Read More >>"> Koma (Pelet) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Sepasang kupu-kupu terbang melintasi Lara yang berjalan tergesa-gesa menuju ruang kepala sekolah. Tangannya mengapit lembaran kertas yang dijilid, naskah drama yang dijanjikan Sesil padanya. Dia belum sempat membacanya dan memang tak punya niat untuk membaca karya narsis yang dipaksakan. Namun ada hal yang patut dipertanyakan mengenai sikap lunak Sesil sewaktu memberikan naskah tadi.

"Kuharap melalui naskah ini akan menjadi pertanda baik hubungan kita."

Lara mengerutkan dahi mengingat ucapan Sesil. Begitu cepat dia berubah. Apa yang sedang direncanakannya?

Di ruang kepsek, Bu Konde sedang menghayati bacaannya. Buku pelajaran? Sepertinya tidak. Dia mengangkat pandangannya ketika pintu diketuk.

"Masuk," persilakannya sambil melirik bawaan Lara. "Apa itu?"

"Naskah, Bu."

"Oww, cepat sekali!" Bu Konde melipat ujung halaman buku yang dibaca dan menutupnya.

Lara tersenyum ringkas. "Sesil membantu saya." Menyerahkan naskah.

"Sesil?" Bu Konde mengangkat sebelah alisnya sambil menerima naskah, membaca judul sampulnya. "Cinta S2?" Lalu membuka halaman pertama. "Hmm." Bergumam. Dari balik bulu matanya yang bermaskara tebal dia melirik Lara sebentar. "Kamu boleh kembali ke kelas."

Lara mengangguk pelan. Ketika keluar dari ruang guru, dia dikejutkan dengan kehadiran Sesil dan dua pengawalnya.

"Gimana, Ra?"

Lara menggeleng. "Belum ada tanggapan."

"Oh," Sesil mendesah. "Gue harap konde kuali itu menyukainya," lanjutnya dengan percaya diri tinggi.

"Semoga saja." Lara hendak beranjak pergi, tapi Sesil menahan langkahnya.

"Gue mau ngomong sama lo."

Sesil menyeret Lara ke belakang sekolah. Rena dan Keke menduga-duga apa yang akan dibicarakan Sesil pada Lara. Sesuatu yang mengancamkah? Tapi ekspresi Sesil tampak tenang. Mungkin dia berterima kasih pada Lara atas naskah itu. Begitu mereka menduganya. Mereka pun mengekorinya ke belakang sekolah.

"Gue lihat belakangan ini elo makin lengket saja sama Sello," selidik Sesil. Ekspresinya tidak berubah. Datar dan dingin. "Gimana ceritanya?"

"Aku juga tidak tahu," jawab Lara gugup.

"Bohong!"

Perubahan nada suara Sesil yang membentak tak urung membuat Rena dan Keke saling pandang. Dugaan mereka salah. Sesil bukan berterima kasih kepada Lara melainkan akan menjadikannya pesakitan karena cemburu.

Sebagaimana mereka tahu, sejak Sello membonceng Lara ke sekolah, Sesil emosional luar biasa. Bagaimana mungkin gadis bulukan dan membosankan bisa mendapat perhatian Sello? Mereka meyakinkan Sesil bahwa peristiwa tersebut mungkin hanya kebetulan semata.

"Tidak mungkin banget kalau Sello jauh-jauh hari berencana membonceng Lara ke sekolah. Benar'kan?"

"Benar sekali, Ses. Barangkali Sello memungutnya di jalan."

"Sudahlah. Tak perlu lo besar-besarkan masalah ini. Lara itu tak ubahnya seperti butiran debu. Tidak masuk hitungan dalam persaingan merebutkan Sello."

"Lagipula lo mesti ingat. Lo sudah punya Eril. Buat apa juga memikirkan cowok lain."

Begitulah mereka meredakan emosi Sesil dan berhasil. Memang aneh saat melihat mereka bersama. Karakter mereka seperti Api dan Air. Sesil mewakili sosok api yang satu emosional, angkuh dan ringan tangan sedangkan Rena dan Keke mewakili air yang terlihat ramah, dan tenang menghadapi masalah. Mereka saling melengkapi dan mempengaruhi satu sama lain. Meski dua banding satu dan karena kebaikan Sesil secara materi pula, Rena dan Keke sering bungkam dan serba salah dalam bersikap. Namun sebagai teman, mereka sering mengingatkan Sesil agar tidak semena-mena pada yang lain.    

Sesil pun memakluminya. Mungkin cuma kebetulan saja Sello membonceng Lara ke sekolah. Namun hari demi hari dia makin gelisah dan gusar melihat kedekatan Sello dan Lara meski tidak secara langsung karena ada Vanda, Idan dan Jujun. Dia masih terima kedekatan Sello dengan Vanda, tapi tidak dengan Lara. Itu sama saja seperti tidak menganggap dirinya ada dalam upaya persaingan. Akan tetapi dia tak dapat berbuat banyak karena dia butuh Lara untuk memuluskan naskah dramanya kepada Bu Konde. Dia cuma bisa memperhatikan kebersamaan Sello dan Lara di setiap kesempatan. Di kantin. Di perpustakaan. Di kamar studio musik sekolah. Dan yang membuatnya makin uring-uringan ketika melihat Lara dan Sello berbagi mic, tidak hanya di kamar studio musik sekolah, tetapi juga dia pernah melihat mereka suatu hari di panggung sebuah kafe, bernyanyi bersama dan mendapatkan standing applaus dari penonton. Ini sangat memuakkan dan dia sakit hati! Dengan emosional dia menyudahi naskah drama dan berjanji akan menghukum Lara setelah itu. Dan dia akan tutup telinga pada apapun yang akan diucapkan Rena dan Keke. Itu tidak akan mampu meredakan sakit hatinya!

Sesil memandang Lara lekat-lekat dengan sorot kebencian dan kemarahan yang meledak-ledak. Ingin rasanya dia melumat gadis itu hingga tak berbentuk.

Lara ketakutan setengah mati. "Lalu apa yang harus kukatakan?"

Sesil mengerutkan matanya. "Jangan bilang kalau Sello naksir elo!"

"Apa?"

"Lo pakai jasa dukun mana buat menundukkan hati Sello? Eyang Sobur?" tuduh Sesil.

"Aku... "

"Selama ini gue sudah cukup sabar melihat kedekatan kalian. Di mana ada Sello, lo juga ada di sana. Bahkan lo ikut ngeband bersama mereka. Oh, sulit gue percaya lo tampil di atas panggung nyanyi bareng Sello. Apa maksud semua itu, hah? Lo berani bersaing dengan gue dan Vanda?"

Lara mengerti maksud dari sikap lunak Sesil sebelum ini. Itu hanya trik sampai naskah berada di tangan Bu Konde. Kebaikan Sesil tidak pernah benar-benar tulus.

"Jawab gue!" bentak Sesil.

"Aku harus bilang apa?" Lara menggigil ketakutan.

"Ada hubungan apa antara lo dan Sello?" geram Sesil.

Lara menggeleng takut. "Kami cuma teman."

Sesil memandangi Lara dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Tidak ada yang menarik dari lo." Menyentuh rambut Lara seperti orang kejijikan. "Rambut keriting berminyak. Potongan poni, iwwh, mengerikan. Kulit hitam. Pakaian cupu abis. Kutu buku. Kaku. Tidak ada yang menarik dari lo."

Mata Lara mulai basah.

"Sudahlah, Ses," Rena membujuk. "Lo bikin Lara menangis."

"Gue tidak peduli dia mau menangis atau apa!" rutuk Sesil. Sorot matanya berkilat-kilat. "Orang-orang seperti lo pasti pakai dukun, pasang susuk biar orang lain suka. Benar'kan?" tuduh Sesil lagi. Dia meraih rahang Lara dan meremasnya. "Ayo, ngaku!"

Lara menyerah menghadapi Sesil. Air matanya tak terbendung lagi. Dia berharap Rena dan Keke mau menolongnya seperti sebelum-sebelumnya tapi agaknya mereka tak dapat membendung kemarahan Sesil yang membabi buta.  

"Jangan lo pikir air mata lo bikin gue iba." Sesil melepas remasan tangannya dengan dorongan yang kejam. "Gue tanya sekali lagi, ada hubungan apa antara lo dan Sello? Jangan sampai gue remas-remas lo baru lo mau ngaku."

Lara menggeleng sambil terisak.

"Oke," Sesil melenguh kesal dan hilang kesabaran. "Mungkin ini bisa bikin lo mengaku." Mengangkat tangan, menggantungnya di udara. "Gue hitung sampai tiga. Kalau lo tidak mau jawab, gue gampar lo. Satu..."

"Jangan, Ses," ratap Lara.

"Yang lo lakukan sudah masuk kriminal," sela Keke. "Jangan, Ses!"

Sesil bergeming. "Dua."

"Aku dan Sello cuma teman."

"Tiga."

"Percayalah."

Sesil tak peduli. Alih-alih mengayunkan tangan, seseorang memanggil Lara. Sesil membatalkan tamparannya karena suara panggilan berasal dari Sello.  

"Ya, ampun, Ra." Sesil pura-pura beri perhatian. "Lo kenapa menangis?" Menghapus air mata Lara.

Sello memperhatikan Lara berada di antara kelompok Sesil. Dengan langkah panjang dia datang menghampiri. "Ada apa ini?" Memandang Sesil penuh selidik. "Lo lakukan apa pada Lara?"

"Tidak ada, beib," jawab Sesil manja. "Kita tidak sengaja menemukan Lara menangis di sini. Kita belom sempat menanyainya. Iya'kan, girls?"

Rena dan Keke mengangguk kompak dengan berat hati.

"Haa! Gue tahu!" seru Sesil. "Barangkali Lara dimarahi Bu Konde karena naskah drama yang diajukannya tidak sesuai dengan permintaan."

Kuharap naskahmu benar-benar ditolak Bu Konde, batin Lara.

"Benar begitu, Ra?" tanya Sello.

Sesil mengancam Lara dengan pelototan mata.

"Aku mau kembali ke kelas," jawab Lara.

"Barengan." Sello menggamit lengan Lara. "Aku ada perlu denganmu."

Ketika mereka berlalu dan menghilang di balik tikungan koridor, Sesil berteriak geram. "Brengsek lo, Ra!"

***

Sambil berjalan menuju kelas, Sello menoleh ke samping dan mendapati Lara masih terisak-isak. "Hei, jangan menangis lagi dong," hibur Sello. "Aku tidak punya permen soalnya."

Lara tersenyum sambil manahan isak tangis. "Terima kasih."

"Eh, terima kasih apa? Belom juga dikasih permen."

"Terima kasih sudah menghiburku."

Sello cengengesan. "Aku paling tidak tahan melihat orang menangis."

"Tadi kamu bilang ada perlu denganku."

"Nanti saja deh. Suasana hati kamu lagi kurang bagus."

"Aku tidak apa-apa." Lara tersenyum untuk membuktikan dirinya baik-baik saja. Nada suaranya pun terdengar tegar.

"Yakin?"

Lara mengangguk mantap.

"Aku butuh bantuanmu."

"Bantuan apa?"

"Vanda."

"Ya?"

"Um," Sello diam sejenak. "Janji kamu tidak akan menertawaiku?"

Lara mengerutkan bibirnya, lalu menggeleng.

"Um, begini... aku sudah lama menyukai Vanda. Tapi kau tahu sendirilah, Vanda itu tidak seperti cewek kebanyakan. Dia lebih sulit dari yang kubayangkan. Dia menolakku berkali-kali dan itu sangat memalukan bagiku. Kamu pasti lebih mengenal Vanda ketimbang aku."

"Terus?"

"Aku ingin kamu memberikan ini." Sello mengeluarkan amplop putih dari sakunya dan memberikannya kepada Lara. "Sudah lama ingin kuberikan padamu, tapi aku malu."

"Apa ini?" Lara mengamati amplop di tangannya. "Surat cinta?"

"Itu fotoku dan sehelai rambutku yang kurekatkan di belakang foto."

Lara mengerutkan dahinya. Bingung. "Kamu yakin Vanda membutuhkan ini?"

"Aku mengerti kebingunganmu. Jika foto saja barangkali Vanda menyimpan banyak fotoku sewaktu manggung di kafe sepupunya. Tapi foto ini bukan foto sembarang. Aku ingin kamu meminta Vanda meletakkan foto ini di bawah bantalnya saat tidur."

"Apa ini pe-let?" tanya Lara ragu.

Sello tersenyum lebar. "Aku tidak pernah berpikiran seperti itu."

"Lalu ini?"

"Kau percaya pada kekuatan mimpi? Mimpi dalam artian sebenarnya."

"Cuma bunga tidur."

"Yup, bunga tidur. Kamu tahu, mimpi itu terdiri dari ide, emosi, sensasi atau gambar yang terjadi tanpa sengaja dalam pikiran saat kita tidur. Perasaan yang kita alami dapat terbawa ke dalam tidur. Sama halnya seperti kita nonton film horor, maka perasaan takut itu terbawa-bawa ke dalam tidur dan menimbulkan mimpi buruk. Kamu pasti pernah mengalaminya. Benar'kan?"

"Um, entahlah. Aku tidak begitu yakin."

"Kamu patut mencobanya."

"Caranya?"

"Yah, tonton saja film horor sebelum kamu tidur. Kujamin perasaan takut itu akan terbawa ke dalam mimpi."

"Terima kasih." Lara menyimpan amplop putih ke dalam saku roknya. "Aku masih suka yang indah-indah."

Hening. Mereka hampir sampai di depan kelas.

"Aku cuma memberikan foto ini saja'kan?" tanya Lara, mempertegas.

"Ada lagi."

"Apa?"

"Mintakan foto dan rambut Vanda, ya?"

"Buat apa?"

"Koneksi."

"Ada-ada saja kamu."

"Aku serius. Dan jika dia bertanya, katakan saja aku ingin bereksperimen. Jadi mintakan padanya untuk tidur pada pukul sepuluh malam. Bisa'kan?"

Lara mengangguk ringan.

Jam istirahat usai. Murid-murid sudah masuk ke kelasnya masing-masing. Murid-murid di kelas XI tidak punya kesempatan untuk menyambung percakapan yan belum usai di dalam lokal lantaran Bu Konde menyusul masuk.

"Maaf Saya mengganggu jam pelajaran kalian," ucapnya. "Saya mau membicarakan soal naskah teater yang akan kita mainkan." Mata Bu Konde menelusuri wajah-wajah murid satu per satu dan berhenti lama pada Sello, Sesil, Vanda dan Lara. "Sesil, naskah yang kamu tulis sangat datar sekali. Minim konflik dan tidak jelas mau dibawa ke mana alur ceritanya. Dialognya pun terkesan lebay dan alay."

Wajah Sesil seketika memerah.

"Memang yang saya minta cerita tidak mesti menjiplak kisah Romeo dan Juliet. Namun kisah cinta yang kamu sajikan ini terlalu vulgar, lebih menyerupai kisah porno ketimbang karya sastra. Jadi, naskah ini saya tolak. Naskah ini tidak layak untuk dipentaskan karena akan menjatuhkan nama baik sekolah kita."

Sesil tertunduk dalam, malu mendengarkan naskahnya dibedah secara sadis.

"Lara," tegur Bu Konde. Lara menegakkan kepala, memandang ke depan. "Jika kamu butuh bantuan kenapa tidak bilang. Saya bisa tunjuk murid yang bisa kamu ajak kerjasama dalam penulisan naskah."

"Maaf, Bu. Saya salah."

Bu Konde menghela nafas. "Di antara murid-murid di kelas ini, siapa yang bisa kamu ajak kerjasama?"

Vanda mencolek paha Lara, lalu berbisik pelan. "Jangan libatkan aku. Aku cuma membantu sebisaku."

"Saya masih bisa mengerjakannya sendiri, Bu," jawab Lara.

"Tapi saya tidak mau naskah seperti ini lagi."

"Mengerti, Bu."

Lara melirik ke meja Sesil dari balik bahunya. Ekspresi Sesil tampak gusar dan kesal. Moga saja dia tidak melimpahkan kekesalannya padaku.

"Um, kamu ikut saya ke kantor. Dan kalian, sambil menunggu Pak Hendro masuk, jangan ada yang berisik!"

Tak lama setelah Lara keluar kelas, Sesil mengirimkan sms ke ponselnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
7596      1698     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Love Finds
13687      2505     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Sherwin
328      212     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Intuisi Revolusi Bumi
920      464     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Alicia
1084      504     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Please stay in my tomorrows.
335      236     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Chocolate Next Door
305      212     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Someday Maybe
9428      1807     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Verletzt
1179      529     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...