“Jujur dan terbuka sangat dibutuhkan dalam suatu hubungan. Itu menandakan bahwa kita telah percaya dengan dia yang berada di dekat kita.”
Saat ini dito sedang menelponku, dia berkata dia rindu. Sebenarnya aku ingin menceritakan masa laluku ke dia, apa aku salah ingin menceritakan kisahku yang kelam kepadanya? Apakah tak apa jika menceritakan kepadanya? Bagaimana perasaannya nanti saat dia tau hal ini? Uhh, banyak sekali ketakutan yang muncul di pikiranku. Tetapi, aku sangat ingin menceritakan kepadanya. Akhirnya beberapa saat kami diam tidak ada pembicaraan lagi, aku pun mulai memberanikan diri untuk menceritakannya.
“Dit.. sayang..” Ucapku dengan pelan.
“Iya sayang ada apa?” Sahutnya di balik telpon.
“Nggak apa manggil aja hehe.” Sahutku dengan tidak memberanikan diri untuk menceritakannya.
“Yakin manggil aja?” Tanya dito dengan penasaran.
“Sebenarnya ingin cerita tapi..” Sahutku berhenti sejenak.
“Cerita aja sayang, nggak apa kok.” Sahut dito dengan lembut.
“Tapi kamu jangan marah ya, aku takut.” Sahutku sambil bicara perlahan.
“Marah kenapa? Emang kalo aku marah aku makan kamu, nggak kan? Nggak apa cerita aja sayang, aku ga marah kok.” Sahut dito dengan meyakinkanku.
“Janji?” Sahutku.
“Iya janji.” Jawab dito dengan tegas.
“Kamu kenal arga?” Tanyaku dengan perlahan.
“Iya tau tapi nggak kenal dekat, arga yang satu organisasi sama kita itukan?” Tanya dito dengan penasaran.
“Sebenarnya itu aku pernah dekat sama arga.” Sahutku dengan takut-takut.
“Ohh dulu yaa, kenapa nggak jadian?” Tanya dito dengan penasaran.
“Nggak apa sih hehe. Waktu itu saat kita mau lihat senja yang nggak jadi itu, dia juga ada disana saat itu.” Sahutku sambil tertawa kecil.
“Ohh gitu.” Sahut dito dengan cuek.
“Kenapa? Kamu marah?” Tanyaku dengan pelan.
“Ngapain marah?” Sahut dito dengan cuek.
“Tapi kayak nggak suka gitu aku cerita, yaudah deh nggak usah dilanjutin.” Kataku dengan pelan.
“Nggak apa kok, lagian kan itu masa lalu kamu. Bagi aku masa lalu itu nggak perlu dipermasalahkan, dijadikan pelajaran untuk hubungan selanjutnya aja sayang.” Ucap dito dengan tegas dan meyakinkan aku.
“Makasih ya sayang, maafin aku yaa yang cerita-cerita tentang masa lalu aku.” Sahutku dengan pelan.
Entah apa yang ada di pikirannya dito, padahal aku belum selesai cerita.
“Ohya kamu sekelas kan sama azura? Dia itu cewek pertama yang kenal aku waktu aku baru masuk ke kampus ini, aku senang dekat sama dia karena dia baik banget dan peduli gitu.” Sahut dito cerita.
“Kenapa nggak dipacarin?” Tanyaku dengan sinis.
“Nggaklah dia kan teman aku. Aku cuman senang gara-gara dia peduli, kan aku anak rantauan waktu itu jadi nggak tau apa-apa disini.” Sahut dito menceritakan masa lalunya.
“Sepertinya dito nggak mau kalah gara-gara aku menceritakan masa laluku, jadi dia ikut-ikutan menceritakan kisahnya. Dito-dito lucu banget sih haha.” Pikirku dalam hati sambil senyum-senyum.
“Ohh jadi ceritanya kita lagi ceritain mantan gebetan nih?” Sahutku bercandain dito.
“Ya aku sih nggak, azura kan teman aku. Kalo kamu mungkin iya.” Sahut dito seolah-olah cemburu.
“Hahahaha.” Tertawaku dalam telpon.
“Kok ketawa?” Tanya dito seolah-olah marah.
“Nggak apa lucu aja.” Sahutku langsung berhenti tertawa.
Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit aku mulai mengenal dito. Aku mulai mengetahui sifatnya. Dia yang kadang kekanak-kanakan, dia yang sering bercanda, dan kadang dia juga ada seriusnya.
Dit, maafkan aku ya.. Karena sampai saat ini aku belum ada rasa apapun sama kamu. Mungkin memang belum saatnya, suatu saat nanti pasti ada dit... Pikirku dalam hati.
“Besok temenin aku ngerjain tugas yuk.” Tanya dito kepadaku.
“Di rumah aja sayang, aku lagi malas keluar.” Sahutku dengan nada malas.
“Yaudah besok aku ke rumah yaa, udah tutuplah telponnya.” Sahut dito menyuruhku menutup telpon.
“Kamulah yang tutup telpon.” Sahutku berlama-lama sambil bercandain dito.
“Yaudah kalo nggak mau tutup, dibiarin aja deh haha.” Sahut dito tertawa.
“Haha yaudah aku deh yang tutup, love you..” Sahutku dengan pelan.
“Apaan nggak kedengaran.” Sahut dito dengan berpura-pura.
“ I love you.” Sahutku dengan nada pelan, aku sengaja melakukannya agar aku terbiasa dan mungkin rasa ini akan segera tumbuh.
“ I love you too hehe.” Sahut dito sambil tertawa kecil.
“Sudah yaa aku tutup dulu, bye.” Sahutku sambil mematikan telpon.
Kata-kata itu selalu kami ucapkan setiap hari. Bagi dito kata itu sebagai pembuktian kalo dia benar-benar menyukaiku, bahkan bukan hanya suka tapi cinta. Bagi dia, perkataan seperti itu adalah pembuktian yang tersembunyi.
Setibanya di rumahku, aku langsung menyuruhnya untuk masuk ke dalam. Dan dito pun langsung menduduki kursi yang selalu dia duduki setiap datang ke rumahku. Aku berjalan ke dapur untuk mengambil cemilan dan berbalik ke ruang tamu sambil membawa cemilan tersebut.
“Wahh, nggak usah repot-repot sayangku.” Sahut dito sambil berdiri membantuku menbawa cemilan yang lumayan banyak.
“Gapapa sesekali, lagian kan mau belajar jadi harus ada cemilan dong hehe.” Sahutku sambil tertawa kecil.
Aku pun duduk di kursi yang berbeda dengan dito. Tiba-tiba dito berdiri dari tempat duduknya dan duduk di sebelahku. Duduk kami tidak berdekatan seperti ada jarak satu orang antara aku dan dito, dia langsung mengambil laptopnya dari tas dan menghidupkan laptop tersebut, lalu meletakkan laptop itu di atas meja yang penuh dengan makanan.
Saat laptopnya menyala, aku langsung duduk di bawah dengan dito duduk di atas kursi. Aku membuka-buka foto yang ada di laptop dito, lalu aku menemukan foto dito semasa SMA dulu.
“Nah kamu yang mana nih?” Ucapku sambil memperlihatkan laptopnya.
“Jelek aku disitu, nggak usah dilihatlah.” Ucap dito langsung mengubah foto yang barusan aku perlihatkan kepadanya.
“Iss nggak apa, pasti ini kan? Kok item? Terus paling belakang kayak terasingkan gitu hehe.” Ucapku sambil mengembalikan foto yang tadi ku lihat dengan mengejek dito.
“Iya aku dulu emang item, ya namanya cowok kan pasti main terus lah. Aku nggak punya teman makanya berdiri di belakang sendirian.” Ucap dito dengan wajah sedih.
“Uhhh cupcup, masa pacarku nggak punya teman sih?” Ucapku sambil memukul pelan kaki dito yang berada di sebelahku.
“Iya beneran, itu fotoku waktu kelas 2 SMA. Tapi sekarang udah gantengkan? Hehe.” Sahut dito dengan tertawa.
“Iya-iya ganteng kok, ganteng banget malahan. Tapi kok bisa nggak punya teman?” Tanyaku penasaran kepada dito.
“Itu baru pindah kelas jadi masih belum kenal semua. Terus aku itu orangnya susah mau ngedekatin orang duluan, makanya jadi susah punya teman.” Sahut dito sambil menceritakan kisahnya yang kelam.
“Ohh gitu, nanti aku ubah deh kamu biar bisa dekat sama banyak orang dan jadinya banyak teman deh.” Sahutku menyemangati dito.
Aku pun naik ke atas tempat duduk yang tadi aku duduki yaitu di sebelah dito. Dito mulai mengerjakan tugasnya dan beberapa jam kemudian tugasnya sudah selesai dengan cepat.
“Udah selesai.” Sahut dito sambil mematikan laptop.
“Cepat banget, beneran tuh udah selesai?” Tanyaku dengan serius.
“Iya beneran sayang.” Sahut dito sambil meminum air es.
Tiba-tiba handphone dito berbunyi pesan masuk dan kebetulan diletakkannya di atas meja. Tanpa sengaja aku melihat pesan tersebut, dan pesan itu berbunyi: “Dit, apa kabar?”
Setelah aku melihat pesan itu kemudian aku bertanya kepada dito: “Itu siapa dit? Lofa?”
“Lofa itu mantanku waktu SMA.” Ucap dito sambil melihat handphonenya.
“Kenapa nggak dibalas?” Tanyaku kepada dito.
“Ngapain dibalas sayang.” Ucap dito dengan nada kesal.
“Mungkin aja penting sayang.” Jawabku mulai murung tetapi dengan menyuruh dito membalasnya.
“Aku nggak pernah membalas pesan dia lagi dari dulu.” Ucap dito mulai kesal.
“Terus kok dia masih ngehubungi kamu?” Tanyaku penasaran.
“Entahlah, padahal sudah aku bilang kalo kita nggak ada apa-apa lagi. Dia masih aja kirim pesan terus sama aku, bahkan sudah hampir aku berkata kasar kepadanya.” Sahut dito dengan nada kesal.
“Emang ada masalah apa sampai kamu kayaknya membenci dia.” Tanyaku dengan penasaran.
“Sayang, sudahlah ya nggak usah ngebahas dia lagi. Dia itu sudah jadi bagian dari masa lalu aku. Sekarang kita fokus aja sama hubungan kita yaa sayang, kamu percayakan sama aku?” Ucap dito sambil meyakinkan aku dan meraih tanganku.
Aku pun mengangguk dan terdiam saat dito memegang tanganku, dan ini merupakan pertama kalinya setelah kita pacaran. Dito duduk mendekatiku tanpa ada jarak lagi di antara kami hingga begitu dekatnya, dan dia terus menggenggam tanganku dengan eratnya. Dia mengelus tanganku di tangannya seolah-olah dia ingin mengatakan bahwa aku harus mempercayainya.
Entah kenapa rasanya hangat dan jantungku terus berdebar kencang seakan mau meledak. Saat itu juga rasanya suhu tubuhku meningkat dan menjadi panas. Apakah aku sudah mulai menyukainya? Apakah rasa ini telah muncul? Rasa yang berbeda dari biasanya, yaitu rasa cinta.
Aku berusaha untuk melepaskan tanganku dari tangannya, namun dia menarik kembali tanganku dan menggenggam tanganku di sela-sela jarinya seperti dia tak mau melepaskanku walaupun sedetik.
Jantung ini kembali lagi berdegup bahkan dengan sangat kencang dan rasanya sampai tak bisa bernafas. Kemudian dito memegang pipiku dan menghadapkan ke wajahnya, lalu dia berkata:
“Sayang, kamu percayakan? Aku nggak mau kamu berpikiran aneh-aneh, aku sudah terbuka kok sama kamu. Semuanya selalu aku ceritain ke kamu, jadi kamu harus percaya ya sayang.” Ucap dito sambil mengelus pipiku dengan tangan kanannya dan tangan kirinya menggenggam tanganku.
“Iya sayang aku percaya kok, karena bagi aku suatu hubungan itu diawali dengan kepercayaan. Jika aku sudah percaya sama kamu, itu berarti kamu adalah orang yang sangat berarti bagi aku.” Jawabku sambil menatap mata dito.
“Eh ngomong-ngomong ini jerawat ya? Kok gede, aku pecahin ya?” Sahut dito sambil memegang jerawatku.
“Jangannn nanti malah menyebar kemana-mana kalo dipecahin.” Sahutku sambil melepaskan tangan dito dari pipiku.
“Hahaha sini coba kamu pegang wajah aku ada jerawat nggak?” Ucap dito sambil menarik tanganku dan meletakkan ke pipinya.
“Iya taudeh yang bersih wajahnya.” Jawabku sambil melepaskan tanganku dari pipinya.
Tiba-tiba dito menarik tanganku kembali dan menciumnya. Lalu dia berkata: “Jangan marah ya sayang.”
“Iss apaan sih kamu dit.” Sahutku dengan tertawa dan melepaskan tanganku kemudian mencubit pipi dito.
“Hmmm udah berani yaa cubit-cubit pipi.” Sahut dito sambil tertawa mengejekku.
“Apaan sih.” Jawabku dengan pelan dan malu-malu.
“Aku pulang ya.” Sahut dito mengisyaratkan ingin ditahan agar jangan pergi.
“Iya pulanglah, tapi sabtu ini mau ikut nggak ngumpul sama teman SMA aku?” Tanyaku kepada dito.
“Jam berapa?” Tanya dito.
“Abis zuhur lah.” Jawabku.
“Iya aku temenin kok, sekalian aku jemput ya.” Ucap dito sambil berdiri.
“Okee.” Sahutku sambil memberikan dia jempol.
Dito berjalan keluar rumah lalu tiba-tiba dia berhenti dan balik badan.
“Kenapa? Ada yang ketinggalan?” Tanyaku yang sedang berdiri di hadapannya.
“Pelukkk.” Sahut dito dengan manja dan menyodorkan tangannya kepadaku.
“Iss nggaklah, udah sana pulang.” Sahutku sambil membalikkan tubuh dito ke arah motornya.
“Pelit..” Ucap dito sambil menggerutu.
“Apanya yang pelit?” Ucapku dengan nada meninggi.
“Nggak-nggak bercanda sayang hehe.” Sahut dito tertawa kecil dan menunduk dengan wajah kecewa.
“Hati-hati yaa.” Sahutku sambil melambaikan tangan.
Malam berganti siang, waktu terus berputar sesuai dengan porosnya dan perasaan ini semakin lama semakin tumbuh. Aku mulai menyukaimu, iya kamu dito. Entah ini hanya perasaan sementara atau bisa bertahan selamanya, aku pun tak tahu. Yang pasti setiap hari aku selalu merindukanmu dito.
Rindu, kata orang rindu itu sulit untuk dijelaskan. Ada yang bilang rindu itu menyakitkan, pedih saat tak bisa mengutarakannya. Ya sama seperti mereka, menurutku rindu itu hanya orang yang benar-benar rindu yang bisa mengartikannya.
Malam sebelum sabtu, aku dan sahabat-sahabatku membicarakan tentang rencana hangout kami untuk besok dalam grup whatsapp.
“Jadi nggak besok?” Tanya lena dalam grup.
“Aku sih bisa, ngumpul dimana?” Tanyaku dalam grup.
“Di cafe biasa kita ngumpul aja gimana?” Sahut lena dalam grup.
“Iya boleh-boleh, jam berapaan tuh?” Tanyaku.
“Aku juga bisa, jam 3 an aja gimana? Sorry ya baru respon, tadi ada kegiatan di kampus.” Sahut divya dalam grup.
“Jam 2 an aja div, kesorean jam 3.” Sahutku
“Oh yaudah jam 2 an aja. Lena bisa nggak?” Tanya divya.
“Boleh-boleh, aku bisa kok.” Sahut lena.
“Oke fix yaa besok jam 2 di cafe biasa.” Sahutku.
Hari ini adalah hari dimana saat aku akan bertemu dengan dito. Aku tak sabar menantikannya, karena terlalu rindu. Aku sudah siap untuk pergi bersamanya dengan mengenakan pakaian berwarna putih, karena putih adalah warna kesukaanku.
Aku menunggunya dan saat dia datang, ternyata dia juga mengenakan kemeja berwarna putih dengan celana berwarna coklat dan sepatu vans hitam andalannya. Dia terlihat tampan sekali, aku tak menyangka dia bisa serapi itu. Dia melihatku tersenyum dan dia berkata:
“Kamu cantik sekali day.” Sahut dito memujiku.
“Ah bisa aja kamu, kok kita kayak couple-couplean gitu yaa. Samaan bajunya, sama-sama putih. Kamu ikutan warna kesukaan aku yaa?” Sahutku sambil melihat sinis dito.
“Iya aku tau kamu pasti pakai baju putih soalnya baju kamu kebanyakan warna putih. Atau jangan-jangan baju kamu itu-itu aja?” Sahut dito dengan bergurau.
“Ya nggaklah, kamu lihatlah ini aja beda modelnya sama baju yang kemarin-kemarin, hufft.” Sahutku dengan wajah bete.
“Gitu aja ngambek, udah yuk jalan.” Sahut dito menyuruhku menaiki motornya.
“Bentar pamitan dulu sama bapak-ibu.” Sahutku berjalan ke dalam rumah dan berhenti berbalik ke belakang melihat dito. “Kamu jugaa.”
“Aku?” Sahut dito sambil menunjuk dirinya.
“Iyaaa dasar.” Sahutku sambil menunggunya melepaskan helmnya.
Setelah kami berpamitan dengan bapak dan ibu, kami langsung berangkat ke tempat janjian antara aku dan teman-temanku.
“Ohya sayang, kalo kamu cowok sendirian nggak apa lah ya. Hehe.” Sahutku sambil tertawa di atas motor.
“Iya nggak apa, untuk kamu apa sih yang nggak.” Sahut dito sambil mengendarai motor.
“Gombal mulu, nggak mempan sama gue.” Sahutku bercandain dito.
“Kok gue?” Sahut dito dengan serius sambil mengendarai motor.
“Iya-iya sayang, bercanda kok hehe.” Sahutku sambil tertawa.
Betapa rindunya, hingga aku ingin memeluknya. Tapi aku tak berani melakukannya, biar aku sendiri yang merasakan kerinduan ini. Aku hanya bisa mengutarakannya lewat ucapan.
“Rindu.” Ucapku dengan manja.
“Tumben, kenapa?” Tanya dito sesekali melihat ke belakang.
“Ga ada rindu aja, kamu nggak ya? Yahh aku rindu sendiri dong.” Sahutku dengan manja dan pelan.
“Kayak judul lagu rindu sendiri.” Sahut dito sambil menyanyikan sebaris baitnya.”
“Hem kamu mah aku serius, kamu bercanda. Aku bercanda, kamu serius.” Sahutku sambil cemberut.
“Kamu gatau aja aku sudah menahan rindu cukup lama. Padahal baru beberapa hari kita nggak ketemu tapikan sekarang ketemu jadi ga rindu lagi hehe. Udah ah pegangan ntar jatuh.” Sahut dito meyakinkanku bahwa ternyata dia juga merasakan apa yang aku rasakan.
Aku berpegangan pada kantong jaketnya, aku tak berani memeluknya padahal aku ingin sekali memeluknya untuk melepaskan rasa rindu ini. Setibanya kami di cafe, kami berjalan menuju pintu masuk dari arah parkiran yang lumayan cukup jauh. Aku berjalan di samping dito, dan membuka handphoneku untuk memberi kabar kepada sahabat-sahabatku. Dito langsung mengambil tangan sebelah kiriku dan langsung digenggamnya dengan wajah lurus melihat ke depan. Aku pun melihatnya, dan dia juga melirik ke arahku. Aku tersenyum kepadanya, begitupun dia. Kami berjalan sambil bergandengan tangan hingga masuk ke dalam cafe.
Saat sampai di dalam cafe, aku mencari-cari sahabatku dengan melihat di sekelilingku. Tiba-tiba ada yang memanggil namaku:
“Dayy... sini...” Sahut sahabat-sahabatku.
Sontak aku pun terdiam melihat ke arah mereka. Dan ternyata ada arga disitu. Arga juga terdiam melihat kami saat itu. Aku dan dito jalan menuju tempat yang diduduki mereka. Rasanya aku nggak bersemangat, entah kenapa arga bisa ada disitu dan duduk di sebelah lena. Apa benar selama ini yang aku bayangkan? Apa benar kenyataannya seperti ini? Kenapa aku begini, saat aku sudah mencoba membuka hati untuk yang lain?
Kemudian aku dan dito duduk di hadapan mereka. Aku sedang bermain peran, aku sedang menyembunyikan semuanya dan terlihat seperti bahagia.
“Udah lama yaa kalian disini.” Sahutku dengan wajah tersenyum namun di hati tidak.
“Nggak kok day, barusan juga kami datang.” Sahut lena dengan santai.
“Ehh ada arga, kok bisa sama kalian?” Tanyaku sambil terlihat ramah.
“Ini lho day, arga yang dulu. Arga yang nggak pernah dikenalin ke kita itu.” Sahut divya dengan semangat.
“Ohh jadi ini toh arga yang dulu itu. Jadi kalian balikkan nih ceritanya?” Sahutku dengan penasaran.
“Iya day, maaf yaa aku nggak pernah ceritain dia ke kalian hehe.” Sahut lena sambil melihat arga dan tersenyum.
Arga juga membalas senyuman lena dan sesekali melihatku dengan tatapan kosong. Ughhh, rasanya aku mau pulang saja. Rasanya sangat menyakitkan dan tau bahwa arga beneran mantannya lena waktu itu. Apa yang telah aku lakukan? Aku salah telah mencintai mantan pacar temanku sendiri, bahkan sekarang mereka kembali bersama.
Aku terdiam dan tak bisa menutupi kesedihan ini, tiba-tiba dito menyentuh tanganku dan memegangnya di bawah meja. Aku melihat ke wajah dito, namun dia tak melihatku. Pastinya dia juga sedang bermain peran, entah apa maksud dito saat ini. Seketika aku tersadar bahwa aku memiliki dito yang mencintaiku. Aku kembali memegang tangannya, agar dia percaya bahwa aku baik-baik saja dan sungguh tak apa. Aku berusaha bangkit dari keterpurukan ini dan berusaha untuk tersenyum kembali di hadapan sahabat-sahabatku terutama arga.
“Eh btw kok lu kenal day sama arga?” Tanya divya dengan penasaran.
“Iya kami teman satu organisasi dan juga sefakultas, ohya kenalin ini dito.” Sahutku sambil memperkenalkan dito kepada teman-temanku.
“Siapa? Pacar?” Tanya lena dengan senyum-senyum.
“Hmmm.” Sahutku sambil bergumam dan mengangguk dengan senyum-senyum.
Dito pun tersenyum kepada teman-temanku.
“Ohh jadi dia yang termasuk cowok yang lu ceritain kemarin itu day? Kemarin kan lu cerita ada 2 tuh, yang satunya lagi mana day?” Sahut divya dengan ceplas-ceplos.
Aku pun melototin mata divya sambil mengisyaratkan “awas aja lu”.
“Ahh nggak-nggak gue bercanda aja. Dito mah serius amat hehe.” Sahut divya sambil tertawa melihatku.
Kami mengobrol bersama mencoba melupakan hal-hal yang tak berguna. Seperti semuanya baik-baik saja, menganggap tak pernah ada kesalahan ataupun kejadian yang pernah terjadi. Walaupun benar, rasanya ada yang berbeda antara aku dan arga.
“Dit, ada nyamuk di kening.” Sahutku dengan menunjuk nyamuk.
Dito memukul nyamuk tersebut, namun tak mengenai nyamuknya. Akhirnya aku yang memukul nyamuk itu dengan sekuat tenaga.
“Plakk” terdengar bunyi pukulan yang kuat. Akhirnya nyamuk tersebut mati, dan meninggalkan darah.
“Ada darahnya tuh.” Sahutku sambil menunjuk kening dito.
Dito pun membersihkannya, namun masih ada sisa yang tertinggal. Kemudian aku menyeka kening dito yang masih ada sisa darahnya.
“Uhhh, coo cweet.” Sahut divya sambil mengejekku.
“Apaan sih.” Sahutku sambil tersipu malu dan masih membersihkan darah tadi.
Arga melihat kami berdua, dan sesekali aku meliriknya. Saat ini aku sedang sengaja pamer kemesraan kepada arga, karena aku ingin dia tahu bahwa aku sekarang sudah bahagia dengan dia yang mencintaiku.
Hari mulai gelap, akhirnya kami semua pulang. Dan saling melambaikan tangan. Selama di perjalanan pulang ke rumahku, tak ada pembicaraan yang terucap. Tak ada yang ingin memulai duluan, akhirnya dito duluan yang memulai pembicaraan.
“Sayang? Kok diam aja dari tadi?” Tanya dito kepadaku.
“Ga apa, ohya kamu nanti langsung pulang atau gimana?” Tanyaku.
“Temenin aku main futsal yuk, nanti malam tapi.” Sahut dito mengajakku.
“Nanti malam ya? Hmmm, aku takut kena marah bapak kalo pergi terus. Soalnya kan kita baru pulang nih, kalo pergi lagi pasti kena marah.” Sahutku.
“Ohh yaudah ga apa.” Sahut dito dengan murung.
“Beneran ga apa?” Tanyaku.
“Iya ga apa, lain kali aja kalo gitu.” Sahut dito dengan serius.
“Maaf ya sayang aku nggak bisa temenin kamu.” Sahutku meyakinkan dito.
“Iya sayang.” Sahut dito.
Pembicaraan kami hanya singkat, entah kenapa rasanya hari ini begitu kelam. Padahal tadinya aku sangat merindukan dito, tapi karena arga rasanya hancur. Semuanya sirna, saat aku ingin melupakannya dia datang kembali. Saat aku ingin membangun suatu hubungan dengan yang baru, dia datang lagi. Kenapa kita dipertemukan lagi arga?
Sekarang kamu bersama seseorang yang sangat dekat denganku. Bagaimana aku bisa menghindarimu, arga? Bagaimana aku bisa pura-pura tak melihatmu? Bodoh sekali, jika begini nantinya kelak akan terbongkar semua. Ahh sudahlah, kenapa aku begini. Waktu demi waktu telah berlalu, itu semua hanya masa lalu. Yah, hanya masa lalu.
Aku tak ada niat untuk menghubungi dito, aku takut nantinya akan mengganggu dia yang sedang main futsal. Aku tertidur hingga pagi, dan saat aku membuka handphoneku ternyata tidak ada pesan masuk dari dito. Aku ingin menghubunginya, tetapi aku harus buru-buru pergi karena ada pembekalan magang hari ini di kampus.
Tak terasa sekarang aku sudah memasuki semester akhir, begitupun hubunganku dengan dito. Sudah cukup lama kami menjalin kasih. Perlahan-lahan rasa ini mulai tumbuh, tapi aku masih meragukannya.
“Siang sayangku, kok nggak ada kabarnya?” Pesan masuk dari dito.
“Aku buru-buru sayang karena ada pembekalan magang hari ini, maaf yaa.” Balasku kepada dito.
“Iya ga apa sayang, kamu dimana? Aku lagi di kantin, sinilah sayang.” Balas dito.
“Sama teman-teman kamu?” Balasku kepadanya.
“Iya rame, ga apa kok sayang.” Balas dito.
“Aku lagi malas ke kantin sayang.” Balasku kepadannya.
“Kamu lagi dimana? Nanti aku bawain makanan aja ya kesana.” Balas dito.
“Pembekalannya di ruang B2A sayang, mungkin keluar sebentar lagi.” Balasku.
“Ohh yaudah sayang.” Balas dito.
Akhirnya pembekalan magangku selesai dan dito sudah menungguku di luar ruangan. Aku pun menghampirinya dan dito berdiri sambil memegang bungkusan roti dan air minum.
“Day, nih ada roti sama air. Kamu makan ya..” Sahut dito dengan memberi perhatiannya.
“Makasii, duduk sini aja dulu ya..” Ucapku sambil mengambil makanan yang dibawakan oleh dito.
Aku pun termenung sambil memperhatikan dito yang sedang memainkan handphonenya. Aku berpikir: Dito tak pernah marah kepadaku, kenapa dia baik sekali kepadaku. Kenapa dia memperlakukanku seperti ini? Padahal aku tidak pernah ada untuknya. Untuk apa dia melakukan semua ini? Memang untuk saat ini rasa itu mulai ada, tapi kenapa saat arga datang kembali, aku tak bisa melupakannya. Aku telah mengkhianati cinta kita dit, aku tak pantas untukmu. Kamu tak tahu aku telah menyembunyikan semua perasaan ini, semuanya palsu dit. Mataku mulai berkaca-kaca.
Dito melihatku, dan dia berkata: “Dimakan day, kenapa menung gitu?”
Aku pun terkejut dan langsung melihat ke arah lain sambil mengedipkan mataku yang mulai berkaca-kaca.
“Kenapa sayang? Kamu nangis? Sini lihat aku.” Sahut dito sambil melihat wajahku.
“Ga apa kok, aku ga apa. Enak ya rotinya” Sahutku berusaha mengalihkan dengan memakan roti pemberian dito.
“Beneran ga apa? Tadi mata kamu berkaca-kaca.” Sahut dito sambil melihat mataku.
“Iya tadi di ruangan itu aku duduk di belakang sekali, jadi ga kelihatan sama infocusnya. Jadinya pedih gitu.” Sahutku mengalihkan perhatian.
“Sekarang masih pedih ga? Sini aku tiupin.” Tanya dito sangat perhatian.
“Nggak udah ga apa kok.” Sahutku sambil menunduk dan mengucek mataku.
Aku menikmati makanan yang diberikan oleh dito, sesekali aku menyuapkan roti itu ke dito. Terlihat sekali dia sangat senang saat aku memberikan perhatian seperti itu, walaupun perhatian yang mungkin bagi orang tak berarti apa-apa. Baginya dia sangat menghargai perhatian yang diberikan oleh pasangannya, walaupun dalam hal-hal kecil. Itu sangat berarti baginya..