " Lara diam sejenak, mengenang. "Semuanya sama berkesan bagiku. Tapi liburan keluarga ke pulau Derawan yang paling kuingat."

"I see." Sello manggut-manggut sambil mengingat mimpi yang membawa dirinya ke pulau Derawan dan bertemu Vanda di sana. Di dalam mimpi Vanda bercerita tentang kematian, entah kematian siapa, dia tidak mengingat detailnya. Apa mungkin...

Di luar rumah, sebuah mobil Suzuki Swift warna merah berhenti di depan pagar. Sesil terpaku melihat motor Sello terparkir di halaman rumah dan satu-satunya motor di sana.

"Menurut kalian sudah berapa lama Sello berada di sana?" tanyanya pada dua temannya dengan nada cemburu. Keduanya saling pandang, lalu mengangkat bahunya. "Gue pikir cukup lama," jawabnya sendiri.

"Cemburu?" sentil Rena.

"Gue berusaha bersikap biasa saja saat melihat Sello bersama yang lain, tapi hati ini tidak bisa dibohongi. Benar. Gue cemburu!"

"Ayolah, Ses! Lo sudah punya Eril. Mesti berapa kali sih lo diingetin?"

"Dan gue juga sudah bilang berkali-kali, Eril tidak ada di sini."

"Iya, sih."

"So, kita jadi ikut apa nggak nih?" tanya Keke.

Sesil mendadak kehilangan mood. Sebelum dia menjawab, dari kaca spion dia melihat Idan dan Jujun baru tiba sambil membunyi klakson. "Kita tidak bisa berbelok lagi," jawabnya sambil membuka pintu.

"Kalian baru tiba, Ses?" tanya Idan saat Sesil dan dua temannya turun dari mobil.

"Seperti yang kalian lihat," jawab Sesil cuek.

Jujun melirik ke motor Sello di halaman rumah. "Wah, kita kalah cepat." Turun dari motor, membuka pagar lebar-lebar. "Masukin saja mobil lo, Ses."

"Kita di sini cuma sebentar kan?" Sesil melangkah masuk, mengabaikan Jujun.

Idan mencibiri Jujun saat melewatinya. "Kasihan!"

Sementara itu, Sello dan Lara duduk membisu ditemani dua gelas sirup dingin dan biskuit yang disajikan Maira. Maira sendiri setelah penyajian langsung menghilang ke balik kamar seolah sengaja memberi ruang kepada kedua remaja itu untuk mengobrol bebas. Kebekuan yang terjadi di antara mereka segera mencair ketika Sesil dan rombongan kecilnya tiba. Bahkan Idan dan Jujun yang melirik keberadaan biskuit dan sirup di atas meja, tanpa basa-basi menyambar dan menenggaknya.

"Sorry, Ra," sahut Idan malu-malu. "Tadi pas kemari pakai dorong motor, sih,"

Lara menjawab dengan senyuman ringan. "Sebentar aku bikin buat yang lain," ucapnya.

"Tidak usah, Ra," larang Sesil. "Sebentar lagi juga kita mau keluar. Oh, ya, aku tidak melihat Vanda. Mana dia?" Melirik Sello.

"Lagi di jalan kali," jawab Sello datar.

"Seharusnya dia yang pertama datang dan menunggu kita," protes Sesil. "Dia kan yang mengajak kita?"

"Bukan dia, tapi kami," ralat Idan.

Sesil mendecak kesal. "Hubungi dia dong!" desaknya entah pada siapa. "Kita harus cepat kalau mau dapat tempat."

"Biar aku saja." Lara berkata ketika melihat Sello mengeluarkan ponselnya dari balik saku celana jeans-nya. "Halo, Van," sapanya ketika jaringan terhubung. "Kamu di mana?" Mengerutkan dahi. "Masih di rumah?" Mengecilkan suara. "Anak-anak sudah pada kumpul." Diam sejenak. "Baik, akan kusampaikan pada mereka." Menutup sambungan, lalu beralih pada yang lain. "Vanda minta kita pergi duluan. Dia akan menyusul kemudian."

"I can't believe it," racau Sesil. "Mending gue langsung ke sana tadi. Ugh!"

Sello tegak berdiri tanpa semangat. "Kalian tidak mau tempat kita ditempati orang lain kan?" ucapnya datar.

"Pastilah." Idan mengerling pada Jujun dan disambut dengan anggukkan kecil.

"Kami barengan sama lo, ya, Ses?" kata Jujun.

"What? No!"

"Motor kami sedang tidak bersahabat, Ses," sambung Idan. "Lo mau acara kita gagal karena lo menolak menumpangi kami? Kasihan Sello noh."

Mendengar nama Sello dibawa-bawa, Sesil pun menyerah. "Oke, tapi kalian jangan berisik!"

"Siiip!!!" Idan dan Jujun ber-high five. "Eh, Lara sama siapa?" tanya Jujun. Pandangan mereka tertuju pada Sello.

"Sama gue," jawab Sello ringan membuat wajah Lara bersemu merah dan Sesil bersemu geram.

Beruntung banget dia, pikir Sesil.

Langit memamerkan gradasi indah berwarna jingga di kakinya. Rombongan Sello bergerak beriringan menuju Plaza Semanggi. Namun mereka tidak berharap banyak dapat menikmati senja di Sky Dining, sementara mereka masih terjebak di kemacetan jalan. Pun dengan tempat, barangkali sudah tidak ada meja kosong yang tersedia. Maka Sello menggeber motornya mendahului rombongan Sesil. Sepanjang jalan yang dilewati dengan kebut-kebutan, Lara tak lepas memeluk erat pinggang Sello. Sepanjang jalan itu pula hatinya dirasuki kegembiraan.

Hampir satu jam mereka berjibaku di jalan, mereka pun tiba di Sky Dining yang dipenuhi pengunjung. Hari sudah gelap. Cuma ada satu meja yang tersisa. Itu pun nyaris diserobot pengunjung lain.  

"Bagaimana dengan yang lain?" tanya Lara sambil memperhatikan suasana temaram, lalu pandangannya jatuh pada lilin dalam tatakan gelas di tengah meja. Romantis banget.

"Terpaksa kita harus menunggu meja lain kosong," jawab Sello dingin.

Pelayan menawarkan menu.

"Mas, boleh minta tambahan kursi?" pinta Lara usai memesan minuman.

"Untuk berapa orang, Mbak?"

"Mm... enam orang."

"Meja di sebelah sana sebentar lagi mau selesai." Pelayan menunjuk meja yang berada tiga meja dari mereka. "Nanti saya booking."

"Sekalian ditarik saja kemari Mas. Disatukan dengan meja kami," saran Sello. Pelayan mengangguk paham.

Tak berapa lama rombongan Sesil datang yang ditandai dengan gelak tawa Idan dan Jujun.

"Nah, loh?" Idan memandang ke sekeliling, lalu beralih pada Sello dan Lara. "Meja buat kami mana?"

"Sebentar lagi pelayan bawa tikar," jawab Sello tanpa beban.

Sesil mendecak kesal. "Ini hang out terburuk yang pernah gue alami," katanya bersungut-sungut.

"Tenang, yank," hibur Idan. Selama dalam perjalanan, dia kerap menggoda Sesil dengan sebutan sayang. "Kan ada Aa' Idan yang menemani."

"Sayang-sayang kepala lo peyang." Sesil mentoyor kepala Idan, tapi Idan malah menikmatinya yang membuat Sesil makin keki. "Eh, Vanda mana?" tanyanya kemudian sambil menoleh ke Sello dengan tatapan menyindir. Tapi dia berharap Vanda tidak benar-benar datang supaya bisa menyingkirkan Lara yang duduk berhadap-hadapan dengan Sello. Enak banget dia. Gue yang incar kok malah dia yang duduk di sana.

Sello malas menanggapinya. Melihat Sello tidak bersemangat, Lara jadi kasihan. Lalu dia mengeluarkan ponsel, menghubungi Vanda untuk menyuruhnya lekas datang.

"Tidak aktif?" Lara bergumam sambil mencoba lagi. Sello memperhatikan. "Tidak aktif. Nomor Vanda tidak aktif," beritahunya.

"Panjang umur," seru Jujun ketika melihat kedatangan Vanda.

"Sorry, sorry." Vanda buru-buru minta maaf. "Ada sedikit urusan yang harus aku selesaikan di rumah tadi."

"Oh, tidak apa-apa." Sello berusaha tenang dan berwibawa. "Yang penting kamu sudah hadir di sini."

Sesil mendecak kesal mendengarnya.

"Mejanya cuma satu?" Vanda mengedarkan pandangan. "Seharusnya sudah ada yang harus angkat kaki dari tempatnya." Melangkah ke salah satu meja, tepat pada meja yang ditunjuk pelayan tadi. Lalu dengan gagah berani dia mengusir pengunjung yang menempatinya. Semua kaget menyaksikannya. Sello menepok jidatnya sambil geleng kepala. Lara tersenyum geli. Idan dan Jujun menatap tak percaya. Cuma Sesil yang merespon secara berlebihan.

"Moga saja tak ada yang mengenaliku," batinnya sambil menyembunyikan wajah.

"Idan, Jujun! Ayo, angkat meja ini!" Vanda berteriak dengan nada perintah. Idan dan Jujun segera menghampirinya, lalu bersama-sama mengangkat meja dan menyatukannya dengan meja Sello.

"Kamu sudah bisa duduk ayang Sesil." Idan berkata manis.

Sesil mendengus sambil menghenyakkan pantatnya di kursi di antara dua temannya dengan arogan. Sialnya, Idan memilih kursi tepat di seberangnya. Dia makin jengkel. Sepertinya malam ini bakal menjadi malam terpanjang baginya.

"So, apa sudah bisa kita pesan menunya sekarang?" Vanda menatap mereka bergantian.

"Setuju!" seru Idan dan Jujun bersemangat.

Sesil memutar bola matanya. "Oh, please deh!"

"Mm... sebaiknya kamu duduk di sini, Van." Lara bangkit dari duduknya.

"Oh, tidak usah. Kamu di sana saja. Aku sudah nyaman di sini."

"Tapi Sello... " Lara menatap Sello yang tampak canggung.

"Sudahlah," sahut Sesil. "Kalau Vanda bilang tidak ya tidak. Lagipula bonus buat kamu duduk di sana."

"Bonus?" Lara bingung.

"Ck!" Sesil mengibaskan tangannya. "Lupakan!"

Pelayan datang membawa daftar menu. Idan dan Jujun saling berebut memesan menu yang asing bagi mereka.

Sello tak tahu harus memulai dari mana. Keceriaan yang sudah terbangun di sekolah mendadak runtuh akibat sikap cuek Vanda yang kembali hadir. Dia bisa saja mengabaikan keberadaan teman-temannya agar leluasa membicarakan suara hatinya yang selama ini terbungkam kebimbangan, tapi dia mengurungkan niatnya lantaran tak ingin merusak suasana, terlebih Vanda menunjukkan sikap cueknya seolah lupa tujuan hang out mereka malam ini.  

Pelayan datang membawa menu pesanan dan langsung menyajikannya ke meja. Ketika pelayan meninggalkan meja, ponsel Vanda berdering.

"Ya, Pa?" sahut Vanda. "Apa? Sekarang? Aku lagi kumpul bareng teman nih. Besok sajalah." Diam sejenak. "Oh. Oke, oke. Aku balik sekarang." Menutup sambungan, lalu menatap pada Sello dan Lara bergantian. "Maaf, lagi-lagi aku mengganggu acara kita."

Lara tersenyum kaku. Begitu pun dengan Sello, dia menghela nafas dan tersenyum paksa. "Masih ada waktu yang lain," ucapnya.

"Sekali lagi maaf, ya?" Vanda mengeluarkan dompetnya dan menarik lima lembar pecahan seratus ribu. "Ini sebagai penebus kesalahanku." Meletakkan di atas meja. "Aku cabut dulu. Ketemu besok. Bye!"

***

"Kau lihat tadi, Ra? Kau lihat?" Sello mengerang saat motor melaju. Dia menumpahkan kekesalan yang dipendamnya selama mereka hang out. Dia hanya bisa diam selama itu. Cuma sesekali menanggapi celotehan Idan dan Jujun yang sengaja ditujukan padanya. "Kupikir ciuman itu menandakan awal dari perubahan dirinya, tapi... " Mengerang kuat. "Sumpah, aku tidak mengerti dirinya!"

"Aku mengerti perasaanmu, Sel. Sabar, ya?"

"Dia egois, Ra. Bertingkah semaunya! Aku penasaran, seperti apa sih cowok yang merusak hatinya?"

Bukan cowok, Sel, tapi cewek.

"Apa harus kuakhiri saja hubungan kami, Ra?"

Lara tidak langsung menjawab. Dia mencari kata yang tepat untuk meredam kekesalan Sello. "Kamu mengatakan seperti itu karena kamu sedang marah, Sel. Keputusan di saat marah akan membawa penyesalan pada akhirnya. Calm down saja dulu. Pikirkan baik-baik. Pasti ada alasan kenapa Vanda bersikap seperti itu." Mengangkat tangan, ragu-ragu mengusap lengan Sello untuk menenangkan.

Ucapan Lara sedikit mengusir kegalauan hati Sello. "Terima kasih, Ra. Seandainya tidak ada kamu, barangkali aku tidak akan sanggup menghadapinya."

"Itu gunanya... teman."

Tak berapa lama mereka sudah tiba di rumah Lara. Motor Idan dan Jujun masih terparkir di halaman rumah.

"Kamu mau menunggu mereka atau... "

"Aku perlu menenangkan pikiranku seperti yang kamu bilang."

"Baiklah," ucap Lara. "Hati-hati." Kalau sudah tiba di rumah kabari aku.

Sello memandangi wajah Lara lama-lama, wajah klasik yang manis dengan kulit yang eksotis. Dia merasakan sesuatu yang beda saat menatap matanya. Ada perasaan teduh yang merayapi hatinya. Buru-buru dia menepis perasaan itu dan mengunci pintu hatinya rapat-rapat. Perasaan itu hanya dikarenakan hatinya sedang bermasalah, sedang sakit. Bukan perasaan suka maupun cinta. Dia tak ingin perasaan semu itu menjerat Lara yang pada akhirnya akan menyakitinya. Tidak. Dia tidak mau menyakiti Lara lagi. Lara terlalu baik untuk disakiti.

"Terima kasih, Ra," ucapnya. "Senang mengenalmu."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Parloha
9330      2272     3     
Humor
Darmawan Purba harus menghapus jejak mayat yang kepalanya pecah berantakan di kedai, dalam waktu kurang dari tujuh jam.
Malaikat Hati
10015      1840     1     
Romance
Sebuah persinggahan dalam menjalin sebuah ikatan tidak lagi terasa dan bersemayam dihati. Malaikat hati yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah senyuman dan pelukan. Mengenalkan arti bahagia dan arti kenyamanan hati. Disaat itu, aku sadar bahwa hidup bukan untuk menentukan sebuah pilihan tapi hidup untuk menjalin sebuah kepercayaan.
KATAK : The Legend of Frog
389      314     2     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
Intuisi
3586      1055     10     
Romance
Yang dirindukan itu ternyata dekat, dekat seperti nadi, namun rasanya timbul tenggelam. Seakan mati suri. Hendak merasa, namun tak kuasa untuk digapai. Terlalu jauh. Hendak memiliki, namun sekejap sirna. Bak ditelan ombak besar yang menelan pantai yang tenang. Bingung, resah, gelisah, rindu, bercampur menjadi satu. Adakah yang mampu mendeskripsikan rasaku ini?
TAKSA
367      283     3     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
PESAN CINTA
5756      1203     33     
Romance
Bagaimana jadinya jika kita mendapat amanah dari orang yang tidak kita kenal? Itu pulalah yang terjadi pada Nasya. Dalam pejalanan pulang menuju kampung halamannya, Nasya berkenalan dengan seorang wanita. Mereka menjadi akrab. Dan wanita itu menitipkan sebuah amanah yang kenyataannya menjadi titik awal perubahan hidup serta jalan cinta Nasya.
The Journey Of F
1860      949     1     
Romance
beberapa journey, itu pasti ada yang menyenangkan dan ada yang menyedihkan, bagaimana kalau journey ini memiliki banyak kesan di dalamnya. pastilah journey seseorang berbeda beda. dia adalah orang yang begitu kecil lugu dan pecundang yang ingin menaklukan dunia dengan caranya. yaitu Berkarya
Kisah yang Kita Tahu
5184      1464     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
102
2039      834     3     
Mystery
DI suatu siang yang mendung, nona Soviet duduk meringkuh di sudut ruangan pasien 102 dengan raga bergetar, dan pikiran berkecamuk hebat. Tangisannya rendah, meninggalkan kesan sedih berlarut di balik awan gelap.. Dia menutup rapat-rapat pandangannya dengan menenggelamkan kepalanya di sela kedua lututnya. Ia membenci melihat pemandangan mengerikan di depan kedua bola matanya. Sebuah belati deng...
Kasih dan Sebilah Pisau
322      206     0     
Short Story
Kisah ini dibuat berdasarkan keprihatinan atas krisisnya kasih dan rapuhnya suatu hubungan. *** Selama nyaris seumur hidupku, aku tidak tahu, apa itu kasih, apa itu cinta, dan bagaimana seharusnya seseorang tersenyum saat sedang jatuh cinta.