Baiklah, aku akan mulai bercerita tentang Boby. Sosok yang membuat Rana dan simbok penasaran. Baik si orangnya, baik banget sama Meta.
“Oke oke.. cerita darimana ya, enaknya?” kataku.
“Dari awal ketemu,” jawab simbok singkat.
“Aku bertemu dengan Boby, ketika aku baru bekerja di rumah sakit, lalu dia ada di bawah aku. Alias asisten aku, ketika mengerjakan hal-hal yang berbau translate ke bahasa Jepang. Rumah sakitku ini yang punya orang Jepang, jadi kalau mau membuat laporan harus dalam bahasa Jepang, bosku tidak mau dengan bahasa Inggris. Makanya kami, para dokter memiliki satu asisten penerjemah. Itulah Boby yang aku kenal.”
“Ooo, jadi kamu bukan ngurusin pasien orang Jepang?” tanya Rana.
“Kalau pasiennya bisa ngomong, Meta takut.”
“Oh iya, kan ngurusin mayat ya. Hihhii lupa Rana mah.”
“Lanjut dong ceritanya,” kata simbok. Disini, simbok memang membiarkan kami saling bertukar cerita. Simbok tahu kalau kami lama tidak berjumpa, pasti ada titik rindu setelah lama sekali hilang kontak. “Lanjut ceritanya, simbok mau ambil cemilan dulu, untuk menamani obrolan kita ya,” sambung simbok lagi. Kemudian simbok keluar kamar untuk mengambil beberapa camilan.
Aku melanjutkan kembali ceritaku. “Terus ya karena sering kerja bareng dan satu ruangan, kadang kita pulang bareng juga. Kadang makan bareng dia juga antar aku ke kost. Hanya sebatas itu saja.”
“Keluarganya bagaimana?”
“Sampai saat ini ya belum tahu karena Meta belum pernah ke rumahnya. Tapi kalau desas-desus orang, katanya maminya si Boby itu matre. Meta belum bisa paham sih, nggak berani sepenuhnya percaya juga dengan omongan orang lain itu.”
“Hmm.. kalau sampai ada gosip macam itu, kemungkinan besar iya.”
“Ih, jangan mutusin begitu aja. Mungkin itu orang yang bergosip aja yang parah, nggak suka kalau Meta dekat dengan Boby. Soalnya di rumah sakit juga ada yang suka dengan Boby, namanya Anis. Dia perawat di rumah sakit.”
“Wah, saingan berat itu dong.” Kata Rana. Lalu simbok muncul di balik pintu dan berkata, “Iya berat. Masih berat mana sama bawan simbok ini. Ayo dibantu.” Simbok datang dan membawa beberapa jajanan pasar yang tadi siang dibuatnya. Simbok memang sengaja membuatkan jajanan pasar karena tahu Rana dan Meta hendak kemari. Sejenak kami berhenti bercerita dan membantu simbok membawa jajanan tersebut.
Kami bertiga kumpul kembali dan melanjutkan cerita yang sedang aku dongengkan itu. Menceritakan detail demi detail Boby yang sudah aku tahu. Selain yang sudah aku sebutkan diatas, Boby pernah bercerita kalau mami sedang bekerja di Thailand, entah dimana. Aku sempat berfikir sih, kenapa kok bisa sampai bekerja di luar negeri. Entahlah, mungkin suatu saat teka-teki ini akan terjawab dengan sendirinya. Sampai sejauh ini, aku hanya mengetahui perihal itu saja mengenai Boby. Namanya juga baru kenal dan pertama kali bertemu. Oh ya, kalau kata simbok, Boby sering memberiku bunga dan coklat, itu benar sih. Hanya saja aku tidak pernah membawanya pulang ke rumah. Setiap aku membawa benda-benda pemberian Boby, selalu saja diminta oleh anak kost yang lain. jadinya, coklat pemberian Boby kita makan bersama dan bunganya aku kasih pada anak lain karena aku tidak suka bunga.
Ketika aku sedang bercerita, aku menjadi lebih penasaran pada sosok Wiji dan Xiao Feng yang tadi Rana ceritakan. Aku memaksa Rana untuk bercerita denganku. Pada pikiranku kala itu, sepertinya keduanya sedang berebut hati Rana. Tapi entahlah.
Rana bercerita soal Xiao Feng terlebih dahulu. Ia mengatakan bahwa Xiao Feng hanya sebatas teman sekaligus kakak bagi Rana. Tidak ada satu persen pun Rana menaruh perasaan pada Xiao Feng begitu pula sebaliknya. Hubungan mereka hanya sebatas pada kakak adik yang dipertemukan atas kafenya yang ia dirikan di China. Baiklah, aku tidak akan mengejar pertanyaan seputar Xiao Feng lagi. Berikutnya aku akan mendesaknya untuk bercerita tentang Wiji, siapa itu?
Rana tidak menceritakan siapa itu Wiji, dia hanya berkata jika Wiji adalah seniornya ketika dia berada di Singapura. Orang Indonesia yang pertama kali ditemuinya dan masih berkomunikasi hingga saat ini. Aku sangat yakin, jika mereka sedang dekat. Terbukti oleh ucapan simbok yang mengatakan bahwa, “Jodoh itu mereka. Tapi harus melalui banyak rintangan selama setahun kedepan ini. Kalau mereka berdua bisa lolos ujian, mereka berjodoh. Namun jika ada yang mundur salah satu, tidak akan bisa menyatu lagi.”
“Lalu aku dan Boby bagaimana?” tanyaku menjadi penasaran. Rana meledek jika kami memang sedang ada suatu hubungan. Maksud aku bertanya, sebenarnya jika memang dia untukku akan aku bawa ke rumah. Jika tidak aku tidak akan menjaga jodoh orang, aku hanya takut sesuatu terjadi padaku lebih buruk lagi. Simbok tidak menjawab apapun, dia hanya berkata, “Coba Meta dekati dan kenali Boby dulu lebih dalam, agar tahu apa maksudnya mendekati Meta. Tidak maukan kalau Meta mendapatkan kabar kabur lagi. Selidikilah dulu, si Boby itu.
“Baiklah simbok. Oh iya, Meta sampai lupa. Meta sebenarnya ingin berubah karena selama kuliah Meta sedikit Hendon dan memakai pakaian ketat. Meta bingung, harus memulai dari mana. Sungguh, saya ingin menemukan jati diri yang sesungguhnya. Meta merasa salah jika seperti ini terus. Takut kalau Meta tidak menemukan lelaki yang tulus.”
“Nanti ketika Meta masuk kamar, Meta akan tahu jawabannya. Singkat saja, simbok berkata. Mulai dari hati. Dimana letak Meta nyaman. Jika bersikap hedon tidak nyaman, mulailah kembali ke hidup yang sederhana. Pahami apa yang sebenarnya Meta inginkan. Lalu lebih dekatkan diri pada yang Maha Kuasa. Inysaallah nanti akan menamukan jawabannya. Sosok Meta yang sekarang ini, tidak usah diubah. Sudah bagus, cara bersikap dan juga menjawab pertanyaan dari orang lain. Sudah pas.” Jawab simbok.
Aku tidak paham apa maksud simbok, tapi tak apa. Pasti nanti ada jawabannya seiring aku perlahan mengubah diriku. Semenjak AC3 bubar, aku sudah sedikit kembali menjai pribadi yang ramah kepada semua orang. Meski aku sedikit galak pada beberapa lelaki yang kadang curang terhadapku, kata simbok itu tidak apa-apa.
Sesi curhat dengan Simbok pun usai. Senannya Rana, sudah mengetahui jika dia dan Wiji akan berjodoh. Hanya perlu membangun komunikasi saja. Baiklah, sekarang giliranku untuk menjemput jodohku. Tadi Rana juga bercerita kalau dia sedang magister. Ah, aku jadi ingin meneruskan studiku. Dimana ya? Antara ingin di Indonesia atau keluar, menyusul Rana. Jika di Indoneisa aku masih bisa sambil bekerja, tapi kalau ke luar, entah. Kalau dipikir-pikir aku lebih memilih di Indonesia saja, agar dekat dengan simbok dan dapat mengurus pabrik juga. Oh iya, sekarang AB sudah buka cabang di Bogor dan Yogya loh. Itu semua aku yang pegang kendali dan untuk memastikan mereka baik-baik saja.
Aku menuju kamarku dan Rana pulang ke rumahnya. Ketika aku masuk ke kamar, aku ingin mandi dan membuka lemari pakaian. Aku sempat bingung, ini semua baju siapa. Kenapa tidak ada bajuku sama sekali? Baju yang aku beli ketika di Yogya pun tidak ada, semuanya berubah. Aku panggil mama dari dalam kamarku, “Maaaa… mamaaaa” lalu mama mendekat ke kamarku, “Apa sih, ini Meta teriak-teriak. Ada apa?”
“Ini baju siapa, kenapa ada disini? Lalu baju Meta dimana?”
“Ya itu kan baju kamu?”
“Panjang gini. Emangnya Meta mau ngaji.”
“Itu masih ada daster kalau buat malam ah. Masih ada itu, ribet amat.”
“Yang lain mana?”
“Ya itu, dilemari, semuanya punya kamu.”
“Kok kaya gini? Ih”
“Baju kamu yang buat musim panas, udah mama buang. Mama ganti pakai baju yang lebih enak dipandang. Jilab juga udah mama belikan, semuanya. Udah tinggal pakai juga. Mama nggak akan nagih uang.”
Baiklah, aku akan memulai perubahan dalam penampilanku kembali. Alasanya karena bajuku dibuang sama mama dan diganti oleh baju lengan panjang. Ah, mama ini. Semenjak kejadian itu, aku kini memakai hijab. Awalnya aku hanya memakai jilbab pendek yang lansung, tidak perlu dililit. Semakin hari aku belajar mengunakan jilbab dengan Rana, lalu aku bisa memakai jilbab segi empat dan beberapa bulan kemudian aku bisa memakai pasmina. Yah! Aku sudah menemukan style yang cocok untukku.
Perkenalanku dengan Boby, ini masih berlanjut. Ketika ruangan sedang sepi, hanya ada aku dan Boby, entah kenapa dia tiba-tiba berkata “Aku punya feeling kalau kita jodoh.” Hah? Apa coba maksudnya? Kita kan nggak ada hubungan apapun. Masa iya dia bilang gitu, lalu aku menjawab “Loh, bukannya mas Boby lagi deket sama Anis ya? Kenapa kok bilang gitu sama saya?”
“Nanti sepulang kerja, aku ajak ke rumah ya. Aku kenalin sama mami dan adikku. Biar kita sama-sama saling kenal”
Idih, apaan sih. “Maaf, maksudnya apa ya?”
“Meta, saya serius. Saya sayang denan dokter.”
“Tapi saya masih ingin kuliah, lanjut magister. Memang mau menunggu?”
Sedikit perckapanku dengan Boby, awalnya dia melarangku lanjut kuliah. Entah apa alasannya, aku tidak tahu. Singkat cerita, seiring berjalannya waktu dan kedekatanku dengan Boby semakin dekat. Kami resmi berpacaran, aku pun sering diajak ke rumah Boby. Pada awalnya memang nampak biasa saja. Mami dan adiknya sungguh ramah, tidak ada masalah apapun dalam keluagra tersebut. Semakin hari aku semakin nyaman dengan Boby
Aku pun dengan jujur menceritakan tentang diriku, termasuk fasilitas yang papa berikan padaku. Boby mempertanyakan mengapa aku tidak memakai kendaraan sendiri, kala itu aku hanya menjawab aku tidak suka. Aku lebih suka naik kendaraan umum karena lebih nyaman bagiku. Singkat cerita, aku keceplosan jika aku diberi mobil oleh papa.
Suatu ketika, saat aku sedang berkunjung ke rumah Boby untuk kesekian kalinya, ia menceritakan apa yang menjadi rahasiaku selama ini, pada maminya. “Mih, Meta ini ternyata anak orang kaya loh. Dia punya Andry Bakery dan mobil juga.” Sejak mendengar perkataan itu, mami jadi berubah sikap padaku. Ketika aku berkunjung lagi, atas perintah mami. Awlanya aku sedang tidak bisa datang ke rumah, tapi karena mami memaksa, apa boleh buat. Usai pulang kerja, aku sempatkan diri ke rumah mami. Namun mami tidak menyambutku seperti biasanya, “Kamu kok ke sini nggak bawa apa-apa. Bawa martabak kek, atau makanan apa gitu. Membahagiakan calon mertua kan dapat pahala.” Aku terkejut mendengar perkataan mami seperti itu. Aku hanya bisa meminta maaf.
“Ya udah, nggak papa. Mami lapar nih, kita makan yuk. Diluar, sama adek juga. Mumpung Boby belum pulang. Kita bertiga aja ya, kamu bawa mobil kan.” Katanya.
Aku hanya mengangguk dan mengikuti apa keinginan mami, ia lapar dan ingin aku membawanya makan diluar.
“Eh, kalau bertiga kita sepi nggak ya. Ajak adik mami juga ya, nggak papa kan. Adik mami kayaknya belum makan juga deh.” Singkat cerita, kami makan berlima. Aku menyetir mobil menuju tempat makan yang diinginkan oleh mami, aku malah belum tahu restora apa ini. Aku belum pernah masuk dan makan disini.
“Ayo, ayo pesen.. jangan malu-malu. Hari ini dibayarin oleh Meta loh. Iya kan?” kata mami. Hah? Aku kaget. Aku kira mami mengajak makan, dia yang ingin membayarkannya. Tapi kenapa jadi aku yang bayarin? Mana banyak orang lagi, dimenu tadi tidak ada harganya. Wah, pasti mahal ini. “Meta mau apa? Mami pesenin ya. Ini pasti kamu suka.” Kata mami sambil menunjuk salah satu makanan di menu. “Kebetulan tadi Meta dapat jahat makan siang Mi, saya pesen minum aja.” Kataku. Aku berkata demikian agar tidak membuang uangku terllau banyak. Yak ampun,k kenap jadi seperti ni sih. Jadi gosip itu benar? Usai semuanya makan, aku membayar dan habis 980.000 untuk lima orang. Ya ampun, mahalnya. Ya sudahlah, sesekali. Nggak papa, asal jangan terus-terusan aja. Namun aku tidak menceritakan hal ini pada Boby. Akhir-akhir ini, Boby lebih sering marah-marah. Entah karena apa.
Tidak hanya hari itu, seminggu kemudian mami juga minta makan di luar lagi. Ia menelfonku, “Ta, jam 7 kamu udah balik kan? Mami tunggu di restoran seafood ya. Ini mami perjalanan kesana. Oke? Awas lo, jangan lupa.” Katanya lagi.
Usai aku bekerja, aku ke restoran yang mami sebutkan tadi, kenapa ada banyak orang disini? Mereka siapa? Apa sedang arisan? Ada mami ditengah-tengah mereka. Ketika ia melihatku, mami menyuruh untuk mendekatinya, “Eh, anak mantu. Sini sini sini, dekat mami. Ini kita lagi pada arisan, kebetulan, mami yang dapat hari ini. Seneng deh. Sini sini sini… kita makan ya. Meta belum makan malam kan?” kata mami. Sedikit lega hatiku, aku memesan makanan dan minum. Menjelang usai acara tersebut lalu mami bilang, “Eh iya lupa. Nih, kenalin. Pacarnya Boby, cantikkan… udah nanti kalian pada balik dulu aja. Biarin si Meta yang bayar. Dia kan anak mami yang baik. Iya kan neng?” katanya.
“Iya mi.” kataku singkat. Sejujurnya dalam hatiku, aku sedang menangis darah. Kukira kali ini mami yang akan membayar, kenapa aku lagi. Sama temen-temen arisannya lagi. Ya Allah, bener-bener deh aku nggak kuat kalau lama-lama begini. Aku pun menuju meja kasir untuk membayar makanan mereka, sendirian. Seharusnya aku kabur saja ya, tapi hati kecilku tidak tega. Aku membuka dompet dan hanya membawa uang 700rb. “Total semua 1.200.000 mbak,” kata petugas kasir. Hah? OMG aku tidak menyangka. Tahu gitu aku nggak mau ikut kesini tadi. Untunglah aku masih ada tabungan di ATM, jadi aku bayar dengan debit. Baru dua kali ngajak makan mami, aku habis 2juta lebih. Gimana besok kalau aku berumah tangga sama Boby? Ah kesal. Aku harus mengakhiri hubungan ini. Lalu bagaimana caranya? Tapi kan aku masih sayang sama dia. Gimana ya? Andai maminya tidak seperti itu.
Di kantor, gosip Boby dengan Anis semakin memanas. Bahkan ada kabar yang mengatakan kalau mereka sudah bertunangan. Selama ini, mami tidak pernah bercerita apapun tentang Anis atau teman perempuan Boby lain. Caca, adik Boby, apakah dia mengetahui sesuatu dibalik misteri ini? Aku ingat, aku putuskan untuk menemui Caca di sekolahnya. Dia masih SD, pasti dia akan jujur dengan apapun yang aku tanyakan.
Hari ini aku libur praktik. Aku putuskan untuk menjemput Caca. Sebelumnya aku menelfon mami, “Mi, aku Meta pengen jalan sama Caca ke kebun binatang. Boleh nggak? Nanti sekalian Meta ajak makan siang deh. Mami mau titip apa? Tapi sorean ya pulangnya. Tapi Meta cuma mau ajak Caca aja. Nggak papa kan?” kataku. Mami memperbolehkan aku pergi dengan Caca. Baiklah, aku akan menyelidiki hal ini, melalui Caca. Semoga dia tahu sesuatu mengenai teka-teki yang menjadi misteriku.
Aku menjemput Caca di sekolahnya dan mengajaknya makan siang dulu. “Caca mau makan apa? Kita makan dulu, sebelum jalan-jalan ya.” Kataku. “Caca kepengen makan mie ayam kak. Boleh?” katanya. Aku pun langsung menuju tempat mie ayam yang diinginkan oleh Caca. Aku heran, kenapa kok ketika aku tawari sesuatu, Caca selalu berkata “boleh?” aku ingat, Rana pernah bilang. Jika ada anak kecil yang seperti itu, tandanya dia takut kalau permintaannya ditolak. Bisa juga karena sering dilarang oleh orang tuanya atau karena dia takut memutuskan sesuatu. Baiklah, disini aku akan menggunakan kesempatanku untuk memanjakan Caca agar dia mau terbuka denganku. Masalah nanti Boby menanyakan atau tidak, urusan nanti. Melihat kalau Boby sering memarahi Caca, aku pun nanti diakhir penyelidikan akan bilang pada Caca, “Ca, biar nggak dimarahin sama kakak dan mami, nanti bilang aja kita jalan-jalan seru ya. Caca nggak perlu bilang kakak tanya apa saja sama Caca. Kalau Caca dimarahi, kakak nanti sedih.” Kataku dengan sedikit memelas.
Baiklah, aku mulai menyelidiki Caca. Setelah makan siang, aku mengajaknya ke mall. Membelikan beberapa baju, sepatu, dan beberapa mainan untuk Caca. Sebelum ke kebun binatang. Berhubung aku takut kemalaman, aku putuskan untuk main timezone saja di mall. “Ca, ke kebun binatangnya besok aja gimana? Ini sudah mau sore. Sepertinya sebentar lagi akan tutup kebun binatangnya. Mau main timezone? Nanti abis itu kita cari makan malam ya, sama beli oleh-oleh buat mami.”
Misiku berhasil sudah, usai mengantarkan Caca pulang dan memberikan sedikit oleh-oleh pada mami, aku pamit pulang. Hasil dari penyelidikanku pada Caca, aku lumayan memperoleh data yang lengkap. Boby mendekatiku memang karena dia suka denganku, tapi akhir-akhir ini sikapnya berubah dan menjadi lebih galak. Ternyata dia juga memiliku hubungan dengan Anis. Jika tidak ada Anis, mami selalu memintaku bertemu dengannya. Namun jika Anis ada di ruman, mami memintaku tidak datang ke rumah atau bertemu di jalan saja. Hal ini terjadi berulang-ulang, ketika dimana Boby memiliki pacar dan selingkuhan. Kemarin Boby dipindahtugskan di Bogor, sudah tidak satu ruangan dengaku lagi. Semenjak itu, dia menghilang. Tidak ada kabar apapun dari Boby.
Suasana di rumah sakit semakin memanas, banyak yang mengatakan “Duh, mbak Meta kok mau sih sama Boby. Dia kan udah ada hubungan sama Anis lama. Maminya aja begitu, matre pasti deh dia diporotin. Kenapa sih, nggak mau percaya sama kita. Mbak Meta kan baru bekerja disini, kami sudah lama loh.”
Awalnya pembicaraan tersebut, aku tidak peduli dan aku mengacuhkannya. Tapi semakin lama aku semakin curiga. Saat ini aku tidak bisa menemui Boby apalagi Anis, setidaknya untuk memecahkan masalah ini aku bisa dengan kepala dingin. Berulang kali aku menghubungi Boby namun tidak ada jawaban. Dia menghilang begitu saja, ketika aku bertanya pada mami, hanya ada jawaban ‘si Boby mah lagi sibuk, kamu tenang aja’ gimana mau tenang Meta mah kalau kaya gini. Sosial medianya pun tidak ada kabar sama sekali. Aku hampir frustasi untuk masalah seperti ini.
Mantap Betul, ditunggu ini karyanya
Comment on chapter Prolog