Mentari bersinar terang, menyinari setiap sudut benua yang kini tengah terancam ketenangannya. Cahayanya melebar dan menyebar ke seluruh penjuru benua. Berusaha menjangkau setiap titik yang ada di benua tersebut. Termasuk sebuah hutan yang nampak gelap gulita karena rimbunnya pepohonan yang tumbuh tinggi di dalamnya.
Disana–di salah satu tempat yang dapat diraih oleh serpihan cahaya sang Mentari yang berhasil menembus lebatnya hutan–sesosok pria terlihat sedang terbaring pulas menikmati tidur siangnya. Sebilah pedang dan sebuah tas besar tertata rapi di sebelah kanan tubuhnya yang kini tertutupi oleh selembar jubah coklat usang yang sering dikenakannya.
Entah sudah berapa lama sang pria berada pada posisi seperti ini. Berbaring di bawah sebuah pohon besar dan hanya beralaskan rerumputan yang tumbuh subur di sekitar pohon tersebut. Kedua tangannya terlipat tepat ke belakang layaknya sebuah bantal yang selalu menyangga kepalanya saat waktu tidur telah tiba. Sementara itu, bagian atas tubuhnya terlingkupi oleh bayangan dedaunan yang senantiasa menghalau sorotan cahaya matahari yang menuju ke arahnya. Hanya bagian lulut sampai ke ujung kakinyalah yang kini nampak jelas karena terkena sorotan cahaya sang Mentari.
Ingin rasanya saat-saat seperti ini berlangsung selamanya. Mungkin itulah yang dirasakan oleh sang pria saat memutuskan untuk tidur disana. Tetapi, tidak ada hal yang akan berlangsung selamanya di dunia ini, termasuk tidur siang yang kini sedang dilakukannya.
Sebuah suara tiba-tiba mulai terdengar dari kedalaman hutan. Derap langkah bak binatang yang sedang dikejar oleh puluhan pemangsa mulai menyentuh indera pendengaran sang pria. Membuat sang pria harus kembali terjaga dari tidur siangnya.
Sang pria pun mulai berdiri sambil mengibaskan jubah coklat yang dari tadi telah menutupi tubuhnya sebelum kemudian mengenakannya. Selangkah kemudian, dia meraih pedang yang bersandar tepat di samping tas besarnya dan mengeluarkannya dari sarungnya.
Sang pria mulai melangkahkan kakinya secara perlahan, meninggalkan tempat tidurnya yang masih terselimuti oleh bayangan pohon besar dibelakangnya, menuju ke tempat terang yang berada tepat di hadapannya. Kilatan cahaya perak terang terlihat dengan jelas saat sang pria mulai memasuki daerah yang terkena cahaya matahari. Cahaya tersebut terpantul dari pedang bajanya yang kini menghunus tepat ke hadapannya.
Sang pria terlihat sangat siaga sambil terus melangkahkan kakinya. Dia memegang erat pedang bajanya dengan kedua tangannya. Sementara matanya terus menyisir seluruh bagian hutan yang dapat dijangkaunya.
Sebuah suara kembali terdengar. Hal itu membuat sang pria tiba-tiba memutar tubuhnya. Dia memusatkan pandangannya pada sebuah tempat yang diyakininya sebagai tempat datangnya suara yang baru saja mengganggu tidur siangnya. Sang pria memperbaiki kuda-kudanya. Dia mengangkat pedangnya hingga mendekati bahu kanannya sambil terus bersiaga dan menanti sosok yang akan keluar menghadapnya.
“CLANK!”
Sebuah suara seperti benturan dua buah logam yang saling beradu tiba-tiba terdengar membelah kesunyian hutan. Suara tersebut berasal dari benturan pedang milik sang pria dengan sesuatu yang tiba-tiba menerjang tepat ke arahnya.
“Siapa kau?” Sang pria kembali menghunuskan pedangnya. Kini dia menghunuskannya tepat ke arah sosok kerdil yang baru saja menyerangnya. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya.
Sosok kerdil tersebut terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaan sang pria kepadanya. Tubuh mungilnya kini terlihat sedang bertumpu pada sebuah palu besar yang ada dihadapannya. Dia terlihat sedang mengatur napasnya.
“Huft... huft... huft...”
Suara napasnya tersengal-sengal. Terdengar seperti napas seseorang yang telah berlari puluhan kilometer jauhnya. Sementara itu, sang pria mulai memperhatikannya dengan seksama sambil mencoba menerka asal-muasal sosok kerdil yang kini bersimpuh dihadapannya.
“Apa kau seorang dwarf?” tanyanya.
“Se-Sembunyikan aku!” Sosok kerdil tersebut mulai berbicara. Namun, bukannya menjawab pertanyaan sang pria, tetapi malah memintanya untuk menyembunyikannya.
“Kumohon, sembunyikan aku!” pintanya sambil melepaskan palu besar yang dari tadi menyangga tubuhnya lalu menautkan kedua tangannya. Sosok kerdil tersebut memohon kepada sang pria.
Mendengar hal itu, sang pria hanya bisa terdiam. Dia sepertinya tidak menyangka bahwa sosok kerdil yang baru saja menyerangnya kini malah meminta bantuannya. Dia pun terlihat mulai memikirkan jawaban yang tepat atas permintaan yang baru saja ditujukan padanya.
Sementara itu, derap langkah kembali terdengar dari arah datangnya sosok kerdil yang kini bersimpuh dihadapan sang pria. Suaranya terdengar berat dan banyak. Suara tersebut diiringi dengan beberapa teriakan yang tidak dapat tertangkap dengan jelas oleh indera pendengaran sang pria.
Menyadari akan hal itu, sang pria pun menurunkan pedangnya. Dia kemudian mengisyaratkan kepada sosok kerdil yang masih bersimpuh dihadapannya agar segera mengikutinya. Dia memutuskan untuk membantunya.
Sang pria membawa sosok kerdil tersebut menuju ke sela-sela akar pohon–yang menjalar keluar dari permukaan tanah–yang ada di sekitar tempat tidur siangnya. Mereka bersembunyi disana.
“Indespectus!” ujar sang pria diiringi dengan usapan lembut pada akar pohon yang berada tepat dihadapannya.
Beberapa saat kemudian, seorang pria berbadan besar tiba-tiba muncul dari arah yang sama dengan arah datangnya sosok kerdil yang kini bersembunyi bersamanya. Pria berbadan besar tersebut terlihat sangat marah. Pandangannya yang tajam menyisir seluruh tempat yang ada dihadapannya. Sementara tangan kanannya memegang erat pedang besar miliknya. Kelihatannya seperti orang yang siap memenggal segala sesuatu yang ada dihadapannya.
“Apa yang terjadi?” Sosok kerdil tersebut mulai penasaran dengan apa yang sedang terjadi dihadapannya. “Apa dia tidak melihat kita?” tanyanya.
“Diamlah!” Sang pria menjawab singkat sambil terus memperhatikan sosok pria berbadan besar yang kini tengah berputar-putar beberapa meter di hadapan mereka.
Beberapa saat kemudian, beberapa orang yang mengenakan pakaian yang sama dengan yang dikenakan oleh pria berbadan besar tersebut mulai bermunculan. Mereka terlihat berkumpul dihadapan pria berbadan besar tersebut.
“Lambang itu? Bukannya itu adalah lambang kerajaan Ragna?” pikir sang pria. Sang pria sepertinya mengenali lambang kerajaan yang tercetak rapi di bagian dada sebelah kiri dari baju besi yang dikenakan oleh orang-orang yang kini sedang berdiri beberapa meter dihadapannya.
Lambang tersebut adalah lambang kerajaan Ragna yang merupakan salah satu kerajaan terbesar yang ada di benua ini. Hal itu menandakan bahwa orang-orang yang kini berada di hadapan sang pria adalah para prajurit kerajaan Ragna, kerajaan manusia yang menghuni benua Arda.
Benua Arda merupakan sebuah benua besar yang kini dihuni oleh empat ras besar yang ada di dunia, yaitu ras manusia, ras elf, ras dwarf, dan ras orc. Keempat ras besar tersebut tersebar di seluruh penjuru benua Arda sejak kemunculan mereka beberapa dekade silam. Keempat ras tersebut kini telah menguasai setiap bagian benua Arda.
Ras manusia–yang terkenal arogan dan sangat ingin berkuasa–telah menguasai bagian timur benua Arda. Selanjutnya, ras elf–yang terkenal sangat misterius dan suka menyendiri–telah menguasai bagian utara benua Arda. Kemudian, ras dwarf–yang terkenal dengan kemampuan tambang dan pandai besinya yang luar biasa–telah menguasai bagian selatan benua Arda. Sedangkan bagian barat benua Arda kini dikuasi oleh ras orc–yang terkenal sangat sadis dan suka merampas segala sesuatu yang bukan miliknya.
Meskipun telah memiliki wilayah kekuasaannya sendiri, namun keempat ras tersebut ternyata masih belum puas dengan wilayah kekuasaan mereka. Hal ini sepertinya dirasakan oleh keempat ras yang menghuni benua Arda ini. Namun, yang paling jelas dalam menunjukkan ketidakpuasan mereka adalah ras manusia dan ras orc yang tidak bisa lepas dari sikap serakah dari dalam diri mereka. Mereka bahkan berani menjajah wilayah ras lain demi memperluas wilayah mereka. Hal tersebut akhirnya menyebabkan permusuhan dan peperangan antar ras yang menghuni benua Arda. Namun, keadaan itu sudah berakhir sekitar lima belas tahun yang lalu.
Saat ini, keempat ras tersebut sudah hidup damai di benua Arda. Hal itu terjadi berkat perjanjian damai yang telah ditandatangani oleh setiap perwakilan ras lima belas tahun yang lalu. Sejak saat itu, mereka pun mulai berbenah dan membangun kembali kerajaan mereka demi menunjukkan eksistensi mereka di benua Arda ini.
Kerajaan Ragna sendiri merupakan salah satu dari empat kerajaan besar yang ada di benua Arda. Kerajaan Ragna merupakan simbol keberadaan ras manusia. Kerajaan yang berdiri kokoh di ujung timur benua Arda ini, kini dipimpin oleh seorang Raja yang sangat mementingkan kedamaian dan kemakmuran rakyatnya. Raja tersebut bahkan rela melakukan segala cara demi menjaga perdamaian di kerajaannya, termasuk menjalin kontrak dengan roh penjaga yang bersemayam di benua Arda lima belas tahun yang lalu.
Hal inilah yang menyebabkan ras manusia di benua Arda dapat hidup dengan tentram. Sejak ditandatanginya perjanjian damai oleh setiap perwakilan ras–termasuk raja mereka saat ini, ras manusia kini tidak perlu khawatir lagi dengan serangan dari ras yang lain. Hal ini benar-benar berbeda dengan keadaan ras manusia beberapa dekade yang lalu, dimana saat itu ras manusia adalah ras terlemah yang menghuni benua Arda. Hal itu juga termasuk kerajaan mereka–kerajaan Ragna.
Saat ini, kerajaan Ragna sedang berada pada masa digdayanya. Hal itu terjadi karena sang Raja telah merombak seluruh pasukannya dari kumpulan manusia yang lemah menjadi kumpulan para prajurit yang pemberani dan tak takut mati. Hal itu terbukti dengan keberanian para prajurit kerajaan Ragna yang telah merebut kembali wilayah kekuasaan mereka yang dijajah oleh ras lainnya lima belas tahun yang lalu.
Hari ini, keberanian para prajurit kerajaan Kritalia kembali terbukti dengan keberadaan mereka di dalam hutan ini. Hutan ini adalah hutan Arcana–hutan perbatasan antara wilayah kekuasaan ras manusia dan ras dwarf. Hutan ini membentang di bagian tenggara benua Arda–memisahkan wilayah kekuasaan ras manusia di bagian timur dan wilayah kekuasaan ras dwarf di bagian selatan benua arda.
“Bagaimana?” Pria berbadan besar terlihat bertanya kepada salah satu prajurit yang ada dihadapannya.
“Maaf, Komandan! Kami tidak menemukannya!” Prajurit tersebut menundukkan kepalanya sambil menjawab pertanyaan pria berbadan besar yang ternyata adalah komandan pasukan kerajaan Ragna.
“Cari lagi! Dia pasti tidak jauh dari sini!” ujar sang komandan memberikan perintahnya kepada para prajuritnya.
“Siap!” ujar para prajurit bersamaan.
Para prajurit pun mulai berpencar dan menghilang di tengah-tengah gelapnya hutan tepat setelah menerima perintah dari komandan mereka. Begitupula dengan sang komandan kerajaan Ragna yang terlihat mengikuti langkah pasukannya dari belakang.
Beberapa saat kemudian, keadaan kembali tenang. Sang pria yang dari tadi telah bersembunyi dibalik rimbunnya akar pepohonan pun mulai melangkah keluar dari persembunyiannya.
“Sepertinya sudah aman!” ujar sang pria sambil memperhatikan keadaan sekitarnya dengan seksama. Setelah semuanya terasa aman, sang pria kemudian memberikan isyarat kepada sosok kerdil yang tadi bersembunyi bersamanya agar segera keluar dari tempat persembunyian mereka.
“Apa yang sebenarnya terjadi disini?” Sang pria melemparkan pertanyaannya kepada sosok kerdil yang kini terlihat sedang melangkah keluar dari tempat persembunyian mereka. “Kenapa pasukan kerajaan Ragna sampai mengejarmu seperti ini? Apa kau telah melakukan sesuatu yang buruk terhadap mereka?” tanyanya.
Mendengar pertanyaan beruntun itu, sosok kerdil tersebut terlihat cukup tenang. Dia terlihat membolak-balikkan pandangannya sesaat untuk memeriksa keadaan disekitarnya. Setelah merasa aman, dia pun terlihat berjalan menuju ke sebuah batu besar yang ada di dekat mereka, lalu mendudukinya.
“Tenanglah, aku akan menceritakan semuanya padamu!” ujar sosok kerdil tersebut sambil kembali mengatur napasnya. “Jadi biarkan aku beristirahat sejenak.” tambahnya.
Sosok kerdil tersebut kemudian mulai menjelaskan apa yang baru saja terjadi padanya dan alasan mengapa dia dikejar-kejar oleh para prajurit kerajaan Ragna.
“APA?” Tanpa sadar sang pria berteriak saat mendengar penjelasan dari sosok kerdil tersebut.
“Shhhh... Tenanglah. Aku belum menyelesaikan ceritaku.” Sosok kerdil tersebut meletakkan jari telinjuknya di depan mulutnya sambil memperhatikan sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidak ada yang mendengar teriakan sang pria. “Dan pelankan suaramu! Aku tidak ingin mereka menemukan kita karena teriakanmu.” tambahnya.
“Ba-Baiklah!” ujar sang pria menyetujui permintaan sosok kerdil tersebut sambil menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
Sosok kerdil tersebut pun melanjutkan ceritanya. Ternyata dia telah mencuri sebuah kristal dari seseorang saat dia berada di sebuah jalan yang tidak jauh dari tepi hutan Arcana. Hal itulah yang menyebabkan dirinya di kejar-kejar oleh pasukan kerajaan yang ternyata sedang mengawal rombongan orang tersebut.
“Jadi, kristal ini yang telah kau curi dari mereka?” Sang pria mengambil sebuah kristal merah seukuran ibu jari manusia dari tangan kanan sosok kerdil yang dari tadi duduk dihadapannya.
Sang pria terlihat memperhatikan kristal tersebut dengan seksama. Disana, sang pria melihat sebuah pola seperti simbol elemen api yang sering digambarkan di benua Arda ini. Pola tersebut terlukis tepat di dalam kristal merah hasil curian sosok kerdil yang dari tadi duduk santai dihadapannya.
Namun, bukan pola tersebut yang menganggu pikiran sang pria. Tetapi alasan mengapa kristal sekecil itu bisa membuat sosok kerdil dihadapannya menjadi buronan pasukan kerajaan Ragna-lah yang saat ini menarik perhatiannya. Padahal–sebagai prajurit kerajaan Ragna–mereka seharusnya bisa dengan mudah memperoleh kristal lain yang bahkan mungkin lebih besar dan lebih indah untuk menggantikan keberadaan kristal kecil itu. “Tetapi mengapa mereka tidak melakukannya?” pikir sang pria.
Kemungkinan itu membuat sang pria ingin mengetahui alasan dibalik keberadaan kristal tersebut. Dia pun kembali mengajukan pertanyaannya kepada sosok kerdil tersebut untuk menggali lebih banyak informasi yang diinginkannya.
“Kalau boleh tahu, kenapa kau mencuri kristal ini dari mereka?” tanyanya.
“Memangnya kenapa? Apa salahnya jika aku mencurinya dari mereka?” Sosok kerdil tersebut mencoba membela dirinya. “Kau tahu sendiri ‘kan? Kami, para dwarf, sangat menyukai perhiasan dan benda-benda yang berkilau. Makanya aku mengambilnya dari mereka!” jelasnya.
“Lagipula–sebagai warga kerajaan Ragna–mereka seharusnya dapat mengganti kristal itu dengan mudah ‘kan?” tambahnya.
Sang pria menganggukkan kepalanya. Ternyata sosok kerdil tersebut memiliki pemikiran yang sama dengannya. Selain itu, tidak ada yang mencurigakan dari jawaban yang diberikan kepadanya. Sebagai seorang dwarf, memang wajar jika dia menginginkan benda-benda yang berkilau seperti kristal itu. Apalagi, kristal itu sepertinya mempunyai kekuatan magis yang dapat menarik perhatian orang lain sehingga ingin memilikinya. Kekuatan tersebut sepertinya juga telah mempengaruhi pikiran sang pria yang tiba-tiba menginginkan kristal tersebut menjadi miliknya.
Sementara itu, sosok kerdil–yang rupanya telah menyadari bahwa pria yang telah menyelamatkannya kini mulai terpengaruh oleh kekuatan magis kristal curiaannya–tersebut mencoba untuk menyadarkan sang pria yang tidak berhenti memandangi kristal yang ada ditangannya.
“Sudahlah!” Sosok kerdil tersebut bangkit dari tempat duduknya. Dia mencoba meraih kristal tersebut dari tangan sang pria. “Sekarang, serahkan kristal itu padaku!” lanjutnya.
Namun, sang pria menolak mentah-mentah permintaan sosok kerdil tersebut. “Tidak! Aku tidak akan menyerahkannya padamu!” ujarnya.
Sang pria menggenggam erat kristal yang daritadi berada di tangan kanannya. Sedangkan sosok kerdil dihadapannya kembali mencoba untuk mendapatkan kristal curiannya dari tangan sang pria. Rasanya sedikit lucu saat melihat sosok kerdil tersebut melompat-lompat dihadapan sang pria untuk meraih kristal hasil curiannya.
“Apa? Jadi sekarang kau juga ingin memilikinya, hah?!” ujarnya sambil terus berusaha mendapatkan kristal curiannya. Sosok kerdil tersebut bahkan mencoba untuk mengecoh sang pria dengan ucapannya. “Kau tahu? Kristal itu sangat berbahaya bagimu. Jadi, cepat serahkan padaku!”.
Namun, hal itu sepertinya sia-sia. Sang pria kembali menolak permintaan sosok kerdil tersebut mentah-mentah. “Tidak! Untuk saat ini, aku tidak akan menyerahkannya padamu!” ujarnya.
Sang pria kemudian memasukkan kristal tersebut ke dalam sebuah kantong kecil yang selama ini tersimpan rapi di saku celananya. “Jika kau menginginkannya, kau bisa mencoba mengambilnya dariku!” ujar sang pria sambil menggantungkan kantong kecil yang kini telah berisi kristal tersebut di lehernya.
Sosok kerdil yang awalnya berusaha keras untuk mendapatkan kembali kristal curiannya tersebut tiba-tiba terdiam saat mendengar dan melihat perbuatan sang pria. Beberapa detik kemudian, sosok kerdil tersebut terlihat memutar tubuhnya. Dia melangkahkan kakinya kembali menuju batu yang tadi sempat didudukinya.
“Baiklah. Aku akan membiarkanmu menyimpannya untuk sementara!” ujar sosok kerdil tersebut sambil meraih palu besar yang bersandar di samping batu tersebut. “Lagipula, saat ini aku juga tidak punya banyak tenaga untuk melawanmu!” jelasnya.
“Baguslah kalau begitu!” ujar sang pria sambil melangkah menuju tas miliknya yang dari tadi berada di bawah pohon besar yang sempat menjadi tempat tidur siangnya.
“Oh, ya... Perkenalkan, namaku Rasiel Abraham!” Sang pria memperkenalkan dirinya kepada sosok kerdil yang kini berdiri dibelakangnya.
“Melnar Blacksteel!” sahut sosok kerdil tersebut memperkenalkan dirinya.
Selanjutnya, mereka terlihat mulai berjalan meninggalkan tempat mereka berada dan mulai membelah lebatnya hutan Arcana.
“Oh ya, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu.” Melnar mulai mempertanyakan rasa penasaran yang tadi sempat menghantuinya. “Apa yang kau lakukan pada tas-mu itu dan kita tadi? Kenapa mereka tidak bisa melihat kita, padahal kita berada tidak jauh dari hadapan mereka?” tanyanya.
“Aku hanya menyelimuti kita dengan kekuatan sihirku!” jawab Rasiel sambil terus melanjutkan langkahnya.
“Bagaimana bisa? Bukankah di benua ini hanya kaum elf yang bisa menggunakan sihir?” Melnar kembali melemparkan pertanyaan beruntunnya kepada sang pria yang baru saja menyelamatkan nyawanya. “Apakah kau seorang elf?” tambahnya.
“Ya, kau benar!” jawab Rasiel. “Tapi, aku bukan sepenuhnya seorang elf. Aku juga manusia!” jelasnya.
Melnar terdiam saat mendengar jawaban Rasiel. Dia terlihat bingung dengan jawaban yang diterimanya. Melihat hal itu, Rasiel pun kembali menjawab pertanyaan Melnar kepadanya. Kini Rasiel mencoba menjawabnya dengan singkat dan jelas agar Melnar dapat mengerti maksudnya dengan mudah.
“Half-elf! Lebih tepatnya, aku seorang half-elf!” jelasnya.
Mendengar jawaban itu, Melnar pun mengangguk. Sepertinya dia mulai mengerti maksud ucapannya.
Di benua Arda, memang terdapat banyak ras campuran yang bisa ditemukan. Tetapi, tidak banyak yang seperti Rasiel. Kebanyakan keturunan elf akan memiliki bentuk tubuh seperti seorang elf. Begitu pula dengan seorang darah campuran, setidaknya mereka akan memiliki telinga yang runcing seperti seorang elf pada umumnya. Hal ini terjadi karena gen seorang elf lebih dominan daripada gen dari ras lainnya. Namun anehnya, hal ini sepertinya tidak berlaku untuk Rasiel yang justru terlihat seperti manusia pada umumnya.
Hal seperti ini sebenarnya sangat menguntungkan bagi Rasiel. Apalagi dengan keadaan di benua Arda yang masih sedikit kacau seperti saat sekarang ini, keberadaan darah campuran adalah keberadaan yang paling sangat dirugikan. Mereka seperti makhluk yang seharusnya tidak ada di benua ini. Mereka bahkan diabaikan dan tidak diterima oleh ras asli mereka. Hal ini terjadi karena darah campuran pada umumnya muncul akibat ulah para prajurit yang seenaknya memperkosa wanita yang tinggal di desa atau kota jajahannya selama masa perang terjadi.
Selain itu, para darah campuran dipastikan memiliki beberapa kondisi yang spesial. Yaitu, selain membawa keunggulan dari ras dominan mereka, para darah campuran juga akan mewarisi kemampuan spesial dari ras campurannya. Dalam hal ini, mereka bahkan mampu menguasai kemampuan spesial yang seharusnya hanya dimiliki oleh keturunan asli dari ras campuran mereka. Hal seperti inilah yang terjadi pada Rasiel yang mampu menggunakan sihir, padahal ras dominannya adalah manusia. Hal seperti ini pulalah yang menjadi alasan mengapa ras asli dari para darah campuran menolak keberadaan mereka. Para ras asli merasa tersaingi sekaligus terlecehkan karena darah yang mereka anggap suci telah tercampur dengan darah kotor dari ras lain yang mereka anggap kedudukannya lebih rendah daripada mereka.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan pada kristal itu sekarang?” Melnar kembali membuka percakapan yang sempat redup diantara mereka. Melnar kembali mempertanyakan tentang kristal curiannya yang kini menggantung tepat di dada Rasiel.
“Hm... saat ini aku akan membawanya bersamaku!” jawab Rasiel. “Jika kau benar-benar menginginkannya, kau bisa terus mengikutiku dan mencoba mengambilnya dariku!” lanjutnya.
Mendengar hal itu, Melnar pun tersenyum dan menyetujuinya.
“Baiklah kalau begitu! Mulai saat ini aku akan mengikuti kemana pun kau pergi sampai aku mendapatkan kristal itu kembali!” ujarnya. “Lagipula, aku juga perlu mengganti pakaianku dan mengisi tenagaku sebelum merebut kembali kristal itu darimu!” lanjutnya.
Akhirnya, mereka pun terus berjalan membelah hutan Arcana untuk mencari desa atau kota terdekat yang dapat mereka singgahi sehingga mereka dapat beristirahat, mengganti pakaian, dan mengisi persediaan makanan mereka sebelum kemudian melanjutkan kegiatan mereka kembali.