Read More >>"> IZIN (Namun rasa ini tak mau menjauhkan diri) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - IZIN
MENU
About Us  

Pagi ini Refa terbangun dengan perasaan yang lebih baik. Ya, malam pertama ia memakai kamarnya kembali membuatnya bermimpi indah. Refa tersenyum untuk mengawali harinya. Yah meski ia tau... ia tidak sedang baik-baik saja. Ternyata Papa udah nunggu dimeja makan saat Refa selesai bersiap.

"Jangan ke kantor dulu Ref, kamu kan baru beberapa hari keluar dari rumah sakit."

"Nggak kok Pa. Refa udah baikan." katanya lalu Refa duduk dan mengambil roti lalu mengolesinya dengan coklat. Reza sadar Papa mengamatinya sambil tersenyum.

"Pa...?"

"Papa senang akhirnya ada yang membuka selai itu."

"Cuma selai Pa. Ini kan kesukaan Refa dari dulu.:

"Karena itu selai itu tak pernah ada di meja, terutama saat ada Reza." Refa berhenti mengoles.

"Ahh ayo makan." Papa sadar sedang merusak suasana. Setelah selesai Papa pamit lebih dulu dan mencium puncak kepala Refa.  Seperti saat Refa kecil dulu.

"Papa yakin kalian bisa menghadapinya." kata beliau tanpa menoleh lalu pergi. Refa pun meletakkan kembali selainya. Lalu ke kamar dan bersiap ke kantor.

Pekerjaan Refa sudah menumpuk ternyata. Namun ia coba selesaikan satu persatu. Saking fokusnya Refa sampai ia tak sadar sedang digosipkan orang saentoro kantor. Setelah makan siang tiba-tiba Papa muncul. Tentu Refa memperlakukannya dengan sopan layaknya atasan. Namun tanpa sadar sikap hangat Papa tercium para karyawan hingga mereka bergosip. Pak Anwar yang mendengar semuanya pun akhirnya melapor karena tak tega dengan Refa.

"Emang mereka bilang apa Pak?" tanya Refa.

"Itu Non... " Pak Anwar jadi ragu. Sebenarnya ia ingin melaporkan hanya pada Pak Himawan namun Refa memaksa untuk mendengar.

"Katanya... Udah nggak dapet anaknya, ngegaet bapaknya."

"Apa?!" Pak Himawan seketika emosi. Refa malah tertawa.

"Soalnya Non Refa nggak pakai cincin lagi." Refa sadar dan melihat jarinya.

"Oooh aku tak menyangka mereka sangat sayang padaku hingga begitu perhatian."

"Itu karena Non tiba-tiba jadi atasan mereka." Refa tersenyum.

"Sudahlah Pak, biarkan saja. Aku mau fokus sama tender ini karena akan bisa meningkatkan saham perusahaan yang akhir-akhir ini turun."

"Nggak Refa. Papa nggak terima kamu mendapat perlakuan ini. Mereka harus tau siapa kamu."

"Tapi Pa.... " nada Refa langsung berganti. Membuat Papa dan Pak Anwar menatapnya.

"Aku... belum siap Pa."

"Apa ini soal... Reza?" Refa menarik napas panjang.

"Refa nggak bakal memungkiri hal itu. Tapi lebih dari itu... Refa masih ingin bebas." kata Refa sambil menatap Papa.

"Refa...  "

"Refa tau semuanya dari Kak Reza saat kita deket dulu. Refa tau inilah konsekuensi kami sejak dulu. Tapi kali ini.... Refa ingin mandiri Pa. Refa ingin tau kemampuan Refa, Refa ingin sukses tanpa nama Papa, Refa ingin bikin Papa bangga seperti halnya Refa selalu bangga pada Papa."

"Kamu nggak perlu lakuin apapun untuk buat Papa bangga Refa. Karena kembalinya kamu sudah lebih dari cukup bagi Papa bersyukur dan bangga memilikimu."

"Dan aku masih ingin.... menjadi Dira." yah jawaban terakhir Refa ini yang menutup mulut Pak Himawan.

Sebagai putri pengusaha besar dan terkenal seperti Pak Himawan akan banyak di banjiri tawaran. Entah itu sebuah kesenangan, ancaman atau bahkan tuntutan perubahan. Refa belum siap menerima itu semua dan dia tetap ingin menjadi Dira meski dia adalah Refa.

Dan dikantornya Reza benar-benar tidak bisa konsentrasi. Membuat kerjaan yang menumpuk jadi semakin lama.

"Kita  belum dapet model yang pas. Gimana dong?  Katanya kemarin lo udah dapet model." hari sudah sore saat Ivan akhirnya mengomeli Reza lagi.

"Lo cari lah gimana caranya."

"Gue udah ngajuin tiga model hari ini dan itu lo tolak semua. Gimana sih?"

"Ya gimana nggak gue tolak, orang nggak cocok semua."

"Ahhh Reza... Gimana nih. Besok udah gue jadwalin buat pemotretan. Biar lusa bisa meeting." Reza berhenti dari laptopnya. Benar. Lusa adalah hari Jumat. Hari kerja terakhir pekan ini. Reza berpikir sebentar. Apa iya dia harus menghubungi Cindy?

"Kenapa lo nggak pake Cindy aja sih? Cocok banget dia. Lagian dulu dia yang jadi target buat produk ini." Reza menarik napas panjang. Karena nggak ada waktu Reza jadi belum cerita.

"Gue putus sama Cindy dan nggak mau ketemu dia lagi."

"Apa?  Kenapa?  Kok bisa?"

"Panjang ceritanya. Besok-besok gue ceritain."

"Oke. Masalah model gue angkat tangan." Ivan pun paham Reza sedang banyak sekali pikiran. Reza kembali ke laptolnya. Namun Ivan belum beranjak.

"Kenapa?" Reza juga tau Ivan mau ngomong sesuatu.

"Tender itu... nggak diambil?" Reza berhenti lagi. Matanya melayang pada map kuning yang berisi tender besar.  Disana juga ada berbagai informasi termasuk yang ikut dalam tender. Salah satunya perusahaan Refa. Meski perusahaan kecil, perusahaan itu sudah mampu menjadi competitor.

"Nggak lah. Kita masih banyak target yang harua dikejar. Jadi kita absen dulu kali ini."

"Nggak biasanya lo gini. Ini tender besar loh. Lagian udah sering pake perusahaan kita."

"Biarin lah. Gue nggak mau ambil pusing."

"Lo nggak ikut karena banyak kerjaan ato nggak mau saingan sama seseorang?"

"Apa maksud lo?" Ivan memperlihatkan sebuah meme tentang Dira. Seperti yang dikatakan Pak Anwar. Reza pun kaget melihatnya.

"Apa gue bener?" kata Ivan pelan yang tau ekapresi Reza.

"Siapa yang nyebar ini?"

"Gue dapet dari orang dalem mereka." Reza langsung berdiri.

"Gue pergi dulu." lalu dia keluar.

Ternyata Reza menuju atap perusahaan. Dia baru saja menelpon pihak komunikasi dan menejemen perusahaan Refa untuk mencari siapa yang bertanggung jawab atas ini dan menghentikan semuanya. Reza ingin menelpon Papa tapi Papa pasti sibuk jadi Reza akan berusaha menyelesaikannya sendiri. Reza lalu menghadap pemandangan di depannya.

Cukup. Sudah cukup ujian Refa selama ini. Dia nggak pantes dapet ini semua. Harusnya Papa segera mengumumkan siapa Refa dan mulai melindunginya.

"Aku nggak akan biarkan kamu pergi, menangis atau terluka tanpa izinku." kata Reza sambil mengepalkan tangan.

Sudah malam. Refa memutuskan untuk pulang dulu. Mungkin bisa ia kerjakan lagi dirumah. Karena Papa ingin makan malam bersama. Refa juga rindu pada Reza. Apa dia baik-baik saja, apa dia juga sangat sibuk seperti dirinya, apa dia... juga memikirkannya. Suara ponsel menyadarkan Refa.

"Iya Pa."

"Coba kamu mampir di perusahaan Reza. Ponselnya nggak bisa dihubungi. Mungkin dia lupa hari ini kita makan malam."

"Baik Pa." Refa menarik napas panjang. Apa dia siap ketemu Reza?

Sampai di kantor Reza, ternyata memang masih ada beberapa karyawan yang lembur. Refa pun bertanya untuk bertemu Reza dan kebetulan Ivan yang menerimanya.

"Belum. Saya belum buat janji. Bilang saja Dira mencarinya." Ivan akhirnya menelpon Reza. Reza pun langsung mengizinkannya masuk. Ivan pun mengantar Dira.

"Itu ruangannya Mbak." kata Ivan. Refa ragu untuk masuk. Dia melihat jam tangannya.

"Apa karyawan di sini memang bekerja sampai malam?"

"Enggak kok. Kebetulan ini kami mau pulang. Beberapa hari Pak Reza tidak masuk jadi hari ini banyak kerjaan setelah dia acc semuanya."

"Apa dia sangat sibuk?" tanya Dira sambil melamun.

"Sangat. Bahkan nggak sempet istirahat dia. Makan minum semua dikantor. Udah kayak ada lemnya aja pantatnya." Ivan berniat bercanda namun Refa malah tersenyum prihatin.

"Makasih ya." lalu Dira pun mengetuk pintu dan masuk.

Diluar Ivan termenung. Dira. Dimana ia baca nama itu? Haa benar. Dira. Pemimpin salah satu perusahaan Papa Reza. Iya. Cewek yang dikabarkan dekat dengan Reza. Cewek di meme itu. Cantik juga orangnya. Batin Ivan terus menganalisis.

Refa memutuskan untuk masuk setelah ketukan pintunya tak dapat respon dan pemandangan didalamnya... membuatnya prihatin. Reza sedang membelakangi Refa sambil menelpon. Sepertinya sedang mencoba mendapatkan sesuatu tapi akhirnya menutup telepon dengan nada lemas.

"Sialan." umpatnya sambil menekan keras ponselnya. Refa terus melangkah. Ada tiga gelas kopi yang hampir habis dimeja Reza.

"Masak iya aku harus... " Reza membalik kursinya dan kaget melihat Refa. Begitupun Refa. Mereka hanya saling tatap dalam diam. Refa prihatin melihat Reza sangat kusut dan sedikit pucat.

"Sejak kapan disini?" tanya Reza akhirnya mencoba mencairkan suasana sambil terus melihat dokumen.

"Papa nyuruh aku kesini. Kita ada makan malam hari ini." Reza melihat jam tangan dan langsung menepuk jidat.

"Oh maaf, aku lupa karena tidak diingatkan."

"Papa udah menghubungimu tapi tidak bisa." Reza mengambil ponselnya. Oh baterainya habis. Dia bahkan tak sadar itu.

"Aku baru saja makan. Kalian makan saja dulu, setelah ini selesai aku susul." Refa menarik napas panjang dan memandang berkeliling. Matanya melihat bungkusan di meja sofa. Refa kesana dan membuka bungkusan itu. Makanan dan minuman yang masih utuh.

"Oh itu tadi aku udah makan diluar tapi malah ada yang bawain makanan." kata Reza yang tau dia ketahuan. Refa hanya diam lalu menatap Reza. Refa tau Reza bohong karena tadi sekretarisnya bilang Reza makan minum dikantor.

"Jangan menghindar dengan cara seperti ini. Aku nggak mau kakak kenapa-kenapa. Aku tunggu diluar." kata Refa final lalu beranjak menuju pintu. Reza menutup mata. Iya, dia juga sangat rindu pada Refa. Ia ingin melihatnya lebih lama. Dan Reza nggak akan ngebiarin Refa keluar ruangan sendirian karena masih banyak mata dikantor.

"Oke. Tunggu sebentar." kata Reza. Refa pun berhenti sebelum membuka gagang pintu. Dia menoleh. Reza mematikan laptopnya dan mengemasi berkas-berkasnya. Saat ia berdiri terlihat ia memegangi bekas lukanya di perut sambil meringis. Refa nggak tega. Dia pura-pura tidak melihat. Reza pun mencoba baik-baik saja. Reza membuka dan menutup pintu untuk Refa.

"Van, gue duluan ya." pamit Reza pada Ivan.

"Eh ya. Oke." jawab Ivan kaget karena melihat dengan mata kepalanya sendiri fakta itu benar. Reza dan Dira berjalan beriringan. Sungguh cocok karena wajah mereka juga sedikit mirip.

"Jadi bener,  tunangannya dengan Cindy gagal gara-gara... Dira?" Ivan bicara sendiri sambil masih mengemasi barang-barangnya.

"Pinter juga tuh anak cari pengganti Cindy." katanya sambil tersenyum kecut.

"Aku sama sopir tadi." kata Refa diparkiran lalu menuju mobilnya. Reza pun paham. Ia menuju mobilnya sendiri dan memastikan tak ada yang melihat mereka. Dibelakang setir Reza meringis kesakitan.

"Ahh sial. Kenapa masih sakit sih? Apa gara-gara gue duduk mulu ya seharian." Reza pun mencoba mengendalikan diri dan menyalakan mesin.

 

Dirumah, Reza, Refa dan Papa makan bersama.

"Papa seneng akhirnya kita bisa makan bertiga lagi." Refa tersenyum dipaksakan sedangkan Reza fokus makan. Sebenernya dia nggak nafsu makan tapi Reza nggak mau terlihat Refa atau Papa. Refa dan Papa pun mengobrol sambil makan.

"Reza, kamu nggak papa?" Reza kaget karena sedang melamun.

"Oh iya Pa, kenapa?"

"Kalo masih sakit jangan dipaksa. Luka kamu cukup parah jadi perlu pemulihan lama."

"Aku udah baikan kok Pa."

"Oh ya, mumpung kalian disini Papa mau tanya sesuatu?"

"Tanya apa Pa?" jawab Refa.

"Kalian tau tender yang seminggu lagi akan diadakan bukan?  Kenapa kamu nggak ambil bagian Re?" Reza pun menghentikan makannya.

"Masih banyak target yang harus diselesaikan dulu Pa. Mungkin lain kali. Lagian udah ada satu perusahaan Papa yang ikut bukan?" Refa menatap Reza. Reza sudah tau? Apa jangan-jangan Reza sengaja... nggak ikut. Batin Refa.

"Tapi ini tender besar loh Re, siap tau kamu sama Refa bisa kerjasama nanti. Lagian beberapa tahun terakhir mereka menggunakan perusahaan kita.

"Aku mau nyelesin proyek-proyek yang terbengkalai dulu Pa. Aku siap bantu apapun kok kalau nanti memang dibutuhkan." jawab Reza diplomatis. Papa nggak bisa maksa lagi.

"Oke. Terserah kamu kalo gitu. Kamu tau segala konsekuensinya." Reza hanya diam dan melanjutkan membolak-balik makanannya.

"Dan itu makanan untuk dimakan bukan buat mainan." tambah Papa membuat Reza semakin keki.

"Oh iya satu lagi, Papa mau bahas soal Refa." semua berhenti makan. Refa menutup mata. Tuh kan bener. Batinnya.

"Kenapa Pa?" tanya Reza yang melihat ekspresi Refa. Reza juga jadi teringat pikirannya tadi siang diatap.

Papa lalu menceritakan masalah dikantor Refa. Lalu rencana pengakuan Refa pada publik dan soal penolakan Refa. Refa pun ikut menambahi sedikit-sedikit terutama saat menyinggung penolakan Refa. Papa masih coba membujuk dan menawarkan berbagai hal tapi gagal. Reza hanya bisa diam dan memandang Refa. Iya, Refa pasti ingat ceritanya saat mereka dekat dulu. Refa pasti tak ingin diawasi seperti dia dulu tapi...sekarang harus.

"Jadi gimana Re menurutmu?" Papa tiba-tiba mengubah pandangan. Reza mengerjap. Ia berpikir sebentar lalu...

"Papa dan Refa benar. Kita sekarang sedang berada dalam persaingan ketat dan Refa jelas harua dilindungi. Tapi sebenarnya Papa bisa melakukannya dengan lebih baik."

"Maksud kamu"

"Dengan tidak mengakui dan mendekati Refa maka Refa tak akan jadi target mereka. Katakan saja Refa adalah teman sahabat Papa yang harus menggantikan Papa sebentar. Setelah keadaan sedikit tenang kita akan pikirkan cara mengungkapkan yang efektif." Reza tau Refa pun bingung harus bagaimana. Kalau sampai semua orang tau siapa dia, dia akan banyak menerima reaksi karena mereka taunya mereka pasangan. Namun jika diteruskan sebagai pasangan, Refa akan sulit mengungkap jati dirinya nanti.

"Emmm, Refa gimana?"

"Refa setuju Pa. Sekarang kita fokus dulu ke perusahaan. Karena masalah yang bertubi-tubi, perusahaan sedikit terbengkalai.” Ucap Refa yakin.

"Baiklah Papa juga setuju sama kalian. Papa percaya kalian sudah cukup dewasa untuk menentukan yang terbaik."

"Makasih Pa." ucap Reza dan Refa kompak. Papa tersenyum bahagia dan mengatakan rindu saat ini. Seperti masa kecil Refa dan Reza yang kompak kalau bilang 'makasih'. Sedangkan Refa dan Reza tersenyum lalu termenung kembali.

"Oh ya Re, Papa denger kamu belum dapet model untuk pemotretan besok."

"Nggak heran Papa tau." kata Reza sebal.

"Katanya dulu kamu cari model pas kabur lama itu." Refa jelas ingat saat itu. Awal dari semuanya.

"Ohh iya."

"Terus mana modelnya?" Reza bingung mau jawab apa.

"Sebenernya Refa yang diminta jadi model Pa. Tapi karena banyak hal terjadi.... "

"Aku bakal cari kok Pa." potong Reza. Dia tak ingin mengingat-ingat hal ini.

"Kamu mau cari kapan Re, pemotretannya besok. Dimana kamu cari model malam-malam begini coba."

"Yah besok lah Pa, Reza pikirin." Papa mulai sebal dengan tingkah acuh Reza ini.

"Refa... kamu nggak mau bantu kakak kamu?"

"Hah, ya... ya.. Refa juga sibuk kan Pa akhir-akhir ini."

"Pemotretan itu nggak lama Ref, nanti Pak Anwar biar yang handle pekerjaan kamu."

"Nggak usah Pa. Reza bisa cari sendiri."

"Lagian kenapa sih, malah banyak keuntungan loh kalo Refa modelnya. Kita juga bakal tau apa Refa mewarisi bakat Mama." Refa dan Reza malah terdiam. Ya, Mama adalah seorang model terkenal.

"Sudahlah gitu aja, oke. Besok Papa akan suruh Pak Anwar ke kantor kamu Ref. Papa tidur dulu." Papa pun beranjak. Refa tersenyum sambil melihat Papa.

"Besok dateng aja dikantor jam 09.00. Semuanya udah disiapkan." kata Reza lalu mengelap tangannya dan berdiri. Dia berbalik dan diam sebentar. Tangannya memegang bekas lukanya.

"Tidur sini aja malam ini." kata Refa lalu pergi ke kamarnya lebih dulu.

Reza pun sebenarnya udah nggak sanggup ke apartemen sendiri. Perutnya sangat sakit. Mungkin karena ia terlalu memforsir diri belakangan ini. Pelan dia menuju kamarnya. Setelah bebersih seperlunya Reza minta dibuatkan kopi sama Bibi. Dia masih banyak pekerjaan. Dia bersandar ditempat tidur agar tidak terlalu sakit.

Nyaman sekali dikamar sendiri begini. Reza tak bisa tidur beberapa malam hingga ia merasa sangat ngantuk. Tapi dia harus menyelesaikan perencanaan untuk meeting besok. Reza mulai membuka laptop dan berkasnya. Namun matanya sangat berat.

Di dapur kebetulan Refa mau ambil sesuatu saat melihat bibi membuat kopi.

"Kopi untuk siapa Bi?"

"Den Reza Non. Kayaknya mau lembur lagi." Refa menarik napas panjang. 3 cangkir kopi hari ini sudah lebih dari cukup. Nggak perlu ditambah lagi.

"Bikinin coklat hangat aja Bi."

"Tapi Non, nanti kalo Den Reza marah gimana?"

"Aku yang antar minumannya." Bibi pun langsung menurut dan membuat permintaan Refa. Malah Refa yang minum kopi itu. Bibi pun tersenyum.

"Aku juga mau lembur kok Bi." kata Refa, kerasa diperhatikan. Saat minum seruputan kopi berikutnya Refa tiba-tiba sadar. Dulu... ia juga sering melakukan hal ini. Minum minuman yang dibuat untuk kakaknya, untuk memancing emosi Reza. Tak terasa mata Refa berkaca-kaca.

"Non Dira kenapa?"

"Oh nggak papa Bi. Udah coklatnya?" jawab Refa parau lalu membawa coklat itu ke kamar Reza. Reza tak menjawab saat pintu diketuk. Refa pun langsung masuk. Ternyata Reza sudah terlelap.

"Pasti sangat lelah hari ini. Nggak. Belakangan ini pasti sangat berat." gumam Refa. Dia lalu meletakkan Kopi di meja, mengambil laptop dan berkas Reza, lalu meluruskan tidurnya agar luka diperutnya tidak sakit. Refa memperhatikan tangan yang memegang luka itu.

'Pasti sakit. Aku aja masih sering kerasa sakit kalau kebanyakan aktivitas. Apalagi duduk seharian. Kasian Kak Reza.' batin Refa. Ia pun menyelimuti Reza. Ia ingin membelai dahi Reza tapi nggak jadi. Dia menahan air matanya dengan melihat keatas lalu mengambil laptop dan berkas Reza. Mencoba melihat apakah dia bisa membantu. Akhirnya jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari saat Refa selesai mengerjakan pekerjaan Reza. Refa pun merapikan laptop dan dokumen Reza.

"Pekerjaannya banyak sekali." gerutu Refa sambil mengangkat bahunya yang pegal. Dia pun mau meminum coklat Reza tapi nggak jadi. Dia mengambil jam beker dan men-setting alarm. Lalu keluar.

Dikamar Refa juga melihat berkasnya yang menumpuk. Baginya ini sudah sangat banyak ternyata punya Reza dua kalinya ini. Refa pun mau menyalakan laptop lalu dia ingat. Besok pagi ia harus pemotretan. Dia nggak mau mengecewakan Kak Reza. Dia harus tampil segar tanpa kantong mata. Refa pun tersenyum dan pergi tidur.

"Besok lagi aja yaa berkasku tersayang." pamitnya sebelum menutup selimut.

Paginya Reza terbangun karena alarm. Dia mengerjap. 'Jam berapa ini?' dia kaget saat mematikan jam beker. Jam segini. Pekerjaannya! Reza langsung bangun.

"Aghh." dia lupa. Dia masih harus hati-hati saat bangun dan akan tidur. Dia kembali tidur sambil menahan sakit di bekas lukanya. Lalu ia menyadari sesuatu.

"Tadi malem kan gue ..." Reza melihat selimutnya, ada minuman di meja. Laptop dan berkasnya ada di meja sofa. Siapa yang merapikannya? Reza bangun dengan perlahan dan mengambil minum itu. Ia sangat haus. Bodo amat bangun tidur ngopi. Reza minum sambil melihat berkeliling. Tapi ia langsung kaget saat lidahnya merasakan air itu.

"Cokelat?  Gue kan minta kopi. Ahh Bibi nih." Reza pun meminum lagi sedikit lalu beranjak bangun dan mandi.

Setelah itu Reza bersiap mencoba mengejar waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya namun ternyata laptopnya tidak mati. Saat di tekan langsung keluar folder dan disana semua pekerjaannya.... selesai. Reza langsung melihat semuanya. Benar-benar sempurna konsepnya. Ini bukan pekerjaan orang sembarangan. Pasti Papa... tapi masak iya? Kalo nggak siapa lagi?  Pasti ini dikerjain tadi malam dikamar ini karena berkasnya disini. Reza tersenyum dan menutup laptopnya dengan napas ringan. Ia mengambil ponselnya untuk mengabari bahwa Reza dapat modelnya.

"Ahhh belum gue cas lagi." Reza pun mengecas ponselnya dan mengambil telpon rumah lalu bicara pada Ivan. Reza pun bersiap ke kantor sambil memasukkan berkas-berkasnya.

Tok tok tok.

"Loh, Aden sudah bangun?" Reza tersenyum tapi langsung berubah marah.

"Bibi telat bangunin aku tauk."

"Mmmaaaf Den, tadi lama bangunin Non Dira."

"Alesan aja. Untung saya bangun. Oh ya, mana kopi saya?"

"Aduh Den, sungguh Den saya minta maaf. Itu Non Dira yang minta."

"Maksudnya?" Bibi menceritakan semuanya.

"Jadi gitu Den, makanya hari ini Non Dira kesiangan kalo nggak saya bangunin."

"Jadi Dira yang tadi malem kesini?" Bibi mengangguk.

"Papa dimana?"

"Sudah tidak keluar kamar sejak makan malam Den, tadi pagi-pagi sekali sudah berangkat." 'Berarti Refa yang ngerjain semalaman?' batin Reza. Reza pun mau menghampiri Refa.

"Eehh Aden mau kemana?"

"Mau tau aja."

"Eh nggak bisa Den." Bibi tetap menghalangi.

"Aden pasti mau ke kamarnya Non Dira kan? Pamali Den pagi-pagi ke kamar gadis. Apalagi belum jadi istri." Bibi ngoceh. Reza menutup mata mencoba menahan marah tapi...

"Aku mau ngantor. Puas." katanya lalu membawa jas dan tasnya keluar kamar. Bibi pun tersenyum dan geleng-geleng kepala. Waktunya bangunin Non Dira lagi.

Ternyata Reza lewat depan kamar Refa, dia mau mengetok pintu nggak jadi. Akhirnya membuka pintu pelan. Dan ternyata...Refa masih tidur. Berkas dan laptopnya masih berantakan ditempat tidur. Pasti Refa bangun pagi, nyicil dikit dan tidur lagi. Reza pun tersenyum lalu pergi.

"Hei Re, pagi amat lo tumben." Sambut Ivan diruangan Reza.

"Bawel lo ah, sana kerja."

"Ahaa lo pasti belom ngerjain konsepnya makanya berangkat pagi."

"Nih, udah selese. Sisanya lo urus." Reza memberikan USB. Ivan pun mengerjap. Ya meski memang kadang  bener tapi selama ini Reza lebih banyak nggak benernya sih.

"Sana, tunggu apa lagi. Siapin pemotretannya sebagus mungkin."

"Oh ya, lo dapet modelnya dimana?"

"Di bak mandi. Kepo lo ah. Nanti juga tau." Reza sebal.

"Lo tuh pagi-pagi nyebelin sih, sarapan cokelat basi ya?"

"Enak aja lo ngo... " Reza ingat. Iya. Dia makan coklat tadi malam yang dianterin Refa.

"Kenapa lo? Oh ya, tadi ada klien yang nelpon dan mau bicara sama lo. Katanya dari kemarin lo nggak bisa dihubungi."

"Iya ponsel gue mat... " Reza merogoh sakunya tapi...

"Ponsel gue.. ponsel gue... "

"Kenapa Za? Jangan bilang ketinggalan."

"Agghhh sialan. Gara-gara lo nih."

"Kok jadi gue yang salah sih."

"Gara-gara gue mau nelpon lo, hp nggak gue charge dan sekarang ketinggalan. Puas."

"Lagian salah lo sendiri. Kesambet apa lo hari ini?  Lagian lo telp gue pake nomer telp rumah lo kok." Reza udah nggak menggubris. Dia menghubungi rumah dngan telp kantor.

"Bi, tolong suruh orang buat nganterin ponsel saya yang ketinggalan dikamar. Di tempat charger."....

"Makasi Bi." Reza menutup telpon kantor.

"Oh ya, tolong lo atur tempat dan waktu buat ketemu Pak Erwin, kita meeting dadakan hari ini. Konsepnya udah kelar."

"Hah serius?  Canggih juga lo. Nggak biasa-biasanya Pak Reza secepet ini."

"Ngomong mulu lo ah. Sana-sana." Reza mengusir Ivan dengan sadisnya. Ivan pun keluar sambil menggerutu tapi dalam hati senang, Reza berubah begini.

Pukul 09.20.

Reza baru saja selesai breafing dengan beberapa staff pilihan. Saat ia melihat Dira menunggu di depan ruangannya.

"Udah lama?" tanyanya sambil menghampiri Dira yang ditemani Ivan.

"Udah. Lagian Bapak breafing lama amat sih. Kasian kan mbak Dira nunggu lama."yang ditanya siapa yang jawab siapa.

"Oke langsung aja. Dia modelnya Van."

"Apa?" Ivan syok.

"Mari Di." ajak Reza.

"Oh ya maaf ini ada titipan untuk Pak Reza." Refa mengangsurkan ponselnya.

"Oh ya, makasih ...untuk semuanya." balas Reza sambil menatap Refa. Ivan yang berada diantara mereka bagaikan obat nyamuk. Dia berdehem dan membuat Reza dan Dira sadar.

Pemotretan dimulai. Ternyata memang benar. Refa menuruni bakat Mama sebagai model. Semua kru puas dengan kerja Refa sehingga tidak butuh waktu lama untuk selesai. Refa pun mudah akrab dengan kru sehingga mereka sempat mengobrol setelah pemotretan.

"Cewek lo bener-bener istimewa." Bisik Ivan. Mereka sedang melihat hasil fotonya sambil melihat keakraban Dira dengan kru dari jauh.

"Dia bukan cewek gue."

"Hah, yang bener. Kok bisa dia di perusahaan Papa lo."

"Dia putri sahabat baik Papa jadi diminta untuk menggantikan sebentar selama Papa ngurus cabang baru."

"Oh, gue kira. Berarti gue bisa dong deketin dia."

"Awas lo kalo macem-macem." ancam Reza.

"Kenapa, toh lo juga bukan siapa-siapanya." Reza pun hanya bisa diam saat Ivan pergi menghampiri Refa. Reza memilih menyingkir dari sana.

Diatap Reza merenung. Refa adalah adiknya. Harusnya Reza bahagia saat melihat Refa terawa tapi... apa ini. Hatinya sakit saat Refa tertawa pada orang lainn, terlebih saat bicara pada Ivan dengan penuh senyuman. Reza berusaha membunuh rasa ini tapi.... gagal. Tak lama Reza mendapat panggilan. Ada masalah di bagian IT perusahaan. Diapun segera turun. Setelah keluar dari lift, Ivan langsung menyambutnya.

"Ada yang mempermainkan kita." Ivan memberi laporan.

“Padahal kita udah mundur dari tender itu.” Jawab Reza. Mereka berjalan bersama.

"Dira." kata Ivan yang kebetulan melihat  ke arah tangga. Sontak Reza menoleh. Dira seperti sempoyongan menuruni tangga. Apalagi memakai sepatu high geels, dia tidak terbiasa. Dan...

"Diraa... " teriak Ivan. Semua begitu cepat. Tiba-tiba sudah ramai dan Dira sudah ada dipelukan Reza.

Pelan Dira mengerjap. Memastikan ia tidak di surga. Dan kaget ketika siapa tang pertama kali dilihatnya.

"Mas Reza... " Kata Dira pelan. Mata Reza semakin menatap Dira dengan tatapan rindu. Matanya berair. Reza rindu panggilan tadi.

"Kalian nggak papa?" tanya Ivan tiba-tiba. Reza dan Refa sadar. Namun saat Refa berdiri justru membuat Reza meringis.

"Kenapa?" tanya Ivan bingung.

"Pak Reza nggak papa?" tanya Dira.

"Kkkakimu." Refa menunduk dan....

"Oh.  Maaf Pak. Maaf Pak Reza. Maaf." sepatu Dira yang tajam dan super tinggi itu menginja kaki Reza.

"Nggak papa. Van, tolong ambilkan minum untuk dia."

Reza pun memapahnya keruangannya. Lalu menelpon Ivan untuk membawakan sepatu untuk Dira. Dan menelepon pengawal.

"Jemput Dira dikantorku dan bawa pulang." Lalu Reza berlutut di depan Refa.

"Kamu... nggak papa?"

"Kakak nggak perlu khawatir. Aku baik-baik aja. Tadi cuma sedikit oleng jadi yaa...Kakak nggak perlu berlebihan."

"Kamu ingat? Kamu nggak boleh terluka tanpa izinku." Janji itu. Mana mungkin Refa melupakannya. Mereka saling menatap. Air mata Refa keluar namun langsung dihapus Reza.

"Dan kamu juga nggak boleh nangis, tanpa izinku." Ivan datang. Reza memberikan Refa minum lalu mengganti sepatunya.

"Istirahatlah. Jangan ke kantor hari ini. Kamu bisa kerjakan dirumah."

"Enggak, aku baik-baik aja Pak. Terimakasih." Refa pun beranjak keluar. Namun... Tangan Reza mencegahnya.

"Dan kamu nggak bisa pergi, tanpa izinku." kata Reza pelan. Refa menutup mata. Kali ini Reza memenuhi ketiga janjinya sekaligus.

"Jadi... penuhi janjimu." kata Reza sambil mendudukkan Refa.

"Aku harus mengurus sesuatu sebentar. Van, temani dia sampai ada yang menjemput nanti." Reza pun keluar. Refa hanya bisa memperhatikannya.

Kesempatan itu Ivan gunakan untuk lebih mengenal Dira dan ternyata jawabannya sama dengan Reza. Meski sebentar Ivan seneng bisa melihat senyum Dira lagi. Setelah Dira pergi Ivan segera menyusul Reza ke bagian IT. Setelah selesai mereka kembali ke ruangan Reza.

"Za,  lo nggak papa?" tanya Ivan khawatir karena ia perhatikan dari tadi Reza sering meraba perutnya dan wajahnya sedikit pucat. Reza hanya tersenyum. Namun setelah menutup pintu ruangan dari dalam Reza langsung mencari tumpuan dan memegang perutnya sambil meringis kesakitan.

"Reza." Ivan segera membawa Reza ke ruang istirahat Reza yang tersembunyi dibalik hiasan dinding. Lalu menidurkannya perlahan.

"Apa gue panggilin dokter?"

"Jangan berisik."

"Tapi lo... lo... " Ivan bingung. Reza mencoba mengendalikan diri. Ia menutup mata. Agak lama. Ia membuka mata dan mulai mengatur napas. Pelan ia membuka tangan dan jasnya.

"Ya ampun Za, luka lo... " luka Reza berdarah. Iya. Saat menahan Dira tadi memang bukan posisi yang mudah. Sebenarnya Reza sangat kesakitan saat itu tapi dia nggak bakal bikin Refa khawatir apalagi jatuh dan terluka.

"Gue... ambilin kotak obat." kata Ivan. Untung tidak banyak darah yang keluar jadinya bisa diobati sendiri.

"Makasih ya Van, maaf ngrepotin. "

"Makanya jangan sok kuat deh. Nolong diri sendiri aja nggak bisa sok sok an nolong Dira." Reza sedikit kaget dengan nada bicara Ivan. 'Ivan, cemburu?' batin Reza.

"Yah, gue nggak enak aja kalo dia sampe kenapa-kenapa dikantor gue." jawab Reza akhirnya.

"Tapi lo juga harus mikirin diri lo. Liat nih akibatnya. Kayaknya lo juga harus pulang dan istirahat. Gue akan batalin semua scedule hari ini." Ivan mengambil ponsel.

"Nggak Van. Jangan. Gue cuma butuh waktu bentar. Tolong bawa berkasnya kesini. Undur aja semua meeting, sampe malem juga nggak papa. Gue keluar siang ini."

"Lo yakin, dengan kondisi kayak gini?"

"Lo nggak percaya sama gue?"

"Kapan gue bisa percaya sama lo." gerutu Ivan sambil keluar mengambil berkas Reza dimeja. Reza kembali meringis menahan sakit. Setelah Ivan benar-benar pergi Reza duduk pelan-pelan. Kakinya sangat sakit karena terinjak Dira tadi. Dengan tertatih Reza membuka kaki kanannya.

"Ahhh sialan." darah sudah mengucur. Reza segera mengobatinya. Pantes sakit banget buat jalan. Padahal punggung kaki. Ternyata lukanya cukup dalam meski kecil.

Akhirnya hari yang cukup melelahkan ini berakhir. Reza sudah ditunggu pengawal diluar. Pengawal Refa.

"Tumben lo minta jemput? Separah itu ya kaki lo?" Ivan yang sangat tau Reza bukan orang yang suka diantar jemput angkat bicara. Padahal Reza sendiri bingung siapa yang mengirim mereka.

"Sekali-kali ngrasain fasilitas. Gue duluan ya, thanks buat hari ini." Ivan melongo mendengar alasan barusan.

Didalam mobil Reza menutup mata sambil memegang perutnya.

"Siapa yang nyuruh kalian?"

"Non Dira Tuan." Mata Reza langsung terbuka. Refa....

Tak terasa satu minggu hampir berlalu. Akhirnya Reza mengikuti tender karena dipaksa berbagai pihak. Di ruangan ini, kini Reza dan Refa dipertemukab lagi setelah hampir seminggu tak bertegur sapa. Hanya sekali dan itupun Refa hanya berkata satu kalimat.

"Jangan mengalah demi aku karena aku paling tidak suka menang dengan pengorbanan seseorang."

Reza sempat terpana melihat bagaimana Refa presentasi dengan percaya diri dan berani. Dia terlihat begitu cantik dan cerdas di depan sana. Konsepnya juga bagus. Tak terasa bibir Reza tersenyum. Gadis kecil yang dulu sangat nakal dan sering membuatnya marah kini telah menjelma menjadi bintang di depan sana. Riuh tepuk tangan menyambutnya setelah selesai. Andai Papa juga bisa melihat. Lalu Reza mengambil ponselnya dan mengambil foto Refa lalu ia kirimkan pada Papa.

Dan akhirnya... perusahaan Reza lah yang ternyata menang tender. Dan proyek ini pengerjaannya ada di Makassar. Dan setelah ini akhirnya Reza memberanikan diri bertemu Refa. Reza mengirim pengawal untuk menjemput Refa.

Kini mereka ada di pantai. Angin sore begitu sejuk dan ternyata... sangat tenang.

"Selamat ya Kak." Reza tersenyum.

"Konsepmu juga bagus sungguh. Aku tak menyangka kamu bisa menemukan konsep sebagus itu."

"Aku bukan lagi anak kecil yang hanya bisa mancing emosi kan?"

"Bukan. Sekarang, Refalina sudah menjadi orang dewasa yang pasti akan membuat Papa bangga."

"Oh ya?"

"Emm, nanti malem Papa pulang dan akan membicarakan soal tender ini. Karena sudah saatnya Papa berhenti mengelola perusahaan. Apalagi putra-putrinya bisa diandalkan. Cabang di Makassar pun sudah aman terkendali."

"Baguslah kalau begitu. Aku juga ingin melihat Papa istirahat. Selama ini pasti sangat melelahkan." mereka sama-sama terdim. Yah, pembicaraan ini hanya basa-basi. Sampai saat ini, rindu masih menghantui mereka. Mereka telah berusaha melupakan dengan berbagai cara, namun semuanya... gagal.

"Kak Re, naik speedboat yuk?"

"He?" Refa mengangguk semangat. Reza pun tak bisa menolak. Inilah kesukaan Refa. Mereka pun menaiki speedboat dengan bahagia.

Malamnya mereka menjemput Papa di bandara dan makan malam diresto favorit Refa dulu bersama. Papa tentu sangat bahagia. Melihat Reza dan Refa juga tersenyum seperti ini. Kini putra-putrinya kembali lagi.

"Pa.... "

"Iya sayang?"

"Refa pengen nglanjutin S2." semua jadi berhenti makan.

"Oh Papa senang kamu berniat begitu sayang. Pasti Papa setuju. Dimana?"

"Di Paris Pa."

"Apa?" Reza pun kaget. Refa mengeluarkan sebuah amplop dan menyerahkan pada Papa.

"Refa diterima di universitas terbaik di Paris. Dan juga.... ini mimpi Refa Pa."

"Wow, hebat kamu Nak. Papa nggak nyangka kamu udah mempersiapkan diri."

"Kenapa nggak ambil di Indonesia sambil bantu Papa mengurus perusahaan. Kamu sepertinya bakat memimpin." Reza menimpali.

"Ya.... karena Refa ingin diluar negeri. Lagian jarang orang yang bisa kesana."

"Apa kamu yakin itu alasannya?" Refa menatap Reza yang sedang membolak-balik makanannya.

"Iya Re, kamu ini kenapa. Bagus dong adikmu ini pinter, bisa kuliah di universitas terbaik di Paris lagi." Reza tersenyum sinis. Tentu saja Papa harus senang, dulu Reza tak sepintar itu.

"Gimana Pa?" Refa meminta kepastian

"Papa sih setuju aja. Kamu berangkat kapan Ref?"

"Satu bulan lagi Pa. Selama itu aku bisa urus tender  kerjasama Kak Reza dan aku di Makassar."

"Oke kalau gitu. Papa akan urus semua keperluan kamu kesana."

"Makasih Pa." Refa tersenyum manis. Namun senyumnya hilang saat melihat Reza hanya diam tanpa ekspresi.

Hari ini Reza dan Refa mengurus proyek mereka di Makassar. Mereka berangkat tanpa pengawalan karena memang tidak mau dikawal. Mereka sampai dihotel yang telah disiapkan.

"Fa... " Refa hanya mengangkat matanya.

"Kamu nggak papa?  Pucet banget muka kamu." kata Reza meyakinkan dikamar Refa.

"Mungkin jetlag aja Kak." katanya dengan suara lemas.

"Ya udah buat istirahat gih. Udah sore juga."

"Emm iya." kata Refa sambil bangkit menuju toilet. Tapi semakin lama pandangannya kabur. Dan hal terakhir yang diingatnya adalah Reza meneriakkan namanya dan menyangga tubuhnya.

Reza sangat takut Refa kenapa-kenapa. Dia langsung membawanya ke UGD sebuah rumah sakit. Namun Reza kaget siapa yang menerima mereka di UGD.

"Reza."

"Indra."

"Kenapa ini?" Indra pun kaget melihat Refa yang menutup mata.

"Aku... aku juga nggak tau Ndra. Tolong dia Ndra." kata Reza sangat khawatir.

"Jangan khawatir." kata Indra sambil menepuk pundak Reza lalu masuk ruang pemeriksaan. Beberapa saat kemudian....

"Gimana Ndra?"

"Dia nggak papa Re. Apa belakangan ini Dira terlalu memfosir tubuhnya? Sepertinya dia sangat kelelahan." Reza berpikir. Tentu saja. Refa mengejar waktu satu bulan sebelum ia ke Paris, selain itu sibuk adalah cara untuk....

"Re!" Indra memanggil lagi. Reza malah termenung.

"Oh. Ndra, kapan ada waktu?  Aku mau cerita banyak." Indra malah diam sambil mengamati. Selama ini ia hampir bisa melupakan Dira tapi... sore ini gadis itu detang dan... bersama Reza.

"Oke. Aku selesai shift nanti jam 19.00."

"Oke. Kita ngobrol di kafetaria aja soalnya Refa nggak ada yang jaga."

"Refa? " Reza langsung tersadar.

"Oh Dira maksudku. Ya udah, aku permisi dulu Ndra. Nice to meet you." kata Reza sambil menepuk tangan Indra lalu masuk kamar rawat Refa. Tinggal Indra yang bingung.

'Sebegitu inginkah kamu lari Refa?  Kamu pasti juga menderita bukan?  Aku sangat rindu... sangat. Memanggilmu Dira.' batin Reza sambil memperhatikan Refa yang tengah terlelap.

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Universe 1
3513      1171     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6667      1493     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Flowers
359      247     1     
Inspirational
Zahra, remaja yang sering menggunakan waktu liburnya dengan bermalas-malasan di rumah, menggunakan satu minggu dari libur semesternya untuk mengunjungi tempat yang ingin dikunjungi mendiang Kakaknya. Bukan hanya demi melaksanakan keinginan terakhir Kakaknya, perjalanan ini juga menjadi jawaban atas semua pertanyaannya.
Coldest Husband
1305      675     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
Unthinkable
11409      1848     6     
Romance
Cinta yang tidak diketahui keberadaannya, namun selalu mengawasi di dekat kita
CAFE POJOK
3199      1077     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Toget(her)
1271      593     4     
Romance
Cinta memang "segalanya" dan segalanya adalah tentang cinta. Khanza yang ceria menjadi murung karena cinta. Namun terus berusaha memperbaiki diri dengan cinta untuk menemukan cinta baru yang benar-benar cinta dan memeluknya dengan penuh cinta. Karena cinta pula, kisah-kisah cinta Khanza terus mengalir dengan cinta-cinta. Selamat menyelami CINTA
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Glad to Meet You
249      190     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...