BAB 1 – Berangkat
“Cebooooong!! Tungguin gue!!” teriakku ketika mendapati Hanif sedang berjalan melewati pagar depan rumahku. Tapi memang aslinya cebong, bocah itu hanya melirik tanpa sedikit pun melambatkan langkah kakinya, lebih-lebih menghentikannya.
Dia adalah teman pertamaku di bangku SMA ini. Namanya Hanif Sirajudin. Bocah cebong atletis yang suka pamer badan pada perempuan. Pada laki-laki? Dia malah takut. Alasannya sih tak mau sampai ditiru, padahal aslinya, dia trauma karena dulu pernah digoda teman laki-lakinya karena keseringan pamer badan. Lagipula, alasan macam apa tak mau pamer badan pada laki-laki karena takut ditiru? Toh, sekalinya badan terbentuk, tak bisa dibuat sama dengan badan orang lain. Memangnya boneka Barbie, cetakannya sama?
Ngomong-ngomong, namaku Ardi, Ardi Witjaksono. Sangat bijaksana dan berkarsima. Tapi mungkin kalian punya pendapat berbeda setelah menelusuri kisahku kali ini. Kisah tentang betapa dunia ini memiliki kisah yang tak diduga. Seperti aku malam tadi yang tak sengaja meminum bir dari gelas kakakku. Karena kelamaan begadang di dalam kamar, aku memutuskan untuk jalan-jalan keliling kompleks. Sepanjang jalan aku berusaha mencari inspirasi untuk ide tulisanku, namun yang kutemui justru suara tangisan hantu gadis perawan dari rumah seseorang. Ketika aku pulang, aku malah kehausan dan melihat sisa air di gelas kaca kakakku. Kulirik kakakku, ia sudah tertidur pulas. Aku pun meminum air di gelas itu tanpa pikir panjang. Tak berapa lama, aku malah merasa pusing dan jatuh pingsan di atas kakakku. Laki-laki tua pengangguran itu benar-benar membawa petaka dalam hidupku.
Pagi harinya aku bangun dan melihat kepalaku telah didekapnya hingga membuat hidungku dapat mencium bulu di ketiaknya. Sontak saja aku berteriak dan bangkit berdiri dari tidurku. Dia hanya membuka matanya dan menyebut namaku pelan dengan nada bertanya. Melihatnya tak sadarkan diri seperti itu aku hanya bisa pasrah dan meninggalkannya begitu saja. Sambil menyeimbangkan diri karena kepalaku yang pusing, aku mencoba melihat jam dinding dan mendapati jarumnya telah menunjuk angka delapan.
“Sial, aku akan ketinggalan bis liburan gratis!” teriakku histeris. Aku pun hanya sempat membasuh muka dan menarik beberapa alat mandi seperti sikat gigi dan odol. Hingga kini, aku sudah berada di depan pintu rumah sambil memakai sepatu dan melihat si cebong itu melangkah tanpa mau menungguku.
Aku pun bergegas lari setelah menyelesaikan ikatan di sepatuku. Setelah melihatku yang datang dari arah belakang dengan kecepatan tinggi, barulah si cebong itu mau menghentikan langkahnya untukku. Setelah memberi satu tempeleng yang juga dibalasnya kepadaku, aku pun menyikuti perutnya dan menahan sikutan balasan yang ingin dia berikan kepadaku. Melihat penampilanku yang agak berantakan ia pun mulai mengomentarinya. Seakan penampilan adalah segalanya dalam hidup ini.
“Rambut gak disisir, gak dikeramas juga pasti. Mata masih belekan. Hidung belum diupil. Telinga pasti juga belum dikorek. Gigi, uhmm, lu kok bau alkohol?” ocehnya membuatku spontan mengorek beberapa kilogram belek di mataku. Tentu saja aku bohong, mana mungkin sampai kilogram begitu. Tak lupa, aku juga mencoba mencium bau nafasku sendiri dengan meniupkannya ke tangan dan mengirup aromanya setelah itu. Dan, ah, iya, memang bau alkohol.
“Cebong lah lu peka banget sama penampilan gue. Iya, semuanya belom, gue belum mandi hari ini. Gara-gara kakak gue tuh, ninggalin sisa minumannya di atas meja dan gue minum sampe gue ikutan mabok.”
“Lah, itusih salah lu nya gak periksa-periksa sebelum minum.”
“Yakali, Pak. Gue kan udah aus semalam.”
“Masih mending lu minum mabokan, daripada minum air kencing.”
“Bego, lu tuh cebong kencing taruh gelas! Lu kira kakak gue makhluk apaan kencing taruh di gelas?”
“Makhluk astral mungkin....”
“Kodok!”
“Kodok kodok, lu tuh cebong anyut.”
“Kodok kawin!”
“Wakakak. Itu sih gue mau.”
“Tjih....”
Dan itulah percakapanku dengannya. Si pria atletis dengan perut kotak-kotak yang selalu peduli pada penampilan. Satu-satunya cowok berperut kotak dengan penampilan menarik di geng kami yang rata-rata memiliki perut berbentuk rata. Tapi kami masih bersyukur, setidaknya kami bukan jenis kumpulan orang yang membawa gentong kemana-mana. Ups, maafkan aku yang kadang suka narsis ini.
Lalu, di tengah perjalanan pun kami mendengar suara Beni yang memanggil dari kejauhan. Ketika mendengar suara itu, Hanif dengan sigap memberi kode untuk berlari kepadaku. Alhasil, dalam satu dua tiga kami berlari membuat Beni terpaksa semakin mempercepat larinya. Terkadang itulah kebiasaan kami yang membuatnya merasa dikhianati. Tapi ya, bagaimana pun dia mengeluh, tetap saja dia tak bisa lepas dari kami.
“Hah, kalian ini cebong sialan. Mentang-mentang kalian teman terbaikku, selalu saja begini. Andai saja ada teman yang mau menerima orang bodoh sepertiku,” gumamnya tidak karuan setelah kami menyerah dan membiarkan dia mendekati kami. Aku dan Hanif hanya tersenyum geli ketika mendengar semua ocehannya itu.
“Makanya, cepat-cepat cari ilmu, belajar yang rajin biar ada yang mau main sama lu.”
“Alah bacod! Buru, udah mau jam sembilan nih.”
“Dih, baru setengah lapan juga!”
“Iya, baru setengah lapan. Tapi emang lu gak tahu pak Hamdan disiplinnya kayak gimana? Kalau nggak buru, kita pasti bakal ketinggalan liburan gratisnya.”
“Iyadah iya. Masalah liburan gratis aja lu rajin.”
“Lah, lu berdua, emang lu bakal serajin ini kalau disuruh datang les?”
“Mulai cerewet nih bocah. Sumpel yuk!”
“Lu aja, gue capek. Keringat gue bakal bikin baju gue cepet bau nih.”
Hanif pun mengeluarkan botol parfumnya dan menyemprotkannya beberapa kali di sekeliling badan. Aku dan Beni yang mencium aroma nikmat itu ingin juga merasakannya, tapi memang dasar cebong, ketika kami memintainya untuk sedikit menyemprotkan ke badan kami, dia malah menolak dengan alasan harga parfum itu mahal dan sulit untuk didapat. Aku dan Beni pun jadi berniat untuk menghancurkan botol parfum itu bila ada kesempatan suatu waktu nanti. Kami ingin tahu apa yang akan dia lakukan bila sebotol parfumnya tidak bisa dipakai lagi.
Canda demi canda di pagi yang riang akhirnya mengantarkan kami ke sebuah pembicaraan agak serius yang menarik. Dimulai dari pertanyaan milik Beni dan berakhir ke kesimpulan yang dibuat secara asal-asalan oleh otak remaja yang belum jua matang. Semua itu tentang pak Hamdan, guru yang mengajak kami berlibur ke pulau berpantai Pink dengan biaya gratis.
“Kira-kira ada apakah gerangan dengan pak Hamdan menurut kalian?” tanya Beni bergaya sok diplomatis. Aku memegang dagu sambil berpikir. Rudi merapikan baju dan kerahnya seperti biasa. Beni pun kembali melanjutkan.
“Mungkinkah ini akal busuk pak Hamdan agar bisa mengambil keuntungan dari para siswi?”
“Hus, jangan husnuzan!” ucap Hanif membantah cepat.
Aku dan Beni melirik malas dan menatapnya tidak terima. Dia balik membalas dengan raut bingung tak mengerti apa-apa.
“Yang benar suuzan, Nif! Lu berdua kok bisa ketukar gitu, sih? Biasanya juga Hanif yang pikirannya ngeres. Ada juga Beni nukar panas sama dingin.”
Aku jadi teringat saat Beni membeli es krim di suatu hari di depan sekolah. Dia masuk membawakan empat eskrim untuk kami berempat. Ketika aku dan dua lainnya sudah membuka es krim kami yang sudah agak meleleh, dia baru berniat untuk melakukannya. Alhasil ketika dia memegang bungkus es krim itu dia merasa dingin, tapi mulutnya keceplosannya menyebut kata “Panas!” dan kami melihat dia melempar es krimnya begitu saja. Pemandangan itu membuat kami khilaf dan tanpa sadar kami langsung melahap es krim di tangan kami dalam sekali “Hap”.
Ohiya, dalam geng kami masih ada satu orang lagi yang tak kalah cundang. Namanya Rudi, Rudi Hardianto. Laki-laki labil yang kadang narsis kadang minder. Menakjubkan kala serius dan menyebalkan kala keras kepala. Boleh dibilang berkepribadian ganda? Entahlah, aku juga tak pernah benar-benar tahu orang berkepribadian ganda itu seperti apa.
Ngomong-ngomong, hari ini dia tidak berjalan bersama kami karena semalam dia menginap di panti asuhan tempat dia dulu dibesarkan. Berdasarkan ceritanya, dia dulu dibesarkan di panti asuhan sampai kelas delapan hingga kemudian sepasang suami istri di dekat sini mengadopsinya karena sudah tak tahan hidup tanpa anak. Mereka tak tanggung-tanggu mengadopsi tiga anak sekaligus dari panti tersebut. Yang tertua adalah Rudi, umur 17 tahun seperti kami; kedua Putri, umur 11 tahun; terakhir Yoda, umur 5 tahun. Menurut Rudi, pasangan itu sebenarnya sudah lama menantikan kehadiran anak-anak di rumah mereka, namun karena tak ingin dibicarakan tetangga, mereka pun terus berusaha untuk menghasilkan anak dengan kemampuan mereka sendiri. Sayang seribu sayang, hingga mereka mengadopsi ketiga anak asuhan itu, mereka masih belum bisa mewujudkan mimpinya.
Dan ya, sekarang kami sudah sampai di depan gerbang sekolah. Murid-murid lain di kelas kami sudah banyak yang berdiri sambil bercengkrama dengan geng masing-masing. Rudi juga ada di antara mereka. Dia terlihat bosan menunggu kedatangan kami, buktinya ketika melihat kami dia langsung datang dan meminta pelukan. Tentu saja kami tidak memberikannya. Memangnya kami habis dari mana?
Dan yah, setelah beberapa menit mendapat curhat tak penting dari Rudi tentang betapa kesepiannya dia berdiri di tengah hamparan manusia yang tak mau memandangnya itu, suara pak Hamdan pun muncul di tengah-tengah kami seperti menarik perhatian semua orang. Beliau tampak ditemani oleh seorang guru lain, bu Andin, guru Matematika yang rangkap juga sebagai guru kesenian. Beliau adalah guru yang sangat cantik dan tampak muda, mungkin umurnya sepantaran dengan pak Hamdan yang terlihat masih sekitar 30 tahunan. Atau, jangan-jangan beliau berdua adalah pasangan? Tidak, tidak, kita tidak boleh berasumsi terlebih dahulu sebelum ada bukti. Ini hal yang sensitif, tak boleh sampai ada fitnah. Tapi, apalagi namanya kalau pria dan wanita sering berjalan bersama? Lebih-lebih, hanya mereka berdua guru yang ada di sini.
“Yah, semuanya, sebelum kita berangkat, bapak ingin mengabsen kalian dulu. Sebagai data untuk berjaga-jaga kalau nanti ada yang ketinggalan di pulau. Kasihan!”
“Ya, Pak.” Kami mengangguk malas, terutama kami berempat.
Pak Hamdan kemudian melanjutkan, “Untuk yang dipanggil namanya silahkan angkat tangan dan masuk ke dalam barisan. Laki-laki sebelah sini dan perempuan sebelah sini,” ucap beliau menunjuk dua sisi di hadapannya.
“Dan iya, untuk kalian yang hari ini bisa berlibur gratis, berterimakasihlah pada klub drama dan Bu Andin, karena di sini kita sedang menumpang bis mereka untuk berlibur gratis!”
“Woohh...” sahut kami dilanjutkan tepuk tangan yang dibalas senyum manis dari bu Andin dan beberapa murid drama dari kelas lainnya. Setelah mendengar yang demikian, aku dan Hanif pun memandang Beni secara bersamaan. Pupuslah sudah asumsi dan prasangka kotor Beni yang semula ia katakan. Dengan sedikit cengir, ia mengakui kesalahannya. Dia pun mengaku akan bertaubat dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sungguh, Beni yang malang dan penuh dosa. Oh tapi, sepertinya aku sudah terlalu mendramatisir.
“Baik, pertama, Amelia Ningrum?” panggil pak Hamdan memulai absensinya. Lalu setelah beberapa nama kemudian, muncul namaku disusul Beni dan Bella Fransiska, si gadis cantik yang jadi incaran banyak laki-laki di sekolah. Tak terkecuali Beni, Rudi dan Hanif. Mereka kadang saling bersaing demi mendapatkan perhatian dari gadis yang biasa dipanggil Siska ini. Ya, walaupun itu sangatlah susah. Lalu, bagaimana denganku? Hah, haha, aku?
“Ardi!” panggil seorang perempuan kepadaku. Dia adalah Amel, salah satu teman Siska. Dia sering dimintai oleh Siska untuk mendapatkan perhatian dariku. Misalnya memanggilku lalu kemudian Siska yang maju memberi kado tertentu kepadaku. Atau kadang memanggilku dan kemudian hanya memberi kata, “Tidak jadi.”
Aku sih sudah maklum, karena Siska aslinya memang pemalu. Bahkan sejak pertama bertemu dengannya, yang kulihat darinya hanyalah liukan badan yang tidak sengaja dibuatnya karena malu. Dia tipe orang cantik yang tidak biasanya ada di televisi. Biasanya kalau di film, gadis cantik yang didamba semua orang selalu saja tipe yang jual mahal dan arogan, tapi gadis ini berbeda. Lantas, apakah aku menyukainya? Nanti saja kujawab yang ini. Kita dengarkan saja dulu nama berikut ini.
“Rita Ariani?”
“Hadir, Pak,” jawab pemilik nama sambil mengangkat tangannya.
Semua mata pun lantas tertuju kepadanya. Mereka penuh dengan tatapan penasaran dan itu adalah hal yang wajar. Pasalnya, gadis bernama Rita ini adalah gadis yang jarang bergabung dengan kami dalam hal-hal seperti ini. Biasanya kami tak akan bisa menemukan batang hidungnya ketika ada kegiatan seperti ini. Selama itu hanya kegiatan di luar pelajaran yang tidak wajib diikuti, selama itu pula dia mengasingkan diri dari kami. Tapi hari ini agak berbeda, dia datang dan dengan penampilan yang cukup mengejutkan.
Gadis itu biasanya memakai sweater abu panjang yang agak tebal ketika di sekolah. Rambutnya selalu dibiarkan terurai tanpa dirapikan. Kadang, dia terlihat seperti tokoh-tokoh hantu yang ada di dalam film horor. Sering berjalan sendirian dan tidak mau menjawab ketika ditegur teman. Mungkin karena terlalu sulit didekati, dia jadi tidak punya teman. Benar-benar mirip tokoh pendiam di film-film.
Aku sendiri tidak terlalu paham dengan kepribadiannya, ya, walau sudah sering menonton karakter sepertinya di televisi. Aku suka berbicara apa adanya, dan sepertinya dia tidak suka mendengarnya. Seperti dulu ketika kami berpapasan dan aku mencoba menyapanya. Dia sama sekali tak menjawab, hanya berdiri mematung sebentar lalu melanjutkan langkahnya. Aku memperhatikannya baik-baik dan aku merasa itu adalah kebiasaan buruk untuknya. Jadi aku memperingatkannya bahwa dia seharusnya menjawab ketika ada yang menyapanya. Dia yang sudah berjalan melewatiku kemudian berhenti untuk menoleh sedikit, benar-benar seperti adegan di televisi ketika seorang bocah ingusan menghalangi jalan seorang mavia perempuan. Hawanya terasa menakutkan dan dia kembali melanjutkan. Sejak saat itu, aku selalu merasa ngeri dan tidak mau lagi berurusan dengannya.
Tapi hari ini, ah, aku tak mau membahasnya. Kita lanjutkan saja ke acara tamasyanya. Di sana sudah ada Lulu yang namanya terakhir dipanggil oleh Pak Hamdan. Beliau kemudian meminta kami untuk menaiki bus penjemput secara teratur. Beni, Rudi dan Hanif berturut-turut rebutan posisi paling dekat dengan Siska. Aku sendiri tak mau tahu di mana nanti anak itu akan duduk. Aku hanya ingin bisa cepat sampai dan menikmati keindahan pantai pink yang dikatakan oleh guru kami. Ya, mungkin agak memalukan untuk mengakuinya, tapi meskipun kami agak nakal, kami bukan geng hit yang sering menjelajah alam untuk sekedar diumbar ke sosial media. Kami tipe geng yang hidup apa adanya. Ya, ditambah sedikit pencitraan tentunya.
Tapi sebelum itu, “Hey, kenapa Rita tiba-tiba datang ke liburan ini? Apa yang dipikirkannya?” tanya Beni yang berdiri tepat di belakangku.
“Entahlah, aku tidak tahu. Tapi apa harus kita memikirkan hal itu?” tanyaku balik berbisik.
“Jangan-jangan dia punya niat tertentu lagi!”
“Hus, jangan husnuzan!” ucapku keceplosan.
“Hah? Bukannya yang benar itu suuzan?” tanya Beni polos. Sepertinya dia benar-benar sudah tak tertolong.