The Light of Tears
Surat untuk belahan jiwa ibuku
Assalamualaikum, Pak... Apa kabar di sana?
Kala itu usiaku masih sangat belia. 6 tahun. Disaat masih banyak anak yang diantar oleh ayahnya ke sekolah, namun saat itu kami sudah belajar menopang kaki kami sendiri untuk bisa berjalan tanpa rasa takut.
Hi, Pak. Masihkah Bapak khawatir akan pujaan hatimu, wanita yang kau nikahi dan memberimu 4 orang anak?
Bapak tenang saja. Belahan jiwamu aman bersama kami di sini. Mama, wanita yang setia padamu, sudah bisa tersenyum lebar melihat kami semua telah menyandang gelar di belakang nama kami. 4 anakmu yang dulu selalu kau ajarkan arti kehidupan diusia kami yang belum cukup matang untuk mencerna setiap perkataanmu, kini sudah bisa memahami apa yang dulu Bapak katakan pada kami.“Hanya ilmu yang tidak akan pernah mati.”
Pak… Masih ingat gak? Saat Bapak mengajari kami waktu kami kecil. Bapak begitu terlihat tegas. Kami seakan sedang berlatih militer saat itu. Tapi, lihatlah sekarang, Pak. Tidakkah kau bangga melihat hasil didikanmu menjadi anak yang tak pernah gentar menghadapi tantangan hidup, Pak? Sejak kecil kami sudah kenyang menelan pahit rasa kehidupan. Hingga akhirnya kami menjadi manusia kokoh yang tidak pernah takut melangkah untuk berjuang meraih apa yang kami cita-citakan.
Kini aku sudah menginjak usia dewasa, Pak. Tidak terasa ya, sudah lama, Bapak tidak bersama kami. Bapak jangan sedih, Walau kami sangat jarang berziarah langsung ke makammu, tapi percayalah, doa yang kami panjatkan untukmu akan selalu mengalir deras di tempat peristirahatan terakhirmu.
_Anak yang Merindukanmu
Mantaap
Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life