Siang ini Reza melihat Dira yang tengah melamun di perkebunan. Benar kata Indra. Dira jadi sering melamun. Sekarang dia lebih kurus.
"Dira." panggil Reza.
"Nggak. Nggak mungkin Dira. Itu cuma bayangan." kata Dira yang membelakangi Reza. Reza jadi trenyuh.
"Dira ini aku, Reza."
"Nggak mungkin, nggak mungkin. Sadar Dira sadar." kata Dira sambil menepuk pipinya. Reza tak sanggup. Dia lalu melangkah dan memeluk Dira.
"Apa kabar Dira." mereka sama-sama diam sesaat. Pelan Reza melepas pelukannya. Dia menghadapkan Dira kehadapannya.
"Mas Reza... ini sungguhan?" katanya sambil membelai pipi Reza. Mata mereka sama-sama berkaca.
"Mas Reza." kata Dira lalu memeluk Reza.
Sore itu mereka kembali ke bukit dimana mereka sering menyaksikan sunset bersama. Disanalah mereka akhirnya jujur akan perasaan masing-masing. Yah, meski mereka saling mengenal kurang dari tiga bulan namun mereka sudah seperti kenal lama. Mereka saling nyaman dan percaya. Bahkan sekarang Reza jujur semuanya. Tragedi 12 tahun lalu, titik tolak hidupnya yang menjadikannya berubah selama ini.
Banyak cewek yang sudah dipermainkan Reza namun Reza jujur hanya pada Dira, hati Reza tak ingin berpaling dengan yang lain. Dira telah menuntun Reza kembali meski belum lama bertemu. Namun Reza masih menutupi bahwa ia harus bertunangan dengan Cindy karena Reza berencana membatalkannya.
"Dira, aku tau aku bukan cowok baik-baik. Tapi bisakah aku memintamu menuntunku kembali?" kata Reza sambil mengulurkan sebuah cincin. Dira tentu syok. Dia tak menyangka Reza bahkan sudah menyiapkan cincin.
"Meski aku memiliki banyak cewek dulu tapi tak sekalipun aku pernah memberikan cincin. Aku.... ingin mengenalmu lebih jauh." ucap Reza tulus. Lama, akhirnya....
"Apa aku bisa Mas, apa aku pantas berjalan bersamamu?." tanya Dira sekn teringat sesuatu.
“Akulah yang seharusnya mengatakan itu, pantaskah aku meminta gadis sebaik kamu bersamaku, menuntunku kembali.” Dira hanya diam. Dia juga tau ini bukan main-main.
“Aku tau, mungkin setelah ini jalan kita akan semakin berat, cobaan kita semakin banyak dan bahkan kita belum lama bersama. Tapi bisakah kita saling percaya, bahwa kita akan bisa melalu semuanya? Bagaimanapun caranya.”Reza meyakinkan Dira lagi.
“Aku tak akan pernah melepaskanmu DIra, hanya itu janji yang bisa kubuat untukmu. Bisakah kamu memercayainya?” plan akhrnya Dira mengngguk. Reza tersenyum dan memakaikan cincin itu. Saat matahari hampir mencapai peraduannya mereka mengulurkan tangan mereka membentuk hati mengelilingi matahari.
"Aku ingin segera mengenalkanmu pada Papa." mereka sedang dalam perjalanan pulang.
"Secepat itukah Mas?"
"Dalam hubungan ini... aku tak ingin lebih banyak lagi menyakiti hati."
"Maksudnya?" Reza meraba cincin di jari Dira. Cincin ini.... Cindy yang memilihnya untuk pertunangan mereka.
"Nggak. Hanya saja teringat... Indra." lamun Reza. Mereka pun terdiam. Lalu Reza tiba-tiba memerhatikan Dira dari ujung kepala sampai jari kaki.
"Kenapa?" Dira jadi curiga.
"Janga mesum." Reza menjentik dahi Dira pelan. Dira manyun.
"Kayaknya kamu cocok deh jadi model baru aku. Kamu mau ikut ke Jakarta?”Kejutan lagi bagi Dira.
"Dengan begitu aku juga bisa ngenalin kamu ke Papa dan kamu tau siapa aku sebenarnya."
"Tapi... aku perlu ..."
"Ibu kamu? Aku yang akan minta izin."
"Tidak. Jangan sekarang Mas."
"Kenapa?"
"Apa Papa Mas udah bener-bener ngrestuin? Dulu Ibu pernah kecewa karena saat aku sudah mengenalkan padanya justru orang tuanya... "
"Kamu udah pernah dilamar?"
"Dia selalu nemenin aku setelah aku lupa ingatan 13 tahun lalu. Ibu sudah banya berharap padanya tapi akhirnya.... dia pergi." surprise untuk Reza.
"Kamu... masih suka sama dia?" Dira menatap Reza lalu tersenyum.
"Mas yang buat aku lupa sama dia. Tapi itu memberiku pelajaran untuk tidak mengecewakan ibuku... lagi." Reza kagum. Begitu besar rasa sayang Dira pada ibunya hingga ia menjaga setiap tingkah laku dan perkataannya. Andai Reza juga bisa melakukan itu pada Mamanya... Reza pun memeluk Dira hangat.
"Aku nggak akan ngecewain Ibumu dan... dirimu."
Malamnya Reza memutuskan menelpon Papanya.
"Pa, ini Reza."
"Dimana kamu? Kamu tau kemarin malam Oom Hendra dan Cindy dating untuk membicarakan pertunangan kalian. Kamu.... "
"Pa... " Reza memotong rentetan kata Papanya. Nada itu membuat Papa Reza diam.
"Batalkan pertunangan itu."
"Aa... aapaa?" syok. Lama mereka terdiam. Reza sendiri tau apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Apa kamu sudah gila?!"
"Papa tau posisi Reza sekarang bukan? Reza disini untuk menjemputnya."
"Apa maksud kamu? Kamu punya calon lain... "
"Iya Pa. Maaf kalau Reza nggak pernah ngomong. Tapi Reza akan kembali bersamanya dan menjelaskan semuanya."
"Re, jangan main-main kamu. Kamu tau siapa Cindy bukan? Jangan coba-coba merusak apa yang telah kami rencanakan. Pokoknya Papa cuma mau kamu sama Cindy. Titik."
"Pa, cukup Pa. Selama ini nggak cukup Papa nyiksa aku?"
"Apa kamu bilang? Kamu nggak tau betapa kerasnya Papa nglindungin kamu ha?!"
"Dan jika Papa terus begini, Papa justru akan kehilangan orang yang Papa lindungi."
"Reza! Siapa sebenarnya gadis yang sudah membuatmu begini? Pulang sekarang juga! Papa mau bicara sama kamu."
"Nggak Pa, Reza bakal balik bareng dia nanti."
"Reza, jangan coba-coba membuat Papa marah atau kamu akan tau akibatnya." lama mereka saling diam.
"Pa, maaf tapi kali ini Reza nggak mau kehilangan dia. 12 tahun lalu udah cukup untuk Reza kehilangan orang yang paling berharga untuk Reza." akhirnya Reza berkata dengan pelan.
"Re Papa mohon... ini untuk kebaikanmu."
"Maaf Pa, kali ini Reza nggak bisa turutin kemauan Papa. " klik. Reza menutup telpon. Dia mengusap mukanya. Ia harus berbicara pada satu orang lagi.
Akhirnya pagi ini Reza dan Dira sampai dirumah Reza. Papa Reza sedang diluar kota. Dengan segala scenario akhrnya Reza mendapat restu untuk hubungannya dan Dira sekaligus membawa Dira ke sini dari ibunya.
"Anggap aja rumah sendiri Di. Habis ini aku harus kekantor. Kalau kamu butuh apa-apa tinggal bilang aja sama orang rumah." Kata Reza saat mengantar Dira kekamar tamu.
"Ternyata kamu beneran orang kaya."
"Kenapa, tambah sayang kan?" goda Reza.
"Emmm berkurang malah."
"Kok bisa? Aku kan nggak bohong. Aku udah jujur. Tapi tenang aja. Aku bukan orang yang peduli status."
"Papa kamu... "
"Yah meski agak sulit... mari kita coba meyakinkannya Dira." Dira mengangguk. Dia pun ingin menyemangati Reza yang seperti ragu juga.
"Aku berangkat dulu. Telpon aku kalau ada apa-apa."
"Oke. Hati-hati." sepeninggalan Reza, Dira bukannya istirahat namun memilih berkeliling rumah. Rasanya.... rumah ini....
Tak lama ada tamu datang. Seorang cewek cantik.
"Siapa lo?" tanya Cindy ketus dan bingung.
"Aku... aku... " Dira bingung menjawab hingga ia mengibaskan tangannya dan saat itulah Cindy kaget.
"Kenapa ini bisa... siapa lo?" Cindy langsung mengambil tangan Dira dan memastikan itu cincin yang dipilihnya.
"Mbak siapa ya?" Dira langsung menarik tangannya. Dengan mata berani ia menatap Cindy. Plak. Tamparan keras mendarat di pipi Dira.
"Gue... gue tunangannya. Dan cincin itu ...gue yang pilih. Siapa lo berani-beraninya makae ini ha?." Dira juga syok. Reza nggak cerita soal tunangan.
"Tunangan?"
"Iya. Jangan bilang lo salah satu cewek simpanannya. Sini kembaliin cincinnya."Cindy meminta paksa namun Dira mentingkirkn tangannya.
"Maaf ya mbak saya nggak paham apa yang mbak katakan. Kalau memang ini untuk mba harusnya Mas Reza nggak ngasih ke saya. Tapi ....mending mbak tanya langsung ke Mas Reza."
"Elo... " Cindy sangat marah dengan perkataan Dira. Hampir dia mau menamparnya
lagi namun dirumah ini banyak mata. Cindy harus menjaga dirinya. Cindy pun pergi.
Sampai dijalan dia berhenti dan menangis. Ternyata yang malam itu Reza katakan di telpon benar. Cindy hampir nggak percaya Reza bisa cinta beneran sama cewek. Cindy pikir dia masih bisa menyelamatkan pertunangannya namun.... bahkan Reza sudah memberi cincin pada cewek itu. Cindy sangat tau Reza. Seromantis-romantisnya dia, selama ini nggak pernah ngasih cincin ke cewek karena bagi Reza itu artinya Reza siap terikat dengan cewek itu. Cindy mengambil ponselnya memanggil sekretaris Reza.
"Reza dikantor?"
"Iya Bu Cindy tapi beliau sangat sibuk dari tadi karena meninggalkan kantor beberapa hari lalu.”
"Oke, makasih." Cindy kembali menangis. Dan sekarang ia tak bisa menemui Reza.
"Karena cewek kampung itu kamu bahkan membatalkan pertunangan hanya lewat telepon Re, tega kamu." rintih Cindy. Dari semua rasa tumbuh rasa baru. Dendam.
Sedangkan Dira termenung memikirkan apa yang terjadi tadi. Inikah yang dimaksud kenapa Reza ingin segera membawa dirinya pada Papanya. Tapi mengapa Reza tak pernah bilang mempunyai tunangan. Tiba-tiba hati Dira jadi ragu. Rasa sakit, kecewa dan marah menumpuk menjadi satu. Mengapa Reza merahasiakan hal sepenting ini, padanya?
Malam hari akhirnya Reza sampai rumah lagi. Ia sangat lelah. Papa ternyata benar-benar tak memberinya waktu bersantai karena setumpuk pekerjaan.
"Diraaa... " panggilnya namun Dira tak ada dikamarnya. Reza terus mencari.
Namun Reza melihat sebuah kamar yang tidak biasanya terbuka... terbuka. Dira berdiri disana sambil menyentuh sebuah boneka. Tanpa pikir panjang, sungguh…tanpa Reza sendiri sadari…
"Dira!" Dira sangat kaget tiba-tiba Reza datang dan marah.
"Mas Rez... "
"Ayo keluar!" Reza langsung menyeretnya keluar dengan kasar.
"Mas Reza sakit."
"Kamu ngapain sih? Apa nggak puas kamu kelilingi rumah ini aja. Jangan coba-coba masuk kamar itu lagi. Ngerti."
"Ada apa sih Mas? Maaf,aku memang salah. Tadi tiba-tiba aku hanya ingin masuk jadi... "
"Udahlah. Aku capek. Kamu boleh masuk dan pegang apa aja dirumah ini kecuali kamar itu dan seisinya ngerti."
"Maaf Mas." Dira pun hampir menangis dan pergi kekamarnya karena ini pertama kalinya Reza marah. Tanpa sebab yang jelas lagi. Menyebalkan sekali. Harusnya kan Dira yang sebel soal Cindy. Reza tiba-tiba datang ke kamarnya. Dira malah keluar dan duduk di ayunan taman. Dira juga kaget kenapa hatinya seperti rindu kamar itu dan begitu tertarik pada boneka itu. Tak lama Reza muncul kembali.
"Dira... " Dira menoleh. Tapi tanpa senyum.
"Maaf. Aku benar-benar lelah hari ini. Jadi aku... sungguh aku tak berniat... " Reza bingung sendiri.
"Nggak papa Mas, aku ngerti kok." kata Dira dengan nada yang diusahakan biasa.
"Makasih." tiba-tiba sungguh refleka Reza mengusap puncak kepala Dira sambil tersenyum.
Namun tak lama Reza juga sadar dan segera menurunkan tangannya. Sikap ini ... Dalam ingatan Dira juga tiba-tiba muncul sebuah bayangan. Bayangan perlakuan ini. Ayunan ini, orang yang duduk dan berdiri di sini...apa itu?
"Sini, aku ayunin." Reza menyadarkan. Kepala Dira mendadak sakit namun Reza nggak ngelihat karena berada dibelakang Dira.
"Kamar itu ... adala kamar Refalina, adikku. Dan boneka yang kamu pegang adalah boneka kesayangannya. Aku nggak mau orang lain masuk dan menyentuh barang-barangnya karena aku masih berharap... dia bisa kembali suatu hari nanti." Dira tak mendengarkan cerita Reza karena kepalanya sangat sakit. Potongan bayangan terus muncul di kepalanya. Bahkan saat Reza mengayunkannya dari belakang. Lama tak ada jawaban.
"Di... Dira." Dira tak menjawab. Dira malah memegang kepalanya. Reza langsung menghentikan ayunannya dan melihat wajah Dira.
"Astaga Dira. Dira kamu kenapa?" Reza panik karena hidung Dira mengeluarkan darah. Dan akhirnya Dira pun pingsan.
Dira mengerjap. Kamar siapa ini batinnya. Oh iya di kan sedang dirumah Reza. Lalu ia menoleh. Reza tertidur di sofa. Kepala Dira sangat sakit. Dira pun bangun. Ia ingin memberi selimut pada Reza tapi... mengingat Cindy membuatnya enggan. Dikamar ini tidak ada balkon seperti dikamar itu. Dira membuka jendela dan memandang bintang. Tak ada bulan. Ia memikirkan tadi yang muncul dikepalanya. Namun semakin mengingatnya, kepalanya semakin sakit.
"Dira... " Reza langsung menghampiri. Sepertinya Dira kesakitan.
"Jangan bangun dulu. Kamu masih sa... "
"Udahlah, jangan sok perhatian." Dira melepas kasar tangan Reza. Jelas Reza syok. Apalagi ini?
"Dira, kamu kenapa sih. Aku jadi bingung sama kamu."
"Harusnya aku yang bingung sama kamu Mas, apa sih sebenarnya maksud kamu, siapa kamu, bagaimana hidupmu... aku jadi semakin bingung setelah kesini Mas."
"Dira, kamu masih sakit. Kata dokter tadi kamu harus... "
"Aku baik-baik aja Mas. Jangan mengalihkan pembicaraan." sergah Dira. Reza mencoba sabar.
"Oke, kita bicarakan sambil duduk." Reza menuju sofa. Dira pun mengikuti namun duduk jauh dari Reza.
"Ada apa Di?"
"Siapa Cindy?" kejutan lagi.
"Kamu ketemu dia? Kapan? Dimana?" tanya Reza langsung.
"Hah, bahkan kamu nggak bisa jawab pertanyaanku Mas. Sekali lagi. Jangan coba mengalihkan pembicaraan." Reza baru mau protes tapi akhirnya memilih menahan.
"Aku nggak tau apa yang terjadi tapi aku berharap kamu nggak terpengaruh apapun tentangnya." jawab Reza diplomatis. Dia ingin tau sampai mana Dira tau.
"Dia yang harusnya memakai cincin ini?" Reza sudah menduga pasti Dira akhirnya tau.
"Iya. Tapi... " Reza menghentikan kalimatnya karena melihat Dira melepas cincin itu. Reza langsung menghampiri dan mencegah.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Itu yang harusnya kutanya padamu Mas? Kenapa kamu tega bohongin aku? Kamu pikir aku gadis macam apa ha?"
"Dira... dengerin aku dan tolong jangan menyela." Reza pun menceritakan pembatalan pertunangan malam itu. Alasannya, resikonya dan respon Papanya.
"Oleh karena itu aku mengikatmu, dengan begitu aku bisa memperjuangkanmu."
"Papamu benar Mas, aku ini nggak pantes buat kamu. Kamu nggak seharusnya melakukan hal sejauh ini."
"Aku tau, aku mungkin harus merelakan hal yang besar, mungkin masa depan Papa dn perusahaan juga tapi aku nggak bisa Di mengubah keputusan ini. Bisakah kali ini kamu mendukungku Di? Untuk pertama kalinya aku ingin memperjuangkan kebebasanku. Berkat dirimu, aku bisa menemukan seberkas cahaya dalam hidupku. Aku akan berusaha."
"Ngga Mas. Aku nggak akan bahagia kalau nantinya kamu kehilangan semuanya karena aku. Apa yang kamu lepaskan terlalu besar untuk sekedar memperjuangkanku."
"Aku sudah bilang bukan, aku tak akan melepaskanmu , bagaimanapun caranya. Cukup 12 tahun lalu aku kehilangan Mama dan adikku gara-gara Papa, dan jika ini terjadi lagi... aku tak yakin aku bisa menata semuanya kembali Dira."
"Tapi Mas, aku... "
"Aku tau Papa. Kalau kita berusaha meyakinkan Papa, lama-lama Papa juga akan luluh. Hanya itu yang perlu kita pikirkan. Masalah Cindy dan yang lainnya, aku siap menghadapinya saat aku memutuskan ini malam itu." mata mereka saling menatap. Mata Reza begitu kesepian dan penuh harapan. Dira tak tega melihat itu. Dia bingung apa yang harus dilakukan.
"Kalau kamu minta cincin selain ini akan aku carikan, tapi sementara jangan melepas sampai aku dapat gantinya. Karena ini sebagai bukti aku dan kamu siap berjuang bersama." mereka saling menatap lagi. Tatapan yang sama-sama berusaha menguatkan. Sinar yang sama-sama meyakinkan untuk bertahan. Pelan. Reza memasangkan cincin itu kembali. Dira nggak melawan.
"Bisakah aku mendampingimu Mas, dengan apa yang aku miliki?"
"Aku membutuhkan semua yang ada pada dirimu. Karena bersamamu, aku merasa benar dan tenang. Jadi tolong, bertahanlah bersamaku." ucap Reza tulus. Setetes air mata Dira turun. Reza segera menghapusnya. Reza lalu memeluknya.
"Kamu nggak boleh nangis, terluka dan pergi tanpa seizinku. Mengerti?" tanya Reza dengan suara lega.
"Iya." jawab Dira membalas pelukan itu.
Pagi ini mereka sarapan bersama. Reza memperhatihan Dira yang membuang salad stroberi pada rotinya.
"Kamu nggak suka stroberi?"
"Kata Ibu aku alergi berat sama stroberi. Dulu aku hampir mati karena tak sengaja makan es krim rasa stroberi."
"Kamu tau nggak Di, adikku juga sama kayak kamu. Dia nggak bisa makan stroberi sama kayak Papa, padahal aku sama almarhum Mama suka banget."
"Oh ya, Mas pasti seneng karena nggak harus berebut selai."
"Apaan sih kamu. Aku sama dia jarang akur. Tapi setelah kepergiannya.... semua terasa sangat berbeda. Terkadang aku begitu menyesal belum menjadi kakak yang baik untuknya."
"Dia pasti ngerti kok Mas, kalau Mas aja ngrasa kehilangan, diapun demikian. Dia pasti tau kakaknya begitu menyayanginya. Mungkin begitulah cara kalian saling meyayangi. Dengan bertengkar." Reza tertawa. Cewek ini kayak tau aja. Tapi benar. Itulah yang dirasakan Reza.
"Nanti kamu ke kantor siangan aja, aku harus meeting soalnya. Kamu nggak papa kan pergi sama sopir?"
"Emang Mas mau jemput aku?"
"Enggak juga. Itu sangat membuang waktu." Dira mencubit lengan Reza.
"Sakit tauk."
"Lagian.... Oh ya Papa Mas pulang kapan? Aku nggak enak kalau nanti beliau sudah sampai rumah, ada aku Mas nggak ada."
"Papa sampai sini malem. Tadi baru ngabarin.
Dreeettt. Ada panggilan di ponsel Reza. Setelah menerima telpon Reza langsung bergegas.
"Di aku harus segera berangkat."
"Ohh... Oke." Dira seperti mau bicara sesuatu tapi nggak jadi.
"Jangan khawatir, Cindy nggak akan aku bolehin masuk selama ada kamu disini." Dira tersenyum. Cowok peka. Batinnya. Reza pun pergi.
Namun ternyata Dira mendapat telpon dari tetangganya bahwa ibunya jatuh sakit dan nggak mau dibawa kerumah sakit kecuali Dira pulang. Akhirnya Dira pulang bersama Reza. Dan kali ini Reza mengantarnya hingga rumah Dira. Reza kaget karena ada para pengawal Papa.
"Ada apa Mas?"
"Mereka... pengawal Papa."
"Apa? Maksudnya?" Dira pun bingung.
"Tuan Muda. Bagaimana.... " pengawal setia keluarga Reza.
"Ada apa ini Pak Anwar?" Dira mau masuk tapi tidak diperbolehkan.
"Pak Anwar.... "
"Maaf Tuan Muda. Tuan hanya ingin berdua."
"Tapi ibu saya sakit." rintih Dira. Akhirnya Reza tak tahan.
"Maaf Pak Anwar." Reza membuat gerakan tiba-tiba untuk membuat Pak Anwar pingsan lalu mereka berdua masuk. Karena gerakan itu Pak Anwar pingsan namun hanya sebentar lalu yang membuat Dira dan Reza kaget adalah…
"Ibu... ada apa ini... " Ibu Dira membawa pisau. Papa Reza dan Ibu Dira berhadapan sedang bertatapan seolah akan perang. Pisau itu ditarik Ibu Dira lalu dihunuskan tepat kearah perut Papa Reza.
"Papa.. " kejadiannya begitu cepat. Tiba-tiba perut Reza lah yang sudah berdarah.
"Reza... Imah.. Kau... "
"Itu untuk suamiku yang kaubunuh Himawan." lalu Ibu Dira tertawa.
"Wanita jalang..”. Papa Reza berusaha meraih apapun yang ada disekitarnya dan melemparkan guci kearah Ibu Dira namun justru Dira yang terkena. Untung hanya mengenai bahu kanannya. Semua kaget. Termasuk Reza yang masih sadar.
"Dira..." Panggil Reza. Pak Himawan tak lagi peduli. Ia harus segera mebawa Reza kerumah sakit.
"Dira, dia pembunuh Ayahmu." kata Ibu Dira. Dira langsung menoleh.
"Kalian dulu yang menyebabkan kematian istri dan putriku. Dan jika terjadi sesuatu dengan putraku, kupastikan kau mati Imah!"
"Jangan biarkan penjahat itu pergi Dira." Dira masih bimbang. Disisi lain Reza harus segera dibawa kerumah sakit. Tapi orang itu... Akhirnya Ibu Dira yang menyusul Pak Himawan dengan membawa pisau.
"Ibu jangan... " Dira berusaha menahan dari samping. Reza sudah setengah sadar. Karena panik Pak Himawan mendorong tangan Ibu Dira kesamping dan itu justru tepat mengenai perut Dira!
"Dira! " Reza dan Ibu Dira syok.
"Ayo Re."
"Pppa... selamatkan Dira."
"Untuk apa Reza. Biarkan saja." Pak Himawan segera memanggil Anwar tapi tentu saja belum bangun dari pingsan.
"Ttolong Pa... Selamatkan dia." Reza memohon dengan suara dan matanya lalu ia tak ingat apa-apa lagi.
Putih. Reza mengerjap lagi. Putih. Pelan dia menoleh.
"Pa... " matanya melihat Papa menutup muka di sofa.
"Reza. Re, kamu sudah sadar. Syukurlah Nak." Reza mengerjap lagi. Perutnya sakit dan tubuhnya jadi lemas semua.
"Apa yang kamu rasakan Nak?" Reza ingin bangun tapi...
"Jangan Re, lukamu cukup dalam." lalu Reza mengingat sesuatu.
"Dira. Bagaimana dengan Dira Pa?"
"Sebenarnya siapa Dira itu Re, bahkan sekarang dan ketika kamu sekarat kemarin... kamu begitu peduli padanya."
"Dia... Aku... mencintainya Pa." jelas Pak Himawan syok.
"Kamu.... kamu batalkan pertunanganmu dengan Cindy hanya untuk perempuan desa itu? Kamu sadar Reza, sekarang Papa cuma punya kamu dan Papa nggak mau masa depan kamu nggak jelas. Terlebih yang membuat Papa tidak akan merestui adalah karena dia anak Fatimah. Ingat itu Re, dia penyebab kematian Mama dan adikmu." ucap Pak Himawan berapi-api. Reza menutup mata. Reza kembali mengingat kejadian dirumah itu. Saat Dira memanggil ibu, Papanya dan... semuanya. Tanpa sadar Reza meraba perutnya. Mengingat itu seolah membuatnya kembali merasakan sakitnya ditusuk.
"Kenapa Re, Papa panggilkan dokter?" Reza langsung membuka mata.
"Pa...." Pak Himawan menoleh.
"Bisa tolong ceritakan peristiwa itu... semuanya." mereka sama-sama diam.
"Kamu... yakin?" tanya Pak Himawan.
Ya, setelah kejadian itu Reza begitu terpukul. Dia memang kesayangan Mamanya dan adiknya. Trauma psikologis dialami Reza dan sampai sekarang Pak Himawan tak pernah lagi mengungkit masalah itu didepan Reza. Bahkan tidak menceritakan siapa dalang dibalik kecelakaan maut itu.
12 tahun lalu.
Pak Himawan dan keluarganya berlibur ke luar kota. Yah, Bapak dan Ibu Himawan, Refalina yang masih berusia 10 tahun dan Reza yang berusia 15 tahun. Karena Papa adalah seorang pengusaha kaya raya, beliau jarang memiliki waktu untuk keluarganya. Dan hari itu merupakan kesempatan langka. Mereka berada dalam satu mobil dengan seorang sopir. Sopir pribadi yang biasa dirumah adalah almarhum ayah Dira namun saat itu tiba-tiba dia izin pulang kampung dan digantikan sopir lain. Mobil mereka tiba-tiba mogok di pinggir jurang. Sopir pun pergi sebentar untuk mencari bantuan. Pak Himawan juga keluar dari mobil untuk mencari bantuan karena ponselnya tidak ada sinyal. Tinggal bu Himawan dan kedua putranya didalam mobil. Namun tiba-tiba saat mereka sedang bercengkrama...brukkk. mobil menggelinding kebawah.
Sebuah truk menabrak mobil itu dan langsung melarikan diri. Mama Reza ditemukan tewas karena berusaha melindungi Reza sedangkan putrinya, Refa hilang karena arus sungai dijurang itu sangat deras. Hingga 12 tahun ini jasad dan kabarnya tak pernah ditemukan.
Setelah penyelidikan, dikerahui bahwa sopir truk itu adalah ayah Dira. Tujuan sebenarnya adalah melukai Himawan karena beliau telah memperkosa Fatimah, istrinya yang juga pegawai rumah tangga di rumah beliau. Bahkan saat Imah hamil Pak Himawan dengan tega memaksanya meminum cairan penggugur kandungan dan kemudian memecatnya. Setelah kejadian itu ayah Dira menghilang bahkan polisi tak berhasil menemukannya. Ya, meski sopir namun Ayah Dira adalah orang yang pintar sehingga dekat dengan Pak Himawan bukan hanya sebagai sopir.
Namun, 2 tahun lalu tak sengaja kaki tangan Pak Himawan melihat ayah Dira di Bandung. Pak Himawan langsung menemuinya untuk meminta pertanggung jawaban serta bertanya soal putrinya. Sebelum Himawan dihabisi oleh pegawai Pak Himawan ia menceritakan semua motifnya. Dan permintaan terakhirnya adalah berduel dengan Pak Himawan. Tentu itu candaan bagi Papa Reza karena dia dikawal begitu banyak orang namun Pak Himawan sadar, semenjak kehilangan putri dan istrinya ia paham apa yang dirasakan mantan sopirnya ini. Trauma bagi Imah dan dendam harus segera terbayarkan sebelum kejadian lain akan menimpa putranya, Reza. Hal itu juga sebagai pembuktian bahwa Pak Himawan merasa bersalah dan menyesal. Namun nasi sudah menjadi bubur. Dendam 10 tahun ini tak mungkin selesai dengan kata maaf.
Lalu Pak Himawan menyuruh semua pegawainya mundur dan tidak ikut campur. Pak Himawan pun akan menerima hukuman atau bahkan kematiannya. Duel terjadi. Pak Himawan membiarkan mantan sopirnya melampiaskan segala amarahnya. Disaat terakhir mereka sama-sama kelelahan. Pak Himawan berada di pinggir jembatan dimana sungai luas menganga dibawahnya. Mereka sama-sama tak berpikir lalu refleks Pak Himawan menghindar saat ayah Dira akan menyerangnya... namun... karena tidak ada Pak Himawan sebagai target sekaligus penghalang,ayah Dira terjun bebas ke sungai. Pak Himawan langsung menyuruh pegawainya menyelamatkan mantan sopirnya tapi takdir berkata lain. Jasad ayah Dira hilang dan baru ditemukan satu hari setelahnya dalam keadaan tak bernyawa. Entah bagaimana, Imah bisa mengetahui cerita itu karena jelas kasus itu ditutup rapat-rapat. Bahkan untuk Reza.
"Sejak itu Papa menghentikan pencarian Refa. Kejadian itu menyadarkan Papa, waktu 10 tahun bukan waktu yang mungkin untuk Refa bertahan sendirian. Kalaupun ia bertemu orang lain sudah pasti tercium baunya seperti Imah mengetahui kabar suaminya. Meski berat bagi Papa mengiklaskan tanpa melihat jenazahnya namun Papa nggak mau bikin Mama dan adik kamu menderita di atas sana dengan ketidakikhlasan Papa." tutup Pak Himawan.
Reza tentu kaget mendengar semuanya. Ya. Syok. Kenyataan yang selama ini tak pernah didengarnya bahkan lebih besar dari yang ia bayangkan. Kenyataan ini begitu sulit dicerna dengan cepat.
"Re, kamu nggak papa?" tanya Papa yang melihat wajah Reza semakin pucat.
"Pa, bisa tolong tinggalkan Reza sendiri?"
Ya. Tentu Reza perlu waktu untuk menerima segalanya. Segala yang harus ia alami dan hadapi 12 tahun ini akibat peristiwa itu tidaklah sedikit. Dan cerita ini mungkin lebih menguak luka dan menambah penderitaannya. Pak Himawan pun keluar. Setelah itu Reza berusaha duduk meski masih kesakitan. Ia beranikan diri memutar semua dari awal. Setaunya hubungan Mama dan Papa baik-baik saja. Pemecatan Imah sebelum kecelakaan itu juga tidak menimbulkan huru-hara. Waktu itu Ayah Dira dan Faitmah belum menjadi suami istri.
Tak terasa tetes demi tetes air mata turun begitu saja. Selama ini ia terlalu pengecut untuk menerima semuanya dan bahkan selalu menyalahkan Papanya yang over protektif. Betapa menderitanya Papa selama ini, mencari adiknya, mencoba merelakan Mama dan sekuat tenaga melindungi dan mempertahankan Reza. Tragedi itu tentu memberi banyak pelajaran pada Papa. Namun tak dipungkiri semua berawal dari Papa.
Setelah itu muncul rasa baru yang lebih Reza takutkan. Dira. Ya, betapa terlukanya dia jika sampai mendengar ini semua. Bagaimana ia akan menerima dimana Reza sendiri belum bisa menerimanya. Takdir kejam ini... tragedi ini... Akankah membuat hubungan mereka selesai layaknya permasalahan ini yang hampir menemui ujungnya. Lalu bagaimana nasib cintanya dan Dira? Benarkah Dira hanya ditakdirkan untuk memberinya pelajaran tanpa bisa memilikinya... Akankah Dira sudi melihatnya?
Setelah malam itu Reza menolak semua kunjungan, bahkan dari Papanya dan dia juga meminta hal yang sama untuk Dira pada Papanya. Meski tak dijaga namun kamar mereka selalu diawasi dari jauh dan tidak menerima pengunjung siapapun. Hingga akhirnya malam ini, Reza tak bisa menahannya. Rindu.
Meski ruangannya tak jauh dari ruang Dira namun begitu lama untuk mencapainya. Reza harus beberapa kali berhenti karena keadaannya. Setelah sampai dikamar Dira, Reza ragu untuk masuk. Lama. Akhirnya ia berusaha untuk baik-baik saja dan masuk. Dira mendengar pintu terbuka dan menoleh. Ia sedang ada di depan jendela menatap kota kecilnya dari atas. Mereka pun bertemu pandang. Jarum jam seakan berhenti berdetak dimana dengan mata mereka berusaha memberitahu semuanya. Memohon pengertian, mencoba melakukan dan menahan... Pelan akhirnya Reza terus maju. Matanya tetap menatap Dira. Melihatnya bisa berdiri itu berarti menunjukkan bahwa ia tidak terluka parah. Tatapan Dira tiba-tiba berubah. Dia pun mundur. Bersamaan dengan langkah Reza yang semakin maju.
"Berhenti. Tolong keluar Mas."
"Dira ..."
"Aku sedang tak ingin bicara Mas, tolong... " Reza terpaksa menarik tangan Dira karena dibelakangnya ada vas yang berisi tanaman berduri. Saat Dira sadar ia terus memberontak minta dilepaskan. Sekuat tenaga Reza menghentikan.
"Dira, aku mohon dengerin aku."
"Lepaskan aku Mas."
"Dira!" Reza menahan sakit karena terpaksa membentak Dira. Dira menjauh lalu diam. Meski begitu mereka berhadapan dengan jarak yang tidak terlalu jauh. Dia memegangi perutnya. Reza menyesal, Dira juga sedang kesakitan sekarang.
"Aku nggak tau apa yang terjadi Mas, aku bingung harus gimana, jadi tolong sebelum aku mendapat kejelasan, jangan dekati aku." mereka saling bertatapan.
"Aku juga sama Dira. Bagiku tidak penting apa yang telah terjadi diantara orang tua kita. Kita hanya manusia baru yang tidak tau dan tidak ikut campur masalah mereka."
"Tapi aku nggak bisa Mas, aku bahkan nggak bisa me... " tiba-tiba Dira memegangi kepalanya dengan wajah kesakitan.
"Kamu kenapa Di?"
"Jangan sentuh aku!"
"Ayo kembali ti... "
"Minggir!" Dira mendorong Reza keras hingga membentur tempat tidur saat Reza ingin membantunya. Dira bahkan sampai melepas infusny dan mau keluar. Selama ini diapun tau ada yang mengawasi kamarnya sehingga ia tak bebas kelaur kamar. “Tunggu!” kata Reza akhirnya. Dira berhenti.
“Aku yang akan keluar.” Tambahnya. Dira memang terlihat sangat marah,itu pasti.
"Aku panggilkan dokter."
"Tidak perlu. Cukup Mas keluar dari sini itu lebih baik." Reza tau Dira sedang menahan sakitnya sambil membelakanginya. Mungkin lebih baik dia harus cepat keluar.
Reza berjalan memegangi perutnya. Saat akan melewati Dira ia berhenti sebentar. Ia mengangkat tangannya dan hendak memegang lengan Dira namun Dira semakin membuang muka. Tinggal beberapa centi lagi tangan Reza mencapai tangan Dira namun ia urungkan. Penolakan itu jelas.
"Apapun yang terjadi, aku tetap sayang sama kamu. Aku akan menjaga janjiku untukmu. Menangislah tapi jangan terluka atau pergi tanpa seizinku." bisiknya. Dira membuka mata. Ia menatap Reza yang sudah membuka knop pintu sambil kembali memegangi perutnya. Lalu Reza menoleh.
"Atas nama Papa, aku minta maaf. Untuk semuanya." Reza menangkupkan kedua tangannya lalu keluar.
Setelah itu Dira menangis sambil memegangi kepalanya. Ia merngkak kembali ke tempat tidur.
"Kenapa denganku Tuhan, bahkan aku tak bisa mengingat apapun. Apa yang sebenarnya terjadi?" rintihnya frustasi dan menahan sakit. Diluar Reza masih sempat mengintip dari luar dan juga merasakan frustasi itu. Hatinya lebih sakit melihat Dira seperti ini. Reza menutup pintu dan kembali ke kamarnya. Ia membuka tangannya yang menutup lukanya. Berdarah.
"Sialan." umpat Reza.
Pagi hari.
Setelah Dira istirahat dia kembali membaik. Sudah lama ia tidak merasakan sakit ini. Dulu saat ia baru hilang ingatan, dia sering seperti ini. Lalu Dira mengingat kembali pertemuannya dengan Reza tadi malam. Jujur Dira sangat lega Reza bisa mengunjunginya. Itu berarti ia tak terluka parah dan tidak membencinya. Dira begitu rindu padanya. Namun bayangan peristiwa dirumah dan cerita ibu mengenai Ayah yang dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai oleh orang yang ternyata Papa Reza membuatnya sakit. Dira tak bisa membenci Reza, itu yang membuatnya marah pada diri sendiri.
Saat Reza mencoba menahan pemberontakannya, saat dia tak sengaja mendorongnya dan bahkan saat Reza akhirnya memutuskan untuk tidak menyentuhnya... semua juga begitu mengoyak hatinya. Saat ia melihat noda darah di baju Reza memberitahukannya bahwa Reza juga tengah berjuang keras untuknya. Andai dia bisa mengobati luka itu, andai dia bisa menyuruh Reza beristirahat bersama di tempat tidur ini... Kenyataan ini... menahan semua langkah dan keinginannya. Sebersit harapan yang akan selalu dipegangnya, bisikan Reza. Dengan suara lemah namun tulus. Bergetar namun penuh keyakinan. Dira berharap Reza benar-benar memenuhinya.
Siang ini Papa terpaksa mengunjungi Reza.
"Pa, Reza sudah bilang. Biarkan Reza... "
"Kamu nggak papa kan Nak? Papa dengar tadi malam lukamu berdarah lagi."
"Pa, stop protektif sama Reza. Reza udah besar. Reza udah bisa jaga diri dan melindungi diri sendiri."
"Papa cuma nggak mau sesuatu terjadi padamu." kata Papa tulus membuat Reza jadi nggak berani menjawab. Tok tok tok. Pak Anwar masuk.
"Maaf kalau saya lancang masuk Tuan, tapi ada polisi diluar yang akan menyampaikan hasil penyelidikan."
"Baiklah, saya akan segera keluar." jawab Pak Himawan.
"Suruh saja kesini." Reza malah menanggapi.
"Ya?" Pak Anwar jadi bingung karena dia juga sudah tau sifat Reza dari kecil. Kalau tak mau diganggu, Reza benar-benar tak ingin bertemu siapapun dan mendengar apapun. Namun Pak Himawan memberi kode 'ya'. Pak Anwar pun mohon diri..
"Namun ada yang aneh pada sampel darah barang bukti." kata polisi setelah melaporkan hasil penyelidikan.
"Maksud Anda?" tanya Papa.
"Ada tiga sidik jari di pisau tersebut, milik dua korban dan tersangka tapi...."
"Tapi?" entah kenapa Reza jadi berdebar.
"Meski ada dua sampel darah namun memiliki... DNA yang sama." Deg.
"Apa maksudnya?" tanya Pak Himawan tergagap. Reza sudah mulai tidak fokus. Tidak. Tidak mungkin.
"Kami melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke rumah sakit Jakarta dan dapat dipastikan kedua sampel darah tersebut memiliki DNA yang sama dengan Anda."
"Apa?! " Pak Himawan syok. Reza pun menutup mulut. Tidak mungkin.
"Jadi... " Reza tak mampu melanjutkan.
"Ya, saudari Dira adalah adik Anda yang hilang sejak 12 tahun lalu." ucap polisi meneruskan ucapan Reza.
"Bagaimana mungkin?" ganti Pak Himawan yang bingung.
"Setelah kami selidiki ternyata almarhum Bayu dan tersangka Fatimah telah memalsukan semua indentitas Dira alias Refa. Mereka sengaja mengambil Refa saat hanyut dan pindah ke sini dengan mengubah semua identitas, namun sidik jari dan DNA tidak mungkin bisa diubah."
Setelah kepergian polisi itu Papa dan Reza sama-sama terdiam. Lama mereka saling menyelami pikiran masing-masing. Papa pun berdiri.
"Papa mau kemana?"
"Ke kamar Refa. Papa akan bilang semuanya untuk membantu ingatannya pulih." Ya, Reza sudah menceritakan kalau Dira hilang ingatan sejak 12 th lalu.
"Tidak Pa." langkah Papa terhenti.
"Apa maksud kamu? Putri Papa, adik kamu yang selama ini kita cari, kita inginkan untuk kembali...kamu ngelarang Papa menemuinya?"
"Tidak untuk sekarang Pa."
"Kenapa? Karena kamu takut kehilangan dia sebagai kekasihmu? Ingat Re, dia Refalina. Adik kandung kamu."
"Aku sangat tau itu Pa. Papa pikir Reza nggak bahagia akhirnya Refa ditemukan? Tapi Pa... "
"Tapi apa?"
"Tidakkah dia benci Papa karena Ayahnya dan kejadian kemarin?"
"Reza, kamu...! Papa akan bikin dia ngerti dengan cerita ini." Papa jadi membentak Reza.
"Dan mungkin... dia akan mati."
"Reza?!"
"Waktu dirumah dia masuk kamar Refa dan memegang boneka kesayangannya, setelah itu dia mimisan dan pingsan. Dokter bilang itu akibat ia mengingat terlalu keras. Jika itu sering terjadi bisa menimbulkan syok dan kematian. Tadi malam hal itu terjadi lagi."
"Apa?"
"Dia pun terluka Pa, dia juga menderita atas semua ini. Dengan tidak mengingat apapun dia tak bisa mempercayai siapapun. Mengertilah Pa."
"Papa hanya ingin... menebus 12 tahun ini secepatnya Re."
"Reza tau itu Pa. Bahkan Reza juga ingin melakukan hal yang sama. Tapi Pa, takdir yang menjadikan kita justru terlibat dendam rumit ini. Nggak mudah buat dia nerima semunya sekarang ini Pa, jadi... kita tunggu saja."
"Tapi sampai kapan Re? Papa begitu ingin memeluk dan menciumnya. Papa sangat rindu padanya dan Papa... ingin meminta maaf." Reza paham Papa pasti merasa sangat bersalah karena tanpa sengaja hampir membunuh putrinya sendiri. Namun lagi-lagi... semuanya membuat Reza menyalahkan takdir... lagi.
"Aku tau Pa. Tapi mungkin mendekatinya saat ini.... hanya akan lebih menyakitinya." lamun Reza. Papa pun menyerah. Papa paham Reza juga bahagia sekaligus kecewa.
"Semua ini salah Fatimah dan Bayu. Lihat saja Imah, kau akan membusuk dipenjara." Papa pun berbalik. Reza pun membiarkan namun tak lama ia teringat sesuatu dan mencabut infusnya lalu menyusul keluar.
"Papa... " Papa yang akan masuk mobil pun menoleh.
"Aku ikut ke kantor polisi."
"Re, apa-apaan kamu. Kembali ke kamar. Kamu masih sakit. Biar Papa yang selesaikan semua sendiri."
"Mulai sekarang, aku nggak akan biarin Papa menghadapi masalah ini sendiri." Papa Reza pun mengerjap, tak menyangka Reza akan berkata seperti itu. Pak Anwar tersenyum kecil dan berjalan menuju bagasi.
"Reza balik kesini setelah ini Pa, Reza janji." Lama akhirnya Papa menjawab...
"Pakaianmu sungguh akan membuat dia sangat senang." kata Papa melihaf Reza masih memakai piama rumah sakit.
"Ini Tuan." Pak Anwar mengangsurkan tas. Dengan bingung Reza menerima dan membukanya.
"Lihat Pa, bahkan Pak Anwar sudah menyiapkan." Reza mengangkat sebelah matanya.
"Anwar kau ini... " Pak Himawan merasa dikhianati.
"Hanya untuk berjaga-jaga kalau Tuan Muda akan kabur."
"Pak Anwar... " kali ini tatapan sebal datang dari Reza. Benar-benar mirip. Batin Pak Anwar sambil tersenyum dengan dua orang itu.
Dikantor polisi Imah sudah memakai pakaian napi. Berkat koneksi Papa, mereka berdua diizinkan menemui Imah bersama.
"Ternyata kamu belum mati he." Imah menunjuk Reza. Baru saja Reza akan marah namun ia ingat betapa Dira menghormatinya. Reza hanay bisa diam.
"Imah, apa benar Dira itu Refalina? Putriku yang kau ambil saat hanyut setelah kecelakaan itu?" Tanya Papa dengan nada marah. Ibu Dira malah tertawa.
"Itu untuk penderitaan dan penghinaan yang kau berikan untukku Himawan."
"Kau... " Papa sudah mengangkat tangannya tapi langsung ditahan Reza.
"Kenapa? Mau nampar? Sekalian saja bunuh aku. Agar aku bisa menyusul suamiku yang telah kau bunuh dengan keji."
"Aku tidak membunuhnya, dia yang terjatuh saat menyerangku."
"Itu hanya alibi orang kaya sepertimu. Orang kaya yang selalu bisa memainkan hukum dan nyawa." amarah pun muncul di mata Imah.
"Lalu mengapa menyelamatkan dan merawat adikku?"
"Hanya untuk berjaga-jaga hal seperti ini. Aku yakin dia membelaku dan tidak percaya apapun selain aku." Jawab Imah dengan bangga.
"Imah, kau sangat kejam. Bahkan kau manfaatkan putriku untuk membalas dendam padaku. Apa saja yang telah kau katakan dan lakukan padanya?"
"Tentunya cerita untuk membuatnya membencimu. Tentunya melakukan sesuatu yang seharusnya kulakukan padamu." Reza langsung teringat luka pukul di kaki Dira.
"Jadi itu alasannya kau sering menyiksanya?" tanya Reza.
"Apa?" Pak Himawan syok.
"Kau sudah tau rupanya Tuan Muda. Sebenarnya aku heran mengapa saat itu kau muncul dengannya. Benar-benar takdir yang sempurna." katanya lalu tertawa.
“Dan bahkan kau sudah merencanakan semuanya?” Tanya Reza tak percaya. Reza memang sangat jarang bertemu dengan Imah dulu, selain tergolong pembantu baru, Imah juga bukan pengasuh Reza. Dan 12 tahun cukup membuatnya lupa wajah itu. Reza benar-benar marah saat ini.
"Ayo Re, kita pulang. Percuma bicara dengan orang gila ini."
"Papa duluan Pa." pak Himawan pun mengerti. Beliau keluar lebih dulu.
"Kenapa? Ada lagi yang membuatmu penasaran... Tuan Muda?"
"Takdir sempurna? Karena perbuatanmu takdir ini tercipta. Karena perbuatanmu banyak luka yang akan tercipta, terutama Dira. Dia begitu menyayangi dan menghormatimu lebih dari dirinya sendiri dan dengan entengnya Anda mempermainkan hidupnya. Lihatlah, bagaimana Tuhan akan menuntun Dira untuk memilih." kata Reza lalu pergi.
Setelah kepergiannya tanpa sadar Imah pun menangis. Ya, tak dipungkiri. 12 tahun merawat Dira adalah nikmat yang luar biasa. Sejak ia menggugurkan kandungan, ia tak bisa hamil lagi. Dan memiliki putri sebaik dan setulus Dira adalah anugerah terindah. Oleh karena itu, Imah terlanjur menyayangi Dira dan ketika ia teringat Himawan, terpaksa ia lampiaskan pada Dira. Tapi apa kata Reza tadi... Dira bahkan masih menyayangi dan menghormatinya, lebih dari siapapun.
Pak Himawan baru saja dari kamar rawat Reza. Malam ini Reza menceritakan semuanya. Tentang Dira, tentang cintanya juga tentang hidup Reza selama ini berubah brutal. Malam ini semua telah terkuak antara Reza dan Pak Himawan. Pak Himawan sempat lemas di depan kamar Reza. Ya, dia bahagia Refa akhirnya ditemukan namun disaat yang sama beliau juga menderita melihat putra dan putrinya terluka, jiwa dan raganya. Bagaimana nanti jika Refa tau semuanya.
Untuk pertama kalinya Pak Himawan melihat Reza begitu bahagia dan mencintai seorang gadis yang bahkan mampu mengembalikannya. Tanpa sepengatahuannya, Papa selalu mengawasi Reza dari jauh. Sehingga ia pun sedikit banyak tau perubahan Reza. Akhirnya Pak Himawan memutuskan masuk ke ruang rawat Dira. Setelah dipastikan Dira tidur. Pak Himawan menatapnya... lama.
'Selamat datang kembali putri Papa. Terimakasih telah bertahan selama ini. Maafkan Papa, andai Papa bisa menemukanmu lebih cepat, kalian tidak akan terluka seperti ini." tak terasa setetes air mata jatuh.
'Apa yang harus kulakukan Ma, bagaimana aku akan menjaga mereka dari luka ini. Bantu aku Ma.' beliau menghadap keatas. Pelan Pak Himawan mengusap rambut Dira seakan takut Dira akan terbangun.
'Beri Papa kesempatan untuk sedikit menebus ini semua sayang, apapun akan Papa lakukan untuk kebahagiaan kalian. Papa janji Refa.' batinnya lalu mencium puncak kepala Dira pelan dan pergi.
Sedangkan dikamar, Reza tak bisa tidur. Dia memikirkan semuanya. Ini bahkan lebih menyakitkan dari 12 tahun yang ia lalui selama ini. Mama yang telah melindunginya dan bahkan tak bisa melindungi putrinya. Dan kini orang yang benar-benar ingin Reza jadikan pendamping hidupnya, penuntun jalannya kembali dan penguasa hatinya adalah orang yang sangat terlarang untuk dia cintai. Cinta, kasih sayang, kehangatan yang susah payah Reza bangun untuk Dira... runtuh begitu saja.
Dua hari ini Reza hanya bisa mendengar kabar Dira dari perawat. Reza tak akan mengganggu Dira sesuai keinginannya. Dan bagi Reza sekarang ia pun belum siap untuk bersikap seperti apa pada Dira. Sore ini Reza sudah boleh pulang, Dira juga iya. Reza menyerahkan urusan Dira pada Papa untuk sementara karena Reza harus menghindarinya.
"Tok. Tok. Tok. Mas Reza?" seketika Reza menoleh dari melipat selimut. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Dddiira." Dira tersenyum ceria seperti biasa. Lalu pelan ia mendekati Reza dan...memeluknya.
"Maafin Dira untuk semuanya Mas. Mas bener. Apa yang terjadi pada orang tua kita, bukan menjadi tanggungjawab kita." Reza masih tak membalas pelukan itu.
"Dira percaya pada janji Mas dulu dan kemarin. Dira juga akan berusaha melewati ini semua... besama Mas Reza." pelukan Dira semakin hangat.
Dalam hati Reza merintih. Apa yang harus ia lakukan? Lalu ia putuskan untuk balas memeluk hangat. Lebih dari apa yang seharusnya, dia bahagia adiknya, semangatnya telah kembali.
'Ma, Andai dulu Mama tidak melindungiku, akankah ceritanya akan berbeda?' pertanyaan itu tiba-tiba muncul dalam benak Reza. Dira melepas pelukannya.
"Kok diem aj... Mas nangis?" tanya Dira kaget.
"Aku... Aku bahagia akhirnya kamu mau ketemu sama aku lagi." lalu Reza memeluk Dira lagi untuk menyembunyikan air matanya. Separuh hatinya bahagia namun sisanya begitu terluka.
"Kamu udah siap pul... lang Re." Papa tiba-tiba masuk dan melihat mereka. Dira langsung melepas pelukannya.
"Pa, boleh nggak Dira tinggal sama kita untuk sementara? Dia juga belum pulih."
"Oh nggak usah Oom. Ini semua pasti butuh waktu... " Dira bingung menjelaskan.
"Oke, Dira tinggal bareng kita." kata Papa lalu menghampiri Dira.
"Dira, Oom minta maaf untuk semuanya. Tapi jujur bukan Oom yang bunuh Ayah kamu dan Oom terpaksa memenjarakan ibu kamu karena melukai Reza. Tapi hukumannya nggak akan lama." Pak Himawan mengulurkan tangan. Dira langsung menyambutnya.
"Dira pun belum tau mana yang harus Dira percaya Oom. Meski Dira nggak tau apa-apa dan nggak bisa percaya siapa-siapa tapi Dira juga akan berusaha untuk mengerti semuanya."
"Makasih Dira. Terima kasih." Dira tersenyum.
"Boleh Papa memeluk kalian berdua?" Dira pun langsung memeluk Pak Himawan. Sontak mata Reza berkaca. Mungkin inilah naluri seorang anak. Meski raganya tak menyadari tapi hati yang akan menuntunnya. Reza pun ikut memeluk mereka.
Pemandangan yang selama ini telah dinanti. Pak Himawan begitu bahagia meski hanya sekejap. Memeluk putra dan putrinya adalah hal yang sangat ia rindukan lebih dari apapun. Sampai dirumah Reza dan Papa mengantar Dira ke kamar yang sudah Dira gunakan kemarin.
"Anggap saja rumah sendiri ya Dira, kalau ada apa-apa hubungi Oom."
"Baik Oom terimakasih." lalu Papa keluar. Reza juga mau keluar tapi...
"Mas, aku ingin bicara."
"Emmm nanti saja ya Di. Aku lagi banyak banget kerjaan. Kamu tau aku ninggalin pekerjaan beberapa hari."
"Mas kan juga masih sakit. " Dira jadi manyun.
"Kamu istirahat dulu aja. Aku udah biasa kerja keras kayak gini. Kehadiranmu akan membuatku lebih kuat." kata Reza sambil membelai puncak kepala Dira. Inilah yang biasa ia lakukan pada Refa. Lalu Reza keluar.
Bukannya menuju kamar dia malah menuju kamar Refa dan masuk. Lalu duduk di depan boneka favorit Refa.
"Lihat, pemilik kamu sudah kembali. Sebentar lagi ia akan menghuni kamar ini lagi. Benar bukan perkataanku bahwa dia masih hidup?" Reza berdialog sambil memainkan tangan boneka itu.
"Yang harus kulakukan adalah membantu memulihkan ingatannya karena aku juga tak mampu menjauhinya. Akankah aku bisa... menyembuhkan lukanya nanti? Saat aku sendiri tak yakin dapat berdiri kokoh."
"Mampukah aku membuang rasa ini dan tetap membahagiakannya?"
"Mama, bantu Reza Ma. Untuk bisa mengembalikan semua ketempatnya." lalu Reza membelai foto Mama dan Refa.
Malamnya Papa, Reza dan Dira makan bersama.
"Duh Oom Dira malah nggak enak. Dira juga belum jadi istri Mas Reza." Reza pun tersedak. Papa tersenyum sayu.
"Oom suka sama kamu. Kamu berani mengambil keputusan yang tepat. Meski ada konflik kamu tetap bisa menjadi dirimu. Kamu dan Reza nggak berhak terluka atas ini semua."
"Sebenarnya... apa yang terjadi Oom? Dira juga sangat ingin bertemu Ibu."
"Sudahlah Dira. Jangan pikirkan itu. Kamu dan Reza nggak ada hubungannya dengan kasus ini jadi biarkan kami yang menyelesaikannya. Lagian ibu kamu sedang dalam masa penyelidikan jadi hanya pengacara yang bisa menemuinya."
"Tapi bahkan ibu nggak punya kenalan pengacara. Apa ibu punya uang?"
"Kamu nggak usah khawatir. Oom udah urus semua."
"Tapi Oom, kenapa Oom memenjarakan ibu?" lama Dira menatap Papa yang bingung mau jawab gimana.
"Ibumu menjadi saksi dari kematian Mama dan... adik Reza. Polisi akan menyelidiki apakah dia juga tersangka." Dira menutup mulut.
"Bbbagaimana... ceritanya?"
"Belum ada cerita jelas Di. Ibumu juga menolak bekerja sama. Jadi kamu nggak bisa menemuinya sementara ini. Kamu tenang aja. Kalau tidak terbukti bersalah, kamu pasti bisa bersamanya lagi." jawab Reza meyakinkan. Tangannya mengepal dibawah meja.
"Sudah-sudah ayo makan. Kalau Dira ingin tau ceritanya, silakan tanya pada Ibu Dira nanti karena hanya dia... yang tau semuanya." lamun Papa.
Kini hampir sebulan Dira dirumah itu. Bahkan Pak Himawan memberinya posisi tinggi di salah satu perusahaannya. Karena itu tentu Dira dan Reza jarang bertemu. Namun Reza tetap memerhatikan Dira jika sempat. Begitupun sebaliknya. Seperti minggu ini. Kebetulan Dira dan Reza bisa keluar bersama.
Dira menarik napas panjang.
"Kenapa, capek?" tanya Reza. Dira tersenyum.
"Mengelola perusahaan memang nggak gampang ya?"
"Tapi kamu keren. Kabarnya sahammu terus meningkat. Padahal baru sebulan kamu pegang."
"Ternyata tak segampang waktu diajarkan dikuliah."
"Tentu beda. Tapi nanti buat S2 kamu sangat bermanfaat."
"Aku heran deh kenapa Papa kamu gampang banget ngasih perusahaannya ke aku, padahal aku ini bukan siapa-siapa loh. Aneh nggak sih?"
"Papa emang gitu. Sekali Papa menilai beliau jarang salah karena Papa punya pandangan dan pertimbangan sendiri."
"Padahal notabene aku ini anak pembunuh Mama dan adik kamu. Aku juga belum jadi istri kamu tapi kenapa.... "
"Yah ambil positifnya aja. Dengan gini kamu bisa lebih banyak belajar. Entah apa yang nanti Papa minta dari kamu, itu bukan sesuatu yang sulit. Akan kupastikan itu."
"Entah.. sampai sekarang pun aku masih sulit mempercayai orang. "
"Termasuk aku?"
"Mas adalah satu-satunya orang yang Dira percaya karena Dira yakin Mas nggak akan membiarkan Dira terluka." tatapan Dira seakan menelanjangi Reza.
"Apaan sih kamu sekarang jadi gombal." Reza tertawa.
"Udah sebulan lebih."
"Hah, apanya?" Dira melihat cincinnya dari Reza.
"Mas katanya mau ganti cincin ini bukan? Nggak terasa karena kesibukan kita, aku lupa pada semuanya. Aku begitu rindu pada ibu. Aku rindu Mas yang dulu selalu hadir sebagai orang yang sangat mencintaiku. Cukup lama aku ingin mengetahui kebenarannya."
"Apa sih maksud kamu. Sesibuk-sibuknya kita, kita masih tetep bisa jalan. Kesini, makan, mengunjungi banyak tempat. Buat apa aku lakuin itu kalo aku nggak sayang sama kamu."
"Tapi kamu beda mas." deg. Reza menoleh namun Dira sedang menghadap arah lain. Suara itu ....
"Kamu nggak seromantis dulu, kamu selalu menghindar saat aku tanya tentang hubungan kita. Sebagai cewek, aku nggak enak Mas tinggal dirumah orang yang bukan siapa-siapa aku dan disana aku semakin yakin kamu nyembunyiin sesuatu." skakmat.
"Mungkin karena banyak sekali pekerjaan. Kamu tau kan? Maaf kalau aku jadi kurang waktu buat kamu. Itu hanya perasaan kamu aja. Perasaanku tetap sama buat kamu. Dulu, sekarang dan sampai nanti." 'Sebagai adik.' tambah Reza dalam hati.
"Sebanyak itukah pekerjaan Mas? Aku juga berada diposisi yang nggak jauh dengan Mas meski lebih kecil perusahaannya tapi aku masih punya banyak waktu untuk memikirkannya. Bahkan kita satu rumah mas. Aku bingung. Terkadang Mas datang dengan perhatian-perhatian kecil yang membuatku bahagia namun disaat aku benar-benar membutuhkan Mas, mas seperti tak peduli. Mas Reza yang aku kenal dulu adalah cowok peka yang selalu membuatku yakin untuk mencintainya, tapi.... " Reza pun tak bisa menjawab karena semua itu benar. Saat ia merindukan Dira pun ia selalu berusaha menahannya.
"Apa artiku untuk Mas? Benarkah kata Mas Indra dulu bahwa Mas memandangku seperti adik Mas dan hanya ingin membuatku bahagia." Benar. Jawab Reza dengan matanya. Mereka saling bertatapan. Sepertinya Dira membaca itu.
"Tidak. Aku tidak pernah mencintai seseorang karena adikku. Aku memang pernah berpikir demikian, dulu. Aku ingin membahagiakan kamu... karena aku sangat sayang padamu." mereka saling bertatapan. Reza memegang bahu Dira. Lalu memeluknya.
"Janji yang kubuat untukmu... hanya pernah kubuat sekali seumur hidupku."
"Aku nggak percaya." Dira mulai bergetar.
"Karena kamu begitu mempercayaiku maka aku tak akan bisa menyakitimu... atau membiarkan orang lain melakukannya. Andai kau tau betapa aku sangat... menyayangimu Dira." kalimat terakhir Reza juga bergetar. Mereka saling diam untuk meredam gejolak hati mereka. Reza pun melepas pelukannya.
"Ayo pulang. Sudah sore." Reza menarik tangan Dira namun...
"Tunggu." Reza berhenti. Dira melepas cincinnya namun meski Reza jelas tau, Reza hanya menutup mata. Itu semakin menyakiti Dira.
"Terimakasih untuk semuanya. Mulai saat ini aku tidak lagi yakin untuk kamu perjuangkan. Aku akan menemui ibuku dan kembali menata hidupku lebih dulu. Jika berjodoh. Tuhan akan menyatukan kita lagi." Kata Dira sambil memberikan cincin itu ke genggaman tangan Reza lalu pergi. Reza mencoba mencegah namun dengan kasar Dira menghempas cekalan itu. Lalu Reza tersadar sesuatu.
"Pak Anwar, cegah Dira sampai ke kantor polisi." katanya di telepon. Pak Anwar adalah satu-satunya pegawai yang tau identitas asli Dira.
Tapi Dira terlanjur naik taksi. Namun Dira justru menuju toko boneka. Reza segera menyusul setelah mendapat info dari Pak Anwar.
Di toko boneka Cindy sedang melihat sebuah boneka. Ya, boneka kesukaan Refa, adik Reza. Cindy selama ini sudah sangat membenci Dira yang telah merebut Reza darinya. Apalagi sekarang Oom Himawan justru sangat menyayanginya hingga mempercayakan peruasahaannya. Dan yang pasti Cindy jadi tak bisa menyentuh Dira. Cindy juga tak bisa bertemu Reza karena cincin itu mengikat mereka. Saat sedang melamun Cindy mendengar suara. Sontak dia menoleh. Dira.
Dira sedang berkata pada penjual bahwa ia membeli boneka itu. Boneka yang sama seperti yang ada dihadapan Cindy. Saat menoleh Cindy langsung melihat arah yang berlawanan. Cindy pun mengikuti Dira hingga sebuah ide muncul di kepala Cindy. Dira hendak turun menggunakan eskalator. Saat kakinya akan mencapai tangga teratas.... bukk. Seseorang mendorongnya dari belakang. Dira terguling di eskalator yang sepi dan kepalanya terbentur tiang dengan keras. Hal terakhir yang diingatnya.... sayup-sayup terdengar Reza meneriakkan namanya.