“BRUUKKK!”
Melnar terlempar ke belakang hingga menubruk salah satu pohon yang tumbuh di tepian hutan Arcana.
“Apa yang kau lakukan? Apa hanya segini kemampuanmu yang sebenarnya, hah?” Rasiel mulai mengejek Melnar yang kini tengah berusaha bangkit dari tempat jatuhnya. Entah sudah berapa kali kejadian ini berulang. Yang pasti, kejadian ini telah menguras sebagian besar tenaga yang telah susah payah Melnar kumpulkan hari ini.
“Berhentilah berbicara dan lawan aku seperti pria pada umumnya!” Melnar kembali menyerang Rasiel dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Palu besar yang selama ini berada digenggamnya kini terlihat sedang mengayun keras tepat ke arah Rasiel yang sedang berdiri tegak dan tak bersenjata.
Namun, semuanya terlihat sia-sia. Bagi Rasiel, satu mantra yang keluar dari mulutnya sepertinya sudah cukup untuk menghentikan Melnar yang dari tadi pagi telah menantangnya. Saat itu, Rasiel segera melihat ke arah buku yang dari tadi berada di tangan kirinya. Dia menatap tulisan yang tercetak rapi di salah satu halaman buku tersebut dengan seksama sebelum kemudian melafalkan mantra sihirnya.
“Wahai Angin, lindungi aku dengan tubuhmu, hempaskan semua serangan musuhku!”
“Ventus Domine!”
Sekali lagi. Melnar terhempas oleh dorongan sihir angin Rasiel sesaat sebelum palu besarnya berhasil menyentuh tubuh Rasiel. Kali ini, Melnar terhempas sangat kuat hingga tubuhnya kembali menubruk sebuah pohon yang ada di pinggiran hutan Arcana dan menimbulkan suara yang cukup keras. Setidaknya cukup keras untuk membuat beberapa burung terbang dari sarangnya.
“Sudahlah, kita akhiri saja untuk hari ini!” Rasiel menutup buku yang ada di tangan kirinya lalu berjalan mendekati tas besar miliknya yang berada tidak jauh dari sampingnya. Dia kemudian memasukkan buku tersebut ke dalam tas besar miliknya.
Sementara itu, Melnar yang sudah tidak mampu melawan kini hanya bisa terbaring di tepian hutan Arcana. Mata besarnya menatap kumpulan awan hitam yang kini berada tepat diatasnya. Sepertinya dia sedang mengalihkan perhatiannya agar tidak terlalu merasakan sakit yang baru saja diterima oleh tubuhnya.
“Sepertinya akan turun hujan!” Melnar mencoba memutar tubuhnya. Dia berusaha berdiri di atas kedua lututnya sambil terus menahan sakit yang dirasakannya. “Jadi... apa yang akan kita lakukan sekarang?” lanjutnya.
“Kita akan masuk kesana!” Rasiel memalingkan pandangannya. Dia menunjuk ke arah sebuah desa yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka berada.
“Apa kau sudah gila?” Melnar yang sudah berdiri tegak mulai melangkah mendekati Rasiel yang kini sibuk merapikan barang bawaannya.
“Lihatlah!” Melnar menunjuk ke arah gerbang desa yang akan menjadi tujuan mereka selanjutnya. “Ada prajurit kerajaan Ragna yang sedang menanti kita disana!” lanjutnya.
“Tenanglah, kita akan baik-baik saja!” Rasiel terlihat cukup tenang setelah mendengar fakta yang baru saja disampaikan oleh Melnar. “Lagipula, mau sampai kapan kita akan menghindari mereka?” lanjutnya.
Melnar terdiam. Dia hanya bisa menatap ke arah gerbang desa yang kini di jaga ketat oleh beberapa prajurit kerajaan Ragna. Sepertinya dia masih belum mampu berhadapan dengan prajurit kerajaan Ragna setelah aksi pencurian yang telah dilakukannya beberapa waktu yang lalu.
“Perhatikanlah! Itu adalah desa ketiga yang sudah kita lihat sejak kejadian waktu itu!” Rasiel kembali menjelaskan keadaan mereka pada Melnar.
Selama satu minggu ini, mereka sudah beberapa kali membelah hutan Arcana. Mereka bahkan sudah melihat dua desa lain sebelum desa yang kini berada di hadapan mereka. Namun, karena keberadaan prajurit kerajaan Ragna yang menjaga setiap gerbang desa, mereka selalu mengurungkan niat mereka untuk memasuki kedua desa sebelumnya.
Itu semua terjadi karena kesalahan yang dilakukan oleh Melnar satu minggu yang lalu. Kesalahan itu membuat mereka merasa seperti burunon prajurit kerajaan Ragna. Karena alasan itulah mereka memutuskan untuk menghabiskan satu minggu mereka di dalam hutan Arcana. Namun, hal seperti itu tidak mungkin berlangsung selamanya. Karena itulah, hari ini Rasiel memutuskan untuk memasuki desa yang baru saja dilihatnya.
“Lagipula, kau bilang mereka tidak pernah melihat wajahmu ‘kan?” Rasiel kembali mencoba meyakinkan Melnar yang masih takut untuk berhadapan dengan para prajurit kerajaan Ragna. “Tenanglah, mereka tidak akan mengenalimu. Percayalah padaku!” tegasnya.
Melnar hanya bisa terdiam setelah mendengar perkataan Rasiel padanya. Dia sepertinya masih belum siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi padanya. Hal itu dapat dilihat dari tingkah laku Melnar yang tiba-tiba berubah menjadi gugup apabila Rasiel mulai membahas tentang keberadaan prajurit kerajaan Ragna yang saat ini sedang menanti mereka di gerbang desa.
Sementara itu, Rasiel yang sudah selesai berkemas terlihat mulai beranjak meninggalkan tempat mereka berada. Rasiel mulai melangkahkan kakinya menuju gerbang desa yang kini menjadi tujuannya. Sedangkan Melnar masih terdiam. Melnar memperhatikan gerbang desa yang akan dikunjunginya dengan seksama. Melnar sepertinya tengah mempersiapkan mentalnya sebelum bertemu dengan para prajurit yang menjaga gerbang desa tersebut. Setelah beberapa saat, Melnar akhirnya mulai menggerakkan kakinya. Dia mulai mengejar Rasiel yang kini sudah berada cukup jauh didepannya.
Setelah berjalan selama beberapa puluh menit, akhirnya mereka pun sampai di depan gerbang desa yang menjadi tujuan mereka. Disana, tepat di depan gerbang Desa Auderia–seperti yang tertulis pada papan nama desa yang menggantung tepat di atas gerbang desa–dua orang prajurit kerajaan Ragna terlihat sedang sibuk melaksanakan tugasnya. Mereka tengah memeriksa orang-orang yang ingin masuk ke dalam desa Auderia. Pemeriksaan itu tentunya juga berlaku bagi Rasiel dan Melnar yang kini sudah berdiri tepat dihadapan kedua prajurit tersebut.
“Berhenti!” Salah seorang prajurit menghentikan langkah Rasiel dan Melnar dengan tangan kanannya. “Perlihatkan barang bawaan kalian!” lanjutnya.
Mendengar perintah itu, Rasiel pun segera memberikan tas besarnya kepada prajurit tersebut untuk diperiksa. Sedangkan Melnar yang tidak memiliki barang bawaan apapun–selain palu besar yang dari tadi dipegangnya–kini sedang diperiksa oleh prajurit yang satunya.
Setelah beberapa menit, akhirnya proses pemeriksaan pun selesai. Kedua prajurit tersebut kemudian mengembalikan barang bawaan Rasiel dan mempersilahkan mereka untuk memasuki desa Auderia.
“Silahkan masuk!” ujar salah satu prajurit yang telah memeriksa mereka.
Mendengar hal tersebut, Rasiel pun menatap wajah Melnar seakan berkata: “Benarkan apa yang aku katakan?”
Melihat hal itu, Melnar hanya memalingkan wajahnya dan mulai melangkahkan kakinya untuk memasuki gerbang desa Auderia yang kini telah terbuka untuk mereka. Namun, saat mereka hendak memasuki gerbang desa tersebut, tiba-tiba komandan pasukan kerajaan Ragna muncul dari dalam gerbang desa Auderia.
Kemunculan sang komandan pasukan kerajaan Ragna tersebut menyebabkan semua aktivitas di gerbang desa Auderia terhenti sejenak. Para prajurit dan warga desa yang melihat kedatangannya segera menghentikan segala aktivitas yang sedang mereka lakukan dan segera memberikan hormat–dengan cara membungkukkan bagian atas tubuh mereka beberapa derajat–kepada sang komandan pasukan kerajaan Ragna yang kini berada di depan pintu gerbang desa Auderia.
Kejadian formal yang tiba-tiba terjadi tersebut ternyata tidak disadari oleh Rasiel dan Melnar yang terus melangkahkan kaki mereka untuk memasuki gerbang desa Auderia. Alhasil, tindakan mereka pun mengundang perhatian dari sang komandan pasukan kerajaan Ragna yang kini tengah duduk di atas kuda hitamnya.
“Berhenti!” Sang komandan pasukan kerajaan Ragna menghentikan langkah Rasiel dan Melnar yang sudah hampir memasuki gerbang desa Auderia.
Mendengar hal itu, Rasiel dan Melnar pun segera menghentikan langkahnya. Mereka memalingkan wajah mereka ke arah sang komandan pasukan kerajaan Ragna yang sepertinya tidak mereka sadari kedatangannya. Saat itu, waktu terasa berhenti berdetak bagi Rasiel dan Melnar yang menyadari dengan baik siapa orang yang kini sedang berada dihadapan mereka.
Orang itu tentu saja adalah orang yang sama dengan pria berbadan besar yang telah mengejar Melnar sampai ke dalam hutan Arcana. Pria tersebut adalah komandan pasukan kerajaan Ragna–yang bernama Simon Rowley–yang selama ini memimpin pencarian terhadap kristal yang telah dicuri oleh Melnar satu minggu yang lalu.
“Apa itu?” Simon menunjuk ke arah dada Rasiel.
“Ini?” Rasiel memegang kantong kecil yang selama ini menggantung di lehernya seraya dan menunjukkannya kepada Simon. “Ini hanya barang peninggalan dari orang tuaku!” jelasnya.
“Berikan padaku!” Simon mengulurkan tangannya. Simon meminta Rasiel untuk menyerahkan kantong kecil yang tadi ditunjuknya. Dia sepertinya merasa penasaran dengan isi kantong kecil yang menggantung tepat di dada Rasiel tersebut.
Rasiel terdiam. Rasiel terlihat kebingungan setelah mendengar permintaan Simon kepadanya.
“Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus memberikan kantong ini padanya?” pikir Rasiel sambil terus memegangi kantong tersebut.
Setelah melakukan beberapa pertimbangan kecil di dalam otaknya, akhirnya Rasiel pun memutuskan untuk menyerahkan kantong tersebut kepada Simon. “Saat ini, aku harus menjaga sikapku agar dia tidak semakin curiga terhadapku.” pikirnya.
“Baiklah!” Rasiel terlihat melepas ikatan kantong kecil yang menggantung di lehernya.
Perlahan tapi pasti, Rasiel pasti akan menyerahkan kantong tersebut kepada Simon. Melnar yang mengetahui isi kantong tersebut pun terlihat sangat khawatir saat mendengar keputusan Rasiel.
“Rasiel, apa yang kau lakukan?” Melnar menarik bagian belakang baju yang dikenakan oleh Rasiel. Dia mencoba menghentikan Rasiel yang ingin menyerahkan kantong tersebut kepada Simon.
Tindakan Melnar tersebut pun mampu menghentikan pergerakan Rasiel. Namun di saat yang sama, tindakannya tersebut juga menimbulkan kecurigaan Simon terhadap mereka.
“Diamlah kerdil!” ujar Simon yang sepertinya sudah tidak sabar untuk menerima kantong tersebut dari Rasiel.
Mendengar hal itu, Melnar hanya bisa terdiam. Dia terlihat melepaskan pegangannya pada baju Rasiel.
“Cepat, berikan padaku!” Simon kembali memberikan perintahnya kepada Rasiel. Namun, kali ini dengan nada yang sedikit lebih tinggi daripada sebelumnya.
Hal itu membuat Rasiel tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya, Rasiel pun menyerahkan kantong tersebut kepada Simon yang dari tadi memintanya.
Simon pun segera membukanya kantong kecil yang diberikan oleh Rasiel dan melihat isinya. Dia terlihat kecewa saat melihat isi kantong yang susah payah dimintanya tersebut.
“Ternyata hanya sebuah batu!” ujarnya saat mengetahui isi kantong yang selama ini menggantung di dada Rasiel.
“Benarkah?” Melnar yang tidak percaya dengan ucapan Simon terlihat menyambar kantong yang akan di kembalikan oleh Simon kepada Rasiel dengan tangan kanannya.
“Ternyata benar. Hanya sebuah batu! Haha.. ha...” ujarnya.
Melnar pun tertawa sesaat setelah melihat isi kantong yang baru saja dirampasnya dari tangan Simon. Namun, bukan batu itu yang terpenting saat ini. Melnar yang baru saja melakukan tindakan gegabah itu, ternyata telah membuat orang-orang disekitarnya mulai merasa curiga terhadapnya. Hal itu dapat dilihat dari pandangan orang-orang di sekitarnya yang kini menatap tepat ke arahnya. Hal itu juga berlaku bagi Rasiel dan Simon yang kini juga menatap tajam ke arahnya. Meskipun alasan keduanya pastilah berbeda.
Menyadari akan hal itu, Melnar pun segera menghentikan tawanya. Melnar mencoba mencairkan suasana diantara mereka. Namun, sepertinya dia melakukan kesalahan lagi saat melakukannnya.
“...ha... Aku tidak menyangka orang tuamu hanya mewariskan sebuah batu padamu!” ujarnya.
Bukannya mencairkan suasana disekitarnya, ucapan Melnar justru terkesan melecehkan dan menambah suram suasana diantara mereka. Namun hal itu tidak menghentikan Melnar untuk mencoba kembali.
“Lihatlah! Dia hanya mendapatkan sebuah batu dari orang tuanya. Hahaha...” Melnar menunjukkan batu seukuran ibu jari manusia–yang kini dipegangnya–kepada semua orang yang ada disekitarnya. Tindakan Melnar tersebut sepertinya berhasil mengalihkan kecurigaan orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal itu dapat dilihat dari reaksi beberapa orang yang kini mulai berbisik satu sama lain setelah melihat tindakannya. Meskipun Melnar tidak yakin apa yang sedang mereka bisikkan.
“Serahkan padaku!” Rasiel yang menyadari maksud dari tindakan Melnar pun segera mencoba untuk membantunya. Rasiel merebut kantong dan batu yang dari tadi dipegang oleh Melnar dengan paksa. Seakan-akan dia tidak suka dengan tindakan yang baru saja dilakukan oleh Melnar terhadap barang pribadinya.
“Meskipun hanya sebuah batu, ini sangat berharga bagiku!” jelasnya. Rasiel kembali memasukkan batu tersebut ke dalam kantong kecil miliknya dan segera mengenakannya di lehernya.
Setelah melihat tindakan Rasiel tersebut, akhirnya suasana menjadi sedikit lebih tenang. Simon–yang sepertinya sudah tidak merasa curiga kepada Rasiel dan Melnar–terlihat mulai memacu kudanya dan meninggalkan desa Auderia. Tindakan Simon diikuti oleh beberapa prajurit yang tadi ikut keluar bersamanya dari dalam desa Auderia.
Sementara itu, para prajurit dan warga desa–yang berada di gerbang desa Auderia–terlihat kembali melakukan aktivitasnya seperti semula. Begitupula dengan Rasiel dan Melnar yang akhirnya kembali melanjutkan langkahnya memasuki desa Auderia.
Setelah melewati gerbang desa, Rasiel dan Melnar ternyata tidak langsung menemukan rumah penduduk seperti desa-desa pada umumnya. Mereka ternyata masih harus berjalan beberapa puluh meter lagi untuk sampai ke pemukiman penduduk desa Auderia.
Hal seperti ini nampaknya wajar bagi beberapa desa atau kota yang ada di bagian timur benua Arda. Letak desa yang tidak terlalu jauh dari tepian hutan–seperti desa Auderia ini–membuat para penduduk desa membangun gerbang sekaligus dinding di sekeliling desanya. Gerbang dan dinding tersebut berjarak ratusan meter dari pemukiman penduduk desa pada umumnya. Gerbang dan dinding tersebut sengaja dibangun dengan jarak seperti itu untuk melindungi pemukiman mereka dari amukan para monster dan binatang buas yang tinggal di dalam hutan disekitar desa mereka.
Selain itu, dinding tersebut juga dapat berfungsi sebagai benteng perlindungan bagi setiap desa atau kota apabila masa perang telah tiba. Hal ini dibuktikan dengan keadaan beberapa bagian dinding desa Auderia yang kini tampak porak-poranda akibat perang yang terjadi belasan tahun silam. Kerusakan tersebut kini nampaknya masih sementara diperbaiki oleh para penduduk desa.
Sementara itu, lahan kosong yang terletak diantara dinding dan pinggiran desa Auderia dimanfaatkan oleh para penduduknya sebagai lahan pertanian. Mereka membudidayakan berbagai macam tanaman yang bisa mereka manfaatkan–baik sebagai bahan makanan maupun obat-obatan–di lahan itu. Hal itu dapat dilihat dari beberapa penduduk desa yang kini sedang memanen hasil tanaman mereka.
Namun, meskipun begitu, kehidupan penduduk desa Auderia ini ternyata tidak sepenuhnya digantungkan pada lahan pertanian tersebut. Para penduduk desa ternyata masih memanfaatkan hutan Arcana–yang ada di samping desa mereka–sebagai penyuplai daging dan kayu yang mereka butuhkan selama tinggal di dalam desa Auderia. Hal itu dapat dilihat dari beberapa penduduk desa yang kini tengah membawa hasil buruan dan beberapa batang pohon yang mereka dapatkan dari hutan Arcana menuju ke desa Auderia.
Kegiatan para penduduk desa Auderia tersebut tentunya menjadi pemandangan tersendiri bagi Rasiel dan Melnar yang baru pertama kali menginjakkan kaki mereka di desa ini. Mereka pun terlihat sangat menikmati pemandangan yang sedang disajikan di depan mata mereka.
Namun, hal itu sepertinya tidak cukup untuk membuat Rasiel lupa akan perbuatan Melnar yang baru saja mengancam nyawa mereka.
“TAKKK!”
“Aduh! Apa yang kau lakukan?” ujar Melnar.
Rasiel memukul kepala Melnar dengan tangan kirinya. Dia akhirnya mampu melampiaskan kekesalannya kepada Melnar yang beberapa saat ini telah dipendamnya.
“Apa kau sudah gila, hah?” ujar Rasiel. “Kau hampir saja membuat kita tertangkap oleh pasukan kerajaan Ragna.” tambahnya.
Mendengar hal itu, Melnar pun terdiam. Dia sepertinya sadar akan akibat yang bisa saja ditimbulkan oleh tindakan saat berada di gerbang desa Auderia.
“Maaf! Aku tidak menyangka kejadiannya akan seperti itu!” Melnar mencoba meminta maaf kepada Rasiel yang sepertinya masih marah dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Namun, hal itu tidak sepertinya tidak didengar oleh Rasiel yang kini telah berjalan beberapa meter dihadapannya.
Mengetahui hal itu, Melnar pun hanya bisa menghembuskan napas kasarnya. Dia kemudian berlari mendekati Rasiel dan mencoba mengimbangi langkah kakinya.
“Jadi, apa yang telah kau lakukan pada kristal curianku, hah?” Melnar kembali membuka percakapan yang mulai redup diantara mereka. Melnar mulai mempertanyakan tentang kristal curiannya yang tiba-tiba menjadi batu saat Simon memeriksanya. “Apa kau yang telah mengubahnya menjadi batu?” tanyanya.
“Aku tidak melakukan apa-apa pada kristal curianmu itu.” jawab Rasiel.
“Jangan berbohong padaku! Kau pasti telah menggunakan sihirmu untuk mengubahnya menjadi batu ‘kan?” Melnar terdengar seperti sedang memaksa Rasiel untuk mengakui perbuatannya. Namun, hal itu sepertinya sia-sia. Rasiel kembali memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya.
“Sudah kubilang ‘kan? Aku tidak melakukan apa-apa pada kristal ini.” Rasiel tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia terlihat menggenggam erat kantong kecil yang menggantung di depan dadanya itu. “Saat itu, aku hanya berpikir bagaimana cara untuk menyembunyikan kristal ini. Aku bahkan tidak sempat untuk merapalkan mantra sihirku pada kristal ini.” jelasnya.
“Hanya saja, kristal curianmu itu sepertinya memiliki kekuatan sihirnya sendiri. Aku rasa, kekuatan sihir itulah yang telah membuat kristal curianmu itu menjadi sebuah batu seperti ini.” tambahnya.
Setidaknya, itulah penjelasan masuk akal yang bisa diberikan Rasiel kepada Melnar yang terus menanyakan tentang kristal curiannya yang kini telah menjadi sebuah batu yang tidak berharga sama sekali.
Mendengar hal itu, Melnar pun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sepertinya Rasiel memang tidak melakukan apa-apa pada kristal curiannya. Hal itu bisa dilihat dari ekspresi Rasiel yang sangat serius saat mengatakannya. Lagipula, Rasiel sepertinya benar saat mengatakan tentang kekuatan yang dimiliki oleh kristal curiannya itu. Melnar bahkan sadar bahwa kristal itu jugalah yang telah menarik perhatiannya sehingga dia mau mengambilnya dari pemiliknya.
“Aahh... baiklah, aku percaya padamu. Yang penting hari ini aku selamat dari cengkraman prajurit kerajaan itu.” ujar Melnar sambil melanjutkan langkahnya menuju ke pemukiman penduduk desa Auderia. “Lagipula, aku juga sudah tidak tertarik dengan kristal itu. Sepertinya kristal itu hanya membawa kesialan untukku!” lanjutnya.
Akhirnya, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka menuju ke pemukiman penduduk desa Auderia yang sudah tidak jauh lagi dari hadapan mereka.
Setelah sampai di dalam desa, mereka pun segera mencari penginapan yang bisa mereka tinggali selama berada di desa Auderia. Setelah itu, mereka memutuskan untuk berpisah sejenak. Mereka terlihat mulai menelusuri desa Auderia untuk mencari pakaian dan beberapa barang yang akan mereka butuhkan demi kelangsungan hidup mereka kedepannya.