Read More >>"> IZIN (Diapun memutuskan lari ...) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - IZIN
MENU
About Us  

"Lukanya cukup parah karena menurut hasil MRI belasan tahun yang lalu dia pernah terbentur di tempat yang sama." Dokter sedang menjelaskan keadaan Dira pada Papa, Reza dan Pak Anwar.

"Mungkinkah benturan yang dulu bisa membuatnya lupa ingatan Dok?  Karena 12 tahun yang lalu dia kehilangan ingatan masa kecilnya." Tanya Reza.

"Mungkin. Hal itu bisa saja terjadi karena tempat tersebut sangan rentan sehingga bila terjadi benturan yang keras dapat mengakibatkan gagar otak bahkan amnesia.

"Lalu sekarang bagaimana Dok?" ganti Papa yang khawatir.

"Kita hanya bisa menunggu. Kami akan berusaha semaksimal mungkin." Reza menatap kembali Dira. Mungkin beginilah keadaannya 12 tahun yang lalu. Selang banyak menempel ditubuhnya. Berbagai alat menyala untuk menopang hidupnya. Dokter pun pergi. Pak Anwar menerima telepon.

"Sudah temukan orangnya?" tanya Reza setelah Pak Anwar menutup telepon.

"Orang itu... "

"Kita bicara diluar." potong Reza sambil melihat Dira.

"Apa maksud kamu Re, ini bukan kecelakaan. Siapa pelakunya?" Papa Reza kaget. Apalagi melihat Reza sepertinya tak ingin berbgi masalah ini.

"Maaf Pa. Untuk kali ini biarkan Reza yang mengurusnya. Papa tangani Imah karena Dira bertekad menemuinya tadi." Papa sedikit kaget, lalu melihat jari Dira. Cincinnya sudah tidak ada.

"Kalian bertengkar?" Reza yang sudah sampai pintu berhenti.

"Maka dari itu izinkan Reza menangani sendiri untuk memperbaiki kebodohan Reza." lalu keluar. Pak Himawan menarik napas panjang. Anak ini....

"Apa?!" Reza sontak kaget. Mereka berbicara ditempat sepi dirumah sakit.

"Kami melihatnya dari CCTV toko. Dan setelah dicek di CCTV parkiran juga ada mobilnya. Sekarang kami masih mencoba untuk mengikutinya jarak jauh agar tidak ketahuan."

"Yah, seperti biasa. Pak Anwar selalu tau apa yang harus dilakukan." Reza sudah tidak tau lagi harus memerintahkan apa karena Pak Anwar sudah menanganinya dengan rapi.

"Videonya akan segera sampai ke polisi."

"Jangan." kata Reza spontan. Pak Anwar tentu kaget. Yang terluka adalah Dira alia Refa. Reza tak akan memaafkan siapapun bahkan jika itu orang terdekatnya.

"Berikan file itu padaku. Sisanya hapus. Jangan sampai video itu bocor ke media atau umum. Selain kita, jangan ada yang tau, bahkan Papa."

"Tapi Tuan Muda, dia sudah membuat Non Refa jadi seperti itu." Reza hanya diam.

"Aku yang akan menyelesaikannya baik-baik." kata Reza akhirnya lalu pergi.

Dan kini Reza dan Cindy sudah berada di cafetaria rumah sakit. Wajah Cindy terlihat diusahakan baik-baik saja.

"Gimana Dira, kabarnya dia jatuh?"

"Bukan jatuh tapi didorong." seketika raut muka Cindy memucat.

"Oh ya... kamu udah... tau siapa... pelakunya?"

"Itulah alasan aku manggil kamu." lalu Reza mengeluarkan USB.

"Kamu tau Ci, USB ini akan mengungkap pada dunia siapa yang mendorong Dira dan membuatnya koma hingga hari ini. Dengan USB ini aku bisa menghancurkan hidup seseorang beserta keluarganya. Hanya aku yang punya bukti ini karena aku telah membinasakan semua bukti."

"Bbbagus dong. Kenapa nggak kamu... laporin ke ...polisi?" Reza diam.

"Karena aku masih menghargainya." Cindy mendongak dan ia bertemu tatap dengan Reza. Tatapan hangat dan tulus itu...

"Bagaimanapun dia pernah mencoba mendampingiku melewati hidupku yang kelabu. Dengan sabar dia tetap menerima dan mencintaiku dengan semua sifat burukku. Dia rela menghabiskan banyak waktunya yang berharga untuk orang sepertiku. Dan dia... juga rela kehilangan banyak hal demi aku." mata Cindy mulai berair. Didepannya kini, dengan tatapan ini... Reza tulus mengakuinya.

"Namun... dia berubah kejam karena cinta butanya. Dia tersesat terlalu jauh hingga tak ingin kembali. Ia begitu kecewa hingga tak ingin sembuh lagi dan sekali lagi karena aku... dia kehilangan nalurinya sebagai manusia."

"Apa..yang sebenarnya ingin kamu katakan Re, aku capek berbelit-belit."

"Tidak seharusnya dia membenci Dira. Aku... hanya sedang ingin sendiri. Jangan pernah berani menyentuh dia lagi atau... video ini akan tersebar ke dunia." kata Reza lalu beranjak pergi.

"Apa kelebihannya?" Reza berhenti. Cndy berdiri.

"Apa yang kamu lihat darinya?  Bahkan Oom Himawan sampai begitu percaya padanya. Aku tidak takut. Kamu benar. Sudah mustahil untukku lembali sehingga aku berani mengambil semua resikonya. Jika aku tak bisa memilikimu, dia juga tak boleh mendapatkanmu." Amarah Reza tersulut. Dia lalu menarik tangan Cindy ke lorong yang sempit lalu menahannya di dinding dengan salah satu tangan Cindy yang ditekan di samping kepalanya.

"Kamu siap terima resikonya ha?  Aku cukup menghormatimu dengan menyelesaikan ini baik-baik, tapi rupanya kamu semakin berani melawan."

"Itu semua karena kamu. Kenapa kamu harus memilih dia setelah memberi harapan padaku."

"Cindy ingat, bukan aku yang memintamu tapi kamu yang selalu datang menggangguku."

"Aku nggak peduli. Aku yang udah nemenin kamu selama ini tap dengan gampangnya kamu buang aku gitu aja demi dia? Selama dia belum mati, aku tak akan berhenti!" sekuat tenaga Reza menahan tangannya untuk tidak menampar mulut itu lalu Reza menutup mata. Ia memikirkan sesuatu. Mungkin ini satu-satunya cara menghentikan Cindy. Reza juga nggak mau Cindy jatuh terlalu jauh.

"Kau ingin tau kenapa kami semua menyayanginya? Bisakah kau menjaga rahasia?  Aku berbagi denganmu karena aku tidak ingin kamu tersesat lebih jauh lagi."

"Apa maksudmu? " Reza mendekat dan berbisik ditelinga Cindy.

"Dia adikku. Refalina." petir bagai menyambar Cindy di siang bolong. Wajahnya jadi begitu pucat. Reza pun melepas cekalan tangannya.

"Jadi, jangan pernah muncul dihadapannya tanpa izinku dan jangan melakukan hal bodoh yang bisa menghancurkanmu dan keluargamu." Reza mengacungkan USB nya lagi lalu pergi. Tinggal Cindy yang syok. Dia pun terduduk dan menangis.

'Apa ini? ' batinnya menyesal, bingung dan frustasi. Tapi tidak mungkin Reza terlihat begitu mencintai Dira bahkan ingin menikahinya. Lalu kenapa sekarang... Apakah Reza bohong? Cindy tak bisa langsung percaya begitu saja. Sebisa mungkin ia menyelidiki dan mencari bukti.

Hari ini Cindy memutuskan untuk menyusup kekamar rawat Dira untuk mengambil sampel rambutnya. Untuk melakukan tes DNA. Cindy bisa lolos dari penjaga Pak Himawan dengan memakai masker dan menyamar sebagai perawat dan untungnya baru saja Reza keluar dari kamar itu. Setelah didalam Cindy sedikit ketakutan. Yah, ternyata akibat dari perbuatannya tidaklah kecil. Sampai hampir tiga hari Dira belum siuman. 'Dia adikku, Refalina.' perkataan itu membuat Cindy merinding.  Dia lalu melihat jari Dira. Dia sudah tidak memakai cincin itu. Pelan tangan Cindy terarah di kepala Dira dan akhirnya....

"Ngapain Sus?" Cindy langsung berbalik. Reza.

"Oh eh ini melihat kondisi pasien karena harus terus diawasi."

"Tadi baru saja Susternya memeriksa."

"Oh ya maaf. Mungkin saya salah kamar." lalu Cindy mohon diri dan akan keluar. Namun...

"Tunggu." deg. Cindy langsung jantungan. Reza berjalan menghampirinya.

"Maaf saya harus memeriksa pasien lain." namun saat akan pergi Reza menarik tangannya.

"Siapa kamu?" katanya sambil menatap. Tepat dimanik mata Cindy.

"Buka maskernya. " katanya lagi dingin. Cindy masih bergeming. Namun lama kelamaan Reza berhasil memaksanya dengan tatapan itu. Dan...

"Cindy... " Cindy hanya diam. Reza langsung membawanya sedikit menjauhi pintu agar tidak terlihat dari pintu.

"Apa yang sedang kamu lakukan?  Ingin membunuhnya... lagi?"

"Re,  aku.... aku... aku cuma... "

"Cuma apa?! Kamu lihat. Lihat dia sekarang. Bahkan kita nggak tau ia bisa bangun atau tidak. Kamu masih coba... Cindy yang aku kenal nggak kayak gini."

"Aku cuma butuh bukti Re. Ya, aku akui aku... menyesal. Aku tak menyangka jadi separah ini. Aku... aku... "

"Bukti?  Kamu masih nggak percaya dia. Baik, akan kuberi bukti agar kau puas namun dengan satu syarat."

"Syarat, apapun itu. Aku terima." Kata Cindy berani.

"Pergi dari hidupku dan keluargaku." Cindy langsung terdiam. Tak menyangka Reza meminta itu. Hal yang paling tak ingin dilakukannya. Saat mereka sedang saling menatap ada suara pintu dibuka. Reza segera melongok.

"Aku anggap kamu terima. Aku akan beri buktinya." Reza berbisik lalu membawa Cindy ke kamar mandi.

"Diam dan lihat dari sini." lalu Reza menutup pintu toilet namun tidak seluruhnya.

"Papa... "

"Gimana keadaannya?"

"Belum ada perubahan Pa."

"Re, Papa dapet telpon dari Makassar. Papa harus segera kesana karena cabang kita dapat masalah."

"Sekarang Pa?  Lalu Refa?" Papa bukannya menjawab malah meraba tangan Dira. Menggenggamnya hangat.

"Papa yakin dia bisa bertahan Rey. Harus. Kamu juga pasti bisa jagain dia."

"Baik Pa. Tapi jika dia tetap masih tidak ingat... "

"Biarlah. Bagi Papa tidak penting dia ingat atau tidak. Yang penting Papa bisa melihatnya, melindunginya dan membuatnya bahagia itu sudah lebih dari cukup." Reza hanya diam.

"Dia pasti hancur Pa saat tau semuanya." lamun Reza. Papa menutup mata. Masalah ini... bagaimanapun beliau berpikir, belum menemukan jawabannya.

"Papa.... apa yang bisa Papa lakukan Re? Bagaimana jika pertunanganmu dilanjutkan?"

"Aku bahkan tidak bisa melihat cewek lain Pa. Belum."

"Kamu nggak boleh begitu Re. Ingat. Dira adalah Refa, adik kamu. Semua perasaanmu padanya sebagai laki-laki harus kamu buang jauh-jauh. Sebagai gantinya,  adikmu yang selama ini kita cari... kembali. Mengerti?" Reza hanya mengangguk karena entah sedang berpikir apa.

"Diapun akan demikian Re. Jika kamu kuat, adikmu pasti juga begitu. Karena kalian adalah putra-putri Papa yang bisa melakukan apapun. Papa yakin itu." Reza tetap diam.

"Papa harus segera ke airport."

"Iya Pa."

"Cepat sembuh Refa, putri Papa." papa membisikannya di telinga Refa lalu mencium keningnya, Papa berpamitan pada Reza lalu pergi. Reza malah termenung hingga tak sadar ada Cindy sedari tadi yang mendengar. Cindy pun keluar. Lalu berjalan pelan kearah Reza. Matanya sembab.

"Re... " Reza kaget lalu berusaha menguasai diri.

"Lihat bukan? Kamu hampir membunuh orang yang selama ini... kami cari."

"Maafkan aku Re, maaf. Aku benar-benar tidak tau. Kamu bahkan begitu terlihat sangat mencintainya.

"Dia amnesia sejak 12 tahun lalu dan dia tidak ingat kepada kami. Takdir itu yang memulai segalanya.” Cindy menutup mulut. Pantas Reza jadi emosional. Dia pasti sangat tertekan. Cindy sadar dia sangat egois, Reza adalah orang yang paling terluka diantara semuanya.

"Karena itu... pergilah secepatnya. Mengingatmu membuatku ingin membalasmu." Cindy pun diam lalu...

"Sebelum pergi, boleh aku minta sesuatu?"

"Apalagi sih?" tiba-tiba Cindy memeluk Reza.

"Hanya sebentar Re. Agar aku ikhlas melepasmu." Reza hanya diam.

"Semoga kamu bahagia." tambah Cindy lalu melepas pelukannya dan menghadap Dira. Dia mau menyentuh tangan Dira tapi segera dicekal Reza.

"Mau apa kamu?" tanpa bicara Cindy melepas cekalan itu. Bahkan Reza belum percaya padanya.

"Aku minta maaf... Dira." katanya sambil menjabat tangan Dira. Reza pun mengerjap. Dengan memanggil nama Dira itu berarti Cindy memang meminta maaf untuk semua kesalahannya. Cindy lalu melepasnya dan memandang Reza lagi.

"Terimakasih Reza... untuk semuanya." Cindy pun pergi.

Tak lama setelah itu Dira pun sadar.

"Dira..." Dira menoleh. Dia tampak bingung.

"Dira... Ini Reza." Dira mengerjap.

"Iya. Aku ingat." jawab Dira namun dia seperti berpikir keras.

"Syukurlah. Syukurlah Dira. Aku takut, orang yang kucintai melupakanku." kata Reza sambil mencium tangan Dira. Dira langsung mengerjap dan kaget.

"Apa yang kamu rasakan?  Kenapa bingung seperti itu?"

"Tidak... aku hanya teringat seseorang... " kata Dira sambil memahami ingatannya.

"Ibumu baik-baik saja. Dia menyuruhmu untuk tidak menjenguknya sementara ini." Dira ingat ibunya sedang menjalani tahanan. Lalu ponsel Reza berdering.

"Aku angkat telpon dulu." lalu Reza keluar.

"Apa yang terjadi padaku?" Dira terlihat linglung. Beberapa hari ini untuk pemulihan Dira sudah kembali seperti biasa meski terkadang terlihat aneh. Dia jadi sedikit pendiam. Dan hari ini dia diperbolehkan pulang.

"Disini saja dulu sementara. Akan ada yang merawatmu. Papaku sedang diluar kota." lalu Dira melihat foto di meja. Ia berhenti dan menyentuhnya.

"Ada apa Di?"Dira diam. Dia meraba gambar Refa.

"Dia Refalina. Adikku. Orang yang Indra sebut waktu berbicara denganmu." tiba-tiba kepala Dira pening. Dira langsung meletakkan fotonya dan mrmegangi kepalanya. Reza pun tanggap dan membawa Dira kekamar. Sepertinya Dira sudah agak tenang.

"Istirahatlah Di. Jangan pikirkan apapun. Kepalamu masih sakit."

"Mas Reza... soal pertengkaran itu... aku minta maaf."

"Nggak Di. Aku yang salah. Kamu bener. Aku akan berusaha untuk bisa memperbaiki semuanya. Aku mohon, jangan pernah meninggalkanku karena aku tak bisa kehilangan....lagi." kata Reza serius.

"Iya Mas. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu." Reza memeluk Dira.

"Makasih Dira. Makasih." Sebelum Reza beranjak ia memberikan sebuah kotak.

"Meski kamu nggak mau memakainya. Kamu saja yang membawanya. Kamu bisa menjual atai membuangnya. Terserah kamu. Aku akan carikan yang lain." lalu Reza pergi sebelum Dira berkata sesuatu. Setelah menelpon seseorang ia menuju ke kamar Refa.

Di dalam kamar, Dira kembali memegangi kepalanya. Dia memikirkan segalanya. Rasa ini... hatinya semakin hancur mengetahui isi kotak itu. Sebuah cincin. Ia lalu keluar dan terpaku pada sebuah foto besar dimana ada Reza, Refa dan Papa Mamanya. Dira memegangi dadanya. Semuanya semakin menyiksanya.

"Benar. Kak Reza... " selama ini Dira belum mengerahui singkatan nama belakang Reza dan Papanya...

"Tuhan, takdir ini .... Bagaimana bisa aku sangat mencintai ...kakakku sendiri?" Dira berlari ketaman.

Sejak dirumah sakit, sejak saat ia sadar, ia bingung mengapa Reza memperlakukannya layaknya seorang kekasih. Dira sendiri belum yakin kalau Reza adalah kakak kandungnya. Sampai pada akhirnya Dira melihat sendiri foto dirinya dirumah ini. Benar. 12 tahun bukan waktu yang pendek untuk bisa mengenali bahwa ia adalah adiknya. Dan parahnya... Dira lebih bahagia jika bisa mencintainya karena hanya Reza yang mampu membuatnya lupa, pada cinta pertamanya.

Dira terus menangis. Ia masih berusaha melengkapi ingatannya, menyempurnakannya dan menyadarkannya. Lama Dira merenung. Hatinya hancur begitu mengingat dan melihat semua foto masa kecil Reza dan Refa di rumah itu. Namun lebih dari apapun yang dirasakannya, ia bahagia. Ia dapat bertemu lagi dengan kakaknya... orang yang paling Dira sayang setelah Mamanya.

Dira lalu mencari tau dimana Ibu Himawan pada pegawai rumah. Dan saat mengetahui beliau meninggal saat kecelakaan 12 tahun lalu... lengkap sudah kesedihannya. Dari para pegawai rumah Dira juga tau Papa dan kakaknya telah berusaha keras mencarinya. Dan setelah itu sifat kakaknya berubah. Dira tau Papa pasti sangat menderita terlebih...kakaknya. Dira pun kembali mengingat pertemuannya dengan Reza pertama kali lalu semua hal yang telah mereka lewati berasama. Sungguh takdir ini.... sangat menyakiti mereka berdua namun begitu Dira akan mengungkap siapa dirinya sebelum Reza lebih jauh mencintainya. Pantas saat pertama kali kerumah ini, Dira merasa tak asing, tanpa sadar memasuki kamar Refa, dan melihat ekspresi Reza saat mengusirnya dengan kasar dari kamar itu Dira tahu, Reza sangat menyayangi Refa. Dira ingin kekamar itu....

"Kau senang bukan.... pemilikmu telah kembali. Setelah 12 tahun dia meninggalkan kita tanpa kepastian akhirnya...."

"Tapi... tapi kenapa aku juga kecewa. Aku takut... takut kehilangannya sebagai kekasihku. Bodoh bukan?"

"Maaf... aku bahkan tak bisa memberitahunya identitasnya. Dia juga akan sangat terluka. Aku... tak akan sanggup melihatnya. Apa yang harus kulakukan? Katakan padaku?"

"Haruskah aku berharap ingatannya kembali.... atau sebaliknya?"

Dira kaget mendengar semuanya dari balik pintu yang ia buka sedikit itu. Reza membelakanginya sambil berbicara pada boneka kesayangannya. Ternyata... ternyata Reza sudah tau semuanya.... dan ia... tetap merahasiakannya.

"Tentu harus membantunya.... " kata Dira lalu masuk. Reza kaget dan berbalik.

"Dira. Sudah kubilang ja... "

"Kak Reza Himawan Putra." suara Dira jelas bergetar.

"Di.. ddiira." Reza kaget sekaligus bingung. Hatinya mengirim sinyal tak baik.

"Selama ini telah membuatmu menderita... Refa minta maaf."

"Rrr... rrefa?" Reza tak percaya. Ia pun langsung memeluk Dira.

"Refa. Selamat datang kembali adikku. Terimakasih karena telah kembali." kata Reza namun Refa tak membalas pelukan itu. Tak ayal keduanya menangis. Agak lama mereka mencoba menyembunyikan air mata masing-masing. Mencoba mencerna semuanya dan bersiap untuk membiarkan hati mereka.... terluka.

"Syukurlah. Syukurlah ingatanmu telah kembali Refa. Sejak kapan?"

"Haruskah aku senang?" pertanyaan dingin itu membuat Reza melepas pelukannya.

"Refa, apa maksud kamu?  Kamu nggak tau seberapa keras kami mencarimu 12 tahun ini. Seberapa kuat kami mempercayai bahwa kamu akan kembali dan sekarang.... sekarang kamu kembali Refa."

"Lalu... kenapa kakak ngasih aku cincin? Kakak begitu membuatku bahagia menjadi calon tunangan Reza Himawan Putra?"

"Ref, aku... aku tau kamu sedih. Aku....aku bisa jelasin semuanya."

"Kakak bohong. Kakak tega. Sejak kapan Kakak tau aku itu Refa? Orang yang paling aku hormati setelah Mama, orang yang selalu bisa menjadi pewarna dalam hidupku.... dulu ternyata begitu naif." Refa lalu akan melangkah keluar.

"Ref... Refa dengerin kakak.... "

"Lepas." seru Refa menolak keras.

"Aku ingin sendiri." lalu diapun pergi. Setelah itu Reza juga terlihat frustasi sambil mengusap wajahnya. Jangan. Tolong jangan sekarang. Reza belum siap menghadapi semuanya.

"Aaarrrghhh!" Reza menonjok tembok. Tak lama ia teringat sesuatu dan menelpon seseorang.

"Jaga Dira diam-diam. Laporkan semua yang terjadi."

"Baik Tuan Muda." Reza pun kembali termenung. Ia lalu memandang foto mereka sekeluarga.

"Kenapa semua jadi begini Ma... " tiba-tiba Reza begitu rindu pada Mamanya.

Reza sudah berada di makam Mamanya. Dia meletakkan bunga mawar putih. Bunga kesukaan Mama. Disana ia menumpahkan segalanya. Berkeluh kesah seperti yang sering ia lakukan 12 tahun ini. Lama. Tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat ia kenal mendekat dan semakin dekat. Reza menutup mata. 'Mama, dia datang. Semoga Mama bahagia.' Lalu suara itu diam. Reza membuka mata dan menoleh. Benar itu dia.

"Den Reza, ini ada yang mencari makam bu Himawan." kata juru kunci makam.

"Iya Pak. Dia akan sering kesini."

"Oh gitu. Ya sudah saya permisi dulu Den." orang itu pun pergi.

Dari tadi tatapan Refa terus tertuju pada nama Mama. Sedikit banyak Reza tau apa yang Refa rasakan karena dia telah merasakannya 12 tahun lalu. Dan setelah semua ini.... tentu terasa lebih berat bagi Refa. Namun Refa berbalik bahkan tanpa melihat Reza.

"Aku yang akan pergi. Tetaplah disini." kata Reza lalu berlalu.

Kemudian tak jauh ia berjalan Reza berhenti dan menengok ke belakang. Refa sedang menangis sambil memeluk nisan Mama. Andai Reza boleh berada disana, ia ingin memeluk Mama bersama adiknya. Reza mengendalikan diri lalu kembali ke mobil. Untuk pertama kalinya ia menyesal pergi ke makam Mama. Reza harus melihat semua ini. Yang membuat semuanya terasa lebih berat. Baru saja Reza akan memarahi pengawal Refa yang tidak melapor saat ia melihat ada satu panggilan dan 1 massage.

#Non Dira menuju pemakaman Nyonya.

Reza sibuk berpikir dan memakai headset selama perjalanan. Ponsel pun ia tinggal di mobil saat masuk pemakaman. Reza menenggelamkan diri di setir mobil. Dia sedang tak ingin bertemu Refa dan sepertinya Refa juga begitu. Masing-masing butuh waktu untuk sendiri. Dreeett. Panggilan masuk. Papa. Reza menghapus air matanya.

"Ya Pa?"

"Apa yang terjadi Re?" Reza diam. Pasti Papa sudah mendapat laporannya dari pegawai rumah.

"Reza... "

"Dia kembali Pa. Refalina."

"Aa.. appa mmmaksud kamu?"

"Ingatan Dira sudah kembali Pa. Dia mengingat... semuanya."

"Benarkah? Benarkah Re?  Syukurlah. Papa akan pulang malam ini Re. Iya, Papa sudah tidak sabar untuk memeluknya. Sekarang dia dimana?"

"Di makam Mama."

"Oh baguslah. Mamamu pasti bahagia. Kalau begitu Papa akan segera menyelesaikan semuanya dan pulang."

"Hati-hati Pa." kata Reza singkat lalu menutup telpon.

Dia menutup mata. Bahkan dari suaranya, Reza tau Papa sangat bahagia. Namun taukah mereka, disela rasa bahagia ini hatinya dan hati Refa jauh lebih sakit karena harus membunuh apa yang selama ini mereka jaga dan lindungi bersama. Cinta. Akhirnya Reza memutuskan menunggu Refa. Mereka harus bicara karena Reza tak tau lagi kapan mereka siap bertemu lagi. Refa akhirnya muncul. Reza pun keluar dari mobil.

"Kita harus bicara."

"Maaf, aku sedang tak ingin bicara." lalu Refa kembali berjalan. Reza segera menghalangi.

"Saat aku berjanji padamu.... " Refa pun menatap Reza.

"Aku akan tetap menepatinya. Aku tak akan membiarkanmu pergi, menangis atau terluka tanpa izinku dan kuharap... kamu juga bisa...menepati kesanggupanmu."

"Sekarang berbeda. Aku bukan kekasihmu." Reza mengepalkan tangan.

"Bagiku sama saja." plak. Refa menamparnya. Reza hanya bisa memandang Refa yang begitu terluka.

"Jangan memaksaku melakukan apa yang tidak kuinginkan." katanya bergetar. Lalu pergi.

"Maaf, tapi aku tidak bisa." Reza pun memeluk Refa dengan paksa karena Refa memberontak. Reza menghibungi orang yang mngawasi Refa dengan satu tangan sdangkan tangan lain masih berusaha menahan Refa. Mobil mereka pun mendekat. Refa pun kaget ternyata... Refa menutup mata. Pantas ia merasa ada yang mengikutinya.

"Bawa mobilku." kata Reza melemparkan kunci mobil pada salah satu orang.

"Antarkan kami." katanya pada orang yang tadi duduk di belakang setir.

"Baik Tuan Muda." Reza lalu menuntun Refa masuk mobil pengawas Refa dan Reza malah duduk dikursi depan.

"Tuan Muda, kenapa tidak dibelakang saja?" tanya sopir tak enak.

"Ayo jalan." kata Reza dengan suara malas yang tak terbantahkan.

Kini Reza dan Refa ada di sebuah restoran yang sudah terlihat tua. Reza segera memesan minuman tapi sengaja tidak pesan makanan. Mereka berdua hanya diam.

"Kamu tau... meski jadi agak sepi dan tua tapi tempat ini tetap menjadi favoritku. Karena inilah tempat favoritmu dulu." Refa menutup telinga. Iya,  dia senang akhirnya bisa kembali ke restoran favoritnya ini. Tempat perayaan ulang tahun terakhirnya bersama Mama dan keluarganya sebelum kecelakaan itu. Tempat yang juga sering ia kunjungi bersama Mama dan kakaknya ini. Refa mencari sesuatu dengan matanya.

"Pohon harapannya sekarang ada disana." kata Reza menunjuk sebuah arah. Refa mengikuti. Benar. Ternyata masih ada. Refa mengerjap. Mencoba menyembunyikan air matanya. Minuman datang.

"Minumlah. Setelah itu kita bicara." Refa pun terhenyak setelah minum minuman itu. Meski sedikit berubah Refa bisa mengenali minuman favoritnya ini. Ternyata kakaknya juga masih ingat.

“Saat ini, aku sungguh bingung kak, semua menjadi tidak jelas dan sangat menyakitkan bagiku. Aku bahkan malu bertemu denganmu.” Kata Refa tenang.

“Itulah yang aku rasakan dua bulan lalu, saat polisi bilang di pisau itu hanya aa satu DNA. Aku…tak punya pilihan selain tetap merahasiakan karena kondisimu pun tidak memungkinkan menerima banyak tekanan.” Refa menutup muka dan mengerang pelan. Ia sangat ingin menangis tapi tidak didepan kakaknya. Reza akan semakin tersiksa jika ia menangis didepannya.

"Apa Mama meninggal dalam kecelakaan itu?" pertanyaan ini sangat ingin Refa tanyakan meski Refa sudah tau dari pegawai rumah. Refa ingin tau apa yang terjadi sebenarnya karena tak ada yang tau kecuali Papa dan Reza.

"Iya. Karena menyelamatkanku." nada penuh penyesalan itu... Refa jadi bingung.

"Andai Mama memilih menyelamatkanmu atau tidak melindungiku pasti takdirnya tak akan seperti ini."

"Jangan salahkan Mama untuk itu."

"Benar. Akupun tak bisa menyalahkan siapapun. Papa, kamu, Mama, diriku sendiri dan akhirnya... takdir. Semuanya membuatku bungkam. Memaksamu dan aku ...menjalani semua ini."

"Mungkin akan beda cerita jika kakak jujur dari awal."

"Baik. Kakak mengaku salah untuk itu. Aku terlalu pengecut untuk mengakui semuanya."

"Dan egois."

"Benar. Aku sangat terpukul saat tau DNA kita sama di pisau itu. Saat aku ingin memberitahumu... aku belum siap kehilanganmu... sebagai kekasihku." cukup. Refa benar-benar tak ingin mendengarnya.

"Cukup. Jika hanya ini yang akan kita bicarakan, aku... "

"Bukan." Reza menatap Refa.

"Kali ini... aku tidak tau apakah aku bisa melindungi hatimu seperti dulu... " Refa menatap Reza.

"Ibu Fatimah... yang selama ini tinggal bersamamu... adalah istri dari sopir truk yang menabrak mobil kita dulu."

"Apa?" Refa pun menutup mulut tak percaya. Pelan Reza menceritakan semuanya yang telah Papa ceritakan.

"Itulah mengapa selama ini kami melarangmu menemuinya karena dia hanya akan memanfaatkanmu."

"Tidak mungkin. Kakak pasti bohong lagi. Itu tidak mungkin."

"Kamu bisa tanyakan ke Papa nanti."

"Tidak. Ayah begitu sayang padaku. Ibu juga meski terkadang ibu memukuliku. Ini semua pasti salah. Jika tidak mereka pasti akan memanfaatkanku atau mencelakaiku lebih jauh." Reza hanya diam.

Sudah pasti Refa terpukul. Hari ini pasti sangat berat untuknya. Namun Reza tak ada pilihan lain. Refa harus segera mengetahui sebelum ia pergi menemui Fatimah di penjara. Reza tak sanggup lagi melihat Refa menangis namun kali ini dia memang mengizinkan Refa menangis.

"Jemput Papa jam 09.00 malam ini karena aku sibuk." Reza memanggil pelayan lalu membayar dan memesan makanan kesukaan Refa. Reza berdiri dan pergi. Lalu berhenti disamping Refa. Tangannya terangkat ke kepala Refa namun justru tak jadi mengusap kepala itu namun menepuk kursi.

"Aku tau semua ini tak mudah untukmu tapi kamu pasti bisa melewatinya, seperti halnya 12 tahun ini." kata Reza tanpa menatap Refa lalu memberikan sapu tangan dan pergi.

Setelah kepergian Reza,  Refa langsung  menangis. Apa yang terjadi hari ini?  Bahkan saat seperti ini Refa tak bisa merasakan belaian Reza. Refa benar-benar nggak tau harus apa. Melihat makanan yang dipesan Reza tadi dan sapu tangan itu... Refa memegangnya erat.

Malam ini Reza membatalkan semua meetingnya. Ia berada di bandara tempat Papa nanti landing. Tak lama Reza melihat Refa datang. Senyum sayu tergambar tiba-tiba. Tak lama Papa pun terlihat. Mereka berpelukan dan jelas sekali mereka bahagia. Ingin rasanya Reza disana dan ikut memeluk mereka seperti saat dirumah sakit dulu. Senyum Refa menular pada Reza meski jauh dari sana. Saat itu Pak Anwar tak sengaja melihat Reza. Reza lalu memberi isyarat diam. Pak Anwar memberi hormat secara samar. Reza tersenyum lalu berbalik pergi.

"Siapkan apartemennya." kata Reza di telepon.

Lalu mengirim pesan pada seseorang.

"Oh ya, Reza mana Ref?" tanya Papa saat menuju mobil sambil masih memeluk Refa.

"Katanya sibuk Pa."

"Oh padahal Papa ingin dinner bareng kalian. Kamu pulang kan?" dreeet. Dira membuka ponselnya.

My love : Aku nggak pulang kerumah beberapa hari.

Refa termenung. Reza yang memutuskan pergi.

"Kenapa Ref?" Refa baru sadar Papa menunggu jawabannya.

"Oh eh nggak papa. Iya Pa, Refa pulang bareng Papa." Papa pun tersenyum.

Di apartemennya Reza termenung di tempat tidur. Ia bingung harus bagaimana sekarang. Apakah benar keputusannya untuk menghindar?  Dreettt. Panggilan masuk. Ivan.

"Ya... "

"Lo kemana aja sih Re,  meeting lo batalin gitu aja. Klien marah tuh mana belum jadi pemotretan juga." Reza memegang keningnya. Kacau deh.

"Ya iya gue bakal selesein pemotretan secepatnya. Dan tolong atur ulang meeting bareng klien itu."

"Udah gue coba Re,  tapi beliau nggak mau. Beliau mau ketemu kalau modelnya udah jadi juga dan nggak mau lebih dari akhir pekan ini." Reza menarik napas panjang.

"Re... "

"Iya gue bakal selesein. Bawel lo ah."

"Karena kalo sampe klien itu ngadu ke Papa lo, abis lo ntar."

"Iya gue ngerti." klik. Karena sebal Reza menutup ponselnya.

Kejadian beruntun ini menguras fisik dan hatinya. Karena terlalu lama dirumah sakit dan mendapat masalah ini membuatnya lupa pada pekerjaan. Sampai-sampai Ivan berani ngomelin dia. Untung partner Reza ini bisa diandalkan sehingga bisa meng-cover semuanya. Temen deket Reza. Reza mengusap mukanya lalu berdiri. Membuat kopi. Berniat memeriksa pekerjaannya.

Baru saja Reza menyalakan laptopnya saat ponselnya bergetar. Panggilan masuk.

"Siapa lagi sih?" gerutu Reza. Udah hampir tengah malam juga. Tapi sedikit heran saat melihat nama yang tertera di layar.

"Iya Pa... "

"Kamu dimana Re, dikantor nggak ada dan nggak pulang."

"Aku... di salah satu apartemen Papa. Kali ini aku benar-benar butuh sendiri." Pak Himawan menarik napas panjang.

"Papa tau ini sulit untuk kalian, tapi cobalah menghadapi layaknya orang dewasa. Semakin kalian lari akan semakin banyak luka dihati." Reza hanya diam. Cukup lama. Tapi Reza sadar Papa masih menunggu jawabannya.

"Aku ngerti."

"Bagus. Papa ingin bicara dengan kalian lusa. Pastikan kamu bisa pulang."

"Baik Pa."

"Papa percaya kalian bisa mengatasinya." klik. Telepon berakhir.

"Semoga Pa." Reza tetap menjawab.  Dia termenung lagi. Lama.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My Universe 1
3513      1171     3     
Romance
Ini adalah kisah tentang dua sejoli Bintang dan Senja versiku.... Bintang, gadis polos yang hadir dalam kehidupan Senja, lelaki yang trauma akan sebuah hubungan dan menutup hatinya. Senja juga bermasalah dengan Embun, adik tiri yang begitu mencintainya.. Happy Reading :)
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6667      1493     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Flowers
359      247     1     
Inspirational
Zahra, remaja yang sering menggunakan waktu liburnya dengan bermalas-malasan di rumah, menggunakan satu minggu dari libur semesternya untuk mengunjungi tempat yang ingin dikunjungi mendiang Kakaknya. Bukan hanya demi melaksanakan keinginan terakhir Kakaknya, perjalanan ini juga menjadi jawaban atas semua pertanyaannya.
Coldest Husband
1305      675     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
Unthinkable
11409      1848     6     
Romance
Cinta yang tidak diketahui keberadaannya, namun selalu mengawasi di dekat kita
CAFE POJOK
3199      1077     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Toget(her)
1271      593     4     
Romance
Cinta memang "segalanya" dan segalanya adalah tentang cinta. Khanza yang ceria menjadi murung karena cinta. Namun terus berusaha memperbaiki diri dengan cinta untuk menemukan cinta baru yang benar-benar cinta dan memeluknya dengan penuh cinta. Karena cinta pula, kisah-kisah cinta Khanza terus mengalir dengan cinta-cinta. Selamat menyelami CINTA
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Glad to Meet You
249      190     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...