Panas. Ruang OSIS yang posisinya berada dekat jalanan memang selalu terasa panas, apalagi ini baru mulai musim hujan. Udaranya masih lembab dan menyesakkan. Tapi ada alasan kenapa panas di ruangan ini menjadi-jadi, membuat keringat siapapun yang ada di ruangan itu pasti menetes. Bahkan ada murid-murid perempuan yang membawa kipas portabel demi mengurangi rasa panas itu. Aku mengernyit melihat mereka, karena di cuaca panas begini, mereka mau saja memakai make up lengkap.
“Rancangan anggaran macam apa sampai segini banyaknya cuma buat klub-klub kecil?”
Suara itu meninggi. Suara berikutnya aku sangat hafal.
“Gimana mereka mau berkembang kalau mereka nggak dikasih kesempatan dan dana??”
“Ya mereka harus berprestasi dulu kalau mau ditambah dananya!”
Benar-benar perdebatan duluan mana telur atau ayam. Aku menghemat napas dengan tidak menghela napas. Di satu sisi, si Ketua OSIS, kakak kelas bernama Hamka, terkenal sangat disiplin. Bahkan sesekali di tengah perdebatan, dia melemparkan pandangan menghina ke murid-murid perempuan yang bermake up lengkap, karena itu melanggar peraturan sekolah tentang kepantasan berseragam. Belum lagi kaus kaki warna-warni. Padahal jelas hanya kaus kaki putih dan hitam yang diperbolehkan. Abu-abu paling banter dibolehkan. Dan yang paling parah, mereka jelas bukan anggota OSIS. Mereka ke sana karena ini rapat tahunan yang melibatkan seluruh anggota OSIS. Dan mereka pikir nggak masalah karena bakal ada banyak orang dan para ‘Pejabat’ dikiranya tidak akan tahu siapa dan dari divisi mana mereka.
Sayangnya, temanku bilang, seluruh pejabat tinggi OSIS tahu wajah-wajah anggota lain, bahkan yang tidak menonjol sepertiku. Temanku, yang berdebat dengan Ketua, adalah Bendahara yang merancang keuangan OSIS tahun ini. Dia kalah dalam pemilihan karena, sudah jelas, dia masih kelas sepuluh. Dijadikan Bendahara padahal masih kelas sepuluh adalah suatu kehormatan dan prestasi tersendiri. Yuki (dia blasteran Sunda-Jepang), melotot ke Hamka. Aku meringis, berdoa semoga tatapan Hamka tidak bisa membunuh. Aku masih mau sahabatku keluar hidup-hidup dari Ruang OSIS.
Di seberang, ada seseorang lain yang kukenal. Yah, satu sekolah juga kenal sih. Dia teman baik Ketua OSIS, dan menjabat sebagai Ketua Divisi Kedisiplinan dan Keamanan . Kadang dia merangkap humas. Kadang dia merangkap ‘asisten’ Kak Hamka. Serba bisa, dan dia salah satu alasan para murid perempuan non-OSIS datang. Bisa ditebak alasannya. Dia keren, tubuhnya tinggi, kalem, tapi bukan berarti cuek. Kenapa kami saling kenal? Karena, tanpa sepengetahuan sahabatku, yang rumahnya sebenarnya lumayan dekat dengan rumahku, rumah Kak Dilar jaraknya hanya 4 rumah dari rumahku, dan satu-satunya klinik hewan di kompleks. Entah Yuki yang memang cuek, nggak pernah lihat, atau memang nggak mau tahu sampai dia tidak pernah sadar kalau sahabat dari ‘musuhnya’ tinggal hanya berjarak satu lemparan batu dariku, sahabatnya.
*
Rapat masih belum berakhir. Aura permusuhan masih memancar dari Ketua dan Bendahara II. Aku yang hanya anggota Divisi Seni dan Budaya menatap ketua divisiku, yang meringis melihat bagaimana debat masih berlangsung. Dia berbisik padaku, “bakal ketahan sampe sore nih.”
Aku mengangguk, akhirnya menyerah untuk tidak menghela napas. “Kayaknya postpone besok lagi ini.”
Kak Yosi menggeleng, “padahal ini masih Bendahara. Divisi kita terakhir sebelum Kerohanian.” Seniorku itu mengatakannya sambil sedikit menggerutu. Aku hanya tertawa gugup karena, jujur, Kak Yosi memiringkan badannya sedikit terlalu dekat denganku. Aku menunduk karena tidak berani melihat ke seberang. Sialnya, Hani, yang duduk di depanku membalikkan badan untuk meminjam bolpoin, sementara Kak Yosi masih menggerutu.
Aku tidak punya pilihan lain selain mendongak. Dan sekali lagi, berdoa semoga tidak ada tatapan siapapun di dunia ini yang bisa membunuh. Tapi tetap saja, rasa bersalah yang menusuk menyergapku.
“Heh! Kenapa Si Dilar melotot ke sini?” Kak Yosi menyipitkan mata, aku mulai panik.
“Jangan-jangan kalian juga musuhan kayak Yuki sama Hamka ya?” dia mengangguk, “ati-ati, jangan-jangan dia ikut musuhin kamu karena dia sahabatnya Hamka dan kamu sahabatnya Yuki.” Dia mewanti-wanti, lagi-lagi mendekat ke jarak yang tidak perlu, aku sudah menjauhkan badan, tapi tetap saja tatapan itu menghujam dan membuat rasa bersalah bersarang, meski sudah jelas aku tidak melakukan hal yang benar-benar salah.
“Mau kupelototin balik? Biar dia nggak berani sama kamu?” katanya dengan sikap gentleman yang tidak perlu.
Aku menggeleng, masih tertawa gugup. Dalam hati berkata, ‘Bukan gitu…..’
*