Ketika para remaja berlomba-lomba mendapatkan gadget canggih keluaran terbaru, Lara masih setia pada ponsel lama Nokia 6220 Classic. Dan ponselnya itu meraung-raung ketika dia baru saja keluar dari kamar.
Lara tinggal bersama Ibunya di rumah sederhana dengan pekarangan kecil di sebuah gang yang cukup lebar untuk mobil keluarga masuk dan dapat tembus ke jalan raya. Mereka cuma tinggal berdua. Ayah dan Kakaknya meninggal dunia dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas dalam rentang waktu berdekatan sekitar empat tahun yang lalu.
Dia berhenti sejenak, menimbang perlu tidaknya menerima panggilan yang jarang sekali terjadi. Dia hafal betul sesiapa saja yang punya kepentingan untuk menghubunginya, minimal via sms. Ibunya. Guru Kimia. Dan terakhir yang mulai kerap menghubunginya adalah Vanda. Dari ketiga orang itu dia bisa menebak siapa penelepon barusan. Benar. Tebakannya tidak meleset ketika dia mengintip nomor yang muncul di layar ponsel. Nomor itu nomor Vanda. Nomor cantik yang empat angka di belakangnya sangat gampang diingat. Dobel satu tiga.
Lara sendiri tidak habis pikir mengapa gadis blasteran itu mau berteman dengannya sementara yang lain lebih memilih menghindar. Vanda bukanlah tipe cewek penyendiri atau anti sosial. Dia sangat ramah pada siapa saja. Bahkan dia dengan sangat mudah menjadi populer mengalahkan kepopuleran Sesil.
"Ya, halo?" Lara menjawab datar.
"Hai, Ra," balas Vanda dengan suara khasnya yang ceria. "Lagi apa?"
"Nggak ngapa-ngapain."
"Hei, aku punya berita gembira buatmu."
"Berita gembira?"
"Mm-hm."
"Tentang apa?"
"Kasih tahu nggak ya?" Vanda tertawa geli, menyadari kealayan bicaranya. "Baiklah, tapi kamu jangan manyun gitu dong."
Lara mengerutkan dahi. "Sok tahu!"
Vanda kembali tergelak. "Kamu tahu si playboy cap kadal buntung itu'kan?"
"Ya."
"Nah, dia tadi main ke rumah. Baru saja pulang."
"Terus?"
"Dia nembak aku loh."
"Wah, bagus dong. Congrat, ya?"
"Tapi aku menolaknya."
"Lho kenapa?"
"Kamu tahu sendiri aku nggak pernah sreg melihatnya. Tapii..." Vanda menggantung ucapannya berupaya membuat Lara penasaran.
"Ya, tapi?"
"Sebagai konsekuensi penolakanku, cintanya akan beralih padamu."
Lara tersedak. Mukanya spontan memerah.
"Halo? Kamu nggak apa-apa'kan?"
"Aku baik-baik saja."
"Kedengarannya tidak."
"Aku nggak mau membahasnya." Lara coba mengalihkan pembicaraan, tapi kedengarannya malah curhat colongan. "Kamu tahu sendirilah perlakuan cowok-cowok terhadapku di sekolah seperti apa."
"Aku tahu, say. Tapi aku jamin dia nggak akan macam-macam padamu. Kalau dia sampai berani menyakitimu, kutonjok mukanya."
"Jujur saja, aku nggak kepikiran tentang hal itu."
"Yakin?"
"Ya-kin." Lara terlalu gugup menjawabnya. Dia sendiri tak yakin apakah itu jawaban dari hatinya atau sebagai upaya mengakhiri percakapan.
Untuk ketiga kalinya Vanda tergelak. "Kita memang baru beberapa hari kenal, tapi aku sudah dapat memahamimu."
Lara menghela nafas berat.
"Oke, deh," ucap Vanda. "Sampai ketemu besok. Bye...mmuahh!"
Klik.
Sambungan terputus.
Dengan gerakan kaku, Lara menjauhi ponselnya dari telinga dan meletakkannya di meja belajar. Sejenak dia terpaku, menyerap ucapan Vanda.
Atas dasar apa Sello mau mengalihkan cintanya padaku? Suka? Tepatnya terpaksa. Atau... barangkali dia mendekatiku cuma sekedar mencari tahu tentang Vanda. Oh, naif sekali aku jika berpikir dia benar-benar menyukaiku. Omong kosong! Aku siapa, dia siapa.
Ketukan pintu membuyarkan lamunan Lara. Dia menoleh ke belakang dan melihat bundanya, Maira, sudah berdiri di ambang pintu.
"Sudah pulang, Bun?" Lara bertanya, menyembunyikan keterkejutannya.
Perempuan berwajah lembut dan berkerudung biru itu tersenyum. Sorot matanya menyelidik. "Kamu lagi mikirin apa, sih? Dari tadi Bunda panggil kok gak nyahut?"
Kedua alis Lara bertaut. "Ha? Kapan? Kok aku nggak dengar?"
"Nah, nah, nah. Kalau pikiran kita sedang mengembara, maka realita yang ada semakin bias." Maira geleng kepala seraya tersenyum.
Lara menggigit bibir bawahnya. "Maaf."
Maira beranjak dari tempatnya, menghampiri putri semata wayangnya. "Kamu lagi mikirin apa, sih?" Dia bertanya ulang sambil duduk di samping Lara. Dibelainya rambut Lara lembut.
"Nggak mikirin apa-apa kok, Bun."
"Kamu nggak bisa bohong sama Bunda. Bunda mengerti kamu loh."
Kalau bundanya yang bicara seperti itu Lara percaya. Tapi ucapan senada juga datang dari Vanda yang baru dikenalnya beberapa hari. Mustahil sekali dia bisa mengenaliku lebih baik dari Bunda.
Tatapan menyelidik Maira membuat Lara risih.
"Serius, Bun. Aku nggak apa-apa," ucapnya.
"Bunda nggak maksa." Maira siap beranjak. "Kapanpun kamu butuh Bunda, Bunda siap mendengarkanmu."
"Terima kasih, Bun."
***
Setelah lagu pertama selesai dan dirasa cukup bagus memainkannya, mereka lanjut ke lagu berikutnya, lagu "Dear God" milik Avenged Sevenfold. Sello mengaku sudah hafal lirik lagunya.
Petikan gitar dan tabuhan drum mengawali lagu.
A Lonely Road... Crossed another cold state line... Miles away from those I love... Purpose hard to Find... While I recall... All the world you spoke to me... na na na na...
Iringan musik berhenti.
"Mampus gue!" Sello coba mengingat-ingat lirik lanjutan, melafalkannya tanpa suara. "All the world you spoke to me..." menjentikkan jari, memancing ingatan. "...na na na na... aduhh, sumpah gue lupa!"
"Can't help but wish that I was there," Jujun melanjutkan.
"Nah, itu dia! Can't help but wish that I was there." Sello tepok jidat. "Oke, lanjut!"
"Istirahat dulu," sahut Idan tak bersemangat.
"Kenapa?" tanya Sello. "Gue masih sanggup nyanyi sepuluh lagu lagi."
"Gue bete." Idan keluar dari posisinya, lalu duduk di lantai berkarpet merah sambil selonjorkan kaki.
"Eh," Sello menoleh ke Jujun dengan ekspresi bertanya. Jujun membalas dengan mengangkat bahu. "Bete kenapa lo?" Berpindah menatap Idan penuh selidik. Lalu tiba-tiba dia tertawa. "Ya, ya, ya, ya... gue tahu sebabnya. Lo bete karena harus jadian sama Lara besok'kan? Ngaku saja deh!" Menyandarkan gitar ke dinding.
"Nah, lo kenapa kepedean gitu? Bukannya lo ditolak Vanda siang tadi?"
Darimana dia tahu? Sello terkejut. Dia pasti menggertak supaya gue cerita lebih lanjut. Oh, tidak bisa!
"Kami malah sudah meresmikan hubungan," ucapnya kemudian.
"Oh, ya?" Idan mengucapkannya dengan nada menyindir. "Gue nggak dengar ada kata-kata jadian dari Vanda. Lo ada dengar nggak, Jun?"
Jujun menoleh, menatap Sello dengan gugup, lalu menggeleng kaku.
"Tuh, benar'kan?"
"Kampret!" Sello marah.
Idan dan Jujun kaget. Tidak menyangka respon Sello begitu emosional.
"Biasa saja dong," sahut Idan, mata melotot, ikutan emosi.
"Lo memata-matai gue?" Suara Sello meninggi.
"Gue cuma memastikan elo nggak curang!" Idan menyahuti dengan suara meninggi pula. Dia membayangi cara licik Sello ketika keluar dari rumah Vanda. Dorongan hati menyuruhnya untuk menemui Vanda dan mencari tahu tujuan kedatangan Sello ke sana. Namun dia puas setelah mendengar penjelasan Vanda atas sikap memuakkan Sello. Vanda bahkan lebih tertarik dan mendukung mereka untuk mengalahkan Sello dalam taruhan.
"Ooo... jadi lo nggak percaya sama gue?!"
"Lo pikir saja sendiri!"
Sello mendatangi Idan dengan langkah panjang, lalu menarik kerah bajunya. "Brengsek lo!" Melayangkan pukulan keras ke wajah Idan. Sebelum dia melanjuti pukulannya, Jujun datang melerai.
"Stop! Stop! Apa-apaan sih kalian ini!" Jujun menahan gerakan Sello dan Idan sekaligus. "Gila kalian! Masak gara-gara cewek kalian jadi ribut?! Ya, Tuhan... apa sih yang merasuki pikiran kalian?"
Sello dan Idan bergerak saling menjauh, menjaga jarak dengan wajah ketat penuh emosi.
Idan merapikan dirinya. "Pada akhirnya pesona Arjuna memudar juga," sindirnya.
"Idan!" tegur Jujun dengan mata melotot. "Malam ini sampai di sini saja dulu. Setelah emosi kalian mereda, latihan baru bisa kita lanjuti. Paham?"
Hening.
Sello dan Idan saling menyerang lewat tatapan mata kemarahan.
Jujun mengerang kesal. "Terserah kalian!"
nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter Casanova