Langkah pertama untuk mendapat Lucid Dream adalah dengan tidur dalam kondisi serileks mungkin.
Setidaknya, aku harus melatih diri untuk terbiasa sadar di dalam mimpi kalau mau berhasil melakukan proyeksi astral. Bapak, sebentar lagi aku pasti datang.
Aku menarik selimut menutupi sekujur tubuh, kamar ini sengaja kubuat remang dengan pencahayaan minim, dan posisi bantal senyaman mungkin. Aku masih penasaran dengan penjelasan dan langkah-langkah yang ada di buku itu. Pertama-tama aku berusaha melakukan visualisasi dengan membayangkan wajah bapak. Bagiku tak ada yang lebih mendamaikan di dunia ini melebihi senyuman hangat lelaki itu, bapakku. Seorang yang sangat ingin dan paling ingin kutemui saat ini. Aku berusaha membuatnya senyata mungkin.
Selanjutnya aku memutar sebuah instrument dengan gelombang musik yang bisa membantu dan mempermudah seseorang mendapatkan lucid dream, kali ini pilihanku jatuh pada instrumen lagu Bunda milik Potret.
Kedua, kontrol pernapasan dan konsentrasi.
Perlahan aku mengatur pernapasan dengan cara memperlambatnya. Aku sedang berusaha untuk tetap rileks dengan mata terpejam.
Jaga pikiran tetap sadar, namun santai. Jika anda berusaha tersadar namun tidak santai, anda tidak akan bisa tertidur. Berusahalah untuk melakukan hal-hal yang bisa membuat anda tetap sadar dalam kondisi rileks, seperti menghitung domba atau membayangkan diri anda naik turun tangga.
Kali ini aku membayangkan ribuan bintang yang ada di langit, lalu menghitungnya satu-satu. Ah, ya! Lagu anak-anak seperti bintang kecil mungkin bisa membantuku untuk lebih rileks. Kupikir itu bukan ide buruk, bahkan cukup brilian untuk ukuran otak orang yang sudah hampir tidur begini, kan?
Sleep Paralysis. Kondisi ini adalah tahapan utama ke arah Lucid Dream. Anda mungkin akan merasa ditindih oleh sesuatu yang sangat berat, susah bernafas, tubuh serasa berputar dan terlempar. Ingat, jangan terbangun saat mencapai tahap ini. Jika anda bangun karena merasa ketakutan, Lucid Dream anda akan gagal.
Seketika itu pula aku merasa sesuatu menindih tubuhku dengan berat yang luar biasa. Napasku seakan tercekal, membuatku harus berjuang untuk tetap memasok oxygen ke paru-paru tanpa membuka mata. Beberapa detik kemudian aku merasa jatuh terperosok dalam lubang yang dalam, seolah gravitasi begitu kuat menarik tubuhku. Beberapa kali merasa terlambung, berputar-berputar dalam kegelapan, bahkan terombang-ambing. Perasaan takut itu perlahan menelusup masuk ke dalam pikiran, sedikit demi sedikit memecah konsentrasi.
"Aku tak boleh gagal."
Kemudian Black Out. Periode transisi dimana anda merasa memasuki ruang hitam kelam. Akan berlangsung selama beberapa saat, dan sekali lagi jangan sampai terbangun.
Di hadapanku tiba-tiba saja muncul sebuah gerbang hitam, mirip dengan sebuah portal tak berujung. Kemana itu akan menuju aku tidak pernah tahu, karena gerbang itu diselimuti kabut yang cukup pekat. Tapi kaki ini justru menjadi lancang melangkah masuk ke dalam gerbang hitam itu, seolah terpanggil oleh seseorang di dalam sana. Bapak? Benarkah bapak ada di dalam sana?
Segerombol angin yang pongah menyerbu wajahku, lalu dalam sekejap, tubuhku sudah berpindah tempat. Hutan? Apa ini Hutan Banawasa yang mereka bilang angker itu? Apa mungkin, mahluk jahat benar-benar menahan bapak di tempat ini?
***
Aku baru selesai merapikan jilbab, saat Marningsih menerobos pintu kamar. Dia bertingkah seperti orang setengah waras. Kurasa begitu. Dia memang setengah waras setiap kali imajinasinya dipenuhi oleh cowok-cowok ganteng dari negri gingseng, yang menurutku justru kelihatan cantik. Lihat saja tingkahnya sekarang, gadis itu bergulingan di kasur sambil memegangi tangan. Kakinya menendang-nendang kecil udara malang yang sebenarnya tak bersalah. Aku hanya menatap hiba pada gadis itu, ia histeris sendiri.
"Ma Syaa Allah, Jea. O em ji, kok ada yah, orang gantengnya keterlaluan gitu?" Dia bangkit dan duduk di tepian ranjang, "Hmmmmmm,... Tangannya wangi banget," lanjutnya setelah menghirup udara lebih dalam dari sebelumnya.
"Ada apa lagi? Pelakor baru?"
"Hah? Pelakor?" Alisnya menjinjit sebelah.
"Iya, yang kalau kamu lihat cowoknya suka njerit-njerit itu, kan? Siapa namanya?" Aku mengingat ingat sebentar, tanganku menata satu-satu pakaian yang sudah disetrika. "Hmmm, ya, itu Song Joong Ki, apa Lee Min Ho apa siapa itu yang kamu suka bilang, aktror pelakor yang mukanya cantik-cantik."
"Drakor!" Marningsih menimpukku dengan bantal. "Enak aja pelakor. Beda jauh, tau! Pelakor itu perebut laki orang, drakor maksudku drama korea. Dapet kosa kata dari mana, sih? Jelek banget omonganmu." Dia manyun sok imut. Katanya sih, pipi yang menggembung dengan bibir yang kalau diikat karet gelang bisa muat lima itu merupakan gaya imut. Menurutku justru mirip pantat ayam yang baru bertelur. Hahaa!
"Kan kamu yang ngajarin."
"Enak aja!" Mukanya nyolot sebentar, tapi detik berikutnya Marningsih sudah kembali setengah waras. Dia mengambil guling milikku, memeluknya lalu meletakkan kepala di atasnya dengan mata terpejam dan bibir menyunggingkan senyum, seolah yang dia lakukan saat ini adalah hal paling romantis sejagat otak dramanya.
"Ini l bukan cowok korea, tapi manusia nyata yang benar-benar nyata. Dan tanganku ini baru salaman sama dia. Kayaknya dia itu bidadara yang nyasar ke bumi, deh."
Tuh kan, dia mulai ngawur lagi. Jadi anak kok ya hobinya menghayal. Kalau bukan menghayal ingin punya suami berwajah oriental ala-ala boyband korea, ya dia akan mengatakan hal-hal aneh. Seolah dirinya adalah karakter utama, dari drama korea yang baru dia tonton. Pokoknya, punya sepupu Marningsih itu benar-benar ujian. Harus extra sabar telinganya kalau dia udah mulai ngomong masalah cowok korea. Apa lagi kalau udah ngomong pakai bahasa alien, siap-siap melongo melihat tingkahnya yang kadang jingkrak-jingkrak nggak jelas seperti anak bayi yang baru mulai belajar berdiri di pangkuan ibunya.
"Sadar, Ning. Kamu itu sudah dewasa, jangan bersikap seperti anak kemarin sore terus-terusan. Kasihan Mamak sama Bapakmu, punya anak perawan, tapi demennya ngayal. Mbok ya realistis dikit, gitu loh."
"Aku serius, Je. Yang ini beneran nyata, dia itu Da'i yang baru datang dari Tegal rejo," Marningsih bicara dengan kadar kelembutan yang melebihi marshmellow. "Gantengnya nggak ketulungan. Pokoknya Song Joong Ki mah lewat. Matanya, hidungnya, senyumnya, semuanya. Ma Syaa Allah banget. Nyaris sempurna kalau aku bilang," bisiknya sangat lirih. Aku sampai harus medekatkan telinga demi mendengarnya. "Bukan nyaris malah, tapi perfecto! Suamiable banget. Oh mai god!"
"Maksudmu? Kamu habis salaman sama Mas Da'i? Kok bisa, sih?.
"Ya, bisa lah. Malahan dia duluan yang ngajak salaman."
"Haaah?!"
Aneh, santri Tegal Rejo biasanya menghindari berjabat tangan dengan yang bukan mahram, kenapa ini malah dia yang ngajak salaman? Apa Marningsih nggak salah orang?
"Biasa aja kali, 'Haah'nya. Ntar juga kamu dapet giliran."
"Jea!" Uwak Yatin menyembulkan kepala dari balik pintu.
"Dalem, Wak. Ada apa?"
"Itu, kamu dipanggil sama Pak Asman. Katanya disuruh kenalan sama Mas Da'i. Sekalian mau nitip sama kamu katanya, biar bantu-bantu sama jelasin adat dan kebiasaan orang sini."
"Lha, kok nitipnya sama aku? Emangnya Si Bulus kemana? Dia kan cowok, pasti lebih gampang akrab lah. Kalau sama aku takutnya malah rikuh, Wak."
"Udah, nggak usah nanyain Asrul. Dia di kamarnya ngurusin alat-alat listrik nggak penting. Lagian kayak nggak tahu aja, dia mana mau ngurusin urusan Masjid."
Sebenarnya, walau tidak kenalan juga nanti pasti kenal. Apa lagi tahun ini, giliran Simbahku yang kebagian ditempati Da'i. Sudah jadi kesepakatan warga di sini, kalau setiap tahunnya akan digilir dari rumah ke rumah. Tapi untuk memudahkan kegiatan belajar-mengajar, biasanya hanya rumah dengan jarak terdekat dengan Masjid saja yang mendapat giliran.
Di rumah ini, Mbah Kasmaji hanya tinggal dengan Iyung, Aku, dan Asrul. Bapak hilang saat mencari kayu bakar di Hutan Banawasa.
Mereka bilang, orang yang tersesat di hutan terlarang itu, pasti meninggal. Bapak memang keras kepala, dia tidak memperayai segala bentuk mitos. Makanya saat semua orang mengatakan kalau Hutan Banawasa itu angker, bapak tetap tidak percaya. Baginya, segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Tidak ada hubungannya dengan mitos yang mengatakan bahwa penguasa Hutan Banawasa adalah raja jin yang haus darah. Aku sendiri setuju dengannya.
Saat ini, semua orang mengatakan bahwa bapak sudah meninggal. Tapi selama aku belum melihat jasadnya, maka bagiku bapak masih hidup.
Aku menuju ruang tamu. Meninggalkan Marningsih dengan segala imajinasi luar biasa yang ia miliki.
Di ruang tengah, Uwak Yatin, Bibi Gowas, dan Bibi Iwo sedang mengintip dari balik pintu.
Aku heran kenapa mereka masih saja suka melakukan hal itu. Padahal nanti malam saat tarawih dan juga pasti ketemu, apa lagi dia tinggal di rumah ini. Tapi kok ya masih suka ngintip-ngintip gitu. Apa segitu penasarannya, yah?
Saat memasuki ruang tamu, aku mencuri pandang kearah Mas Da'i.
Dia duduk di samping Pak Asman, Ketua Rt kami. Di kursi seberang ada Simbah sama Iyung. Dan ada Mas Karisan juga. Lalu Uwak Wasono, takmir masjid Ar-Rahman.
Kulihat sekilas, pria berpeci itu memiliki postur tubuh yang cukup tinggi, dan kulitnya putih bersih. Tidak seperti santri kebanyakan, yang biasanya kalau baru datang kesini pasti bulukan. Punggungnya terlihat kokoh dan melindungi, pasti sangat nyaman kalau bisa bersandar di sana.
Eh... Kenapa pikiranku malah jadi ngelantur gini? Pasti gara-gara Marningsih. Cara dia mendeskripsikan sosok Mas Da'i yang hiperbolis, sukses membuat otakku keracunan rasa penasaran.
"Jea, sini kenalan sama Mas Da'i."
"Nggih, Pak." Aku berjalan sambil menunduk.
"Mas, ini Mbak Jea. Cucunya Mbah Kasmaji. Selama di sini, Mas Da'i nggak usah sungkan-sungkan. Kalau ada perlu apa-apa, tinggal bilang sama Mbak Jea, atau saya. Nantinya Mbak Jea juga yang akan membantu Mas Da'i mengajar, tapi kalau dia sedang berhalangan, biasanya sama Marningsih. Yang tadi sudah saya kenalkan."
"Oh, nggih, Pak."
Suara bariton bening itu menabrak gendang telingaku, dengan sensasi yang sedikit aneh. Aku pernah mengenal seorang pemilik jenis suara seperti itu.
Selanjutnya yang kulihat adalah sebuah tangan. Dia mengajakku bersalaman? Lagi-lagi aku merasa pernah melihat tangan itu. Pandanganku naik ke lengan, dan berhenti pada wajahnya.
Jantungku berdetak dengan cara yang ganjil, getaran yang kurasakan membuatku berpikir tentang kemungkinan terjadinya gempa lokal di dalam diriku. Tubuhku seperti tersengat listrik jutaan volt saat tangan kami saling bertaut.
"Ayas." Ia menyebutkan namanya.
Suara itu adalah candu yang selalu ingin kudengar. Sejak dulu. Aku selalu menyukai gelombang suara yang dimiliki pemuda itu.
Tapi kenapa harus dia? Kenapa dia yang ada disini sekarang?
"Jea Ayuningtyas." Itu bukan suaraku. Sungguh. Orang itu yang menyebutkan nama lengkapaku. Dia masih mengingatnya?
Ya, Gusti. Selamatkan kewarasanku. Kenapa aku serasa melayang, hanya karena dia menyebutkan namaku.
"Astaghfirullahhal'adzim." Aku buru-buru menarik diri, saat menyadari kehangatan yang menyelimuti telapak tangan.
Aku menyentuhnya lagi? Innalillah, kenapa aku selalu gagal mengendalikan diri saat berada di dekatnya?
Sudah bertahun-tahun sejak aku meninggalkan pesantren, tapi kenapa otakku begitu kekanakkan tidak mau melupakannya?
Dia Gus Ayas. Putra pengasuh Asrama Perguruan Islam Putri (APIP) 2 Tegal rejo. Seorang yang telah mengambil sebagian besar ingatanku, rinduku, juga hatiku. Dia yang selalu berhasil membuatku bertekuk lutut, menyerah pada cintanya, bahkan sebelum kata itu terucap darinya.
Yasssalaaaam, ngalamat kacau kehidupanku selama 30 hari kedepan.
Best Regards,
MandisParawansa
@ReonA Makasih, Kak. Baca semuanyaa, yaaa. Bantu krisannya jugaaaa.
Comment on chapter Prolog