Kamar impianku, adalah seperti kamar seorang gadis di salah satu novel yang pernah kubaca. Di mana dia menghiasi kamarnya dengan gambar-gambar dan lampion tata surya. Karena aku pemuja keindahan bintang, sebenarnya juga ingin kamarku punya penampakan seperti langit bertabur bintang. Kalau perlu, aku juga ingin menggambar galaksi bima sakti, lengkap dengan seluruh gugusan bintang yang ada di dalamnya. Pasti menyenangkan.
Tapi kenyataannya, kamar yang kumiliki hanyalah bilik kecil dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Kalau malam sudah datang, dinding itu sama sekali tidak bisa diandalkan untuk memblokir hawa dingin.
Sebenarnya masih ada satu kamar yang dindingnya terbuat dari kayu, ada di bagian depan, dekat ruang tamu. Sudah menjadi ciri khas di desaku, kalau rumah yang belum menggunakan dinding permanen, maka bagian depannya--dari ruang tamu sampai ruang tengah-- terbuat dari kayu, dan bagian belakang menggunakan anyaman bambu. Tapi walau kamar itu lebih nyaman, aku tetap memilih tidur di kamar belakang. Di sana ada begitu banyak kenangan tentang bapak yang terukir di setiap sudutnya. Satu lagi yang menyenangkan, kalau lampu kamar dimatikan, maka cahaya lampu dari halaman yang menerobos melalui celah-celah anyaman, terlihat seperti ribuan bintang yang menghiasi langit. Kadang aku iseng menghitunya kalau lagi susah tidur. Dan cara itu sangat ampuh, untuk mengantarkanku pada titik rileks yang luar biasa, tertidur, terus berkelana ke dunia lain.
Omong-omong soal jalan-jalan ke dunia lain, sebenarnya aku penasaran dengan hal ini. Nyata, atau hanya halusinasi. Aku sudah sering menanyakannya sama Asrul, apa ada penjelasan yang masuk akal untuk kejadian yang sering kualami ini? Tapi anak itu selalu sibuk dengan dunianya. Setiap kali ditanya, dia selalu menyuruhku menunggu, dan seringnya sampai lupa. Seperti sekarang, aku sudah duduk di depannya selama hampir dua jam. Dan anak itu masih sibuk dengan tabung-tabung reaksi yang ada di atas meja.
Saat memasuki kamar Asrul, aku selalu disuguhi pemandangan yang unik. Kemarin ada serangkaian kabel yang berserakan, lengkap dengan peralatan listrik lainnya. Katanya sedang membuat adaptor untuk menghemat listrik. Sudah beberapa bulan ini, Iyung selalu mengomel karena pulsa listrik sangat boros. Diisi lima puluh ribu, habis sebelum satu bulan, padahal biasanya bisa sampai hampir dua bulan.
Sekarang beda lagi. Di mejanya berjejer rapi tabung-tabung kaca, dengan asap yang mengepul. Mirip ruangan praktikum seorang profesor. Suhu ruangan ini juga sedikit aneh, entah bagaimana dia bisa mengubahnya. Tapi aku selalu takjub dengan apa yang dia lakukan, walau orang lain sering kali menganggapnya setengah waras dan hanya buang-buang waktu.
Asrul masih sibuk mengamati cairan yang baru saja ditetesi cairan hijau. Tangan kanannya mengangkat tabung kecil ke udara menggunakan jepitan khusus, lalu menggoyangkannya. Setelah beberapa saat, air di dalamnya berubah jadi orange. Dia tersenyum, sepertinya Asrul puas dengan hasil itu.
"Jadi gimana? Apa menurutmu mungkin dan masuk akal? Seseorang bisa memisahkan diri dari tubuhnya, dan masih hidup. Maksudku, apa proyeksi astral itu bener-bener bisa dilakukan? Katakanlah, misalnya aku bisa pergi ke India, sementara ragaku ada di rumah. Apa yang kulakuan di India itu kenyataan?" Menunggu itu membosankan! Tapi sepertinya Asrul tidak memahami hal itu. Padahal aku sudah pusing bukan main. Entah kenapa, kalau puasa begini bawaannya selalu ngantuk dan males-malesan. Ditambah lagi harus menunggu, Bulus memang tidak peka!
"Why not?" Akhirnya dia nyahut juga. "Kan aku udah bilang, semua hal di dunia ini menyimpan penjelasan ilmiah yang masuk akal," ucapnya sambil melepas sarung tangan. Cairan orange yang tadi, sudah berpindah tempat ke beberapa kapsul bening yang terbuat dari kaca.
"Suatu medium tertentu yang memancarkan sinar-sinar foton, kadang terputus. Tidak selamanya penuh. Itu artinya, ada campur tangan sinar foton dari dimensi waktu yang berbeda." Asrul berjalan menuju rak buku di samping tempat tidur, meletakkan kapsul-kapsul itu pada sebuah kotak hitam, kemudian menyimpannya di antara buku-buku tebal. Dia memang dikeluarkan dari kampus, tapi dia masih tetap belajar. Baginya, fakultas hanyalah formalitas. Belajar itu bisa dimana saja. Alam ini diciptakan sebagai tempat belajar bagi orang-orang yang mau belajar. Percuma kuliah, mempelajari materi seharian, tapi prakteknya nol besar. Begitu keluar ruangan, semua yang di pelajari hilang tersapu angin. Katanya begitu.
Songong banget kan cara berpikirnya? Padahal menurutku, itu hanya pembelaan atas keberandalan yang dia lakukan. Ngeles bajaj.
"Inget pernyataan Albert Einstein tentang relatifitas waktu?"
"Albert Einstein?"
"Iya."
"Waktu bukan sesuatu yang linier Tidak ada masa lalu, masa kini, masa depan, kematian dan kehidupan." Otakku loading beberapa saat. Sudah lama tidak membahas pelajaran sekolah, sebenarnya agak sedikit lupa.
Sinar matahari yang memaksa masuk melalui ventilasi, membuat mataku menyipit. Kamar ini sudah kembali normal. Jendela, dan seluruh lubang angin sudah berfungsi sempurna, tidak seperti tadi, karena Asrul barusan memencet sebuah alat mirip remot kontrol, dan pelindung kasat mata yang membuat suhu ruangan ini cukup lembab sekarang sudah menghilang. Aku sedikit menggeser kursi untuk menghindari cahaya yang menyilaukan.
"Benar. Jadi itu artinya ada dua kemungkinan untuk jawaban pertanyaanmu. Kalau teori itu benar, berarti sangat mungkin yang dialami itu memang nyata. Karena menurut Albert Enstein, proses pendewasaan kita hanyalah siklus. Hanya sebuah perjalanan antar dimensi. Bahkan beberapa ahli menyatakan, kalau sebenarnya kematian itu tidak pernah ada. Sekalipun kita mati pada satu dimensi, tubuh kita tetap hidup dalam dimensi yang lain. Dan terus melakukan perjalanan antar dimensi. Itu artinya, saat melakukan proyeksi astral, hanya tingkat kesadaran kita saja yang berpindah dimensi. Dan kemungkinan yang kedua, jika teori itu salah, berarti kemungkinan besar semua yang dialami oleh seorang yang melakukan astral projection itu juga hanya halusinasi."
"Jadi, kalau teori relativitas itu benar, artinya ada kemungkinan kalau aku juga bisa ketemu sama bapak, biar pun cuma dengan tubuh elektrik?"
"Bisa jadi. Eh, tunggu, apa maksudmu? Kamu mau melakukan hal seperti itu?" Dia terlihat berpikir sejenak. "Nggak usah aneh-aneh jadi bocah! Walau hal itu mungkin, dan ada penjelasan yang masuk akal, bukan berarti proyeksi astral atau ngeraga sukma itu nggak bahaya. Apalagi kalau sampai kita masuk dalam keadaan sleep paralysis. Kamu bisa mati berdiri karena ketakutan lihat mahluk aneh yang menindih tubuhmu."
"Maksudmu? sleep paralysis itu apa?" Aku makin penasaran mendengarnya, karena sebenarnya aku juga pernah mengalami hal itu. Melihat seolah ada mahluk mengerikan yang menyandera tubuhku, sampai terasa berat dan tidak bisa bicara, padahal penglihatan dan pendengaran berfungsi sempurna.
"Sleep paralysis itu tahapan menuju asrtal projection. Sejenis halusinasi karena adanya malfungsi tidur pada tahap Rapid Eyes Movement. Biasanya terjadi karena kelelahan. Saat lelah, gelombang otak manusia menjadi sangat ringan untuk melompat dari alam sadar ke alam mimpi. Kalau otak tiba-tiba terbangun, itu namanya sleep paralysis. Kalau iyung bilang, itu namanya tindihan." Mendengar penjelasannya barusan, kepalaku malah tambah pusing. Aku hanya ingin tahu, apa yang kualami selama ini nyata atau tidak. Apa perjalananku ke Hutan Banawasa melalui alam mimpi itu benar-benar nyata, atau sekedar mimpi karena terlalu memikirkan tentang bapak. Dan aku sadar, kalau sampai saat ini, aku masih belum menemukan jawaban.
"Lagian, buat apa sih kamu tanya-tanya ginian? Jangan bilang, selama ini kamu udah sering keluyuran dengan tubuh elektrik." Asrul menatapku dengan mata paling intimidasi, aku sampai berdiri dari dudukku saat dia mendekat.
"Ap-apaan, sih. Ya nggak mungkin lah. Mana bisa aku kayak gitu." Mendadak kemampuan berbicaraku seakan minggat. Gagu, gara-gara Asrul menatap penuh selidik.
"Ya udah. Thanks ya, Profesor Bulus!" Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, sampai dia mundur satu langkah. Bibirku menyungging senyum yang menurutku justru terasa konyol "Terimakasih karena Anda telah sudi meluangkan waktu yang berharga, untuk menjawab pertanyaan dari saya."
"Awas aja kalau sampai kamu ngelakuin hal konyol semacam itu!"
"Emang kenapa?"
"Kamu pikir, siapa yang bakalan jagain tubuh aslimu? Oke, anggap kalau raga sukma itu memang ada, karena selama ini, kita juga sering denger cerita tentang kemampuan orang jaman dulu, yang bisa melakukannya, bahkan menemui orang yang sudah mati untuk berkomunikasi. Walau aku sendiri sebenernya juga ragu. Apa lagi kalau ditilik secara agama, kamu itu kan bekas santri, masa mau ngelakuin hal gituan, sih." Sekarang, dia malah ngomel-ngomel. Tadi aja ditanya sibuk sendiri, giliran udah mulai ngomong, aku nggak dikasih waktu buat menjawab. Asrul memang kadang selevel cewek yang lagi datang bulan kalau udah ngomel.
"Dan lagi, kalau kamu melakukan proyeksi astral macam itu, artinya tubuh aslimu kosong, kan? Bisa aja ada mahluk lain yang masuk, dan kita nggak pernah tahu kemungkinan buruk apa yang bisa terjadi. Tubuh elektrikmu juga bisa tersesat. Kalu sampai itu terjadi, mungkin emang nggak bisa bikin kamu mati, tapi bisa bikin kamu hidup sebagai orang gila, karena jiwa aslimu berkelana, dodol!"
Asrul kenapa, sih? Kok menurutku dia terlalu berlebihan, ya? Kalau memang dia ragu tentang kebenaran proyeksi astral, kenapa dia tahu sebanyak itu? Lagian, aku kan cuma pergi buat nyari bapak di hutan. Itu tidak terlalu jauh dari rumah. Mana mungkin tersesat. Lagi pula, di sana aku juga punya teman, terus punya keahlian memanah juga. Aku rasa itu cukup untuk bekal awal. Selanjutnya hanya perlu melatih kekuatan pikiran, yang bisa bekerja sepeti sihir. Bayangkan saja. Hanya dengan memikirkan pindah tempat, aku bisa teleport kemana saja. Itu hal yang baru kuketahui belakangan ini. Keren, kan?
***
Keluar dari kamar Asrul, aku melihat Ayas sedang duduk di kursi sambil membaca buku. Sepertinya dia sedang menyiapkan bahan untuk kultum nanti malam. Dari arah halaman, kulihat Marningsih berjalan terburu-buru.
"Assalamu'alaikum." Marningaih langsung masuk dan duduk di samping Ayas. Napasnya terengah dan keringat membasahi wajah gadis itu.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Ada apa, Ning? Jalannya kayak orang kesetanan gitu," tanyaku penasaran. Dari caranya berjalan, kupikir ada hal penting yang akan dia sampaikan.
Ayas menutup buku bacaannya, lalu mengalihkan fokus pada gadis yang duduk di kursi sebelah. "Iya, Mbak. Ada apa? Sepertinya ada yang penting." Dia menoleh ke arahku sesaat. Aku hanya mengendikkan bahu, pertanda tidak tahu.
"Itu, Mas, tadi Erni bilang sama aku, katanya malem ini Mas Ayas ditukar untuk menjadi imam di Masjid Dusun Krajan. Dan di sini, nanti imamnya Da'i yang tugas di Danayuda."
"Oh, itu. Iya, Mbak. Tadi pak Asman sudah ke sini." Ayas membenahi letak peci, lalu kembali membuka buku bacaannya.
"Haaaaahh! Jadi Pak Asman udah ke sini, tapi kok tadi Erni nyuruh aku ngasih tahu. Aku sampai lari dari depan masjid, cuma gara-gara tadi dia bilang harus cepet-cepet. Katanya biar Mas Ayas menyesuaikan dengan jadwal di sana." Marningsih heboh sendiri. Aku tahu, ini pasti akal-akalan si Erni. Gadis yang masih duduk di kelas empat SD itu memang usil, apa lagi kalau disuruh ngerjain Marningsih. Otaknya seperti tak pernah kehabisan ide untuk membuat Marningsih kelabakan.
"Astaghfirullah. Kadar keimutanku jadi hilang lima persen gara-gara bocah itu." Gadis itu mencak-mencak sambil mengibaskan tangan. Sedetik kemudian dia kembali berpose imut, lebih tepatnya sok imut, saat menyadari keberadaan Ayas.
Aku hanya terkekeh melihat tingkah Marningsih. Dia selalu menjadi target bully bagi orang di sekitar. Sungguh gadis yang malang.
Tapi mau gimana lagi, aku sendiri kadang ikut mengerjainya. Mukanya itu loh, bullyable banget.
"Imut apanya? Semut noh baru imut." Asrul yang baru keluar kamar, turut andil dalam membully Marningsih. Tangannya menenteng tas punggung, sambil mengenakan topi hitam. Dia duduk di dekat Ayas, lalu menggunakan sepatu.
"Ya Allah, Srul. Kamu tega banget, sih. Kenapa nggak sekalian aja kamu bilang aku kayak nyamuk."
"Nyamuk? Kasihan amat nyamuknya disamain sama orang kayak kamu." Tuh, kan, Asrul emang sadis kalau udah mulai ngebully Marningsih.
Marningsih memasang wajah teraniaya lalu menghadap Ayas.
"Aku imut kan ya, Mas?" Matanya mengedip berulang-ulang seperti orang cacingan. Ayas yang melihat dia berada pada jarak terlalu dekat, langsung memundurkan wajah. Dan mukanya itu kayak orang ketakutan, lucu baget deh.
"I-iya, Mbak. Imut, banget malah."
"Tuh, kan. Mas Ayas aja bilang aku imut pake banget, loh."
"Halah, Mbelgedesh!"
"Mbelgedesh?" Aku dan Ayas menyahut bersamaan. Dan tahu seperti apa reaksinya Ayas? Dia tersenyum penuh arti, seolah nyahut bareng ini adalah kode alam. Kita jodoh.
"Kalian tahu gangga yang hidup di laut? Dia menempel pada terumbu karang yang pudar, dan bereproduksi dengan cara membelah diri. Nah, Mbelgedesh itu spesies terakhirnya." Asrul bangkit dari kursi, wajahnya sama sekali tidak menunjukan raut jenaka. Penjelasannya yang super absurd bin nggak nyambung itu membuatku dan Ayas tertawa. Sementara Marningsih yang malang hanya manyun dramatis.
"Jangan gitu, ah. Gitu-gitu, Marningsih masih keponakanmu, loh." Aku mengingatkan. Biarpun bukan saudara kandung, kami tetap saudara, kan?
"Nggak usah sok ngebelain, kalau ujung-ujungnya bakal ngejatohin!" sewot Marningaih padaku.
"Sabar ya, Mbak." Ayas mencoba menghibur, walau dia sendiri masih menahan tawa karena ulah Asrul. Terlihat dari kedua pipinya yang berkedut.
"Menurutku, Mbak Marningsih itu seperti huruf Nun," Ayas menjeda ucapannya. Marningsih yang mendapat simpati dari Ayas, langsung pasang wajah antusias dan menatapnya penuh harap.
"Nun sukun yang menyempurnakan idham bilaghunah." Ayas melanjutkan. Ia mendramatisir kalimat itu sedemikian rupa, seolah benar-benar sedang bersimpati pada Marningsih. Ekspresi wajahnya sangat kontradiktif dengan apa yang ia ucapkan. Aku tak bisa lagi menahan tawa, apalagi saat Marningsih terlihat semakin nelangsa. Ia cemberut, lalu memukul Ayas dengan buku bacaan yang ada di atas meja.
Asrul memang virus. Sebentar saja Ayas dekat dengannya, sekarang sudah ketularan suka membully. Bahkan menurutku jauh lebih kejam dari Asrul. Nun sukun dalam Idham bilaghunah, artinya keberadaan Marningsih sama sekali tidak dianggap. Sungguh gadis yang sangat malang. Hahaa!
"Sukurin! Emang enak nggak dianggep." Asrul tertawa mengaminkan banyolan Ayas.
"Diem, lu! Dasar kaleng rengginang!"
"Biarin kaleng rengginang, dari pada elu, bulu ketek ubur-ubur."
Mereka sibuk melontarkan ejekan-ejekan yang makin nggak jelas maksudnya.
Oh iya, kenapa tadi Marningsih berani nimpuk Ayas, yah? Sedekat itukah hubungan mereka? Apa aku saja yang terlalu menjaga jarak?
"Jea, nanti kalau Iyung nyariin, bilang aku ke Semarang, ya. Ada urusan." Asrul menyela lamunanku. Dia menyetater motor, kemudian pergi setelah puas menertawakan kesialan Marnigsih. Tanpa mengucap salam. Itu kebiasaan buruknya yang belum juga hilang walau sudah sering diingatkan.
@ReonA Makasih, Kak. Baca semuanyaa, yaaa. Bantu krisannya jugaaaa.
Comment on chapter Prolog