Loading...
Logo TinLit
Read Story - THE LIGHT OF TEARS
MENU
About Us  

BAB 5

Takdir yang Harus Diterima

 

Aku bocah polos yang belum banyak mengerti tentang perjalanan kehidupan. Usiaku hampir menginjak 6 tahun. Belum cukup pandai untuk mencerna setiap perkataan dan apa yang aku saksikan dengan mataku dengan tepat. Beda dengan Iman yang sudah mulai paham. Begitu juga Zura dan Salim. Mereka memang masih kecil, tapi setidaknya mereka lebih paham membaca keadaan dibanding aku. Nenek yang mulai menetralkan keadaan pun masih tidak bisa menyembunyikan rasa khwatirnya akan kondisi bapak. Dan mulai malam itulah kami semua baru tau kalau Bapak sakit keras. Penyakit yang sudah hampir 5 tahun ini bersarang di tubuh Bapak.

Ternyata disaat usiaku akan menginjak 1 tahun, Bapak sudah mulai sakit-sakitan. Namun, kami tidak pernah diberitahu tentang kondisi kesehatan Bapak yang sebenarnya. Mama dan Bapak sengaja tidak ingin memberi tahu kami agar kami tidak ikutan sedih.

Bapak dan Mama hanya ingin melihat senyum di wajah kami. Mereka hanya ingin kami fokus sekolah dan belajar. Tidak boleh memikirkan beban yang belum pantas dipikirkan untuk anak seusia kami. Pantas saja belakangan ini Bapak dan Mama seperti menyembunyikan rahasia besar. Dan ternyata itu adalah penyakit Bapak.

Terbongkar sudah rahasia besar dimalam itu. Satu tahun belakangan ini memang kondisi keceriaan di rumah kami memang sudah sedikit berubah. Namun, setelah Bapak mulai akrab dengan RS, perubahan itu makin sangat kental. Canda tawa di rumah seakan lenyap. Keluar masuk RS dan kontrol ke dokter merupakan rutinitas yang dijalani Bapak selama sakit. Hampir 4 hari bapakku dirawat di RS setelah keadaan kritis beliau malam itu. Kemudian keluar dan dirawat di rumah karena keadaaan Bapak yang mulai baikan. Bapak mulai ceria lagi walau tidak seceria biasanya.

Pagi itu Bapak bangun setelah kumandang azan Subuh. Seperti biasa, Bapak membangunkan Mama untuk sholat bersama. Kebetulan pagi itu adalah hari Minggu dan aku sudah bangun. Kamarku memang berseberangan dengan kamar orangtuaku. Subuh itu kulihat cahaya lampu keluar dari sela rongga pintu kamar mereka. Sangat kontras karena ruangan yang lain masih senyap. Pintu kamar pengantin 10 tahun silam itu tak tertutup rapat. Terdengar dari celah pintu suara Mama dan Bapak setelah melaksanakan sholat Subuh. Aku mengintip menyorot mataku. Terlihat Mama masih menggunakan mukena katun berwarna putih bercorak bunga tenunan dan Bapak menggunakan baju koko putih kesayangannya. Baju yang warnanya kini sudah sedikit berubah menjadi warna kekuningan. Mungkin karena sudah sering bercengkrama dengan sabun dan air.

“Maaf, sayang, untuk waktumu yang terbuang demi saya,” tiba-tiba Bapak mengungkapkan itu setelah sholat Subuh berjamaah dengan Mama.

“Apa yang kau bicarakan, Pak? Saya adalah istrimu. Kewajibanku tidak lain adalah melayani segala keperluanmu,” kata Mama yang menjelaskan kodratnya.

“Iya, saya paham. Namun, saya sudah mengingkari janjiku sendiri untuk bisa membahagiakanmu. Saya mengkhitbahmu pada Abah dan berjanji karena keyakinanku bahwa saya mampu membahagiakanmu. Kamu menikah denganku, namun kamu menghabiskan waktumu bertahun-tahun hanya untuk mengurusi sakitku. Maafkan untuk janji yang tak bisa kutepati,” mata Bapak mulai berkaca-kaca saat mengutarakan itu.

“Saya tidak pernah merasa kalau waktuku terbuang sia-sia denganmu, Pa. Apa yang sudah kau lakukan untukku juga anak-anak adalah kebahagiaan yang takkan pernah tergantikan oleh apapun.” Mama mulai menatap dalam wajah suaminya itu.

“Bapak sudah membahagiakanku juga anak-anak dan sudah saatnya saya melakukan tugasku sebagai istrimu. Saya menikah denganmu bukan semata-mata hanya karena cintaku padamu. Namun, karena restu orangtua dan Allah ada bersamaku. Bisa saja disaat setelah menikah denganmu, rasa cintaku pudar. Namun, sudah kukatakan dari awal, restu dan doa orangtuaku akan selalu menjaga cintaku untukmu dan Allah mengokohkan hatiku untuk tetap memilihmu menjadi imamku. Restu Allah akan selalu menerangi hatiku untuk selalu mengingat kodratku sebagai istrimu,” kata Mama, kekasih laki-laki yang kini tak sebugar dulu. Mama berusaha menguatkan hatinya. Ia menahan agar tak menangis.

“Terimakasih, sayang. Nikmat terbesar yang Allah berikan padaku adalah memilihmu menjadi pendamping hidupku. Jika Allah memanggilku dalam waktu dekat ini, tolong jaga anak-anak kita. Jangan pernah larut dalam kesedihan atas kepergianku. Tenanglah, Allah akan menjaga kalian lebih dari penjagaanku padamu,” Bapak tersenyum namun matanya seakan penuh dengan genangan air mata. Ia tetap tak bisa menahan rasa harunya.

“Bawalah anak-anak kita pada kesuksesan yang telah mereka pilih. Jadikan mereka sebagai manusia yang berguna untuk orang lain. Tolong ingatkanlah mereka saat mereka dewasa nanti bahwa Bapaknya selalu mencintai mereka. Walau saya tak di samping kalian lagi, percayalah bahwa saya akan selalu ada di hati kalian,” kata Bapak yang mulai terbata-bata saat bicara. Ia tetap nampak menahan air mata yang sudah ingin tumpah.

“Apa yang Bapak bicarakan? Yakinlah, Pa… Bapak akan sembuh! Bapak pasti sembuh. Doaku dan juga anak-anak akan selalu terucap untuk kesembuhanmu, Pa. Saya mohon, berjuanglah untuk sembuh demi kami,” linangan air mata Mama menetes membasahi mukena yang dikenakannya. Mama menunduk sambil berderai airmata. Bapak memeluk erat istri yang dicintainya itu.

“Saya akan selalu berjuang, sayang. Namun, takdir Allah tidak akan pernah bisa diubah. Kita serahkan saja semuanya pada Allah. Namun, ingatlah bahwa sampai detik ini saya masih berjuang untuk sembuh walau dokterpun mungkin sudah hampir menyerah dengan penyakitku ini,” kata Bapak  berusaha menenangkan Mama. Bapak pun tak bisa menahan air matanya yang kini sudah tumpah ruah.

“Tetaplah bersama kami, Pa… Saya ingin menyaksikan buah hati kita tumbuh dan menjadi orang sukses nantinya denganmu. Hanya denganmu…” Mama tidak henti-hentinya menangis dalam pelukan suaminya.

“Iya, Sayang. Inshaa Allah. Semoga Allah pun meridhoinya. Berjanjilah untuk tidak menangisiku lagi. Saya hanya ingin melihat senyumanmu, juga anak-anak. Saya tahu, anak-anak kita pasti sudah tahu bagaimana kondisi kesehatan Bapaknya ini. Mereka pasti terguncang. Namun, saya tidak ingin melihat jiwa mereka rapuh karena melihat orangtuanya yang selalu sedih,” Bapak melepas pelukannya dan menatap mata Mama dalam-dalam sambil menghapus air mata istrinya.

“Berjanjilah mulai hari ini, kita akan kembalikan suasana rumah kita lagi dengan kebahagiaan seperti dulu. Tidak ada tangisan kecuali kebahagiaan,” Bapak memegang kedua lengan istrinya sambil tersenyum. Seperti ada amanat yang sangat berat yang dipesankan untuk Mama. Mamapun hanya mengangguk. Mengiyakan ucapan Bapak namun sudah tak mampu untuk bersua.

“Jangan menangis lagi, peri indahku. Air mata itu rasanya asin. Tidak enak untuk dirasakan. Karena hanya teh asinmu yang bikin saya makin mencintaimu,” Bapak tersenyum sambil menghapus kembali air mata istrinya. Berusaha menggoda agar istrinya bisa tersenyum kembali. Mama pun menepuk manja lengan Bapak sambil tersenyum.

“Ayo, hari ini kita jalan. Sekalian kita pergi foto keluarga. Kayaknya kita belum ada foto keluarga yang terpampang di rumah, ya?” kata Bapak mengutarakan niatnya ingin pergi berfoto keluarga di studio foto. Sebelumnya kami memang tidak punya foto keluarga.

“Tolong bangunkan anak-anak, ya, Ma dan tolong buatkan saya teh yang pernah kau buatkan10 tahun yang lalu. Saya ingin meminumnya kembali. Teh aneh tapi tetap enak karena dibuat dari tangan wanita istimewa sepertimu,” kata Bapak mulai kembali menggombali Mama.

“Bapak gombal melulu, nih,” Mama tersipu malu. Mama melepas mukenanya dan siap-siap membangunkan kami.

Aku terhanyut melihat kejadian yang baru saja kusaksikan dengan kedua bola mataku. Bajuku basah karena air mata yang menetes begitu deras. Mereka benar-benar orangtua terbaik yang pernah kumiliki. Mereka adalah orangtua teladan untuk anak-anaknya. Disaat Mama ingin keluar kamar, aku pun buru-buru masuk ke kamarku dan pura-pura tidur. Mama membangunkan kami semua untuk sholat dan menyuruh kami mandi serta siap-siap untuk jalan-jalan. Sekitar pukul 09.00 kami sudah siap untuk menuju ke tempat pemotretan. Ala-ala artislah, yah, ngomongnya pemotretan. Hehehe

Dengan menggunakan baju rapi berwarna merah bermotif garis-garis, aku dan kakakku Zura siap beraksi di depan kamera. Baju putih celana panjang coklat yang dikenakan Bapak, Iman, dan Salim. Serta Mama yang berbaju putih bercampur motif polkadot bulatan besar berwarna biru tua. Kami ke tempat pemotretan dengan menggunakan angkot.

Tiba di tempat studio foto, kami diarahkan oleh fotografernya bagaimana pose yang baik nan indah ketika dijepret oleh kamera. Posisi kami diatur sedemikian rupa agar terlihat keren. Kami berdiri saling mendekat berjejer. Pojok paling kanan ada Mama, kemudian di samping kiri Mama ada Salim, aku, Zura, Iman, dan pojok paling kiri ada Bapak. Semuanya diatur saling berdekatan agar hasilnya terlihat bagus di kamera.

“Tolong berdirinya agak rapatan, ya, Pak. Biar posenya rapi,” mas-mas tukang fotonya menegur Bapak karena jarak berdiri Bapak dengan Iman lumayan agak renggang.

“Gak apa-apa, Mas. Segini saja cukup. Difoto saja sekarang. Yang penting keluarga saya sudah lengkap,” Bapak kekeh tidak ingin terlalu berdekatan saat berfoto, dibuatnya jarak sejengkal orang dewasa saat berfoto. Kami yang sudah merapat antara satu dengan yang lain, namun Bapak malah membuat jarak dengan kami. Entah apa yang ada di pikiran Bapak saat itu. Mama sudah mulai curiga dengan tingkah Bapak yang mulai aneh, namun Mama tidak ingin menanyakan ini. Mama selalu mengikuti apapun yang Bapak inginkan.

“Gak apa-apa, Mas. Langsung difoto saja,” perintah Mama pada si Mas-mas tukang jepret. Kami pun akhirnya berfoto bersama dengan pose sesuai keinginan Bapak.

Hari ini schedule perjalanan kami nampaknya padat. Setelah berfoto, Bapak meminta kami untuk jalan-jalan menghabiskan waktu di luar sebelum pulang ke rumah. Makan di luar, beli barang-barang apa saja yang kami mau saat itu dibelikan oleh Bapak. Aku minta dibelikan boneka besar Susan yang bisa bicara sedangkan Zura minta dibelikan baju. Salim dan Iman minta dibelikan robot-robotan dan pistol mainan. Mamaku pun hanya ingin suaminya bahagia. Jadi, hari itu benar-benar dijadikan hari keluarga bersama, karena Mama pun takut kalau kebahagiaan hari ini tidak akan pernah terulang lagi. Mama tidak ingin menyia-nyiakan kebersamaan dengan kami semua dan mulai dari sinilah Mama pasrah apapun yang terjadi besok jika Bapak sudah tidak bersama kami, berarti ini adalah kehendak terbaik dari Allah. Mama mulai mempersiapkan diri jika suatu saat nanti kekasih hatinya harus meninggalkannya bersama ke-4 anaknya.

***

Sakit kemudian berobat dan sembuh. Begitu perputaran roda kehidupan bapak saat terdiagnosa Tumor stroma gastrointestina (GIST) selama 5 tahun. GIST merupakan jenis sarcoma yang ditemukan dalam sistem pencernaan. Dirawat di RS merupakan rutinitas Bapak selama sakit. Disinilah perubahan hidup keluargaku dimulai dengan air mata. Bapak selalu sakit-sakitan. Laki-laki hebat yang menjadi tulang punggung keluarga kini menjadi tak berdaya. Hampir tiap bulan bapak terbaring lemah di RS saat keadaannya mulai tambah memburuk setelah bertahun-tahun terdiagnosa penyakit tumor itu.

Bapak yang dulunya gemuk kini badannya menyusut kurus karena tumor itu menggerogoti tubuhnya. Mama yang sangat kuat dan sabar selalu menemaninya berobat. Pengobatan Bapak membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya, hingga hampir semua tabungan terkuras untuk pengobatan Bapak. Motor kesayangan Bapak pun melayang. Hampir tidak pernah lagi senyuman itu ada di wajah keluargaku saat Bapak mulai rutin dirawat di RS dan jarang di rumah karena harus terbaring lemah di RS. Aku dan ketiga kakakku yang awalnya tidak tahu tentang penyakit Bapak, kini sudah mengerti dengan semua yang terjadi dalam keluarga kami.

***

Senyuman Mama dan Bapak yang selalu ada untuk kami membuat kami tidak pernah berpikir kalau keadaan kesehatan Bapak kami sedang terancam. Pantas saja, belakangan ini Bapak sering memilih istirahat di rumah ketika kami mengajak untuk berkunjung ke rumah Nenek dan Tante kami di Batulo. Bapak hanya sering menyuruh Mama untuk mengajak kami ke sana agar anak-anaknya tidak kecewa karena ia sedang sakit dan tidak bisa ikut bersama kami.

Hanya selang 3 bulan setelah kami foto keluarga bersama, senyum keluarga kami benar-benar musnah. Tidak ada lagi canda tawa seperti dulu. Tidak ada lagi rahasia yang kami tidak tau dari kondisi keluarga kami. Rumah kami sunyi senyap tanpa penghuni karena sering kami tinggal kecuali si Tanda Muncu (kucing peliharaan Bapak) yang setia menjaga rumah kami.

Bapak yang terbaring lemah dan bolak balik dirawat di RS membuat goncangan batin Mama menjadi sangat rapuh. Namun, Mama tidak pernah menampakkan kelemahannya pada kami anaknya serta suaminya. Mungkin memang tidak ada lagi keceriaan seperti saat dulu ketika Bapak masih sehat, tapi Mama berusaha tersenyum di depan kami. 5 tahun Bapak menahan rasa sakit hingga RS menjadi rumah keduanya. Kondisi kesehatan Bapak yang makin parah dan hanya bisa berbaring membuat mama harus lebih ekstra memforsir tenaga untuk bekerja dan menjaga Bapak.

Yang paling rajin mengunjungi dan menginap menjaga bapak adalah kakakku Salim. Bapak pun sering sekali menanyakannya ketika Salim tidak ada di sampingnya. Anak ke-3 nya ini memang yang paling dekat dengannya, anak yang nakal tapi Bapak selalu percaya padanya kalau ia adalah anak yang baik, penurut dan cerdas. Bapak yang sudah mengetahui kalau penyakitnya ini sudah sangat sulit di sembuhkan, akhirnya menyerah dan minta untuk di pulangkan ke rumah nenek. Keinginan Bapak ini adalah keinginan terakhirnya.

Sehari setelah rawat jalan, kesehatan Bapak tambah drop. Mama makin pasrah dan hanya bisa berdoa yang terbaik buat suaminya. Kalau memang umurnya hanya sampai di sini saja, semoga sakratul mautnya dilancarkan tanpa ada kesusahan.

“Pa, Bapak sudah liat ada yang datang jemput belum?” tanya mamaku pada Bapak. Mama menahan air matanya saat bertanya demikian kepada suami yang sangat ia cintai. Konon kalau orang yang akan meninggal akan melihat ada yang akan menjemputnya untuk menghadap sang Khaliq.

Bapak hanya mengangguk. Bapak menggenggam tangan Mama yang ada di sampingnya dan tersenyum. Pecahlah tangisan Mama saat itu. Tangisan yang sudah tidak bisa dibendung lagi.

Asyhadu an-laa ilaaha illallaah Wa asyhadu anna Muhammadan rasuulullaah,” Mama mengucapkan 2 kalimat sahadat di telinga Bapak. Mata Bapak pun ikut terpejam dan tangan genggamannya terlepas dari tangan Mama. Hingga akhirnya Bapak dengan tenang pergi menghadap sang Khaliq untuk selama-lamanya. Aku yang melihat kejadian tersebut masih kebingungan. Aku belum percaya kalau Bapak sudah meninggal. Disaat Mama menangis, semua kakakku pun menangis. Ke-3 kakakku mungkin sudah paham dengan kejadian hari itu. Sangat berbeda denganku. Aku sebenarnya tidak paham dengan apa yang telah aku saksikan. Ketika orang-orang berdatangan dan menangis serta Bapak yang sudah dililit dengan kain kafan dan tertidur tanpa gerakan apapun. Aku pun hanya berpikir kalau Bapak hanya tidur dan akan bangun lagi. Pikirku ini adalah lelucon yang paling menakutkan.

Aku pun mendekati Mama yang sedang menangis di samping jenazah Bapak.

“Ma, kenapa ramai sekali ini rumah?” Aku duduk di samping jenazah Bapak sambil melihat orang-orang yang berdatangan.

“Pa, bangun, Pa. Ganti bajunya. Jangan pakai kain putih begini. Saya takut, Pa…” aku menggerak-gerakan badan Bapak yang kaku. Wajah Bapak tampak bersih sekali. Putih pucat. Mama memelukku erat dan menangis. Aku pun makin bingung.

“Bapakmu sudah tidak ada, Nak,” air mata mamaku benar-benar tumpah. Hari itu aku berpikir Bapak hanya tidur sesaat dan akan bangun kembali.

“Tidak ada bagaimana Mama ini? Ini Bapak masih tidur, Ih, Mama ini bagaimana? Jelas-jelas Bapak ini masih tidur,” aku mulai panik dan menangis saat Mama berkata demikian. Aku mengelak tak terima atas pernyataan Mama.

“Bapakmu sudah tidak ada, Nak,” Mama mengulang kata-kata itu lagi dan tetap menangis.

Aku mulai benar-benar paham ketika Bapak mulai dimasukkan ke keranda jenazah. Tangisanku pun pecah  sejadi-jadinya.

“Jangan masukkan Bapakku ke tempat itu!” aku menangis histeris, teriak melarang orang yang sudah mulai menggotong Bapak menuju tempat peristirahatan terakhirnya.

Aku melihat semua orang hanya menangis. Aku melihat ke Zura dan Iman yang ikut membaca Alquran serta Salim yang hanya menangis di pojok pintu. Salim pun seakan tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Hingga akhirnya Bapak dimakamkan di daerah pemakaman daerah Batulo.

***

Mama tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan setelah kepergian Bapak karena itu permintaan almarhum Bapak saat masih hidup. Hingga Mama memutuskan untuk pindah kembali ke rumah kami yang sudah lama kosong dan tak terurus. Disinilah awal kami membangun keluarga kecil tanpa seorang kepala keluarga. Kini tugas Bapak digantikan oleh mama untuk menjadi tulang punggung keluarga. Mama sang pejuang dari keluarga kecil kami.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • iinazlah

    Mantaap

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • enhaac

    @dede_pratiwi

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • dede_pratiwi

    Wah ceritanya keren. Setting dan penokohanya kuat. Fighting...

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • mubarok

    @Nhana nice

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • mubarok

    Mantap. its totally different.
    easy to read. easy too understanding
    enak di baca. alur cerita ok

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • yurriansan

    Suka ????

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • Kang_Isa

    Halo, Indy. Ceritanya cukup menarik. Cuma di narasi awal, kayaknya kepanjangan. Bisa dipadatakn lagi. Untuk tahap pengenalan awal tokoh, memang bagus dengan narasi seperti itu. Hanya alangkah baiknya enggak terlalu melebar dari awal pengenalan tokoh. Kalau dari segi tanda baca, sudah bagus. Alur dan plotnya juga dapet. Itu aja dariku, ya. Salam semangat.

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • desioctav

    Ceritanya oke, bisa ngebawa pembacanya masuk ke cerita tersebut jadi kaya ngebayangin situasinya hehehehe
    Bahasanya juga gampang di ngerti . Semoga bisa jadi penulis terkenal yaaa....

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • Nhana

    So sad..
    Jdi inget teman kuliah aku dulu, yg dari kecil udh ditggal Bapakx pergi ke surga.
    Mamanya tegar bget besarin anak2x..
    Miss u teman seperjuangan, salam syg buat mama disana.

    Comment on chapter Surat untuk belahan jiwa ibuku
Similar Tags
Sebuah Penantian
2573      896     4     
Romance
Chaca ferdiansyah cewe yang tegar tapi jauh didalam lubuk hatinya tersimpan begitu banyak luka. Dia tidak pernah pacaran tapi dia memendam sebuah rasa,perasaanya hanya ia pendam tanpa seorangpun yang tau. Pikirnya buat apa orang lain tau sebuah kisah kepedihan.Dulu dia pernah mencintai seseorang sangat dalam tapi seseorang yang dicintainya itu menjadi milik orang lain. Muh.Alfandi seorang dokt...
CALISTA
344      273     0     
Fantasy
Semua tentang kehidupan Calista, yang tidak hanya berisi pahit dan manis. Terdapat banyak rasa yang tercampur di dalamnya. Ini adalah kisah dimana seorang Calista yang mendapatkan pengkhianatan dari seorang sahabat, dan seorang kekasih. Disaat Calista berusaha menyelesaikan satu masalah, pasti masalah lain datang. Akankah Calista dapat menyelesaikan semua masalah yang datang padanya?
With you ~ lost in singapura
418      289     2     
Fan Fiction
Chaeyeon, seorang siswi SMA yang sangat berani untuk pergi menyusul Tae-joon di Paris. Chanyeol, seorang idol muda yang tengah terlibat dalam sebuah skandal. Bagaimana jika kedua manusia itu dipertemukan oleh sebuah takdir?
Nafas Mimpi yang Nyata
282      228     0     
Romance
Keinginan yang dulu hanya sebatas mimpi. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar mimpi. Dan akhirnya mimpi yang diinginkan menjadi nyata. Karna dengan Usaha dan Berdoa semua yang diinginkan akan tercapai.
Bukan kepribadian ganda
9471      1835     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
DanuSA
31694      4840     13     
Romance
Sabina, tidak ingin jatuh cinta. Apa itu cinta? Baginya cinta itu hanya omong kosong belaka. Emang sih awalnya manis, tapi ujung-ujungnya nyakitin. Cowok? Mahkluk yang paling dia benci tentu saja. Mereka akar dari semua masalah. Masalalu kelam yang ditinggalkan sang papa kepada mama dan dirinya membuat Sabina enggan membuka diri. Dia memilih menjadi dingin dan tidak pernah bicara. Semua orang ...
F I R D A U S
737      489     0     
Fantasy
Loading 98%
648      396     4     
Romance
Panggil Namaku!
8662      2219     4     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
Balada Cinta Balado
15821      3175     19     
Humor
"Hidup atau dilahirkan memang bukan pilihan kita, tapi dalam HIDUP KITA HARUS MEMILIKI PILIHAN". Mungkin itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kehidupanku sekarang ini. Kehidupan yang sangat Liar Binasa menyedihkan. Aku sering dijadikan bahan bertema kehidupan oleh teman dan juga keluargaku sendiri. Aku tidak pernah menyangka rencana kehidupanku yang sudah disiapkan dengan ...