Pada Hari Minggu, bulan Agustus. Di suatu kota besar, meskipun pada malam hari, tetap terlihat keramaian dan kehirukpikuan sebuah kota besar. Dan bandara kota tersebut yang suasananya sama dengan di pusat kotanya, sebuah pesawat yang perjalanannya telah menempuh hampir 2 ½ jam dari suatu kota lainnya telah sampai di tujuannya tersebut.
Lalu..., diantara penumpang-penumpang dari pesawat tersebut, yang kebanyakan datang ke kota ini untuk keperluan bisnis, mengadu nasib dan hal-hal lainnya, seorang pemuda pun saat itu turun dengan ransel besar yang ia pakai saat itu.
dengan perawakan seorang remaja sempurna, yang memiliki tinggi dan postur tubuh yang sempurna. Tampan, rendah hati dan baik, itu semua yang terlihat dari wajah laki-laki tersebut. Saat itu orang-orang pun yang melihatnya langsung saja terpana akan ketampanan dan aura dari remaja itu.
Adrian, nama laki-laki itu. Memiliki nama panggilan Ian, lalu mengambil barang-barangnya dibagasi berupa 2 koper besar yang isinya kebanyakan berupa pakaian-pakaian yang ia pakai nantinya. Sambil membawa menggendong ranselnya dan menyeret kedua kopernya, Ian pun keluar dari bandara dan memesan taksi di sana dan berangkat menuju ke tempat tujuannya.
Selama perjalanannya yang dipenuhi hiruk pikuk, keramaian dan lampu-lampu malam di kota besar, Ian pun hanya bisa menikmatinya sambil tetap mencoba untuk menginstirahatkan dirinya yang telah terkena jet lack yang membuat Ian pun lalu ketiduran akibat rasa capek yang luar biasa.
“Dek!dek! sudah sampai dek!” ujar si supir taksi sambil menepuk-nepuk Ian yang ketiduran.
“Maaf Pak saya ketiduran...”
“Tidak apa-apa dek...”
Sambil mengusap matanya, Ian pun lalu melihat ke arah jendela. Saat itu pun terlihat sebuah apartemen yang agak kecil. Namun kalau dilihat dari luar saja, apartemen itu langsung diketahui memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai di dalamnya.
Ian pun lalu keluar dari taksi yang ditumpanginya, mengambil koper-kopernya yang sudah di keluarkan oleh si supir taksi dibagasi taksi itu. Dan terakhir membayar kepada si supir taksi.
Saat taksi yang ditumpanginya meninggalkan dirinya, Ian pun lalu melihat ke mulai dari bagian bawah sampai ke atas apartemen itu, lalu berjalan ke menuju apartemen tersebut.
“Jadi..,ini sekarang tempat tinggalku yah...?” ujar dirinya yang saat itu berjalan menuju ke apartemen didepannya sambil masih merasa kecapean.
Ian pun saat itu langsung saja menuju ke ruangan apartemennya tanpa melakukan registrasi atau pembayaran karena sebelumnya orang tua dari Ian yang bisa dibilang orang kaya telah melakukan pembayaran dan sebagainya. Dan Ian pun hanya tinggal diberikan kunci dari apartemennya itu, lalu tinggal di sana.
Saat sampai di depan apartemennya, Ian mengambil kunci di kantung celananya lalu membuka pintu apartemennya. Saat terbuka, Ian yang sambil membawa 2 koper dan menggendong ranselnya, lalu memasuki apartemennya dan terlihat beberapa tumpukan kardus yang berisi barang-barang Ian bertumpuk di ruang utama apartemen Ian.
“Haaaahhhh.......!”
Ian hanya bisa menghela napasnya setelah melhat tumpukan kardus-kardus itu. Awalnya, Ian ingin sesegera mungkin untuk membereskan barang-barangnya yang ada. Namun, karena rasa capek dan ngantuk Ian yang sangatlah berat untuk ia tahan, membuat Ian pun langsung menyimpan koper dan ranselnya bersamaan dengan kardus-kardusnya lalu tertidur di kasur apartemennya.
“Biip....,biip....,biip!”
Belum sampai sekitar 10 menit Ian tertidur, dirinya pun langsung dibangunkan oleh suara Handphonennya yang bernada dering kalau ada seseorang yang menelpon dirinya. Ian pun lalu terbangun dengan rasa capek yang masih terasa di seluruh tubuhnya, kemudian mengangkat telponnya tadi.
“Halo~~~!,siapa ini...?”
“Ini aku Ian....!”
“Ohhh...! Sahar...! Memangnya ada apa? ”
“Ian..!,Kenapa suaramu terdengar sangat lemas sekali...!? Seperti orang yang baru bangun saja...!”
“Hooahhh....,tentu saja suaraku seperti ini! Aku ini memang sebelumnya baru saja tidur. Ehh..., belum lama aku tidur, kamu malahan menelponku!”
“Hehehehe.., maaf kalau begitu..!”
Saat itu Ian dan Sahar meski berada di tempat yang berbeda, tapi mereka pun langsung saja menampakkan sebuah senyuman lega. Bahkan untuk Ian, yang sebelumnya tadi terlihat sangatlah mengantuk, namun setelah dirinya baru melakukan beberapa percakapan rasa mengantuknya pun seolah-olah menghilang di mukanya saat itu.
“Jadi...., ada apa Sahar?”
“Ahh...tidak, hanya saja aku ingin tahu keadaanmu saja kok! Namun sepertinya..., sekarang aku sudah mengetahuinya!”
“Be-Begitu yah...! Yah..., wajar sih..”
“Selain itu Ian, ada hal yang ingin kusampaikan padamu! Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu saat ini. Mungkin saja kamu dipenuhi dengan banyak pertanyaan karena keadaanmu ini. Mungkin kamu merasa emosi karena tindakan orang tuamu ini. Tapi..., aku akan meyakinkamu Ian, kalau tindakan orang tuamu ini semata-mata demi kebaikanmu Ian!”
Kata-kata Sahar yang terdengar sangat serius itu pun lalu mengubah suasana yang terjadi di antara mereka, meski dibatasi dengan Handphone.
“Kamu Sahar..., masa kamu lupa mengenai sikapku dalam mengenai hal ini! Tentu saja kan aku tetap mengikutinya saja! Padahal kita ini sudah bersahabat sejak keci, tapi kamu sudah lupa dengan sikapku hanya karena kita sangat jarang bertemu. Kamu keterlaluan Sahar....!”
“Be-begitu yah! Benar juga katamu Ian....”
Ian yang mendengar tanggapan dari Sahar pada saat itu langsung menyadari, bahwa Sahar terdengar sangat lega setelah mengetahui jawaban dari Ian tadi, yang membuat Ian pun makin bertanya-tanya akan keadaannya ini.
Namun karena Ian tidak mau mengambil keputusan yang salah, akhirnya beberapa hal yang membuat bertanya-tanya itupun tetap dia simpan dalam pikirannya sendiri, dan hanya bisa memikirkan sendiri jawaban dari pertanyaan itu.
“Jadi...., hanya itu yang kamu mau sampaikan Sahar...?”
“Yah..., sebenarnya aku berbincang banyak denganmu Ian, tapi karena aku tahu kalau kamu saat ini sudah sangat kecapean dan mengantuk, jadinya itu saja yang kukatakan saja!”
“Kalau begitu...., aku tutu—.”
“Ahhh....,tunggu Ian! Terakhir...! aku lupa sampaikan!”
Mendengar kelalaian Sahar yang ternyata lupa menyampaikan suatu hal kepada dirinya, tentu saja untuk Ian dirasa tidak apa-apa. Namun karena Ian saat ini sudah sangat capek,mengantuk lalu ditambah dengan Sahar yang kerasnya mencoba untuk menghentikan Ian menutup telponnya, membuat Ian pun langsung merasa naik darah dan agak kesal.
“Sahar! Kalau kamu memang ada yang disampaikan besok saja!! Kamu ini...!!!”
“Ini terakhir! Benar-benar Terakhir! Aku tahu kalau kamu memang mengantuk dan capek, tapi dengarlah dulu...!”
Merasa bahwa penyampaian terakhir Sahar memanglah penting, Ian pun yang tadinya sangat kesal lalu menghela napasnya agar dirinya bisa lebih tenang mendengar penyampaian dari Sahar.
“Baiklah..., apa yang kamu mau sampaikan Sahar...?”
“Begini Ian...,karena kamu baru di kota ini, jadinya kamu tidak tahu jalankan!? Jadi bagaimana kalau besok nantinya saat kamu sudah siap-siap, kamu tunggu saja aku di depan apartemenmu? Supaya juga kamu bisa tahu beberapa jalan di kota ini. Atau paling kamu tahulah jalan menuju ke sekolah! Bagaimana..?!”
“Baik...!Baik..! Iya nanti kutunggu yah Sahar! Itu sajakan yang kamu mau sampaikan?!”
“Iya...,itu saja kok!”
Mendengar jawaban Sahar, seolah-olah merasa lega, Ian pun lalu menghela napasnya.
“Kalau begitu aku tutup Sahar! Salam!”
“Salam!”
Setelah menutup telponnya, Ian pun lalu kembali ke kasurnya kemudian berbaring sambil sedang memikirkan lagi tentang pertanyan-pertanyaan yang telah ia pikirkan saat ini. Namun belum sampai beberapa lama Ian memikirkannya, dirinya pun akhirnya ketiduran karena rasa capeknya yang luar biasa.
Sebenarnya, apa alasan seseorang seperti Ian yang daripada memberi hal buruk kepada orang sekitarnya, malah terlihat lebih memberi kesan baik ini harus tinggal di suatu tempat yang jauh dari orang tua, hidup mandiri dan bersekolah di kota ini?
Jawabannya karena permintaan dari kedua orang tuanya yang meminta kepada Ian untuk hidup mandiri di kota ini, meski pada akhirnya tetap diberi tunjangan oleh orang tuanya setiap bulan.
Dan alasan yang Ian dengar dari orang tuanya mengenai memindahkan dirinya, karena kata mereka agar Ian dapat mencoba untuk hidup mandiri dan tidak terus bergantung kepada orang tuanya.
Lalu adapun alasan lain yang didengar Ian agar dirinya bisa bertemu kembali dengan sahabat masa kecilnya dan pada akhirnya bisa bersekolah bersama kembali seperti dulu. Dan, sahabat kecil Ian yang dimaksud itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sahar.
Sahar pada awalnya bertemu dengan Ian karena mereka merupakan tetangga yang kemudian mulai bersama-sama TK, SD dan SMP. Namun karena suatu pekerjaan di kota yang ditinggalinya saat ini, membuat Sahar pun pada akhirnya berpisah dengan Ian dan tidak satu SMA dengan Ian.Walaupun mereka berpisah, namun ternyata pada akhirnya saat semester awal di kelas 2 SMA, pada akhirnya mereka pun bersama lagi dan bersekolah ditempat yang sama.
Mendengar alasan-alasan dari orang tua Ian tadi, bahkan orang lain pun bisa tahu, bahwa alasan-alasan yang disampaikan orang tua Ian sangatlah dipenuhi kejanggalan,pertanyaan dan dirasa tidak terlalu menjadi alasan utama kenapa Ian dipindahkan. Meski begitu, karena dirasa untuk saat ini tidak terlalu dipikirkan, akhirnya Ian pun tetap saja menyimpan dalam pikirannya saja dan dalam wakt luang akan mencari waktu untuk mencari jawabannya.
Malam pun berlalu, pada saat jam masih menunjukkan pukul 05.00 pagi, Ian pun saat itu telah bangun dan langsung saja mulai merapikan berbagai barang-barangnya yang berada dalam tumpukan kardus yang ada.
Sambil menyimpan,menyusun dan mengatur barang-barangnya berupa pakaian,buku, laptop dan barang-barangnya yang lain saat sebelumnya tersimpan di dalam kardus, koper dan ransel yang Ian bawa sebelumnya.
Dan tepat pukul 06.00 pagi Ian pun pada akhirnya melakukan hal itu semua dan bersegera untuk bersiap-siap untuk segera ke sekolah barunya di kota ini. Lalu pada pukul 06.30 pagi Ian pun telah melakukan persiapannya menuju ke sekolah barunya seperti telah mandi, menggunakan seragam, mengatur buku-bukunya dan mengenakan sepatunya.
Kemudian pukul 06.31 pagi, Ian pun mengunci apartemennnya yang ada menyapa tetangganya yang ia temui, memperkenalkan dirinya, dan melakukan berbagai ramah tamah lainnya.
Lalu tepat pukul 06.35 Ian pun berada di depan apartemennya sambil berusaha menunggu Sahar yang katanya akan datang ke apartemennya sekarang. Dan saat beberapa detik Ian menunggu, seolah-olah sebuah hentakan yang langsung membentur kepalanya, Ian pun langsung tersadar akan suatu hal tadi malam.
Yakni mengenai apakah Sahar mengetahui apartemen dirinya atau tidak. Menyadari hal itu, Ian pun langsung saja di selimuti oleh keringat dingin karena mengira Sahar bahwa tidak mengetahui apartemen Ian.
Ian pun kemudian mengambil telponnya yang ia simpan di saku celananya, lalu berusaha menelpon Sahar langsung pada saat itu. Namun, belum sampai Ian menekan tombol Call di Handphonennya, saat itu pun terlihat seorang siswa SMA yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengan Ian berjalan dengan santai dan cool sambil tetap memperlihatkan sebuah rasa senang dari wajahnya.
“Ian.....!!!” ujar siswa tersebut sambil melambaikan tangannya tersebut kearah Ian.
Dan saat siswa itu makin dekat sehingga wajahnya dapat dilihat oleh Ian, sebuah rasa familiarpun dirasakan oleh Ian melalui penampilan dan wajah dari siswa tersebut yang tidak lain adalah Sahar.
“Padahal aku sudah khawatir padamu Sahar karena aku lupa memberitahukanmu tentang alamat apartemenku. Tapi ternyata, sudah yah...!?”
“Tentu sajakan aku pasti akan tahu dimana! Karena memang sebelumnya aku sudah tanya orang tuamu Ian!”
“Begitu yah... Kalau begitu, ayo kita cepat Sahar!”
Ian pun lalu berusaha mendahului Sahar dan terlihat kalau Ian ingin cepat-cepat ke sekolah barunya. Meski sebenarnya Ian tidak tahu mengenai jalan ke sekolah barunya saat ini.
“Ian...! Kamu tidak perlu tergesa-gesa! Lagipulakan yang tahu jalannya itu aku!”
Ian pun hanya bisa menuruti perkataan Sahar tersebut. Dirinya pun lalu berusaha untuk menunggu Sahar agar mereka dapat berjalan bersama sambil tetap mengobrol antar sahabat.
“Sahar apa kamu yakin kalau kita tidak akan terlambat? Padahal kalau tidak salah, jarak dari sini ke sekolah itu agak jauh. Selain itu, waktu masuk di sekolahnya kan sekitar 06.50.”
“Tenang saja Ian! Aku yakin kita tidak akan terlambat kok! Aku jamin!”
“Baiklah kalau begitu”
Mungkin apabila orang lain yang baru mengenai Sahar, saat mendengar perkataannya tadi pasti akan merasa pesimis dan ragu. Namun, bagi Ian apabila sahabatnya mengatakan seperti itu, maka dirinya pun langsung saja mempercayai dan mengikutinya begitu saja.
Dan sesuai dengan perkataan Sahar, merekapun akhirnya sampai di sekolah mereka tepat pada waktunya tanpa kendala sedikitpun. Saat itupun terlihat sebuah sekolah yang dimana fasilitasnya sangatlah hebat, luas, dan tertata dengan rapi struktur bangunan yang ada sesuai dengan kebutuhan layaknya sebuah sekolah elit.
“Ian..., untuk ruang gurunya ada di sebelah sana!” ujar Sahar sambil menunjuk salah satu bangunan di sekolahnya itu.
“Kalau begitu Sahar, aku akan pergi kesana. Mudah-mudahan kelas ku nanti sekelas denganmu!”
Ian pun lalu meninggalkan Sahar yang membalasnya dengan sebuah senyuman. Sedangkan Sahar yang mulai melihat Ian semakin jauh, dirinya pun lalu bergegas menuju ke kelasnya dengan eekspresi yang sama.
“Kalau hal itu Ian, sudah pasti kita akan sekelas!”
Kemudian setelah Ian telah bertemu dengan wali kelasnya, tentu saja dirinya langsung dibawa ke kelasnya. Dan alangkah senangnya Ian saat ternyata kata-kata yang ia sampaikan kepada Sahar tadi benar-benar menjadi kenyataan, yang dimana Ian satu kelas dengan Sahar.
Saat Ian pun memasuki kelas barunya tersebut sontak kegaduhanpun langsung terjadi di kelas itu. , Ian pun seperti memberikan kesan pertama kepada teman kelasnya semua dengan sangat baik Para siswi di kelas itu langsung berbisik dan takjub tentang betapa ganteng,atletik dan kerennya Ian. Sedangkan para siswa pun juga langsung takjub bahwa seseorang sekeren Ian dapat satu kelas dengan mereka.
“Baiklah anak-anak, saat ini kedatangan siswa baru! Nak Ian, perkenalkan dirimu...”
“Baik! Perkenalkan namaku adalah Adrian.Aku berasal dari luar kota, dan baru pindah ke kota ini kemarin. Aku tinggal sendiri di apartemen yang jaraknya agak jauh dari sini”
Saat mengetahui bahwa orang seperti Ian tinggal sendiri, membuat para siswa pun di kelas itu makin takjub kepada Ian karena memberanikan diri untuk hidup mandiri tanpa adanya orang tua yang sebagian besar di kelas itu mereka masih tinggal bersama orang tua mereka dan bergantung dengan mereka.
Setelah Ian melakukan sesi memperkenalkan dirinya, kelas itu pun lalu kembali melakukan aktivitas belajar, meski masih ada beberapa siswa yang berbisik satu sama lain dan membicarakan mengenai Ian karena penampilan, aura dan wajahnya yang terlihat bersahabat.
Tapi Ian yang jadi topik pembicaraan siswa-siswa di kelasnya itu, saat itu sedang sangat fokus dalam mengikuti pembelajarannya sehingga tidak menyadari bahwa dirinya sedang dibicarakan oleh orang lain.
“Baik! Adakah yang bisa menjawab pertanyaan dipapan tulis?!”
Sontak para siswa pun langsung terlihat bersembunyi, menutup wajah mereka dan ada juga yang memberdirikan bukunya lalu menutup wajahnya dengan buku itu. Hal itu pun dilakukan sebagian besar siswa bahkan yang sebelumnya tadi sedang berbisik-bisik tadi.
Guru yang mengajar pun yang menyaksikan tingkah siswa yang diajarnya tersebut, langsung saja memakluminya. Karena jujur saja pertanyaan yang ditulis dipapan tulisnya itu merupakan materi yang belum ia ajar.
Dan alasan kenapa si guru itu itu menyuruh siswanya mengerjakan soal yang dipapan tulis ini karena dirinya beranggapan kalau siswa akan lebih paham pada saat dirinya langsung menanganinya sendiri. Saat itupun, si Guru pun lalu berbalik ke berbagai arah untuk menemukan siswa yang sepertinya mau saja untuk naik ke atas untuk mengerjakan soal.
“Ehhh...., kalau tidak ada yang mau mengajukan diri, Ian! Bisa tidak coba kamu kerjakan soal ini!”
“Ba-Baik Bu...”
Saat itu perasaan kebanyakan siswa pun campur aduk, karena di saat mereka merasa lega karena tidak naik ke atas untuk mengerjakan soal yang diatas, mereka pun merasa kasihan kepada Ian karena pada hari pertama dirinya harus mengerjakan soal yang bahkan mereka tidak tahu jawabannya.
Sementara itu, Ian yang mengambil spidol dari gurunya, langsung saja mengerjakan soal tersebut.
“Ian...! Kalau memang ada yang tidak kamu tahu, ibu bisa saja—.”
“Sudah bu.”
Si guru pun lalu melihat jawaban dan cara kerja dari Ian tersebut. Dan betapa kagetnya si guru saat melihat jawaban dari Ian yang benar lalu menggunakan cara kerja yang bisa dibilang sangatlah singkat namun mudah dimengerti.
“Be-benar jawabanmu Ian! Ta-tapi bagaimana caranya Ian....? A-apakah di sekolahmu dulu materi ini sudah di ajarkan? Da-dan kalau memang sudah diajarkan, pastinya kamu akan menggunakan rumus yang singkat saja! Tapi ini, kamu menggunakan rumus yang biasanya untuk kelas 3 atau diatasnya lagi!”
“Aku tidak belajar materi ini di sekolah lamaku bu. Sebenarnya alasanku bisa tahu karena, aku sering baca buku di rumah mengenai pelajaran. Jadinya, aku bisa tahu mengenai rumus-rumusnya bagaimana Bu.”
Sontak seluruh siswa pun termasuk guru yang mengajarpun merasa takjub akan kemampuan intelektual Ian yang sangat hebat. Bahkan guru yang mengajarpun sampai hampir tidak bisa berkata apa-apa melihat kepintaran Ian.
“He-Hebat Ian! Murid-murid sekalian, cobalah contohi cara belajar Ian, yang selalu saja belajar, membaca buku pelajaran yang ada. Agar nantinya kalian lebih muda dalam belajar!”
“Baik Bu!”
Mungkin apabila seorang siswa saat dirinya dibandingkan dengan siswa lain karena siswa lain itu mendapatkan prestasi, pasti akan meraskaan perasaan kesal, jengkel dan bukannya akan termotivasi, siswa lain yang dibandingkan tersebut pasti akan merasakan frustasi.
Namun entah karena aura, kepintaran atau kesan pertama Ian yang sampai membuat siswa yang dikelasnya merasa termotivasi untuk belajar dan berusaha sebaik mungkin agar mereka seperti Ian.
Kemudian setelah waktu istirahat tiba, tentu saja hampir semua teman di kelasnya langsung mengerumuni dirinya, mencoba mengenal dirinya,mengakrabkan diri,menyapanya dan hal-hal lainnya yang dilakukan oleh teman kelas Ian agar mereka lebih dekat dengan Ian.
“Ian...! kamu hebat sekali tadi!”
“Makasih! Itu bukan apa-apa kok!” balas Ian.
“Ian...! Boleh nggak untuk jadi temanmu!”
“Tentu saja boleh!” ucap Ian dengan ramahnya.
“Maaf Ian menganggumu, tapi bisa nggak kamu ajarin aku tentang pelajaran tadi? Ada yang tidak kumengerti!”
“Bisa kok!” ujar Ian sambil mencoba melihat catatan yang dicatat oleh teman kelas yang menanyakannya.
Saat itu, dengan kesan pertamanya yang baik sekali, penampilan yang sangat gagah dan keren, pintar saat pelajaran, sangat baik kepada semua orang, dan mudah bersosialisasi membuat seluruh siswa di kelasnya mau berteman dengan Ian. Guru-gurupun yang mengajar di kelasnya pada hari itu, langsung saja suka akan sikap, perilaku dan keaktifan belajar Ian.
Dan sekitar seminggu Ian bersekolah di sana, dirinya pun akhirnya dikenal oleh semua siswa di sekolahnya. Kemudian tentu saja, efek dari Ian yang menjadi tambah populer di sekolahnya tidak lain dan tidak bukan, siswi-siswi yang ada di sana tertarik kepada dirinya.
Hal ini pertama kali terjadi pada hari Rabu, sekitar 2 minggu setelah Ian masuk di sekolah itu. Seorang siswi dengan wajahnya yang cantik dan orang yang lumayan populer di sekolah, ternyata memiliki rasa terhadap Ian. Dan pada hari itu, dirinya pun pada akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan cintanya kepada Ian.
Namanya yakni Tika, kelas 2 SMA sama seperti Ian, dan ternyata merupakan anak dari salah satu guru yang ada di sekolah ini. Dan berhubungan dengan prestasi yang ia miliki, dirinya pun bisa dikatakan hebat dan pantas menjadi siswi yang lumayan populer.
Dirinya yang sudah jatuh cinta kepada Ian saat pandangan pertama, pada hari itu mulai memberanikan diri untuk menyatakan cintanya kepada Ian. Tika yang kelasnya memang bersebelahan dengan Ian, lalu mencoba menemui Ian dan mengatakan maksud untuk menemuinya pada waktu itu.
“I-Ian...., begini...., bisa nggak, sepulang sekolah nanti, kamu datang ke Taman Sekolah nantinya....?”
Alasan Rita bisa dengan mudahnya meminta suatu hal kepada Ian, karena sebelumnya Tika memang sudah mencoba mengenal Ian dan menjadi orang yang lumayan dekat dengannya. Dan tentu saja Ian yang terlihat memang baik dan ramah menerima Tika.
“Tentu saja Tika! Tapi..., memangnya apa alasanmu menyuruhku ke sana..?”
“Po-Pokoknya hal yang penting,Ian!” ujar Tika dengan pipinya yang merana dan memerah.
Saat itu Ritapun dengan cepatnya meninggalkan Ian, dan langsung saja memasuki kelasnya. Perasaan sedikit lega, malu, deg-degan, senang itu semua dirasakan Tika saat dirinya duduk di bangkunya lalu merenung sendiri. Bahkan perasaan tidak sabar Tika untuk segera pulang sekolah dan menembak Ian di Taman Sekolah membuat dirinya tidak bisa fokus saat itu.
Waktu berlalu, Ian yang ternyata pelajaran akhirnya agak lama dibandingkan kelas lainnya membuat dirinya pun baru berada di Taman Sekolahnya sekitar 7 menit lebih lama dari waktu yang ditentukan.
Saat itu, Ian pun melihat Tika yang saat itu menyandari salah satu Pohon di Taman Sekolah, sambil terlihat gugup namun memperlihatkan kecantikan dari Tika itu sendiri. Ian pun saat itu langsung saja menghampiri Tika, dan tentu saja Tika yang menyadari keberadaan Ian, langsung memperlihatkan wajah yang serius dan rasa gugup yang terlihat sebelumnya seolah-olah sudah tidak ada di wajahnya saat itu.
“Tika..! Maaf aku terlambat! Pelajaranku agak lama tadinya...”
“Tidak apa-apa Ian! Lagipula kan aku yang memanggilmu kesini...”
“Jadi..., kamu ingin katakan apa Tika...? Hal penting apa yang sampai kamu mesti menanyakanku saat pulang sekolah begini...?”
“Anu.., sebenarnya begini Ian...Hal penting yang ingin aku sampaikan itu adalah....”
Tika pun dengan keberanian dan tekadnya pada selama dirinya suka dengan Ian, akhirnya dikumpulkan dalam setiap kata-kata yang akan dikatakannya. Meski begitu, Tikapun masih tetap saja merasa agak canggung dan gugup meski dirinya sudah sangat sering berbicara kepada Ian selama ia bertemu.
“Ian..., sebenarnya....,aku dari dulu suka padamu Ian! Mau nggak kamu menjadi pacarku!?”
Tika yang sambil mengucapkan hal tersebut menutup matanya. Hal itu ia lakukan agar dirinya bisa bersiap-siap untuk menerima berbagai jawaban dari Ian. Meskipun, entah kenapa dalam hati Tika berkata bahwa dirinya tidak akan ditolak oleh Ian.
Tika pun sebenarnya berkesimpulan begitu, karena selama dirinya dekat dengan Ian, dirinya terus mendapatkan perilaku yang sangat baik, ramah dan memberi pendapat dalam diri Tika kalau sebenarnya Ian tertarik kepada dirinya.
“Tika....,Aku sebenarnya....”
Tika yang bereaksi dengan suara Ian yang memberi jawaban lalu membuka matanya agar dirinya pun melihat ekspresi Ian yang seperti telah mewakili tanggapan dan perkataan Ian selanjutnya.
Dan tepat saat matanya telah terbuka dengan biasanya, dirinya pun lalu melihat wajah dari Ian yang dimana terlihat jelas dimata Tika sebuah ekspresi dari Ian yang membuat Tika sendiri merasa sangat terkejut.
“Aku tidak memiliki perasaan tertarik kepadamu!” ujar Ian sambil menatap Tika dengan tatapan kosong.
Tika saat itu hanya bisa terdiam, mulutna terasa terkunci, meskipun sebenarnya dalam pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai pernyataan dan pertanyaan seperti ‘Apakah alasanmu menolakku Ian?’ atau ‘apakah dicoba dulu untuk menjalinnya?’ ataukah ‘apakah ada orang lain yang kamu sukai Ian?’.
Tapi Tika saat itu tidak bisa berkata apapun. Dirinya tidak bisa mengeluarkan pemikiran, pendapat atau hal yang dipikirkannya tersebut kepada Ian, sebagaimana biasa ia lakukan. Karena, sebenarnya dilihat dari ekspresi dan tatapan Ian kepada dirinya, Tika bisa tahu bahwa yang ada dihadapannya saat ini bukanlah Ian yang ia kenal selama ini.
“Ka-kalau begitu Ian....., a-aku ingin pergi dulu....! Maafkan aku karena sudah mengambil waktumu Ian!”
Saat itu dengan perasaan sedih, kesal dan agak takut, Tika pun berlari mencoba menjauhi Ian yang ia anggap sebagai orang lain dan bukan Ian yang ia kenal. Bahkan saking kesalnya kepada dirinya sendiri dan Ian, Tika pun sampai-sampai tidak ingin berbalik kebelakang menghadap ke arah Ian. Karena, apabila ia melakukannya, Tikapun berpikiran kalau hal itu hanya akan membuat dirinya tambah hancur saja.
“Tunggu Tika!”
Saat itu, Tika pun entah alasan apa atau hal apa dirinya pun hanya bisa mengikuti permintaan Ian tadi. Meski sebenarnya hatinya sudah sangat frustasi dan kesal kepada Ian yang telah membuatnya merasa begini. Meskipun Tika sebenarnya masih saja tidak mau berbalik ke arah Ian yang membuatnya merasakan hal ini.
“Ada hal yang ingin kusampaikan dulu padamu, sebelum kamu pergi. Pertama, maafkan aku karena sudah menolakmu dan bahkan sampai membuat merasa seperti itu Tika! Tapi meskipun begitu Tika, bukan berarti aku menarik kata-kataku kalau aku menolakmu. Jadi maksudku itu adalah aku minta maaf karena kata-kata untuk menolakmu membuatmu merasa seperti itu.”
“Tapi aku harap kepadamu Tika, meski aku telah menolakmu saat ini, aku ingin hubungan kita sebagai teman dekat tetap seperti biasa dan seolah-olah hal ini tidak pernah terjadi. Kalau kamu memang tidak ingin melakukannya Tika, tidak apa-apa! Asalkan kalau kamu malah memaafkanku saja, itu setidaknya lebih baik daripada tidak ada.”
Saat mendengar kata-kata terakhir Ian tadi, secara perlahan Tika pun berbalik ke arah Ian dengan sambil mengusap air matanya, seolah-olah hal yang ia lakukannya itu membuat emosi yang ia rasakan dihilangkannya karena saat mendengar kata-kata Ian tadi.
“Ti-tidak Ian...! Hu-hubungan kita sebagai teman tetap saja lanjut kok...!”
Tika pun saat telah berbalik ke arah Ian dan melihatnya, sontak dalam diri Tika pun semua perasan negatif yang ia rasakan seolah hilang, matanya pun terlihat terbelalak dan perasaannya yang ia rasakan saat itu sebuah perasaan senang dan lega karena Ian yang ada dilihatnya saat ini adalah Ian yang ia temani, ia tahu dan ia kenal.
Sebuah senyuman dalam wajah Tika seolah wajahnya itu telah merefleksikan perasaannya saat ini yang tadinya berkabung dan telah berubah menjadi sebuah mentari yang menghangatkan untuk orang yang melihatnya.
“Begitu yah...! Kalau begitu syukurlah. Dan juga Tika, terima kasih karena sudah menyatakan cintamu kepadaku, meskipun aku tolak!”
Tika pun saat itu makin senang karena perkataan Ian tadi itu, meski sebenarnya kata-katanya itu masih menolak dirinya. Tapi malahan hal itu membuat perasaan Tika makin senang dan lega.
“Iya Ian, sama-sama!”
Tika pun kemudian meninggalkan Ian dengan perasaannya saat ini. Seolah bebannya telah hilang dan malahan perasaannya pun malahan makin baik saja setiap detik ia berjalan meninggalkan Ian.
Sedangkan Ian yang telah ditinggalkan Tika, pun juga ikutan untuk meninggalkan sekolah, tapi dengan hal yang membuatnya bertanya-tanya saat perjalanannya pulang menuju ke apartemennya.
“Kenapa aku menolak Tika tadi? Padahalkan, kalau dilihat baik-baik dirinya cantik, orangnya baik, hebat juga. Tapi...., kenapa yah...?”
Saat itu, meski hal itu cukup membuat pertanyaan lagi muncul dalam pikiran Ian. Tapi, karena dianggap Ian bukanlah hal yang terlalu penting, akhirnya dalam perjalanannya ke apartemennya, dirinya pun akhirnya melupakannya dan hanya menjadikannya sebagai ingatan jangka pendeknya yang sebentar saja akan dilupa.
Kemudian setelah Tika telah menyatakan cinta kepada Ian, siswi-siswi di sekolah yang memang menyukai Ian, mulai mengatakan perasaan mereka mencoba menembak Ian. Mulai dari gadis yang biasa-biasa saja, bahkan memiliki berbagai kelebihan yang hampir sama dengan Tika.
Dan jawaban Ian untuk siswi-siswi yang menyatakan cinta kepada dirinya itu hampirlah sama dengan apa yang ia katakan kepada Tika, ditambah dengan sikap dan ekspresi Ian bagian awal dan akhirnya. Hal ini pun terjadi dalam kehidupan sekolah Ian selama hampir 3 minggu semenjak dirinya ditembak oleh Tika.
Lalu Ian yang selama itupun, kemudian mengingat kembali pertanyaan yang ia pikirkan dulu saat dirinya telah ditembak oleh Tika pada hari itu. ‘Kenapa aku tidak tertarik padanya?’ Ian pun seperti pertanyaan-pertanyaaan yang pernah dipikirkannya, dirinya pun mencoba untuk mengetahui jawabannya.
Dan hasil dari pikirannya dalam mencari jawabannya adalah 0 atau dibilang tidak ada. Alasannya Ian bisa berkesimpulan begitu dan tidak kepada pertanyaan-pertanyaannya yang ada dipikirkan sebelum ini, karena pertanyaan-pertanyaan yang ia pikir selama ini jawabannya masih bisa Ian perkirakan, karena hal itu berasal dari orang lain.
Sedangkan dalam kasusnya saat ini, yang dimana itu berasal dari dirinya sendiri, Ian tidak bisa memikirkan jawabannya. Meskipun Ian berkesimpulan kalau perempuan-perempuan yang menembaknya itu ia tolak karena bukan tipenya, seharusnya ada salah satu dari mereka yang membuat Ian merasa tertarik atau sebagainya, karena perempuan-perempuan yang telah menembak Ian itu hampir berbagai kriteria, sikap dan perilaku yang dimiliki semua orang. Jadi mustahil kalau dengan hanya alasan karena tidak sesuai kriteria dari Ian.
Ian pun sempat berkesimpulan kalau seseorang yang ia sukai itu memiliki standar tersendiri seperti dia mesti seorang artis atau publik figur lainnya. Namun kesimpulan dibantahkan oleh Ian saat dirinya mencoba melihat beberapa foto artis, dan hasilnya Ian pun tetap tidak merasa tertarik atau sebagainya kepada foto artis-artis yang ia kumpulkan.
Setiap Ian memikirkan jawabannya dan hal yang ia dapat lakukan, membuat dirinya malahan makin pusing, bingung sehingga jawaban yang ia cari malahan ia tidak dapat, namun masih tetap membuat dirinya tetap kepikirkan.
Ian yang pada akhirnya sudah tidak bisa memikirkan jawaban lagi untuk masalah yang ia alami ini, lalu kepikiran untuk menanyakan hal ini kepada sahabat masa kecilnya yang tidak lain adalah Sahar.
Hingga pada hari Kamis, minggu keempat semenjak Ian bersekolah di sana, pada saat Ian baru datang ke sekolah, Ian pun langsung menyimpan tas ke bangkunya dan langsung menuju ke bangku Sahar untuk berkumpul dengan Sahar seperti biasanya lalu mengbrol dengannya.
“Hai Sahar...” ujar Ian sambil mendatangi bangku Sahar.
Saat itu, Sahar yang saat itu berada di bangkunya sedang mengobrol-ngobrol dengan 2 teman baik Sahar di sekolah ini yakni Calip dan Dirga. Dan karena hubungan pertemanan dari Calip dan Dirga terhadap Sahar, membuat Ian pun tentu saja langsung sangat dekat dengan mereka berdua dan menjadi teman dekat.
“Ohh...Ian! Hai...” balas Sahar.
“Halo Ian..!” balas Calip
“Pagi Ian...” balas Dirga.
Calip dan Dirga pun sebenarnya bisa dianggap sebagai siswa di sekolah ini yang brilian. Kenapa tidak, Calip yang memilki keahlian di bidang IT sering diikutkan lomba IT dan selalu saja mendapatkan juara pada tingkat nasioanl.
Sedangkan Dirga yang memilki keahlian berbagai beladiri, seperti Kungfu,karate,silat,boxing,gulat,judo,takewondo dan berbagai beladiri lainnya, membuat dirinya sering diikutkan lomba dalam berbagai bidang beladiri dan sama seperti Calip, Sahar sering saja mendapatkan juara di tingkat nasional.
Saat mereka berempat berkumpul seperti ini, percakapan yang biasa dilakukan mereka berempat benar-benar dilakukan. Mulai dari masalah yang dihadapi oleh salah satu mereka, hal yang mereka pikirkan, atau hal-hal lain yang menurut mereka pantas dibicarakan dan menarik untuk mereka bahas.
Obrolan merekapun pada awalnya masih seperti biasa mereka lakukan. Namun saat pertengahan dari percakapan mereka, Ian pun dengan sigapnya langsung memasukkan masalah yang ia hadapi kedalam percakapan mereka berempat.
“Teman-teman..! ada hal yang ingin kutanyakan...! Menurut kalian, untuk apa seorang laki-laki bisa jatuh cinta kepada perempuan...?”
Mendengar pertanyaan dan melihat ekspresi Ian yang keliatan memikirkan suatu hal, timbullah pertanyaan dalam diri mereka bertiga saat itu. Khususnya Sahar yang dimana ia sangat tahu kalau Ian sebelum ini tidak pernah mengeluarkan pertanyaan seperti ini.
“Ian..., memangnya, kenapa kamu menanyakan hal itu....?” tanya Sahar.
“Jawab saja Sahar! Kalau kalian menjawabnya, aku akan langsung memberitahukan alasanku menanyakan hal ini kepada kalian..!”
Calip dan Dirga pun langsung berbalik ke arah Sahar seolah ingin mengetahui respon apa yang akan dikeluarkan oleh Sahar nantinya. Sedangkan Sahar yang mendengar pernyataan Ian tadi, hanya bisa tersenyum seolah hal itu memberikan kode ke Calip dan Dirga yang berbalik ke arah dirinya untuk mengikuti saja apa yang dikatakan oleh Ian.
“Baiklah kalau aku Ian, menurutku karena...., perempuan itu sangatlah cantik,baik dan rendah hati Ian!” ujar Sahar.
“Y-yah...., kalau aku, alasannya itu karena..., si perempuan itu mestilah pintar! Apalagi kalau dianya itu jago IT.” Ujar Calip.
“Sedangkan aku..., cukup dia tidak hal yang muluk-muluk, dan perhatian. Paling-palingan itu kalau aku sih...” ujar Dirga.
“Jadi Ian...., kamu sudah paham sekarang?!”
Saat giliran Dirga untuk menjawab pertanyaan Ian telah selesai, Saharpun langsung berharap Ian sudah mendapat jawaban dari pertanyaannya tadi.
“Maaf Sahar, aku masih merasa tidak mendapatkan jawabannya! Selain itu, saat mendengar jawaban kalian tadi, aku malahan makin tidak mengerti. Karena yang bisa aku tangkap daari jawaban kalian, kalian hanya ngeberitahu tentang ciri-ciri perempuan yang kalian suka saja!”
Mendengar pernyataan Ian tersebut, Sahar,Calip dan Dirga pun memasang muka lemas ke arah Ian yang membuat Ian yang melihatnya merasa bingung.
“Ian...,kamu masih tidak mengerti yah! Inti dari jawaban aku,Calip dan Dirga itu adalah alasan laki-laki itu menyukai perempuan karena perempuan itu memiliki kriteria yang disuka oleh laki-laki tersebut!”
“O-o-ohh...., a-aku mengerti sekarang....!”
Saat Ian akhirnya menjawab seperti itu, lalu ditambah dengan ekspresinya yang memang memperlihatkan kalau dirinya benar-benar mengerti, Sahar dan lainnya pun menghela napas mereka.
“Ian...,Ian..., aku tidak percaya kalau kamu yang biasanya saat dipelajaran, jago memahami kata-kata sesulit bagaimanapun. Tapi saat mendengarkan jawaban kami, kamu langsung tidak ngerti!” ujar Calip yang menyayangkan perilaku temannya tersebut.
“Hahahah....., maaf-maaf ! Kan juga aku manusia biasa. Jadi pastinya ada masanya aku tidak mengerti juga kan!”
“Benar juga sih...!” ujar mereka bertiga sambil masih menampakkan muka lemas ke arah Ian.
Kemudian tidak sampai 1 menit suasana diantara mereka yang terjadi, Sahar pun langsung menatap tajam ke arah Ian.
“Baiklah Ian! Sekarang..., kembali ke awal! Apa alasanmu bertanya seperti itu Ian...?!” ujar Sahar dengan nada bicara yang terdengar sangat serius.
Saat Sahar berkata seperti itu, Calip dan Dirga pun juga menatap ke arah Ian dengan perasaan bertanya-tanya yang sebelumnya hilang saat mereka menjawab pertanyaan Ian tadi. Sedangkan Ian yang terlihat paham dan menerima jawaban dari teman-temannya tersebut, lalu mulai menerangkan tentang hal-hal terjadi yang pada dirinya. Mulai dari dirinya yang dinyatakan cinta oleh Tika, sampai dimana Ian mulai menyadari kalau ada yang salah dengan dirinya.
Setelah Ian menjelaskan semuanya, teman-temannya pun hanya bisa memperlihatkan ekspresi-ekspresi yang berbeda. Sahar pun menyikapinya dengan sikap tenang. Lalu Dirga ekspresinya terlihat mindblow, sampai-sampai dirinya pun terlihat agak bingung dan hampir tidak bisa berkata apa-apa. Sedangkan Calip terlihat dari wajahnya, masih merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari Ian.
“Ian..., apa-benar-kalau yang kamu katakan itu benar adanya?” tanya Calip dengan ekspresinya yang masih sama.
“Benar Ian! Padahalkan pada umur segini, orang-orang pasti akan tertarik pada seorang perempuan. Masa kamu orang yang hebat kayak kamu ternyata tidak ada perasaan suka dengan perempuan?!” ujar Dirga yang rasa kaget ia rasa hampir sama dengan Calip.
“Sayangnya, begitulah keadaannya saat ini teman-teman.” Ujar Ian sambil terlihat pasrah akan keadaannya tersebut.
“Memangnya Ian, apa kamu benar-benar sedikitpun tidak ada rasa tertarik pun pada perempuan...? atau, jangan-jangan kamu aja yang belum menemukan kriteriamu Ian!?”
Seolah-olah jawaban Sahar tadi merupakan yang benar, ekspresi kaget, bingung dan tidak percaya dari wajah Calip dan Dirga pun hilang dan berubah menjadi optimis bahwa perkataan Sahar tadi merupakan solusi dari masalah Ian.
“Kalau seperti itu, maka pastinya perempuan-perempuan yang memberitahukan perasaan mereka, akan membuatku merasa tertarik. Atau paling tidak membuatku ada sedikit perasaan timbul saat aku melihat mereka. Karena..., perempuan-perempuan itu....,Mereka semua...., sudah memiliki berbagai kriteria untuk seorang perempuan yang diidamkan laki-laki yang ada”
“Cantik,baik,pintar, ramah....,ciri-ciri perempuan ideal, bahkan perempuan yang biasa saja, mereka semua telah menyatakan cinta mereka padaku. Dan..., aku pun yang tidak memiliki rasa tertarik pada mereka hanya bisa menolak lalu akhirnya meminta maaf ke mereka!” ujar Ian yang terlihat sangat kecewa kepada dirinya.
Sahar dan yang lainnya pun yang meski memiliki berbagai hal atau saran dalam pikiran mereka, hal itu tidak akan mereka sampaikan. Ekspresi mereka bertiga pun yang tadinya berbeda-beda, sekarang ekspresi mereka pun langsung sama, yakni wajah prihatin dan kasihan kepada Ian yang sikapnya memang sangat baik kepada semua orang, namun pada saat dirinya dinyatakan cinta oleh seseorang, jawaban yang ia keluarkan hanyalah penolakan darinya karena tidak adanya rasa tertarik dari Ian.
“Kalau begitu Ian, aku akan memberikanmu suatu saran! Dan sebenarnya..., daripada dibilang saran, mungkin yang aku katakan ini adalah kata-kata untuk pengoptimis saja Ian.”
Ian yang mendengar kata-kata Sahar tadi, kemudian pandangan dan kefokusan dari dirinyapun langsung tertuju ke arah Sahar. Begitupun pula Calip dan Dirga yang masih murung akibat mendengar kata-kata Ian tadi.
“Yaitu..., Jujur Ian, aku masih dalam pendirianku kalau alasan kamu menolak perempuan-perempuan itu karena mereka bukanlah tipemu! Jadi...,aku menganggap alasanmu itu bukanlah jawaban dari masalahmu Ian. Setidaknya bersabarlah, coba kamu tunggu perempuan yang kamu suka itu, paling tidak sampai akhir semester. Dan, kalau memang ternyata kalau alasanmu itu adalah jawabannya, maka hal itu akan kita urus nanti. Yang penting cobalah dulu, Ian!”
Sebuah saran yang terdengar sederhana, terlalu biasa dan bahkan bisa dipikirkan oleh Ian sendiri kalau dirinya mau melakukannya. Namun, kata-kata Sahar yang agak rumit dan maksud sarannya seperti itu, malah membuat Ian yang mendengarnya langsung termotivasi. Semua perasaan risau, dan khawatirnya kemudian hilang, dan berubah menjadi sikap optimis yang lumayan membara.
“Baiklah..,setidaknya hal itu membuatku lebih baik daripada sebelumnya. Terima kasih Sahar!”
Sahar dan yang lainnya pun hanya bisa merasa lega saat Ian berterima kasih kepada Sahar. Dan setelah beberapa lama, tajuk cerita mereka pun berganti ke arah lain. Lalu, Ian yang semenjak hari itu terus menerima permintaan perempuan untuk ditembak, dan selalu berharap bahwa suatu hari nanti akan ada benar-benar perempuan yang membuat Ian merasa tertarik, disukai dan bahkan jatuh cinta kepada seorang perempuan.
Waktu pun berlalu, setelah 1 bulan semenjak Ian masuk di sekolah itu atau tepatnya pada bulan september. Harapan Ian pun untuk menemukan perempuan yang ia sukai mulai sirna. Pikiran Ian mengenai alasan dirinya tidak menyukai perempuan pun makin kuat dan makin membuat dirinya tambah yakin bahwa ada yang salah dengan dirinya.
Yang pada akhirnya membuat Ian kembali ke kebiasaannya, yakni dengan memikirkan sendiri jawaban dari masalah yang dihadapinya. Mulai dari memikirkannya dengan hal yang paling rumit, sampai dengan cara berpikir yang sangat sederhana.
Hingga suatu hari, sebelum waktu pelajaran pertama dimulai, Ian yang sudah merasa tidak ada lagi jawaban yang ia dapatkan hanya bisa memikirkan suatu kesimpulan yang sederhana. Yang dimana saat Ian mengatakan hal itu di dalam hatinya, dirinya pun hanya bisa meratapinya dan menanggapinya dengan sikap yang tenang.
“Ternyata memang benar kalau dikehidupan ini tidak ada yang sempurna. Semua orang bilang kalau aku ini katanya gagah, atletis,pintar,baik,mudah berteman dan mandiri, jadinya mereka pun menjulukiku sebagai orang yang sempurna. Tapi akhirnya,aku malahan memiliki 1 kekurangan.
“ Haaahh......., aku tidak tahu apakah kekuranganku ini merupakan berkah atau kutukan. Namun, meski hal ini merupakan berkah, tetap saja hal ini malahan membuatku merasa berbeda dengan orang lain. Aku harap, kekurangan yang ada dalam diriku ini hilang, meski hal itu malah membuat kelebihanku yang lain menjadi hilang”
“Kring...,kring...,kring...!”
Lonceng berbunyi di sekolah Ian yang menandakan bahwa waktu pembelajaran pertama pun dimulai. Ian yang saat itu berada di taman sekolah sedang memandangi pohon besar yang ada di sana, sambil memikirkan dan berbicara pada sendirinya tadi, lalu bergegas menuju ke kelasnya untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
Entah apakah pada saat itu cuaca, atau arah angin yang ada. Namun, selama Ian meninggalkan taman sekolahnya angin yang ada di sana terasa sangatlah kencang. Seperti siap membawa apapun yang ada di sekitarnya. Kemudian dibawa ke tempat yang entah kemana.
Saat itu, apakah memang karena angin itu atau memang hal ini adalah hal yang ditakdirkan. Tapi, pada hari itu, kata-kata yang diucapkan Ian pada dirinya, entah kenapa kalau hal itu membuat diri Ian terlibat dalam jalur takdir yang agak rumit untuk dirinya sendiri.
Ian pun pada akhirnya sampai di sekitar kelasnya, dan meski waktu telah memperlihatkan telah lewat dari 3 menit dari waktu seharusnya, suara dan keributan yang terdengar di kelasnya pun masih terdengar, bahkan seolah-olah guru belum masuk dan mengajar disana.
Kemudian dengan perasaan lega, Ian pun memasuki kelasnya meski masih ada perasaan bertanya-tanya akan kelasnya yang belum kedatangan guru pada waktu itu. Padahal Ian sangat tahu bahwa guru yang mengajarnya pada waktu ini sangat terkenal untuk datang tepat waktu. Dan meski terlambat, tidak akan memakan waktu sampai bermenit-menit.
Selama masa kebingungan itulah Ian secara tidak sengaja mendengar pembicaraan dari teman kelasnya yang bersebelahan bangku dengan dirinya.
“Aku harap dia itu orangnya baik. Dan kalau bisa baiknya itu kayak Ian!”
“Kamu...,janganlah terlalu berharap orangnya akan seperti Ian. Yang penting itu orangnya itu baik, daripada tidak ada.”
“Benar juga. Ngomong-ngomong..., apa dia itu laki-laki atau perempuan....?”
“Yah...,kudengar dianya itu perempuan.”
Ian pun makin bertanya-tanya akan hal yang diceritakan tentang teman yang disebelahnya tersebut. Tidak hanya itu, Ian pun tersadar bahwa sebagian besar teman dikelasnya ternyata hampir membicarakan topik yang intinya adalah hal yang sama.
“Maaf teman-teman mengganggu memotong pembicaraan kalian! Tapi..., aku ingin bertanya. Memangnya...,apa yang sedang dibicarakan semua orang sih?”
Saat itu, kedua teman yang berbicara di sebelah Ian tersebut, dengan wajah yang agak kaget lalu menatap satu sama lain beberapa detik. Setelah itu, mereka pun berdua berbalik arah lagi ke arah Ian sambil menatap Ian dengan tatapan penuh tanya sembari berkata.
“Ian...! Bukannya waktu hal itu disampaikan, kamu hadir?!”
“Atau jangan-jangan, kamu lupa kalau hari ini ada apa?!”
Ian yang makin tidak mengerti akan arah pembicaraan kedua temannya tersebut, hanya bisa mencoba mengingat kembali tentang apa yang terjadi pada hari ini. Atau penyampaian apa mengenai hal yang terjadi pada hari ini.
“Memangnya..., kapan penyampaian yang kalian maksud itu disampaikan...?”
“Yah.., kalau tidak salah, sekitar 3 menit saat waktu istirahat, waktu kemarin.”
Ian pun langsung mencoba mengingat kembali kejadian apa yang ia lakukan pada hari itu sehingga dirinya bisa tidak mengetahui tentang penyampaian tersebut. Belum sampai 3 detik dirinya berpikir, Ian pun terlihat terhentak dan menyadari akan alasan kenapa dirinya tidak tahu akan penyampaian ini.
“Sepertinya kalian lupa yah, kalau waktu itu, aku di suruh oleh guru untuk ngebantu periksa tugas waktu itu. Dan baru selesai saat waktu istirahat selesai.”
“Oh..iya, kami lupa Ian, kalau waktu itu kamu pergi.” Ujar salah satu teman Ian yang terasa terhentak saat mengingat waktu itu.
“Jadi...., bisa kalian beritahu, memangnya penyampaian yang kalian maksud itu apa...?”
“Sebenarnya Ian, kemarin ada penyampaian dari Ketua Kelas kemarin. Dia diberitahu kalau hari ini di kelas kita, akan kedatangan siswa baru”
“Dan didengar-dengar, kalau siswa baru itu adalah perempuan!”
“Begitu yah...! Terima kasih kalau begitu. Dan... maaf, mengganggu waktu bicara kalian tadi!”
“Eh-eh...,tidak apa-apa kok Ian!”
“Iya tidak apa kok!”
Ian pun kemudian kembali duduk di bangkunya sambil tetap memikirkan mengenai siswa baru tersebut. Dan karena siswa baru tersebut katanya perempuan, Ian harap apabila siswa baru tersebut di tolak olehnya, mudah-mudahan si siswa baru tersebut tetap bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi diantara mereka.
Saat Ian membayangkan hal itu, guru yang mengajarnya pada hari itu pun tiba, yang dibelakang guru itupun terlihat siswi perempuan yang bisa dipastikan kalau dirinya adalah siswi baru di kelas Ian saat ini.
Siswa laki-laki yang ada saat itupun hanya bisa terkagum akan kecantikan dari siswi tersebut. Meski dibandingkan dengan beberapa siswi di sekolah itu, siswi baru itu masih kalah. Dan siswi perempuan yang ada, hanya bisa berbisik-bisik mengenai kesan pertama yang diberikan oleh siswi tersebut sangatlah baik.
Sedangkan Ian yang saat itu berbalik ke arah yang lain, pada saat mendengar suara langkah kaki dari guru dan siswi baru tersebut, ditambah teman kelasnya, dirinya pun lalu berbalik ke arah siswi baru tersebut.
Kemudian selama waktu siswi tersebut masuk ke ruang kelas sampai berdiri di depan kelas yang berlansung sekitar 5 detik, Ian pun pada saat melihat siswi itu, merasakan sebuah perasaan yang ia ingat selama ini tidak pernah ia rasakan.
Sebuah perasaan yang bahkan meski ia tahu namanya, tapi dirinya tidak pernah merasakannya. Sebuah perasaan yang selalu ingin ia rasakan kepada perempuan yang ia tolak selama ini. Sebuah perasaan, yang paling ingin ia cari agar dirinya dianggap normal. Dan, sebuah perasaan yang Ian katakan ingin ia rasakan, meski kelebihannya harus hilang. Yakni, perasaan menyukai seorang perempuan.
“Baiklah..! siswa sekalian, seperti yang sudah dikabarkan hari ini, bahwa di kelas kalian telah kedatangan siswi baru.”
Saat si guru memulai mengatakan kata-kata pembuka untuk perkenalan siswi baru tersebut. Perasaan yang ia rasakan itu seolah-olah hilang, layaknya sebuah balon meletus, yang membuat Ian tentu saja merasa agak terhentak.
Ian pun berusaha mencoba lagi merasakan hal tadi dengan menatap siswi itu, mulai dari atas kepala sampai kebawah kakinya. Namun perasaan suka yang Ian rasa tadi, tidak dirasakannya. Ian pun kemudian mencobanya dengan menatapnya lebih fokus, namun tetap saja tak berhasil.
Dan saat Ian akhirnya menyerah untuk melakukannya, pertanyaan barupun muncul di benak Ian yang sebenarnya sudah dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membuatnya bertanya-tanya.
“Siapa dia...? Siapa perempuan itu...?”
Sebuah pertanyaan yang pada akhirnya membuka gerbang baru lagi di kehidupan Ian yang sudah dipenuhi dengan banyak pertanyaan dalam pikirannya saat ini. Pertanyaan yang memulai kejadian diantara Ian dengan siswi baru tersebut.