Dira baru mau pulang kerumah saat dijalan ia melihat seorang cowok dikeroyok habis-habisan. Ia bingung harus berbuat apa. Suasana sangat sepi. Namun dia langsung mengambil ponselnya dan membunyikan nada sirine polisi keras-keras. Mereka semua kaget dan langsung kabur. Dira langsung menghampiri cowok itu.
"Kamu nggak papa?" tanyanya pada cowok itu. Mereka saling menatap dan sesaat mata mereka sama-sama tak ingin lepas. Mereka seperti melihat bayangan mereka di mata lawannya. Sampai akhirnya cowok itu batuk-batuk.
"Aku nggak papa. Makasih udah nolongin aku." Dira membantu cowok itu berdiri.
"Kamu nggak mau ke klinik dulu? Kayaknya lukanya parah." ya. Mereka sedang ada di pedesaan. Jauh dari pusat kota dan rumah sakit pun jauh. Yang ada hanya klinik milik salah satu dokter dari keluarga kaya yang dermawan.
"Nggak. Nggak perlu. Aku bisa... ahh." cowok itu berusaha jalan saat Dira melepasnya tapi dia jatuh. Dira pun tak ingin membawa cowok itu kerumahnya, pasti ibunya bertanya macam-macam.
"Mana kunci mobil kamu?" pinta Dira.
"Kamu bisa nyetir?" tanya cowok itu ragu sambil mengulurkan kunci. Dira berpikir bentar.
"Yah, nanti kalo mobil kamu rusak ya, aku minta maaf. Dari pada kamu mati disini."
"Fiuhhh, itu sama saja kamu akan membunuhku." gerutu cowok itu saat Dira membantunya masuk mobil.
Ternyata dokter muda itu kenal cowok ini.
"Astaga Reza, kenapa kamu?"
"Indra, lo.... gimana bisa... " Reza juga tak alang kaget bertemu temannya disini. Namun Indra tak menjawab. Ia memilih mengobati Reza dulu.
"Dipukuli siapa?"
"Aku nggak tau."
"Kamu nggak dikawal lagi?"
"Aku kabur dari rumah. Semenjak kejadian 12 th lalu Papa kelewat protektif." Indra hanya menarik napas panjang. Yah, sebelum mereka berpisah tiga tahun lalu Indra adalah satu-satunya orang yang tau Reza luar dalam.
"Kalo nggak gara-gara cewek itu, mungkin aku udah mati." lalu Reza menceritakan kejadian tadi.
"Beruntung kamu ketemu Dira tadi."
"Tapi wajahnya kok kayak nggak asing ya buat aku?"
"Masak? Itu karena kamu punya banyak cewek." kata Indra sambil melepas sarung tangannya.
"Sialan." umpat Reza pelan membuat mereka berdua tertawa. Lalu mereka berdua keluar. Ternyata Dira masih disana.
"Dira." panggil Indra. Dira menoleh dan tersenyum. Entah mengapa Reza sangat senang melihat senyum itu. Walau hanya sekejap.
"Kenalin, dia temen aku dari SMA. Reza."
"Makasih ya buat tadi." kata Reza sambil bersalaman.
"Lain kali Mas harus lebih hati-hati apalagi orang kaya kayak Mas bakal sering jadi incaran."
"Oh iya, baiklah." Reza agak aneh dipanggil 'Mas'.
Begitulah akhirnya Reza tinggal dengan Indra karena dia tinggal sendiri. Sedangkan Indra hanya iseng ke desa ini karena terkenal dengan keindahan alamnya.
"Terus kamu kabur sampai dua hari bisa? Intel Papamu pasti menemukanmu cepat atau lambat." kata Indra sambil membuat kopi.
"Entahlah, bahkan ini belum sampai 48 jam aku kabur." jawab Reza sambil melempar ponselnya yang mati. Sengaja ia matikan untuk memutus semua kontak dan tidak bisa dilacak. Dia sedang ingin sendiri.
"Terus gimana cewek-cewekmu?" Indra mulai lagi. Reza menghembuskan napas kesal.
"Sudah putus semua. Puas." Indra tersenyum. Sahabatnya ini nggak berubah. Semenjak ia kehilangan ibu dan adik perempuannya, menjadi berbeda karena Papanya jadi sering over protektif.
"Ada masalah apa? " tanya Indra langsung. Reza menatap Indra sejenak.
"Hanya... ingin lepas dari kata 'melindungi'." jawab Reza sambil melamun dan menyandarkan kepalanya di sofa. Indra tau Reza sedang tidak ingin bercerita. Nanti pasti Reza akan bercerita sendiri.
"Istirahatlah. Besok aku harus ke klinik jadi kamu anggap aja rumah sendiri." kata Indra sambil beranjak.
"Sejak kapan kamu kenal Dira?"
"Kenapa, kamu naksir dia?"
"Enggak lah. Penasaran aja. Kayaknya kenal."
"Tiga bulan lalu. Tapi dia udah lama tinggal disini. Sejak ia lahir." Reza mengangguk-angguk.
Hari ini agenda Reza adalah hunting foto. Yah, bisa dikatakan dia ahli memotret. Papanya menyerahkan perusahaan periklanan pada dirinya namun entah, kini dia hanya ingin rehat sejenak. Dia baru sadar rumah Indra sangat strategis. Dari lantai 2 saja bisa melihat gunung dengan semua keindahannya. Dia lalu mulai berjalan-jalan. Sengaja tidak membawa mobil karena dia ingin menikmati setiap pemandangannya. Saat berjalan tak sengaja ia melihat Dira sedang membantu seorang nenek yang kesusahan mengangkat kumpulan kopi. Tanpa sadar tangannya terangkat untuk mengambil gambar itu. Senyum indah nan tulus itu menggodanya. Setelah selesai sebuah ide tiba-tiba muncul.
"Dira." panggilnya saat Dira mau beranjak pergi. Dira menoleh dan tersenyum.
"Mas Reza ya?"
"Iya."
"Lagi ngapain Mas?" tanya Dira sambil menunjuk kamera Reza.
"Kebetulan aku suka motret, aku juga mengelola peruasahaan untuk periklanan."
"Wah, hebat banget Mas. Kayaknya Mas masih muda udah punya perusahaan sendiri."
"Apa sih kamu. Nggak juga. Kebetulan aja bisa. Oh ya kamu lagi ngapain?"
"Ini mau ke perkebunan bantuin Ibu tapi tadi ada nenek yang kesusahan."
"Ckckck care banget kamu sama orang. Hebat."
"Ya nggak gitu juga Mas, masak iya ada nenek kesusahan aku biarin. Itu namanya kejam." Reza tertawa mendengar Dira pandai memutar balikkan perkataannya.
"Kamu ada waktu luang?"
"Kenapa Mas?"
"Aku butuh tourgaet nih. Indra sibuk diklinik dan aku nggak kenal siapa-siapa disini."
"Ohhh jadi Mas nyuruh aku jadi tourgaet nih?"
"Nggak juga. Lebih halusnya temenin."
"Sama aja." mereka pun tertawa bersama.
"Jadi gimana?"
"Emmm aku harus bantuin ibu mas jadi mungkin bisanya ntar sore. Mungkin sekalian berburu sunset mas."
"Oh oke kalau gitu. Aku jemput di?"
"Kita ketemu aja di persimpangan rumah Mas Indra."
"Oke kalau gitu." mereka pun berpisah.
Diam-diam Reza jadi ingin ke perkebunan. Perkebunan ini milik keluarga Indra jadi pasti nggak susah buat masuk kesana. Setelah Reza masuk di perkebunan ia ingin menemui Indra yang katanya lagi di perkebunan juga. Namun ternyata matanya menangkap sesuatu. Indra sedang bercengkerama dengan Dira sambil memeriksa kopi. Mereka tampak akrab sekali. Setau Reza, Indra bukan cowok yang gampang deket sama cewek. Itu berarti.... Reza mengeluarkan seberkas senyum namun sedetik kemudian hilang. Entah kenapa hatinya terasa aneh. Diapun berbalik pergi.
Sorenya Reza pun bertemu dengan Dira. Mereka berjalan bersama. Dira menunjukkan tempat-tempat yang indah. Reza berusaha mengacuhkan kejadian tadi pagi namun tak ayal ia penasaran. Mereka melihat sunset dari dataran tinggi tak jauh dari rumah Indra.
"Indah sekali." komen Reza. Dia hanya memotret sekali setelah itu ia meletakkan kameranya.
"Iya. Selama lebih dari 13 tahun aku nggak pernah bosen lihat sunset dari sini." spontan Reza menoleh.
"Kata Indra kamu dari lahir disini." Reflek Dira kaget. Ternyata Reza mencari tau dirinya. Reza menyadari itu.
"Yah, kebetulan kemarin aku tanya sama dia kamu asli orang sini atau bukan." tambah Reza salting. Dira pun menyadari itu. Ia tersenyum biasa agar Reza tak semakin malu.
"Aku tak bisa mengingat masa kecilku hingga 9 tahun jadi aku hanya bisa mengatakan apa yang kuingat tahun setelahnya." Reza ingin bertanya bagaimana ceritanya namun ia menahan diri. Mereka belum cukup dekat dan itu mungkin kenangan terburuk yang ingin Dira lupakan.
"Yah, nggak semua tahap dalam hidup kita harus diingat karena mungkin itu yang terbaik." Dira menoleh menatap Reza. Reza pun demikian.
"Oh ya, aku mau tanya sesuatu." Reza berusaha mencairkan suasana.
"Apa?"
"Kamu kan udah lama kenal sama Indra tuh, dia punya cewek nggak sih disini?"
"Kok mala Mas tanya aku. Mas kan yang temennya."
"Ya... ya.. kan lebih surprise gitu kalau aku bisa tau dulu."
"Setauku sih... Nggak ada. Tapi dia juga termasuk baru kok mas disini baru tiga bulan."
"Oh gitu. Menurutmu Indra tuh gimana?"
"Gimana maksudnya?"
"Yah, orangnya, sifatnya atau apanya gitu."
"Ya orangnya baik. Hebat. Dia dokter tapi juga mengelola perkebunan."
"Baik hebat. Cuma itu?"
"Mas Reza kenapa sih tanyanya aneh-aneh deh." Reza tersenyum.
"Pengen tau aja pandangan orang lain tentang dia karena sepertinya dia... sedikit berubah." lamun Reza. Dira sebenarnya penasaran tapi dia enggan bertanya. Mereka belum cukup dekat.
"Mas, aku harus pulang nih."
"Yuk, aku anter."
"Eh nggak usah Mas."
"Loh kenapa sih? Tadi nggak mau dijemput. Sekarang nggak mau dianter. Udah gelap loh ini."
"Nggak papa Mas, aku udah biasa kok." kata Dira sambil berjalan.
"Orang tua kamu nggak bolehin kamu pacaran ya, atau kamu udah dijodohin?" niat hati Reza serius namun Dira malah tertawa.
"Ibuku ngga sekolot itu kali Mas. Hanya saja ibu takut kalau aku kenapa-kenapa karena nggak ada yang bisa nemenin ibu lagi."
"Ayah kamu?" Reza pura-pura nggak tahu.
"Meninggal dua tahun lalu."
"Oh maaf Di, maaf banget. Aku nggak sengaja... "
"Nggak papa kok Mas. Aku udah mulai terbiasa."
"Beruntung banget orang tuamu punya anak kayak kamu. Berbakti banget sama orang tua."
"Aku yang beruntung Mas karena mereka masih sabar menemaniku sejak aku terlahir kembali 13 th lalu." dalam hati Reza sungguh memuji gadis ini.
Di kamar Reza melihat foto hasil jepretannya tadi sore. Matanya terpaku pada sebuah foto. Sebuah siluet wajah cewek dari samping. Fokus benar-benar pada wajah yang tengah tersenyum itu. Dunia disekelilingnya kabur. Reza jadi teringat kembali dengan Dira. Wajah pada foto itu terkena efek hitam sehingga tidak jelas bahwa itu Dira. Yang diambil Reza saat sunset tadi.
"Reza." Indra masuk kamar Reza. Reza pun meletakkan kameranya.
"Tadi kamu nyari aku ke perkebunan?"
"Oh itu tadi, iya tapi aku ada urusan jadi aku balik." entah mengapa tiba-tiba Reza berbohong. Reza jadi bingung sendiri
"Kamu motret dari tadi sore? Sendirian?"
"Iyalah mau sama siapa lagi. Masak iya ngandelin dokter muda yang sibuknya minta ampun." Indra hanya tersenyum.
"Eh Re, menurutmu Dira itu gimana?" tiba-tiba Indra mengubah arah pembicaraan.
"Kamu suka sama dia?" Indra hanya tertawa.
"Beneran Ndra? Setelah sekian lama, Dira yang... " Asli Reza juga kaget. Pasalnya Indra itu bukan tipe cowok yang mudah.
"Aku juga heran. Tapi bareng dia selalu buat aku nyaman."
"Dia udah tau? Dia juga punya perasaan yang sama? " tanya Reza semakin penasran.
"Nggak tau. Makanya aku nanya kamu. Kira-kira dia gimana."
"Ya mana aku tau Ndra, kan baru ketemu sekali."
"Oh ya? Terus gimana menurutmu?" Reza terdiam sebentar. Ia melihat mata Indra yang seakan menelanjangi kebohongannya. Mata sahabatnya ini membuatnya tak kuat berbohong.
"Dia baik."
"Cuma itu? Aku lihat kemarin kamu agak terpesona dengan senyumnya."
"Dia mengingatkanku pada seseorang."
"Siapa?"
"Refalina." Indra pun terdiam.
Yah nada jujur ini menjawab semua kecurigaannya. Indra tau dari tadi Reza bohong karena Indra melihat Reza dan Dira pergi ke bukit bersama. Pegawainya di perkebunan juga berkata bahwa Reza pergi setelah memperhatikan dia dan Dira bercengkerama. Tapi kenapa Reza sampai... Apakah....
"Dia bukan Refa Za. Dia berusia 1 tahun lebih tua dari adikmu. Dia tinggal bersama ibunya. Yah memang kata orang ibunya sangat keras padanya. Ayahnya meninggal 2 tahun yang lalu karena berusaha melindunginya. Meski begitu Dira tak memperpanjang kasus itu karena permintaan ibunya. Mereka ingin hidup tenang disini. Bahkan setelah dia mendapat tawaran kerja di Jakarta setelah lulus, dia memilih tinggal dengan ibunya." Indra bercerita. Dia nggak mau Reza terus salah orang seperti ini. Jenazah adiknya yang belum ditemukan hingga saat ini mungkin membuat Reza yang begitu menyayanginya menjadi seperti ini.
"Kamu tau banget soal dia. Iya, aku ngerti. Tapi nggak salah kan kalau aku anggap dia adiku sendiri?"
"Tentu saja. Emang siapa aku hingga kamu minta izin begitu." Indra dan Reza sama-sama tertawa tapi itu hanya untuk menyamarkan isi hati mereka yang sebenarnya.
“Tenang aja Ndra, aku bakal dukung kamu buat dapetin dia.” Kata Reza sambil tersenyum.
Ternyata tak banyak waktu yang dimiliki Reza. Pegawai Papanya sudah datang untuk menyuruhnya pulang. Namun Reza membuat alasan sedang mencari model untuk produk terbarunya. Sehingga dia masih diberi waktu untuk tinggal. Reza masih ingin menikmati desa ini. Terutama saat dia sedang memotret ditemani Dira. Reza juga berencana mengadakan pameran untuk foto yang telah ia ambil selama ini. Pagi ini Reza ke perkebunan setelah memastikan Indra tidak disana. Saat ia mencari Dira ternyata dia sedang memetik kopi dengan susah payah. Sepertinya kakinya terluka karena jalannya agak terpincang.
"Dira." Dira menoleh dan langsung tersenyum melihat Reza.
"Kenapa kakimu?"
"Oh nggak papa ini cuma terkilir."
"Coba kulihat."
"Engg… nggak usah Mas, nggak usah." seketika ia menarik kakinya tapi Reza tetap memaksa. Dan saat melihat kaki itu Reza pun tau kenapa Dira nggak mau diobati. Luka itu bukan terlilir, tapi bekas luka dipukul beberapa kali.
"Ayo ikut aku."
"Eh eh eh mau kemana Mas?" Namun Reza tetap menarik tangannya nggak peduli kalau langkahnya yang cepat menambah sakit kaki Dira.
Ternyata Reza membawanya ke ruang kesehatan yang disediakan Indra bagi para karyawan dan staff. Reza mengobatinya dalam diam. Dira pun bingung mau bilang apa. Lama keheningan terjadi hingga Dira nggak nyaman sendiri.
"Mas udah hafal banget perkebunan ini. Padahal baru kesini. Pasti Mas Indra temen deketnya Mas Reza."
"Dia temenku sejak SMA. Hari pertama kesini aku langsung dapet orientasi perkebunan ini." Dira pun tersenyum.
"Kalian itu memang pas. Sama-sama kaya, sama-sama punya bakat dan ramah."
"Gantengan mana?"
"Ihh apaan sih. Emm... dua-duanya." jawab Dira akhirnya.
“Cari aman kamu tuh.” Reza selesai mengobati. Mereka sama-sama diam. Dira pasrah kalau nanti Reza nanya macem-macem soal luka itu. Percakapan tadi hanya basa-basi biasa. Reza pun tau hal itu.
"Jangan dibasahi dulu lukanya biar cepet kering."
"Iya. Makasih Mas."
"Nanti sore nggak usah nemenin motret dulu."
"Kebetulan. " Dira menyesal mengatakan itu.
"Kebetulan? " tuh kan ....
"Dira juga ada urusan."
"Oh baguslah. Oke."
Sebenarnya Reza penasaran. Sangat. Tapi ia tak ingin membuat Dira tak nyaman. Jika dia ingin dia pasti bicara sendiri. Itu lebih nyaman. Dia belajar dari Indra yang selalu berbuat demikian padanya sehingga Indra tak pernah memaksanya bicara, meski ia teman dekatnya dan bingung akan tingkah lakunya.
Sore itu Reza ke klinik Indra tapi ternyata Indra pulang lebih awal. Reza memutuakan untuk mengunjungi salah satu tempat makan yang katanya terkenal bagus dan enak. Tapi sampai sana.... pemandangan itu membuatnya sakit dan ingin pergi dari sana. Akhirnya dia melihat sunset di tempat biasanya sendirian.
Ternyata Indra benar-benar menyukai Dira. Diusia mereka yang sekarang tentu rasa suka itu bukan hanya mainan. Selama ini bareng Dira meski hanya beberapa kali tapi Reza tak ingin kehilangan gadis itu. Entah mengapa. Padahal Reza udah bilang mau mendukung Indra. Tapi kali ini apakah ia harus mengalah demi Indra. Akankah dia bisa melupakan Dira sama halnya seperti cewek-ceweknya selama ini?
Namun Dira yang telah menemukan jalannya kembali. Meski banyak cewek cantik disini namun Reza tak tergoda sama sekali. Padahal selama ini Reza udah terkenal playboy dan kasar. Tapi bareng Dira, meski banyak cewek yang menggodanya dan memenuhi kriterianya namun ia tak pernah bisa berpaling dari Dira. Ia juga tak pernah berani bicara kasar dan selalu menuruti apa kata Dira meski itu kadang berlawanan dengan egonya. Apa ini.... Kenapa justru disaat ia menemukan jodohnya, sahabatnya juga memiliki persaan yang sama? Apa yang harus ia lakukan?
Akhirnya Reza memutuskan untuk kembali. Bagaimanapun Indra sudah ia anggap saudaranya sendiri. Orang yang bahkan bisa ia percaya saat dulu ia tak percaya pada apapun dan siapapun. Reza mengemasi barangnya dan pergi. Ia berharap bisa melupakan Dira agar Dira dan Indra dapat bahagia. Selamanya. Reza hanya mengirim pesan singkat pada Indra bahwa dia harus kembali atas paksaan Papanya.
Hampir dua bulan telah berlalu semenjak kembalinya dia dari desa Dira namun ia tetap tak bisa melupakan cewek itu. Satu minggu lagi Papanya akan mengadakan pertunangan antara dia dan Cindy, putri sahabat Papanya. Cindy dan Reza memang pacaran sebelum mereka tau kalau orang tua mereka sahabatan. Cindy menghabiskan hampir separuh hidupnya di Thailand. Namun hati Reza...
"Tok tok tok."
"Ya." sekretaris Reza masuk.
"Ada bu Cindy Pak."
"Baiklah. Suruh masuk."
"Hai Re.... " Cindy langsung bertingkah.
Ya. Cindy memang mendekati sempurna. Smart, beauty and rich. Dia adalah pacar Reza yang paling lama menjalin hubungan. Hampir 7 bulan sehingga mereka sama-sama tau sifat masing-masing. Saat Cindy membicarakan pertunangan, Reza mengabaikan. Saat memilih cincin, Reza pun hanya ikut kata Cindy.
Sore itu Reza tetap tak beranjak dari kursinya meski jam kerja telah usai. Pekerjaannya pun sudah cukup beres. Semala ini Reza bekerja sangat keras sehingga tidak banyak kerjaan menumpuk. Reza menutup mata sambil bersandar di kursinya. Tok, tok, tok.
“Masuk.” Kata Reza malas karena ia sedang tak ingin digangg…
“Ooh Van, ada apa?”
“Nggak pulang?” tanya Ivan.
Ivan adalah partner kerja terbaik Reza. Sejak awal melangkah di perusahaan Papa ini Ivan yang menemaninya. Sekretaris sekaligus tempat sampah Reza untuk segala huru-haranya. Kalau hanya berdua mereka menggunakan bahasa biasa, tanpa sopan santun atasan dan bawahan.
“Belum kelar nih kerjaan.”
“Lo…kenapa?” Reza menatap Ivan.
“Emang gue kenapa?” tanyanya bego. Dia memang belum menceritakannya pada Ivan. Selain sibuk karena konsekuensi a kabur-kaburan, ia juga tak ingin mengingat Dira lagi, tapi….
“Ya lo tiba-tiba aja jadi bos yang rajin setelah kabur-kaburan.”karena Reza emang pinter tapi lebih suka seenaknya sendiri.
“Sialan lo. Minimal kerjaan lo jadi berkurang kan?” Reza kembali menatap map di depannya. Engan menatap mata Ivan.
“Iya juga sih. Sering-sering aja gini.” Meski terdengar menyebalkan namun Reza malah tersenyum.
“Gue cuma …butuh waktu untuk melupakan sesuatu.”
“Oh oke kalo gitu. Silakan menikamati waktu Anda.” Lalu Ivan akan berbalik.
“Cuma itu?” tanya Reza heran.
“Nah kan lo butuh waktu, ya gue harus pergi kan biar lo bisa kerja?”
“Ya udah sana-sana. Nggak perhatian amat lo jadi temen.” Rutuk Reza sambil melihat kembali mapnya.
“Jangan berusaha terlalu keras.” Kata Ivan dan dihadapan Reza sudah ada snack kesukaannya. Sebelum Reza berterimakash Ivan udah balik menuju pintu.Reza baru membuka mulutnya …
“Oh ya kalau lo nggak mau makan, jangan minta dibeliin. Sayang uangnya.” Kata Ivan lebih dulu sambil menunjuk meja di sofa Reza lalu keluar. Benar, makan siangnya masih utuh. Reza tersenyum. Ivan juga selalu tau saat Reza tak ingin cerita. Mirip seseorang yang sangat dikenalnya.
Malamnya Reza mendapat tamu spesial. Indra.
"Aku sengaja ngajak kamu ketemu karena ada yang harus aku kasih tau."
"Kan kamu bisa telpon Ndra, aku juga bisa kesana daripada kamu harus ninggalin pasien-pasienmu."
"Aku akan berangkat ke Sulawesi, aku mengajukan diri disana." Reza mengerjap.
"Sulawesi? Jauh sekali lalu bagaimana dengan.... " Reza tak enak meneruskan kalimatnya.
"Dira. Oleh karena itu aku kesini."
"Maksudnya?" Reza belum paham.
"Aku tau kamu juga suka pada Dira. Tapi kenapa kamu malah mau bertunangan?" Reza syok Indra tau. Dia bingung mau jawab apa.
"Untuk kali ini bersikaplah dewasa. Berhentilah bermain Reza. Jangan jadikan Dira seperti cewek-cewekmu yang lain. Dan berhenti menggunakan alibi adik untuk membohongi dirimu sendiri."
"Ndra... aku... aku... maksudnya... "
"Kenapa kamu tiba-tiba pergi dua bulan yang lalu? Kamu bilang pengawal Papamu telah memberi waktu dengan alasan kamu mencari model." skakmat.
"Terus aku harus gimana Ndra. Apa yang bisa aku lakukan? Ya aku suka sama Dira tapi aku nggak mungkin bisa bersaing dengan sahabatku sendiri. Kamu lebih tau itu bukan. Dan sekarang aku akan bertunangan dengan Cindy jadi kamu nggak perlu khawatir." Nada sebal Reza juga memancing emosi Indra.
"Re, makanya apa-apa itu diselidiki dulu jangan asal mengambil kesimpulan."
"Ngambil kesimpulan gimana. Jelas-jelas aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kamu ngasih cincin ke dia. Cuma orang bego yang nggak tau arti cincin itu." benar, Reza melihatnya. Batin Indra. Indra menarik napas panjang. Inilah sebabnya Reza pergi.
"Kamu lihat cincin itu?" tanya Indra pelan sambil memperlihatkan kesepuluh jarinya.
"Kenapa malah tanya aku?" ternyata sifat pemarah Reza belum hilang juga.
"Dia nolak aku." tandas Indra terpaksa memperjelas.
"Ya nggak mung... apa... nolak kamu?" Ganti Reza yang syok.
"Dia mati-matian mempertahankan cintanya, pilihan hatinya yang bahkan mengecewakannya setelah itu."
"Ya itulah cewek."
"Kamu nggak penasaran cowok mana yang bikin dia kayak gitu?"
"Aku nggak peduli." Indra benar-benar nggak sabar ngadepin Reza untuk saat ini. Penerbangannya satu jam lagi. Dia harus cepat.
"Cowok itu kamu, ngerti. Dia juga sayang sama kamu. Dia berharap kamulah yang ngasih dia cincin. Dia kecewa banget pas kamu pergi. Bahkan sampai sekarang dia masih sering nanyain kamu." kalimat beruntun dengan nada emosi dari Indra membungkam Reza. Reza sedang mencerna setiap kata. Indra pun berusaha menguasai diri. Lama mereka saling terdiam. Indra menunggu reaksi Reza.
"Jadi selama ini.... aku juga... "
"Kamu juga masih sayang kan sama dia? Kalo nggak, nggak mungkin kamu nyuekin Cindy."
"Kamu tau?"
"Cindy yang sering cerita."
"Aku... nggak tau harus gimana Ndra."
"Datengin dia Re. Jelasin semuanya. Jujurlah pada dirimu dan dirinya. Hadapi semua rintangannya dan... " Indra berhenti. Dia mengepalkan tangan dibawah meja.
"Bahagiakan dia selamanya." selesai.
Indra sadar kalimat tadi mengakhiri semuanya. Merampas sisa harapannya dan menutup semua kemungkinan. Dengan begini ia resmi menyerah dari Reza. Reza pun sangat paham. Hanya dengan membaca raut Indra, Reza sadar butuh keberanian lebih berkata demikian.
"Maafkan aku Indra."
"Jika kamu sampai menyakitinya, aku tak akan tinggal diam Reza."
"Baiklah Ndra, makasih. Tetap awasi aku karena aku juga tak ingin kehilangan dirimu." Reza pun mengantar Indra ke bandara. Hingga pesawat Indra landing Reza belum beranjak. Ia memikirkan sesuatu. Dreettt. Cindy menelpon.
"Re, kamu dimana? Aku lagi dirumahmu nih sama Papa. Adanya cuma Papa kamu." Reza menarik napas panjang.
"Maafkan aku Cindy." Reza menutup mata.
Ia tau akan menyakiti banyak hati dan mengecawakan banyak keluarga. Tapi tak dipungkiri hatinya ingin berlabuh hanya pada Dira. Reza menutup telepon. Lalu menelpon seseorang untuk menyiapkan tiket pesawat secepatnya.