Vanda senyum-senyum sendiri memandangi sejumlah foto kelompoknya di tempat karaoke yang tersimpan di memori ponsel Lara. Dia menemukan bakat terpendam Lara yang lainnya di bidang fotografi. Dengan mengandalkan kamera ponsel berpixel rendah, Lara sangat jeli mengambil momen-momen terbaik dalam sudut yang pas. Eskpresi objeknya tampak natural sekali. Seandainya dia tahu dari awal, maka dengan senang hati dia akan meminjamkan Lara kamera SLR terbaru miliknya, Nikon D7100, pemberian papanya.
Pada foto berikutnya, Vanda berhenti lama memperhatikan gambar dirinya mengapit Sello, bernyanyi dalam satu mic. Dia menilai ada yang aneh pada foto itu. Fokus gambar lebih ditujukan pada Sello. Lalu dia melihat ulang foto-foto sebelumnya. Sama. Semua terfokus pada Sello. Apa Lara naksir Sello?
Vanda terdiam. Ada gejolak cemburu yang merayapi hatinya. Dia menghela nafas, mencoba berpikir jernih sambil menunggu Lara kembali dari ruang guru. Sementara itu guru Matematika belum juga masuk ke ruang kelas sehingga kelas ramai oleh celotehan sejumlah murid tanpa mengingat peringatan Bu Konde.
Alih-alih melihat file foto lainnya, ponsel bergetar, menerima pesan masuk.
"Sesil?" Karena Lara sudah mempercayakan ponselnya di tangan Vanda, dia segera membuka pesan masuk dan membacanya.
Selamat! Lo berhasil bikin gue malu. Gue ga trima! Awas lo!
Vanda mendatangi Sesil. "Apa maksud sms-mu barusan?" serangnya.
Sesil mengkernyitkan dahinya. "Sms ma-na?"
"Siapa yang bikin kamu malu, hah?"
Sudut bibir Sesil berkedut. Ekspresinya berubah kecut. "Tidak ada."
Vanda memperlihatkan pesan di ponsel Lara dan mendekatkannya ke wajah Sesil. "Masih berkilah?"
"Ya, ampun," Sesil berusaha bersikap tenang. "Pasti sms gue nyasar ke hape Lara. Maaf, maaf. Gue salah kirim. Sumpah." Mengacungkan dua jarinya.
Vanda mendecak. "Apapun alasanmu," katanya. "Satu hal yang harus kamu ingat. Jangan pernah ganggu Lara lagi!" Lalu kembali ke mejanya.
Sesil mendegut kasar. "Sial!" umpatnya. "Kok hape Lara bisa sama dia sih?" Mengerang.
Tak berapa lama Lara datang bersama Pak Hendro. Ternyata kedatangannya cuma mengumumkan penunjukan Lara untuk menggantikan dirinya mengajar.
"Apa?"
Murid-murid saling pandang, mengeluarkan gumaman protes, berdengung seperti kawanan lebah.
"Apa ada yang lebih baik dari Lara di kelas ini?" Pak Hendro menoleh ke Lara sejenak, lalu menilik wajah murid-muridnya satu per satu. "Saya percaya Lara mampu menyampaikan perhitungan trigonometri sama baiknya seperti yang saya ajarkan. Lagipula hanya untuk hari ini saja saya tidak bisa mengajar kalian. Dan saya harap kalian mendengarkan Lara."
Sesaat kelas sunyi senyap ketika Pak Hendro pergi.
Lara menarik nafas, lalu memandangi teman-temannya untuk mengatasi kegugupannya. Ketika pandangan berhenti pada Vanda, dia mendapat acungan jempol dan ucapan aku bangga padamu lewat gerak bibirnya. Dia membalas lewat anggukan kecil. Sekali lagi dia menarik nafas dan mengucapkan, "Mohon kerjasamanya," pada murid-murid dengan suara bergetar dan terdengar seperti gumaman. Dia dapat merasakan degup jantungnya berdetak kuat serupa detak jarum jam di keheningan malam. "Um, pada pelajaran sebelumnya kita membahas mengenai... "
"Serius amat, sih!" celetuk seorang murid.
"Sudahlah, Ra," sambut yang lain. "Anggap saja ketidakhadiran Pak Hendro sebagai bonus."
"Betul."
"Ih, tengsin banget gue diajarin sesama murid. Gak level!" sambung yang lain lagi.
"Senang-senang sebentar kenapa sih, Ra!"
"Mending lo isi kepala lo buat mikirin tugas penulisan naskah drama, Ra."
"Begini saja, Ra. Kasih kami satu soal biar kami kerjakan. Kami jamin lo tidak bakalan dimarahi Pak Hendro."
Lara menoleh pada Vanda dan Sello bergantian, berharap mereka memberi jalan keluar. Sello tersenyum jahil sambil mengedikkan bahunya. Meski tidak mengajukan protes, tapi Lara tahu bahwa Sello setuju pada yang lain.
"Ehem." Vanda tegak dari duduknya. "Maaf, teman-teman. Aku tidak ingin terlihat menyebalkan di mata kalian. Tapi teman kita sudah berada di depan kelas. Tidak bisakah kita beri dia kesempatan untuk menyampaikan ilmunya pada kita?"
"Vanda benar," sambut Sello, berdiri di tempatnya. "Tidak seharusnya kita mementingkan ego kita demi kesia-siaan. Apa yang disampaikan Lara adalah ilmu bukan gosip murahan yang disebarkan cewek-cewek bermulut ember di kantin sekolah..."
Ucapan Sello disambut sorakan dari murid perempuan. "Huuuu...!!!"
"Apa?" sahut Sello. "Yang gue bilang benar'kan?"
"Iya, tapi jangan bawa-bawa kita-kita dong!" Seorang murid perempuan protes mewakili yang lainnya.
Sello cengengesan. "Maaf, maaf," ucapnya. "Nah, gue rasa tidak ada lagi yang tidak setuju jika Lara melanjutkan pelajarannya."
Kelas hening.
"Oke, berarti kalian setuju dan memang harus setuju," kata Sello. "Silakan Bu Lara, dilanjuti mengajarnya."
Dengan anggukan mantap, Lara mulai menjabarkan defenisi Sinus, Kosinus dan Tangen dengan penjelasan sederhana dan mudah dimengerti. Tidak lupa Lara memberikan contoh perhitungan dengan penyelesaian menggunakan cara cepat.
"Kamu hebat, Ra," puji Vanda sepulang sekolah. "Bahkan Pak Hendro tidak mengajarkan seperti yang kamu ajarkan."
"Setiap orang punya cara tersendiri dalam menyelesaikan persoalan, juga mengajar."
Vanda mencibir, mengusap wajah Lara. "Baru sebentar mengajar, lagakmu sudah kayak profesor saja."
Lara tersenyum kecil.
"Hm." Vanda bergumam. "Aku tidak bisa mengantarmu pulang. Tapi nanti sore aku mau main ke rumahmu. Ada mata pelajaran yang tidak kumengerti."
"Oke. Aku tunggu."
Mereka berpisah di parkiran sekolah. Vanda naik ke mobilnya, sedangkan Lara meneruskan langkahnya keluar dari gerbang.
Ketika melewati Lara, Vanda menurunkan kaca mobilnya dan berteriak, "Sampai nanti sore!"
Lara mengangguk sambil membalas lambaian tangan Vanda.
"Hei, cupu!" Suara orang membentak tak lama mobil Vanda berlalu.
Dari balik bahunya dia melihat Sesil berjalan dengan langkah panjang dan berwajah gusar diiringi dua pengawal setianya.
"Ya?" sahut Lara.
"Ikut gue!" perintah Sesil. Dua pengawalnya mengapit Lara, membawanya mengikuti Sesil ke parkiran mobil. "Biar gue yang mengantar lo pulang," katanya sebelum masuk ke mobil.
"Tidak perlu, Ses," sela Lara, bertahan di luar. "Aku naik ojek saja."
"Lo berani menolak gue?"
Rena dan Keke memaksa Lara masuk. Mobil meluncur keluar dari parkiran.
"Gue menyerah, Ra," kata Sesil di sela menyetir.
"Maksud kamu?" Lara bingung.
"Lo pikir gue sejahat tokoh antagonis di sinetron-sinetron gak jelas itu? Gue ini aslinya baik lho, Ra!"
"Baguslah," puji Lara.
"Iya, tapi gue tetap kesal saja sama lo."
"Kesal kenapa?"
"Selama ini lo selalu menerima perlakuan buruk dari gue. Tapi lo tidak membalasnya. Itu yang membuat gue kesal. Apa lo tidak berkeinginan membalas perbuatan gue sama lo?"
"Kurasa ada."
"Kenapa tidak lo lakukan?"
"Untuk apa?"
"Biar setimpal."
"Lalu apa kamu akan diam saja setelah mendapat balasanku?"
"Ya, gaklah."
"Jika aku membalas perbuatanmu, lalu kamu balik membalas perbuatanku, yang ada hanya akan melahirkan dendam yang tidak berkesudahan. Lebih baik memaafkan."
"Berarti lo memaafkan gue?"
"Tiap kali setelah kamu menindasku."
"Maaf."
Lara tersenyum. "It's oke."
Rena dan Keke saling tos. Upaya mereka meyakinkan Sesil agar berdamai dengan Lara berhasil. Mereka tahu masalah yang dialaminya Sesil adalah masalah hati; Sesil cemburu pada kedekatan Lara dan Sello. Setelah Seil menggertak Lara di belakang sekolah, mereka tak henti-hentinya mempengaruhi pikiran Sesil agar bisa memaafkan Lara dan berdamai dengannya.
"Lara merupakan tiket lo untuk mendekati Sello," beritahu Rena.
"Lupakan Vanda karena gue lihat sikapnya biasa saja pada Sello," sambung Keke. "Vanda lebih terlihat sebagai pelindung Lara. Lo lihat sendiri tegasnya sikap Vanda terhadap lo saat menindas Lara'kan? Dia seperti malaikat pelindung bagi Lara. Sekali dia mendapati lo menindas Lara, dia akan membalas lo. Lo pernah merasakannya, bukan?"
Sesil masih ngilu membayangi ketika Vanda menjambak rambutnya dengan sangat kuat seolah-olah kulit kepalanya mau lepas saja.
"Lagipula jika lo bersikap jutek begitu, lo makin jauh dari Sello."
"Lo tidak lihat betapa marahnya Vanda saat mendatangi lo tadi? Seandainya ancaman itu lo jalankan, gue yakin dia tidak hanya menjambak rambut lo, tapi juga memukul lo. Ingat, dia pemegang sabuk hitam loh."
Sesil ngeri membayangi dirinya digebukin Vanda seperti sansak. "Kalian jangan menakut-nakuti gue dong."
"Kami bicara fakta, Ses. Bukan menakut-nakuti lo."
"Gue bisa membayangi gimana sakitnya digebukin pemegang sabuk hitam. Lo bisa cacat tahu! Muka lo rusak. Kaki-tangan lo patah. Tulang rusuk lo retak. Kalau sudah begitu, jangankan Eril dan Sello, Idan dan Jujun saja ogah sama lo."
"Please deh, jangan lebay!" sungut Sesil mulai terpengaruh.
"Tidak susah kok, Ses, minta maaf."
"Betul. Memangnya lo tidak mau gabung sama kelompok mereka? Mereka tahu loh cara bersenang-senang."
"Pasti menyenangkan bernyanyi di atas panggung dan mendapat tepuk tangan meriah dari penonton."
"Gue nggak bisa nyanyi. Suara gue kayak anak babi kejepit."
"Tapi lo bisa dance. Penampilan mereka pasti makin ramai kalau ada yang nge-dance."
"Begitu, ya?"
Rena dan Keke mengangguk kompak.
"Tapi gue malu minta maaf sama Lara." Sesil berkata jujur saat mengingat perlakuan kasarnya pada Lara.
"Minta maaf itu semudah menjentikkan jari. Yang penting niatnya tulus."
"Terus, apa Lara mau memaafkan gue?"
"Ya, ampun, Ses. Lara itu anak baik. Pastilah dia mau memaafkan lo."
"Seandainya dia memaafkan gue, tapi dia pasti sulit melupakan perlakuan gue."
"Yang itu jangan lo pikirkan. Orang yang tulus memaafkan akan terlihat dari sikapnya pada kita. Dan gue rasa Lara bukan tipe pendendam."
Sesil manggut-manggut. "Terus, apa yang gue lakukan sebagai permintaan maaf?"
"Seperti yang lo lakukan biasanya."
Sesil mengangguk mengerti.
Di bangku penumpang, dia memperhatikan ekspresi Lara tampak begitu tenang. Tidak ada garis kepura-puraan yang terlihat. Apa dia sudah memaafkan gue?
Sesil mendegut. "Aku benar-benar minta maaf," ucapnya dengan ber-aku pada dirinya. "Kau mau'kan memaafkanku?"
"Tentu." Lara menoleh dan tersenyum. "Tentu saja."
"Terima kasih." Sesil menarik matanya ke kaca depan, melirik ke belakang. "Kalian," katanya pada Rena dan Keke. "Kenapa diam saja?"
"Kami juga minta maaf, Ra," ucap mereka.
"Nah, kita sudah berbaikan sekarang," beritahu Sesil. "Bagaimana kalau kita merayakannya dengan shoping?"
"Setuju!" sambut Rena dan Keke.
"Kurasa tidak perlu," sahut Lara, tidak enak hati.
"Ini kemauanku, bukan kemauanmu. Kau harus ikut. Lagipula aku yang mentraktirmu."
"Kami?" tuntut Rena dan Keke.
"Tidak kali ini."
"Yaaahh..." Bahu Rena dan Keke melorot.
"Um, aku... "
"Eits," Sesil memotong ucapan Lara. "Aku bisa kecewa jika kamu menolak ajakanku."
Lara menarik nafas. Barangkali sudah tabiat Sesil harus diikuti kemauannya, pikirnya. "Baiklah. Kali ini saja, ya?"
"Sip."
Sesil melarikan mobilnya menuju pusat perbelanjaan. Sesampainya di sana, dia tidak membiarkan Lara menolak pilihan busana dan gaun yang diajukannya. Mereka bolak-balik masuk ke kamar pas untuk memastikan pakaian itu pantas dikenakan Lara. Seketika itu juga Sesil berubah menjadi pengamat fashion, mengomentari setiap detail pakaian yang dipakai Lara. Dia tidak memberikan Lara kesempatan untuk menolak baju-baju yang sudah klop dan masuk dalam penghitungan kasir.
"Tenang saja, Ra. Semua ini belum cukup membayar semua perbuatanku padamu."
"Ini pemborosan namanya."
"Ini sih belum seberapa. Aku pernah menghabiskan lima belas juta dalam sehari. Tapi setelah itu, selama tiga bulan Papa Mama menghentikan subsidinya ke rekeningku." Sesil cengengesan.
Lara geleng kepala. "Kurasa ini sudah cukup," katanya ketika menyaksikan Rena dan Keke membawakan baju-baju dari rak yang lain.
nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter Casanova