UNTUK PANJANG
Jikakata adalah mantra,
Uang aku meminta apapun,
Jikakata tiada arti,
Mengapa kita berbicara,
MISCHA.
Gadis berambut sebahu, membawa tiga buku tebal, tidak memeluknya. Dengan tas ransel coklat uang sedang dibahunya, basi sejak jam yang lalu. Dia sedang menunggu, di depan gerbang sekolah. Rutinitasnya setiap hari, aku tidak tahu apa yang sabar sabar menunggu setiap hari. Kesal melihat selalu menunggu di depan kantor sekolah lama, kompilasi sekolah sudah mulai sepi. Ingin sekali mengantarnya, tapi dia terlalu dingin untukku. Kuputuskan untuk kembali ke kelas, ada kerja kelompok. Meninggalkannya.
Tugas kerja kelompok deadline-nya lima hari lagi. Karena hari sudah petang kami memutuskan untuk pulang, menyudahi kerja kelompok kami hari ini. Kami keluar mengambil motor. Tubuh rasanya sudah lelah. Ketika sampai pintu gerbang sekolah, aku masih melihatnya. Gadis berambut sebahu, duduk santai tanpa ekspresi, membaca satu buku yang bisa dia bawa. Aku melirik jam tanganku, Apa? Dia sudah menunggu dua jam. Kuputuskan untuk kembali ke kelas, masuk. Hanya duduk di depan kelas satu pengetahuan sosial. Memainkan ponselku dan tetap mengamatinya dari celah-celah pintu gerbang, aku masih bisa melihat punggungnya. Sekolah sudah benar-benar sepi, hanya ada beberapa penjaga, hari ini tidak ada jadwal ekstrakurikuler.
Lima belas menit kemudian.
Aku mengambil motorku, sudah terlalu kesal menanti. Kuputuskan untuk mengantarnya. Jika saya memasuk pintu gerbang, dia berdiri, memeluk buku tebalnya. Kulihat ada mobil hitam yang sedang berhenti di seberang jalan. Pintu kacanya sedikit terbuka, tapi tak bisa kulihat siapa yang ada di dalamnya. Dia menyebrang, masuk mobil, tidak ada ekspresi kesal di depan. Aku memencet motor, jalan kami tak searah. Pulang
***
Bagiku hari Senin adalah tanda aku melakukan kegiatan ini. Dan sialnya, pagi ini aku bangun kesiangan. Aku pacu motorku dengan kecepatan tinggi, dan sampai di tempat parkir sekolah paling ujung. Aku berlari ke lapangan, kulihat jam tanganku. Astaga upacara akan dimulai. Sampai dilapangan, benar anak-anak sudah siap mau upacara. Aku mencari barisan teman sekelasku. Aku mendongak, Melihat kiri kanan. Nah, ketemu. Ada di ujung kanan, aku berlari tapi juga ada orang yang sedang berlari ke arahku.
Brukk.
Suara seseorang jatuh, aku melihat. Melihatnya. Gadis berambut sebahu, jatuh. Gadis itu. Dia terjatuh kerena aku. Aku masih berdiri tahunya. Ku ulurkan tanganku, untuk membantunya berdiri, dia tidak keberatan atau mengomel. Memegang uluran tanganku. Aku menariknya, hingga dia berdiri, tidak sampai memeluknya. Membiarkan dia berdiri dengan dua pegangan. Dia bersihkan rok panjang dan bajunya. Lihatlah mataku, terima kasih, dia berkata dengan suara pelan, batin tak terdengar. Pergi meninggalkanku saja, tidak ada ekspesi apapun.
Aku menggelengkan kepalaku, berjalan menuju barisan teman-teman sekelasku.
Jika itu yang kutabrak bukan dia sudah pasti akan aku bentak orang itu. Ia yang kutabrak dia, dia yang tidak ada ekspresinya. Tanpa kata dan senyum. Berada didekatnya membuatku merasa sangat dingin. Kucoba menghilangkan pikiran yang menggangguku. Fokuseksi upacara.
“Hei, darimana aja? “Darron, teman sekelasku.
"Biasa. Bangun kesiangan."
"Yakin?"
“Kenapa? “
“Kok bahagia? "
" Apa? "
"Ssttt."
Aku dan Darron menoleh, Caroline, ketua kelas. Menatap kami tajam. Kami hanya bisa tersenyum kecil. Kembali fokus upacara.
***
“ Ke kantin, yuk.” Darron berdiri dari kursinya, ia menatapku.
“ Kalian mau apa?” Caroline, menatap kami. Berhenti dari kesibukannya mencatat hasil pengamatan kami.
“ Makan.” Darron menjawabnya santai.
Aku hanya tersenyum dan menggeleng.
“ Nanti saja, sebentar lagi kan istirahat.” Carroline menatap tajam Darron.
“ Aku lapar.” Darron berjalan santai, pergi mennggalkan kami yang sedang kerja kelompok.
“ Nanti kami menyusul.” Aku mengikuti Darron, pergi kekantin meninggalkan Carroline dan yang lain.
“ Selesai istirahat kita ke perpustakaan ada tugas Bahasa Indonesia.” Carroline berteriak, memberi tahu kami dan yang lainnya. Teman-teman yang lain juga ikut bediri keluar kelas, Caoline membiarkannya, toh sebentar lagi istirahat.
Aku dan Darron berjalan santai, menuju tempat biasa kami duduk di kantin. Di pojok kantin tempat biasa kami sembunyi makan saat jam pelajaran. Sedikit tertutup, tetapi bisa melihat jelas siapa saja yang keluar masuk kantin. Kami berjalan menuju pojok kantin sambil membawa nampan berisi makanan kami, jus jeruk dan gado-gado. Hanya aku dan Daron yang menyukai tempat ini. Karena di sini kami bisa menghabiskan waktu makan dengan santai dan lama, tanpa ada yang menggangu. Meski kursi yang tersedia di kantin sekolah cukup banyak, tetapi tetap saja kami berebut kursi. Kalau tidak dapat kursi terpaksa kami makan di taman sekolah.
Sampai di pojok kantin aku terkejut, pura-pura santai. Rasanya seminggu ini akan jadi hari keberuntunganku. Bagaimana tidak, gadis berambut sebahu itu sedang duduk di sana bersama dua laki-laki dan di sebelahnya, perempuan. Mereka sedang asyik mengerjakan sesuatu, menunduk mengamati layar ponsel. Meja itu penuh dengan camilan, laptop, ponsel dan beberapa alat tulis. Gadis itu memegang pensil, tangannya seakan ingin menuliskan seesuatu. Matanya fokus tertuju pada layar ponsel. Dua temannya santai melihat layar, dan teman di sebelahnya memasukkan camilan ke mulutnya. Tidak lupa, menyuapkan makanan pada gadis berambut sebahu. Gadis itu menggelengkan kepala.
“ Kenapa?” tanya gadis di sebelahnya.
Gadis itu hanya menggelengkan kepala, matanya fokus menatap layar.
“ Ini enak, gak beracun kok.” Bujuk teman di sebelahnya, ia memakan sendiri makanannya. Dia melihat piringnya yang kosong, lalu berdiri. Terkejut ketika melihat kami berdiri, sedang menatapnya.
“ Kamu mau ke mana?” Gadis berambut sebahu itu bertanya, ia juga terkejut ketika melihat kami. Dua temannya ikut mendongak, melihat kami.
“ Hei! Kalian mau makan, duduk di sini saja.” Dia mempersilahkan , memberikan dua kursi kosong untuk kami dan memberikan sedikit tempat untuk kami.
Aku mengenalnya.
Kami duduk di sebelah mereka, mereka memberikan kami dua kursi kosong dan sedikit ruang di meja yang penuh berisi peralatan mereka. Aku duduk di sebelah Alfa, hanya dia orang yang aku kenal diantara mereka berempat. Kami makan dengan santai, mereka tetap fokus mengerjakan.
“ Kenapa tadi kamu terlambat?”
Suara Daron membuatku terkejut, kenapa di saat seperti ini dia bertanya. Aku mendongak dan menatapnya, dia santai mengunyah makanannya. Alfa di sebelahku juga ikut menoleh, menatapku.
“ Biasa bangun kesiangan.” Aku mencoba menyembunyikan perasaan gugupku, dengan santai ku minum jus jeruk ku.
“ Trus kenapa tadi bahagia ?” Daron masih melanjutkan.
“ Biasa aja tuh. “ Aku melihatnya sedang melirikku, aku tahu dia sedang mendengarkan pembicaraan kami. Gadis berambut sebahu.
“ Ketemu ceweknya kali.” Alfa yang menjawab, dengan santai ia makan camilannya. Membuat gadis di depannya protes.
“ Itu punya kita, jangan di makan.” Mengambil camilannya.
“ Tapi aku laper.”
“ Sekali gak mau, gak boleh ngambil.”
“ Pelit.”
“ Bodo amat.”
Gadis berambut sebahu membereskan barang-barang merekka bersama cowok di depannya.
“ Kita duluan, kalau kalian sudah selesai jangan lupa sama tugas masing-asing.” Dia berdiri meningalkan kami bersama cowok ang tadi duduk di depannya. Tidak ada ekspresi di wajahnya, datar. Dia berjalan santai sepeti biasa, disebelah cowok yang tadi duduk di depannya.
Gadis yang duduk di depan Alfa ikut berdiri. “ Hati-hati kalau Maika marah.” Dia memperingatkan Alfa, pergi meninggalkan kami.
“ Dia gak akan bisa marah sama aku.” Alfa santai menjawabnya, mengambil ponselnya dan mengirim pesan, entah untuk siapa.
“ Kenapa? “ Aku bertanya, Alfa masih santai duduk di sebelahku, mengutak atik ponselnya.
“ Biasa, kalau punya kelompok yang rajin ya kaya gini, ribet.” Dia meletakkan ponselnya. Berdiri pergi.
“ Mau ke mana dia?” Darron bertanya.
“ Beli makan, mungkin.” Aku melanjutkan makanku.
Drrrttt. Getar ponsel memuat kami saling menatap.
“Punya Alfa?” Darron meminum jusnya, melirik ponsel Alfa. Dia sudah selesai makan. Sama sepertinya, aku juga selesai makan. Ikut melirik ponsel Alfa. Di layarnya tertulis “ Maika “. Tak lagi kulirik ponsel Alfa.
“ Kalian sudah selesai?” Alfa datang denan membawa nampan berisi makanan dan camilan.
“ Sudah. Ada pesan di ponselmu.” Daron memberitahu ia, mengeluarkan poselnya.
“ Iya, dari Maika. “ Alfa tidak membuka pesannya, ia makan dengan cepat alu membuka camilannya.
Kami sibuk dengan ponsel masing-masing.
“ Guru itu kadang aneh.” Alfa mulai pembicaran.
“ Siapa?” aku meletakkan ponselku, ikut makan camilan Alfa.
“ Siapa lagi kalau bukan Guru Bahasa Indonesia.”
“ Kenapa?” Kini Darron meletakkan ponselnya. Ikut makan camilan Alfa.
“ Kerja kelompok tapi gak boleh milih sendiri temennya siapa saja.”
“ Kelas kamu kaya gitu?”
“ Iya, dan aku dapat temen yang rajin kaya Maika dan Nando. Jadi ribetkan.”
“ Sama, kita juga dapat temen kelompok yang rajin. Carroline, Davina dan Kalli. “
“ Tapi kan Carroline pacar kamu.” Alfa santai membuka pesan dari ponselnya.
“ Ya kalau di luar pacar, kalau di sini temen.”
“ Tetep aja kerja kelompok sama pacar sendiri.” Aku menimpalinya, ikut berkomentar.
“ Ya udah kamu pacarin aja Davina atau Kalli.”
“ Gak mau. Mereka terlalu rajin.”
“ Maika lebih rajin dari mereka. “ Alfa meletakkan ponselnya.
“ Tau dari mana kalau dia lebiih rajin?” Ada rasa penasaran tentangnya.
“ Kalau udah kenal kalian bakal terkejut lihat dia.”
“ Kenapa?”
“ Coba aja jadi temennya. Kalian akan tahu sendiri. Aku gak bisa jelasin.”
“ Yang kaya Carroline aja ribet kalau di sekolah apalagi yang kaya Maika.” Darron yang berkomentar.
“ Udah jangan bicara tentang mereka. Yang lain aja.” Alfa hanya melirik ponselnya yang sekali lagi bergetar. Aku tahu itu pesan dari Maika.
Kami kembali berbincang tentang apapun yang terllintas di otak tanpa ada topik tentang Maika atau Carroline lagi. Tidak lagi pembahasan tentang mereka siswa rajin di sekolah.
***
Dentang bel tanda jam istirahat sudah selesai dan kelas akan kembali dimulai sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Dan kami siswa kelas XI IPA 3 sedang berada di perpustakaan sekolah. Perpustakaan kami cukup luas yang berisi rak –rak tinggi yang penuh berisi buku, berjajar rapi. Tidak ada debu, ruangan ini ber-AC. Sama seperti kelas kami hanya saja di sini AC-nya lebih banyak dan lebih dingin, sehingga membuatku dan Darron sering tertidur di perpustakaan karena terlalu nyaman.
Guru Bahasa Indonesia bertubuh tinggi dan bergaris muka tegas sudah berdiri diantara kami, yang sedang berdiri tepat di depan rak buku yang berjajar rapi, sehingga bisa melihat seluruh isi ruangan karena lantainya memang lebih tinggi dari pada yang lain. Di sini ada kursi dan meja panjang. Tempat duduk ketika pelajaran di perpustakaan di mulai. Selain itu, ada juga kursi dan meja anjang yang tersebar hampir di setiap sela beberapa rak buku. Kami akan memulai kelas Bahasa Indonesia.
“ Sekarang, Ibu, beri waktu kalian dua puluh menit, untuk membuat sajak. Tema bebas. Di mulai dari sekarang.”
“ Iya, Bu.” Kami menjawab serentak dengan suara lemah. Tidak ada yang semangat.
Guru Bahasa Indonesia itu pergi meninggalkaan kami. Dan berjalan menyusuri setiap rak, membuat kami juga melakukannya untuk mencari ide membuat sajak. Sudah lima belas menit sejak diberi tugas dan aku belum menemukan ide. Tidak ada yang terpikirkan di otakku. Kosong.
“ Dapat?” Aku bertanya pada Darron. Dia sedang duduk di kursi dan menuliskan sesuatu pada buku tulisnya tetapi beberapa kali ia coret lalu mulai menulis lagi coret lagi seperti it saja. Wajahnya sedikit kesal.
“Mules iya. Udah siang di suruh buat sajak, ya gak ada ide lah.”
“ Kalau pagi ada?”
“ Enggak.”
“ Terus kapan ada idenya?”
“ Emang kamu dapat ide?” Ekspresi wajah Darron bertambah kesal.
Aku hanya menggelengkan kepala. Ku edarkan pandangan ke sekeliling. Hanya teman-teman kami yang sedang ada di perpustakaan, tidak ada yang lain. Carroline dan teman-temannya sedang asyik menulis di meja yang bersebrangan dengan meja kami. Sepertinya ia selalu saja dapat ide.
“ Sudah dua puluh menit. Sekarang kalian bacakan sajak ataau puisi kaliann satu persatu dengan suara lantang. Harus terdengar seluruh ruangan.” Guru Bahasa Indonesia membuka ponselnya. Dia duduk diantara rak di ruang tengah.
Perpustakaan mulai riuh, kami belum siap jika harus membacakan puisi atau sajak kami. Apalagi aku dan Darron belum dapat ide apapun.
“ Bu...” Aku melihatnya.
“ Iya, Mischa silahkan baca hasil karyamu. “
“ Apa, Bu?” Kini ku fokuskan diriku pada Guru Bahasa Indonesia.
“ Silahkan baca hasil karyamu.”
Aku mulai membaca apa yang kulihat.
Dingin
Malam tak berbintang
Menyisakan gelap
Bulan pergi
Entah di mana bintang
Hanya ada sunyi
Tak ada musik
Dia melihatku, aku sendiri tidak tahu dari mana datangnyakalimat ini. Aku hanya melihatnya. Kuteriakkan apa yang kulihat. Tetapi dia segera menunduk dan memperhatikan apa yang sedang di bicarakan Alfa.
Bulan menjelma matahari
Ayam tak berkokok
Pagi menyapa
Untuk yang tidak bersuara
Dalam diam ada kata
Tapi semahal itukah kata
Bukan kalimat, hanya kata, sapa
Alfa mendongak, sedikit melihatku. Ia kembali fokus pada gadis itu.
Senyumpun tak ada
Hanya mata saling berkaca
Melihat betapa banyak potongan
Juga berharap suatu saat menemukan
Tetapi dalam matamu
Aku hanya melihatmu
Bukan diriku
Atau potongan diriku
Hanya dirimu
Bukankah kita saling berkaca
Kenapa hanya ada kamu
Bukanaku
Selesai sudah apa yang kulihat, dia tidak lagi melihatku. Sama sekali tidak melirikku. Fokus pada apa yang sedang mereka kerjakan.
Kudengar teman - teman bertepuk tangan, riuh sekali. Dan mereka mulai berkumpul , meyeret kursi. Duduk lebih dekat pada tempat yang disediakan Guru Bahasa Indonesia untuk membacakan hasil karya kami.
“ Itu sajak atau puisi cinta ?”Darron tersenyum usil padaku.
“ Bagus, Mischa. Kalian tidak perlu mendekat, cukup menyebutkan nama dan membacakan karya kalian. Ibu akan mendengarkan dari sini.” Guru Bahasa Indonesia itu mengedarkan pandangannya.
“ Setelah ini Darron. Tapi sebelumnya kita kedatangan tamu istimewa. Dia juga akan membacakan sajak atau mungkin rayuannya.” Ia melambaikan tangan, memanggil seseorang dari pojok. Suara langkah kaki seseorang mendekat. Dia.
“ Hai, Alfa. Apa kabar? “
“ Baik, Bu. “
“ Kalian tahu kenapa Alfa di sini?”
Kami hanya menggelengkan kepala.
“ Alfa tidak pernah ingin masuk perpustakaan dan kalian lihat hari ini ia ada di sini bersama Maika. “
Kami hanya menganguk-anguk tidak mengerti.
“ Seharusnya hari ini kalian belajar sajak bersama teman satu kelas Alfa. Tetapi karena ia tidak ingin belajar di perpustakaan, terpaksa Ibu hanya memberikan tugas kepada kelas Alfa. Dan mengajak kalian ke perpustakaan. Kalian bisa memberikan hukuman kepada Alfa atas sikap egoisnya, silahkan.”
“ Bu, apa karena Alfa juga kami tidak bisa memlih teman satu kelompok?” Aku dan Darron bertanya bersamaan.
“ Iya itu juga atas kesalahan Alfa, dan kalian bisa memberi hukuman padanya.”
Kami hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. Alfa juga melakukannya, tampak tak berdosa atas apa yang dia lakukan. Kami berdiskusi sebentar. Carroline setuju atas ide Darron.
“ Bu. Menurut kami hukuman yang pantas untuknya adalah membaca sajak. Sama seperti kita.” Carroline yang menyuarkan pendapat kami.
“ Alfa kamu dengarkan permintaan Carroline dan teman-temannya.”
Alfa hanya menganguk. Ia meminta bantuan padanya, Maika. Gadis itu menuliskan sesuatu pada bukunya, lalu diberikan pada Alfa. Alfa mulai membacanya.
bulan dan bintang, mereka bersama
meski kadang hanya sendiri
tanpa bintang yang menemani
atau kadang bintang tanpa bulan
Alfa tetap menunduk, menaap catatannya.
Tetapi malam tetaplah malam
Dan kaca tetaplah kaca
Ia hanya kaca,
Kaca yang diam
Kini Alfa menatap kami satu persatu, seakan ingin menunjukkan bahwa ia adalah ia.
Yang di depan kaca lah yang berbicara
Mencoba menilai
Tetapi kaca tetap diam
Diam tanpa kata
Yang berkacalah yang berbicara
Refleksi dari hati dan otak
Kaca tetap diam
Menunjukkan apa yang ada dihadapannya
Tanpa berkata apapun
Tak sepatah kata pun,
Ia membiarkanya,
Bahkan ketika pergi pun
Ia tetap diam
Alfa menyelesaikan sajaknya, ia menganguk. Tanda ia sudah selesai. Kami bertepuk tangan, riuh. Guru Bahasa Indonesia kami juga ikut bertepuk tangan. Ia berdiri dari duduknya. Raut muka nya sedikit berubah.
“ Bagus Alfa. “
“ Terima kasih, Bu. Apakah kami boleh kembali ke kelas,, Bu?”
“ Sama-sama. Kalian boleh kembli ke kelas.”
Alfa dan Maika bersalaman pada Guru Bahasa Indonesia kami, mereka berpamitan lalu pergi. Meningggalkan perpustakaan. Entah perasaan apa yang sedang melandaku, tetapi sejak tadi pagi, saat aku bertabrakan dengannya. Aku benar-benar merasa bahwa selama satu minggu ini aku akan beruntung dan bertemu dengannya. Aku tidak tahu mantra apa yang aku ucapkan tadi pagi tetapi hari ini aku merasa bahagia, meski hanya melihatnya, tanpa berkata apapun. Kami melanjutkan pelajaran kami.
Sekarang Darron yang membaca sajak.
Bukan permata yang berharga,
Tetapi jiwa raga yang berharga.
Bukan sedih karena benci,
Tetapi benci karena sedih
Darron membacakan sajaknya lantang, seperti aku. Ia tidak membawa kertas atau buku catatan. Matanya bergerak menatap kami satu persatu. Ia menghayati sajaknya.
Tawa akan ada jika sedih ada
Rindu akan ada jika pernah bersama
Mungkin bukan raga, tetapi jiwa
Meski tak lama juga akan pergi
Tawa akan ada jika sedih ada
Bukan mata atau telinga
Hati lah yang perasa
Meski ia tak terlihat
Darron menganguk kecil pada Guru Bahasa Indonesia kami, kemudian menatap Carroline yang juga tengah memperhatikannya sejak ia memulai membacakan sajaknya. Tersenyum kecil melihat apa yang baru saja dilakukan Darron.
“ Bagus , Darron. Sekarang kamu boleh menunjuk satu temanmu untuuk membacakan karyanya.”
Darron menatap kami satu pesatu tetapi matanya tetap menuju pada Carroline.
“ Carroline. “ Darron santai menyebut nama itu. Carroline tekejut, selama ini Darron tidak pernah menyebut namanya di sekolah. Sepertinya Darron tidak menyadari hal itu, dia justru berjalan ke arahku dan duduk di sebelahku, kembali ke tempatnya. Carroline berdiri membuka buku catatannya dan mulai membaca.
Waktu adalah waktu
Ada, tanpa benar benar ada
Hanya angka,
Tanpanya akan hampa
Carroline mendongak, ia menutup bu. Menghayati sajaknya, menatap Darron sesekali dan kembali bersuara.
Waktu adalah waktu
Lebih berharga dari permata
Tak terlihat oleh mata
Akan pergi dan tak pernah kembali
Waktu adalah waktu
Penyembuh luka bagi yang sakit
Pengingat usia untuk berbuat baik
Juga untuk mengisi kekosongan hati
Waktu adalah waktu
Carroline menganguk kecil pada Guru Bahasa Indonesia. Berjalan ke arah kami.
“ Bagus, Carroline. Sekarang siapa lagi?”
“ Davina.”
Davina berdiri, beranjak dari duduknya.Pergi ke tempat Carroline membacakan sajaknya. Ia tidak membawa catatan.
“ Kenapa sebut nama aku?” Carroline bersuara pelan.
“ Hanya ingin. “
“ Jangan lakukan lagi. “
“ Yeah. I know, we just friend.”
Carroline tidak menjawab, tetapi matanya menatap tajam Darron. Sepertinya akan ada perang dingin diantara mereka. Aku harus segera pergi. Berdiri, berjalan menuju Guru Bahasa Indonesia meminta izin untuk pergi ke kamar mandi. Tidak kupedulikan mereka yang kembali berbicara, entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Lorong kelas sepi, tidak ada siswa yang ada di depan kelas. Setiap kelas ada gurunya. Pintunya tertutup. Aku menuju kamar mandi terdekat dari perpustakaan. Selesai dari kamar mandi aku mencoba berkeliling sekolah, bosan ada di perpustakaan. Sekali lagi aku melihatnya. Maika. Dia sedang tertawa lepas, meski tanpa suara, bersama Alfa. Alfa juga tertawa, tetapi segera menutup mulut setelah Maika memberi tanda untuk menutup mulut karena suara tawa Alfa terlalu keras. Mereka berjalan bersama dan membawa sekantong makanan ringan. Aku berjalan mendekati mereka. Rasanya ingin ikut menikmati bahagia bersama mereka.
“ Alfa.” Aku memanggilnya, mencoba menghentikanlangkah kaki mereka.
“ Dari mana?” Alfa bertanya, ia membuka makanan ringannya.
“ Biasa jalan-jalan.”
“ Kenapa? Bosan di perpus?”
Aku hanya menganguk. “ Dari mana?”
“ Kita?” Alfa menunjuk dirinya dan Maika.
“ Iya.”
“ Beli makanan. Ini untuk kamu, belum aku makan.” Alfa memmberikan makanannya padaku.
“ Kamu?” Aku menerimanya.
“ Tenang, nanti aku minta Maika. Dia punya banyak.” Alfa santai menjawab sambil menoleh melihat Maika. Maika membalasnya dengan menggelengkan kepala. Alfa memasang muka memelasnya, membuat Maika tersenyum kecil dan aku tertawa melihat tingkahnya yang memohon pada Maika.
“ Dia gak mau ngasih. Kita beli lagi aja. “ Alfa mengajakku membeli makanan di kantin depan sekolah. Kami berjaan beberapa langkah, sambl makan makanan dari Alfa.
“ Alfa. “ Maika memanggil Alfa, membuat kami berhenti dan menoleh.
“ Apa?”
“ Kita ke kelas gak ke kantin.”
“ Aku belum beli makanan.”
Maika mengangkat kantong plastiknya yang berisi banyak makanan ringan. Membuat Alfa membatalkan niatnya untuk beli makanan bersamaku. Mareka berjalan bersama menju kelas, meninggalkan ku sendirian.
***
Senin pagi.
Aku masih berdiri di hadapan cermin di kamar mandi sekolah. Upacara sebentar lagi di mulai. Aku tidak mau datang terlambat seperti minggu lalu, meski selama seinggu itu aku bahagia bisa bertemu atau sekedar bertukar senyum dengan Maika. Tetapi aku tidak ingin memulai hariku dengan keterlambatan seperti minggu lalu. Maka hari ini kuputuskan untuk bangn lebih pagi dan berangkat sekolah lebih pagi. Bahkan sebelum berangkat tadi pagi, aku menyempatkan waktu mematut diri di depan cermin di kamarku lebih lama.
Awal bukan kunci segalanya,tetap saja hal baik untuk yang baik.
Dan sekarang untuk kesekian kalinya aku mengucapkannya. Entah yang keberapa, seakan setiap detik aku mengucapkannya. Untuk tetap mengingat bahwa hal baik selalu untuk yang baik, meski kadang menyakitkan. Cukup. Sekarang waktunya ke lapangan sekolah untuk upacara. Aku berjalan bersama teman-teman sekelasku. Bagi kami upacara hanya alasan untuk membuat hari Senin tidak seperti hari lainnya. Maka kami memutuskan untuk lebih semangat menjalani hari Senin kami.
Selesai upacara, aku dan Darron memutuskan untuk pergi ke kantin sekolah untuk membeli sarapan. Karena berangkat lebih pagi, aku tidak sempat sarapan. Kami makan di tempat biasa, pojok kantin .
Kantin sekolah ramai, penuh dengan anak-anak yang sedang membeli sarapan atau sekedar membeli camilan. Karena kantin penuh sesak, aku dan Darron tidak memperdulikan atau melihat siapa saja yang sedang di kantin. Kami brjalan secepatnya menuju pojok kantin untuk segera makan. Perut kami sudah mengeluarkan suara, meminta untuk diisi secepatnya.
Beruntung, pojok kantin sepi. Kami bisa leluasa untuk makan.
“ Hhh... Akhirnya sampe juga.” Darron meletakkan nampan makannya, meminum jus mangganya.
“ Di sana sesak.”Aku mengikuti apa yang dilakukan Darron. Meminum jus jerukku. Memulai sarapan.
“ Nanti kita pelajaran di mana?” Darron bertanya dengan mulut penuuh makanan.
“ Di kelas. Tadi Carroline gak bilang apa-apa.” Aku menjawabnya setelah berhasil menelan makananku, dan meminum jusku.
“ Kalau gitu kita santai aja dulu di sini.”
Aku tidak menjawabnya, hanya menganguk. Kami melanjutkan makan.
***
Tidak terasahari Sabtu telah tiba. Jam dinding di kelas sudah menunjukkan pukul dua siang. Di kelas kami tidak ada guru, hanya tugas yang banyak. Aku sedang malas mengerjakan tugas, kuputuskan pergi ke taman sekolah. Toh, guru-guru juga sedang tidak ada. Mereka sedang rapat di luar sekolah. Yang ada hanya beberapa guru muda yang selalu baik dan tidak berani memarahi kami. Tidak seperti guru senior, yang selalu disiplin.
Lorong sekolah sepi, banyak kelas yang pintunya terbuka. Hanya ada beberapa siswa yang ada di kelas. Aku berjalan menuju taman sekolah, mencari udara segar. Entah apa yang sedang terjadi padaku.
Taman sekolah sepi, hanya ada sedikit siswi yang sedang asyik bercanda di gazebo taman. Anak- anak yang lain pasti sedang ada di kantin, menunggu jam pulang sekolah sambil makan atau hanya sekedar makan camilan bersama teman-teman. Aku berjalan ke pojok luar taman, tempat biasa aku dan teman - teman bersembunyi saat jam pelajaran sekolah yang membosankan. Kunikmati udara segar di siang hari, meski panas , ini lebih baik daripada berada di dalam kelas. Aku menengok kiri kanan menikmati taman yang sedang sepi.
Brukk.
Seseorang menabrakku, dengan cepat ku raih tangannya. Sebelah tanganku menangkap apa yang dia bawa. Berusaha supaya dia tidak sampai jatuh. Mata bulatnya tanpa ekspresi, aku melihatnya. Rambut sebahu dan mulutnya yang kecil.
“ Maaf.” Suaranya segera menyadarkanku. Kulepaskan tanganku darinya. Lalu ku berikan ponselnya.
“ Terima kasih.” Dia berjalan melewatiku, tanpa menungguku.
Segera aku tersadar. Ini saatnya.
“ Maika.”
Dia berhenti berjalan, tidak menjawab. Aku tidak sabar menunggunya berbalik, melihatku. Aku berjalan menuju arahnya. Di saat yang bersamaan dia berbalik, sambil berkata, “ Ya.” Ku tersenyum tipis, di wajahnya tidak ada eksrpesi apapun.
“ Boleh aku meminta nomor ponselmu ? ”
Dia menyerahkan ponselnya padaku.
“ Tulis nomormu dan nama mu.” Tetap tidak ada ekspresi di wajahnya. Datar.
“ Aku ? “ Aku bingung, kan aku yang meminta nomor ponselnya. Tetapi tetap kuterima ponselnya.
“ Iya, aku tidak tahu nama kamu. ”
“ Mischa. “ aku tersenyum kecil, mengulurkan tanganku. Kami berjabat tangan. Tanda perkenalan kami. Ku berikan lagi ponselnya, sebelumnya tadi sudah aku miss call nomorku. Dia meninggalkanku, tanpa menoleh lagi. Aku tersenyum, membuka ponselku. Menyimpan dua belas digit nomor baru yang tidak ku kenal, dan akan segera aku mengenal pemilik nomor ini. Tidak kupedulikan lingkungan sekitar, hari ini terlalu indah. Sejak tadi aku merasa ada yang sedang memberhatikanku. Tapi aku tidak peduli.
***
Sudah lebih dari dua bulan sejak kami berkenalan di taman dengan tidak sengaja lalu bertukar nomor ponsel, aku mengenalnya, Maika. Hanya sering menghabiskan waktu istirahat bersama Alfa dan Darron. Terkadang dia ikut makan bersama kami di pojok kantin bersama Alfa. Terkadang hanya Alfa dan teman-temannya yang ikut makan bersama kami.
Selama itu aku tidak pernah mendengarnya berbicara atau tertawa, hanya tesenyum ketika kami berbicara tentang hal lucu. Kalau pun aku dan Darron meminta pendapat tentang sesuatu hal, ia hanya berkata, “ itu hak kalian”. Dan Alfa yang selalu duduk di sebelah Maika akan tersenyum bahkan tertawa ketika melihat kami mencoba mengajak bicara Maika.
Dari hari Senin kembali ke hari Senin lagi. Aku tidak tahu tentang apa yang kurasakan, yang kutahu aku mempunyai kebiasaan baru. Yang sebelumnya tak pernah kulakukan pada siapapun. Bahkan pada mantan teman dekatku, yang sekarang tinggal di Australia. Reyna.
Awal bukan kunci segalanya,tetap saja hal baik untuk yang baik.
Aku mengucapkannya setiap pagi, setiap hari sambil mematut diri di depan cermin kamarku. Juga mengirim pesan kepada Maika.
To : Maika. 06.00
Bulan pergi, matahari kembali
Sendiri, tanpa bintang
Menjaga pagi untuk yang sudah banggun
Selesai melakukannnya, ponsel kumasukkan ke kantong jaket. Siap berangkat sekolah.
***
Lelah rasanya, ingin segera aku tidur. Banyak tugas yang sudah masuk deadline, dan kami harus segera menyelesaikannya ditambah ada uji coba lari membuat tubuhku seakan sehari ini bekerja keras. Perlu sedikit istirahat. Ku rebahkan diri diatas tempat tidur. Selesai bersih-bersih, waktunya santai. Ku buka ponselku, ada banyak pesan yang masuk. Segera ku buka pesan dari Maika.
From : Maika. 20.00
Bulan atau matahri
Mereka yang menjaga hari
Matahari mengucapkan selamat pagi
Bulan berkata selamat malam
Aku hanya tersenyum. Tidak lagi kubaca pesan dari yang lain. Ku letakkan ponselku. Segera aku tidur sambil tersenyum.
***
Kami jarang berbicara di sekolah, hanya bertukar senyum dan sapa saat bertemu. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut kami saat bertemu. Tetapi itu baik untuk kami. Kami tetap seperti yang dulu. Seperti tidak saling mengenal. Hanya saling mengirim pesan, entah di balas atau tidak. Aku tidak pernah berharap untuk bisa berbincang lebih banyak atau bercerita. Bagiku ketika melihatnya sedang melihatku, aku sudah bahagia. Karena itu ketika kami sedang berpapasan ketika berjalan, kami hanya bertukar senyum dan sapa. Tidak lebih.
To : Maika. 06.00
Matahari tidak tampak
Tetapi bulan sudah pergi
Menjaga malam di belahan bumi lain
Hanya tirai air dari langit yang menyapa
Mengucapkan, selamat pagi
From : Maika. 06.15
Jika hujan, berkata selamat pagi
Makaembunpagi mengucapkan Selamatdatang di harimu yang indah
To : Maika. 06.00
Matahari datang bersama jubah besar
Alasan terbesar anak kecil malas bangun
Matahari tetap sendiri
From : Maika. 06.20
Hanya kabut pagi yang bisa menemani matahari
Tidak seperti bulan yang berteman dengan banyak bintang
Hingga suatu hari ia mengirim sajak untukku. Saat aku membacanya aku tahu ada sesuatu yang ia simpan dan aku tidak tahu itu apa.
From : Maika. 05.00
Jika kata adalah mantra,
Uang aku meminta apapun,
Jika kata tiada arti,
Mengapa kita berbicara,
Jika kata hanya bisa di baca dan ditulis,
Bagaimana dengan yang sangat buta
Ada yang harus dibaca meskipun itu bukan kata
Ada yang harus diukir meski itu tak terlihat
Jika harus pergi, biarlah
Jika harus menolong, tolonglah
Karena bahagia itu tidak sendiri
Aku tidak mengerti, maksudnya. Yang kutahu itu sajak kesedihaan. Yang ingin tahu harus ada yang pergi dan meninggakan di antara kami. Kami benar-benar tidak berganti kata tapi kami saling mengerti dan berkaca lewat mata.