BAB 10
He is The Winner
Besok seluruh sekolah di BauBau akan mengadakan Ujian Nasional untuk tingkat SD. Tak terkecuali Salim. Namun, Salim tak pernah nampak belajar. Megang buku saja hampir tak pernah terlihat. Jadwal mainnya masih sama, namun ia sudah tidak pernah lagi ke tempat pencucian mobil setelah malam kejadian suram yang menyangka bahwa ia adalah maling. Salim biasa bermain sampai sore menjelang Maghrib. Selebihnya ia habiskan waktunya di dalam kamarnya. Semacam ritual yang ia jalani, namun entahlah apa yang ia lakukan di dalam kamar sempitnya itu. Perubahan sikap Salim mulai kearah positif. Seminggu ini sepertinya rumah kami adem ayem. Salim menjadi lebih sabar dan lebih slow tiap menghadapi sesuatu. Memang terlihat aneh, tapi kami senang atas perubahan Salim.
“Nak, jangan lupa belajarnya,” Mama menegur Salim saat melihat ia baru pulang bermain.
“Sudah, Mama tenang saja,” jawab Salim dan langsung masuk kamar. Seperti biasa anak itu selalu memandang enteng apa saja yang sedang ia jalani.
Senin, November 1999. Tibalah waktu Ujian Nasional Salim dilaksanakan. Bukan Salim yang tegang, tapi Mama. Saat Ujian Nasional tiba, biasanya kelas 1-5 diliburkan karena kelas lain dipakai untuk ujian. Hari itu kebetulan Mama tidak ada jadwal untuk mengajar.
“Duuhhh, kira-kira La Bau bisa jawab tidak, ya, soal-soalnya?” Mama bolak balik seperti kucekan pakaian yang sedang dicuci.
“Sudahlah, Ma. Sini duduk nonton TV. Tidak usah terlalu dipikirkan. Dia pasti bisa, Ma,” jawabku menenangkan Mama.
“Gimana bisa jawab, belajar saja tidak pernah?” hatiku menggerutu nyinyir. Namun, usahaku tak membuahkan hasil. Mama tetap tak bisa tenang.
Kreeekkk.. Bunyi pintu kurang olesan minyak dari arah ruang tamu berbunyi.
Mama berlari ke arah pintu.
“Gimana hasilnya, Nak? Kamu bisa jawab gak? Ada kesulitan gak?” tanya Mama beruntun seperti kereta api yang sedang berjalan.
“Tenang saja, Ma. 1 minggu kedepan baru ada pengumuman. Seluruh orangtua harus datang kata Kepala Sekolah,” Salim menjelaskan ke Mama sambil berjalan menuju kamarnya. Belakangan ini ia sangat suka mengurung dirinya dalam kamar.
“Ohhh gitu, ya, Nak. Iya, Mama pasti datang, kok. Pasti,” muka Mama masih was-was namun berusaha tersenyum.
***
3 hari ujian Salim berlangsung. 3 hari pula Mama tak tenang. Ia sangat amat khawatir. Mama terlihat begitu ketakutan jika Salim tak bisa menyelesaikan sekolahnya karena kendala tak lulus ujian. 3 hari Salim menghadapi penentu nasibnya untuk melanjutkan ke bangku SMP. Sikap Salim di mataku masih saja aneh. Dia masih tetap misterius dimalam hari.
Gubraaakkk… tukkk... taaakkk… Bunyi itu selalu menghiasi rumah kami dimalam hari. Suara itu bersumber dari dalam kamar Salim. Sangat mengganggu pendengaranku. Malam itu adalah malam di mana keesokan harinya ia akan menerima pengumuman hasil Ujian Nasionalnya. Disaat semua orang sudah tertidur lelap, Salim tetap terjaga. Malam itu sudah pukul 00.45. Aku terbangun karena ingin buang air kecil. Saat aku membuka pintu kamarku dengan pelan, Salim terlihat dari kamar mandi dan membawa baskom berisi air.
“Baskom lagi? Ada apa, sih, sebenarnya? Dia lagi ngapain, ya? Apa sekarang lagi trand minum air menggunakan baskom?” rasa penasaranku mulai muncul lagi. Ahhh., padahal aku sudah berniat tak ingin terlalu kepo pada sikap misteriusnya tiap malam.
Salim masuk kedalam kamar, tapi kali ini dia tidak menutup rapat pintunya. Inilah saat yang tepat, pikirku. Aku harus tahu apa yang dia lakukan. Rasa ingin pipis pun hilang seketika. Seakan kuperintahkan otakku untuk mengesampingkan reflek berkemih oleh serabut saraf para simpatisku saat itu karena rasa penasaranku lebih besar dari apapun malam itu.
Kuintip dari sela-sela pintu kamar Salim. Sangat sulit rasanya menjamah apa yang terjadi di dalam kamarnya. Malam itu aku bagai ditektif yang sedang mencari kebenaran.
Ummi yaa lahnan a’syaqohu
Wanasyidan dauman ansyuduhu
Fikulli makanin adzkhu
Wa-azhollu azhollu uroddiduhu.
Suara ini terdengar jelas dari dalam kamar Salim. Telingaku di suguhkan lagu Ummi- Haddad Alwi. Kaset radio yang pernah Mama belikan untuk kami saat radio kami masih bisa berfungsi dengan normal. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat dan ku dengar malam itu. Itu radio yang sudah rusak. Kini berbunyi kembali. Aku melihat Salim menyetel kaset kumpulan lagu Haddad Alwi. Aku tidak pernah menyangka kalau Salim bisa kembali membunyikan radio yang sudah tidak berfungsi itu. Ini luar biasa. Aku seakan tak percaya dengan apa yang kusaksikan malam itu. Aku takjub dibuatnya.
Dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat itu, terlihat wajah Salim tersenyum bangga. Tidak terasa aku pun ikut tersenyum. Aku meneteskan air mata. Lagi-lagi aku menangis karenanya. Tapi, kali ini bukan air mata sedih yang selalu kukeluarkan karena ia selalu membentak dan mendorong kepalaku. Kali ini kuakui kalau air mata yang keluar malam itu adalah rasa banggaku punya kakak seperti dia. Aku menyesal sempat tidak percaya dengan kemampuan yang dia miliki.
Lagi-lagi Salim membuyarkan pikiranku. Dia tiba-tiba duduk di kursi dan memegang buku untuk dibaca. Bukan karena bukunya yang membuat aku terpanah, tapi ini tentang baskom berisi air itu. Air itu direndamkan ke kakinya. Dan dia membaca buku-buku pelajarannya. Oh my God, this is dream. Salim melakukan itu semua. Ternyata selama ini dia memang diam-diam belajar disaat semua orang sudah terlelap. Ini tidak bisa dipercaya.
“Meong… Meong…” kucing Tanda Muncu mengagetkanku dari belakang. Aku pun langsung berlari ke kamar mandi sebelum Salim melihatku.
Salim menoleh kearah pintu dan menyadari kalau pintunya belum tertutup rapat.
***
Hari yang cerah untuk hidup yang cemerlang. Pagi itu cuaca sangat mendukung. Matahari sudah bersinar terang menyambut kedatangan siswa siswi kelas 6 SD 1 Lamangga beserta orangtuanya. Semua tamu beserta murid akan dikumpulkan dalam 1 ruang kelas yang biasa digunakan untuk belajar. Itu adalah hari terpenting untuk Salim. Hari yang menegangkan buat Mama, menunggu hasil kelulusan SD anak ketiganya.
Pagi itu Mama dan Salim datang lebih cepat dari murid dan orangtua lainnya. Malam sebelum pengumuman kelulusan dilaksanakan, Mama sudah tidak bisa tenang menunggu hari esok. Jam 3 Subuh Mama terbangun untuk sholat Tahajjud kemudian menyiapkan baju sekolah yang akan dikenakan Salim besok pagi. Ternyata malam itu saat aku masuk kembali ke kamarku, Mama keluar dari kamarnya untuk ambil wudhu. Mama tak tidur lagi sampai matahari mulai menyapa. Jadwal acara kelulusan dimulai pukul 08.00 sampai selesai. Namun, sejak jam 06.00 Mama sudah membangunkan Salim untuk bersiap-siap ke sekolah. Mama sangat tidak tenang. Ia sangat khawatir kalau Salim tidak lulus dan tidak dapat melanjutkan ke jenjang SMP. Mama tak berharap banyak untuk nilai yang diraih Salim. Yang terpenting buatnya adalah anaknya lulus SD dan bisa melanjutkan ke SMP.
“Bangunlah, Nak. Ayo mandi. Kita kesekolahmu. Hari ini kan pengumuman kelulusanmu,” Mama menepuk-nepuk Salim agar ia lekas bangun. Pintu kamar Salim masih terbuka.
“Ya ampun, Mama e… Baru jam 6 ini kasihan. Itu pengumuman nanti jam 8 baru mulai,” Salim tetap memejamkan matanya dan tak menghiraukan Mama.
“Mandi sekarang saja biar kita tidak telat, Nak. Mama sudah siapkan nasi bubur santan kesukaan kamu itu,” seketika Salim bangun mendengar bubur kesukaannya sudah di meja makan. Dengan sogokan seperti itu ternyata bisa juga ia dibangunkan. Salim mandi dan bersiap-siap. Mama sudah rapi dari Subuh untuk menemani Salim menghadiri acara kelulusan hari itu. Salim lahap menghabiskan 2 piring bubur santan. Dia lapar atau memang rakus? Entahlah.
“Ma, sekali-sekali siapin ayam gorengkah atau sup ayam atau opor ayam. Masa setahun sekali kita baru bisa makan ayam, Ma,” pinta Salim di sela-sela perjalanan mereka menuju sekolah dengan berjalan kaki. Kami memang baru bisa merasakan makan ayam hanya pada saat lebaran tiba. Selebihnya jangan pernah bermimpi untuk makan makanan mahal itu dizaman kami.
“Iya, Nak. Kalau hari ini nilaimu bagus, Mama langsung ke pasar beli ayam untuk kita makan,” kata Mama sambil merangkul Salim. Tak terasa mereka pun sampai ke sekolah. Sekolah masih begitu sepi. Hanya ada pekerja sapu yang masih bertugas pagi itu serta Ibu Warung yang masih menggoreng jualannya di gubuk kecil sepetak di area dalam sekolah kami. Kami biasa menyebutnya Warung Ma’e.
“Assalamuaikum, Ibu. Pagi sekali datangnya. Ibunya Salim, ya?” tanya Pak Adi di depan gerbang sekolah yang masih berpagarkan kayu bambu. Pak Adi sudah sangat sepuh, namun masih bekerja sebagai tukang sapu di sekolah kami. Pak Adi tak punya sanak keluarga lagi. Ia mengabdikan dirinya sebagai tukang sapu dan penjaga sekolah kami sejak 4 tahun yang lalu. Ia tinggal di gudang sekolah yang kini menjadi tempat tinggalnya. Selama ada pak Adi, lingkungan sekolah jadi tertata rapi tak terkecuali toilet yang tak pernah lagi tercium aroma bau pesing.
“Waalaikumsalam. Iya, Pak. Saya ibu dari Salim,” Mama tersenyum pada Pak Adi.
Hari ini pengumuman kelulusan, ya, Bu? Pak Adi kembali bertanya sambil memegang erat sapu yang selalu menemaninya saat bekerja.
Iya, benar, Pak. Semoga saja Salim lulus. Iya, kan, Nak?“ Mama menengok ke sebelah kanannya. Namun, Salim tak ada. “Ke mana lagi anak itu?” tanya Mama sambil melenggak lenggokkan kepalanya mencari Salim.
“Saya di sini, Ma,” Salim tiba-tiba muncul dengan cepat di samping Mama. Ia menenteng gorengan tuli-tuli serta ubi goreng yang berbungkuskan daun pisang.
“Ini, Pak Adi. Untuk sarapan,” Salim menjulurkan tangannya disambut tangan Pak Adi.
“Terimakasih, Nak. Semoga Allah melancarkan rezekimu, melancarkan urusanmu, dan melindungimu serta keluargamu. Ibu benar-benar beruntung memiliki anak seperti Salim,” Mama terpana menyaksikan keramahan Salim. Ia sudah lama sekali tak pernah melihat Salim selembut itu setelah almarhum Bapak meninggal. Mama hampir tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Iya, Pak. Sama-sama. Nanti dimakan, ya. Saya duduk nunggu yang lain di depan kelas saja,” Salim pun menarik tangan Mama dan meninggalkan pak Adi. Mereka duduk di teras sekolah depan kelas. Mama masih speechless. Ia begitu takjub menyaksikan apa yang baru saja terjadi. Hari itu terjawablah sudah, ternyata setiap hari aku dipalak Salim, tak lain hanya untuk membantu membelikan Pak Adi makanan. Cara yang dipakai Salim memang salah. Ia berniat baik namun tak ada penjelasan untuk uang yang dirampasnya tiap hari padaku. Pandangan orang-orang begitupun aku terhadap dia sudah jelek. Jadi, ia tak punya alasan yang tepat untuk menjelaskan tindakan baiknya. Bagi Salim, sebesar apapun ia berbuat baik, orang-orang selalu saja memandang negatif dirinya.
Satu persatu murid berdatangan, di damping orang tuanya masing-masing. Ada yang menggunakan motor, ada yang jalan kaki. Namun dari survey hari itu, lebih banyak pejalan kaki. Tidak terlihat yang menggunakan mobil karena mungkin sekolah kami bukan sekolah tempat orang elit. Biasanya orang gedongan di daerah kami menyekolahkan anaknya di sekolah SD Negeri 1 Baubau yang bangunannya bertingkat dan bagus.
Mama dan Salim adalah tamu pertama yang datang hari itu. Mereka bagai penyambut tamu. Hingga akhirnya terkumpul sudah semua tamu dan jam sudah menunjukkan pukul 08.00 WITA yang menandakan acara akan dimulai.
“Assalamualaikum Wr Wb. Selamat pagi Bapak, Ibu, serta murid-muridku yang akan menjadi penerus tongkat keberhasilan,” laki-laki tua itu mengucapkan selamat datang untuk semuanya. Dia adalah Kepala Sekolah SDN 1 Lamangga, Pak Husen. Pak Husen memang sangat ramah. Setiap orang dilemparkan senyuman pagi itu. Ruang kelas itu seakan sunyi senyap, khusuk mendengar penyampaian dari Pak Husen. Hari itu terlihat guru-guru yang juga ikut menyaksikan pengumuman kelulusan tanpa terkecuali Ibu Susan. 30 murid kelas 6 beserta walinya datang. Ruangan kelas itu nampak begitu pengap dengan manusia yang tak sesuai dengan ukuran ruangan.
“Waalaikumsalam…” serempak ruangan itu bergema dengan ucapan salam.
“Terima kasih untuk semua orangtua murid yang sudah berkenan untuk datang menghadiri undangan kami dalam rangka Pengumuman Kelulusan Murid Angkatan 1999-2000. Saya bangga dan merasa sangat bersyukur masih diberi kepercayaan untuk menjadi kepala sekolah serta dapat menyaksikan langsung keberhasilan dari murid-murid SDN 1 lamangga. Dan yang lebih berhak membacakan hasil dari keberhasilan siswa tahun ini adalah Bu Susan sebagai wali Kelas. Bu Susan lebih layak memberi penghargaan tertinggi untuk siswa teladan yang akan dinobatkan hari ini. Untuk Ibu Susan saya persilakan,” semua mata tertuju pada Ibu Susan yang bergegas bangun dari tempat duduknya.
“Saya sudah menduga murid ini akan menjadi pemenangnya. Saya tidak heran murid ini akan membanggakan saya dan juga sekolah. Tapi, mungkin semua guru-guru yang lain tidak akan pernah menyangka kalau dia bisa mendapatkan nilai terbaik. Dulu saya pernah meragukan anak ini. Di dalam sikap cueknya itu, dalam sikap nakal yang acuh tak acuh pada pelajaran, dia bisa bikin saya merinding saat akan membacakan hasil kelulusan hari ini.” Sebelum Bu Susan melanjutkan pengumuman kelulusan, ia sempet mengelus bulu-bulu lengannya yang mulai ikut berdiri.
“Dia adalah murid teladan bagi saya. Kini dia sudah membuktikan kepada saya bahwa dia bisa bangkit dan kini ia pun menyadarkan saya bahwa kecerdasannya mematikan kenakalannya. Dia memang anak nakal, tapi saya rasa kenakalannya adalah kenakalan yang wajar. Kenakalan anak-anak pada umumnya. Saya pernah dengar perkataannya, ‘Nakal diusia muda itu wajar, tapi nakal diusia tua itu kurang ajar.’ Saya yakin suatu saat nanti dia akan sukses. Dia anak yang sangat cerdas. Selama saya menjadi guru, baru kali ini saya menemukan anak yang berbeda dari anak lainnya. Dia membuat mata saya terbuka lebar bahwa betapa bangganya saya menjadi seorang guru,” kelas hari itu benar-benar senyap. Semua siswa dan siswi berharap namanyalah yang akan disebut sebagai murid terbaik.
“Piala dan penghargaan ini saya berikan pada murid terbaik, murid yang memiliki nilai sempurna. Semua mata pelajaran bisa ditaklukannya. Mari kita sambut dengan meriah... Salim Arsyad,” Ibu Susan menitihkan air mata saat membacakan nama Salim. Mendengar itu semua Mama tak kuasa menahan air matanya sambil memeluk Salim. Semua mata langsung tertuju ke bangku belakang tempat Mama dan Salim duduk.
Semua siswa dan wali murid memberi tepuk tangan meriah sebagai penghargaan istimewa untuk Salim.
“Kesini, Nak. Maju ke depan,” Bu Susan mengajak Salim untuk mengambil piala serta piagam penghargaannya. Salim melangkahkan kakinya. Badannya tegap, mengarah ke Bu Susan.
Kepala sekolah memberikan piala dan sertifikat diserahkan oleh Bu Susan pada Salim.
“Apa ada yang ingin kamu sampaikan, Nak?” Bu Susan mempersilakan Salim menyampaikan sepatah dua patah kalimat di depan semua orang hari itu.
“Ada, Bu,” jawabnya setelah menerima piala serta sertifikat sebagai murid terbaik. Bu Susun mempersilakan Salim.
“Sebelumnya terimakasih untuk Allah. Dan terimakasih untuk Mama. Terimakasih, Ma. Terima kasih untuk segalanya,” Salim mengulang ucapan terimakasih itu untuk ketiga kalinya untuk Mama. Mata Salim mulai berkaca-kaca. Terima kasih untuk almarhum Bapak saya. Terimakasih untuk waktu yang sangat berharganya. Walaupun singkat, Bapak sudah banyak mengajarkan saya tentang banyak hal.” Salim tak kuasa menahan rasa haru nya. Suaranya mulai terbata-bata.
“Terima kasih untuk Ibu Susan yang selalu sabar menghadapi sikap saya. Terima kasih untuk semua guru-guru. Saya minta maaf jika saya pernah membantah ataupun mengecewakan hati Bapak Ibu Guru. Untuk semua teman-teman saya, Sam, saya minta maaf karena pernah bikin kamu sampai terluka,” Sam tersenyum dan menyodorkan jempolnya pada Salim.
“Ini salah satu pembuktianku untuk Mama. Mama tidak perlu khawatir. Saya memang nakal, tapi saya tahu batasan nakal itu seperti apa. Saya juga tahu kewajibanku di sekolah seperti apa. Untukmu, Ma, maaf jika saya pernah membuatmu menangis. Maaf, jika saya pernah membentak Mama. Maaf, jika saya belum pantas untuk menjadi anak yang baik untukmu,” Salim tertunduk.
“Saya sayang sekali sama Mama,” linangan air mata Salim pun mengalir, membuat seragamnya ketumpahan air mata. Mama berlari memeluk Salim.
“Kamu anak Mama, Nak. Mama bangga sama kamu. Terimakasih untuk hadiah ini,” ucap Mama sambil tetap memeluk Salim.
Semua murid serta wali murid seakan sedang menonton sebuah pertunjukan drama yang sangat mengharukan. Semua mata seakan terhipnotis dengan pertunjukan yang baru mereka saksikan. Tak sedikit dari penonton yang menyaksikan ikut terbawa suasana haru. Hari itu seperti milik Salim seutuhnya. Apresiasi yang sangat pantas didapatkannya. Saya yakin, Bumi pun pasti tersenyum melihat kemenangan Salim.
Diluar kelas. aku, Iman, dan Zura diam-diam datang untuk mengetahui siapa pembawa penghargaan untuk periode tahun itu. Kami sebenarnya pun tak menyangka kalau Salimlah yang mendapatkan penghargaan yang semua orang impikan. Kami benar-benar bangga pada saudara kami. Kami di luar kegirangan saat nama Salim disebut dan kami pun meneteskan air mata saat ungkapan hati Salim tersampaikan di depan semua pasang mata yang hadir kala itu.
Bagi Salim, dia terlahir karena memang dia pantas berada di bumi ini, mengisi sebagian bumi untuk merangkainya menjadi suatu mozaik. Ia lahir karena dia berjuang dengan ribuan bahkan jutaan dengan yang lainnya untuk menjadi pemenang. He is the winner. Kodrat hidup baginya adalah pantang menyerah walaupun kegilaan sudah mencapai ambang batas. Baginya, manusia itu bebas dan makhluk paling sempurna yang terlahir dengan keadaan suci bersih tanpa titik noda. Dia bebas memilih antara menjadi iblis atau malaikat.
Salim adalah Salim. Itu yang selalu ditanamkan dalam hidupnya. Dia bagai sang proklamator yang lahir tepat tanggal 17 Agustus 1987. Jadi, sangat tepat jika jiwanya selalu menggebu-gebu seakan dimedan perang.
Anak yang selalu dipandang sebagai pembawa masalah. Anak yang selalu menjadi bahan obrolan tetangga karena tingkahnya yang selalu membuat orang disekitarnya menjadi gerah. Kini ia bisa membuktikan bahwa kenakalan yang selalu jadi bahan omongan banyak orang kini berubah menjadi sebuah kesuksesan yang selalu diingat oleh tiap orang yang mengenalnya.
Tak ada perjuangan yang sia-sia. Aku selalu memperhatikan kebiasaan-kebiasaan dari kakakku ini. Salim yang bersikap seperti kelelawar sering menjadi bahan perhatianku. Merendamkan kakinya malam hari di dalam baskom berisi air agar dapat konsentrasi dalam belajar dan tidak letih. Pola tidurnya seperti kelelawar. Tiap hari ia begadang sampai Subuh dan tidur hanya 4 jam kemudian kesekolah. Kadang ia mandi, kadang tidak ketika ia kesekolah.
Disaat semua orang tidak ada yang percaya dengan kelebihannya, disaat semua orang menolak keberadaannya karena sifatnya yang pemberontak. Hanya Mama yang selalu ada untuknya. Tekad yang kuat di dalam hati yang sudah melekat ke darah daging.
“Waktu kecil saya sudah kenyang dengan segala kesedihan dan kesengsaraan,kini untuk sekarang dan selamanya adalah kebahagiaan dan kesuksesan.
Kami benar-benar hidup dari bawah. Kami benar-benar merasakan betapa beratnya hidup, namun tak ada sedikitpun keluhan yang kami dengar dari Mama. Semua pekerjaan yang menghasilkan uang dengan halal dilakoni Mama. Kerja keras tanpa mengenal lelah yang diniatkan hanya untuk kata sukses anak-anaknya kelak. Hampir tiap malam Mama menyiapkan bahan untuk membuat es kacang ijo yang akan dijualnya. Menyisihkan sedikit rezeki untuk ditabung untuk pendidikan kami.
Tidak ada kebahagiaan yang paling indah untuk Mama kecuali membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang dan melihat anaknya sukses. Dengan modal usaha, doa, dan tidak pernah mengeluh membuat semua rezki dari Allah untuk Mama selalu mengalir deras. Jalan Allah tidak ada yang tahu. Semua sudah direncanakan sedemikian indahnya bagi orang-orang yang mau berusaha dan percaya akan kebesaran-Nya.
Tidak peduli seberapa banyak keringat yang sudah membanjiri badan. Tidak peduli puluhan kali kegagalan yang terjadi. Tidak peduli seberapa sulitnya melewati goncangan hidup. Tidak peduli seberapa terpuruknya diterjang masalah. Tidak peduli seberapa hancurnya ketika kita tidak mampu lagi untuk memaknai arti tangisan yang melanda. Yang terpenting adalah seberapa mampu kita bangkit dan terus mencoba melawan dan berkompetisi dengan sebuah kata ‘kesuksesan’.
Mama selalu berharap, kelak kami harus bisa berjuang untuk sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan. Semangat juang yang ditampilkan Mama selalu penuh kehangatan. Jiwa Mama yang masih sangat berkobar untuk mendedikasikan ilmunya untuk para muridnya menjadikan banyak inspirasi untuk pendongkrak jiwa muda agar mau belajar lebih dari orang-orang sukses sebelumnya. Ia adalah undying love bagi kami.
Mantaap
Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life