Loading...
Logo TinLit
Read Story - THE LIGHT OF TEARS
MENU
About Us  

BAB 2

Pelabuhan Yang Tepat

        

Jodoh tak akan lari kemana. Karena ia tahu kemana harus bersandar ke pelabuhan yang tepat. Jodoh takkan pernah tertukar, karena Allah sudah mengatur sedemikian indahnya. Hidup itu ditakdirkan untuk berpasang-pasangan, “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita.”(QS an-Najm:45). Seperti sumpit yang takkan pernah bisa digunakan sesuai fungsinya tanpa pasangannya, seperti sendal yang takkan memiliki makna tanpa pasangannya. Memang seperti itulah kodratnya.

Setelah menikah Adam membawa istrinya, Sari, ke Baubau. Mereka mengarungi bahtera rumah tangga di tempat kelahiran Adam. Kebahagiaan selalu menyelimuti pasangan suami-istri ini hingga pelengkap kebahagiaan itu hadir. Empat malaikat kecil hadir di tengah-tengah mereka. Titipan Allah yang paling sempurna. Iman, Zura, Salim panggilan kecilnya La Bau, bukan karena dia bau busuk atau bukan pula karena mereka tinggal di Baubau hingga nama Salim pun ikut-ikutan dipanggil “Bau”, namun karena saat dia lahir. Iman memanggilnya adek baru. Saat itu lidah Iman belum nyampe untuk mengucapkan kata “R”, maka jadilah nama “Bau” itu melekat pada nama Salim sampai saat ini. Anak ke-4 adalah Dini yang menjadi anak bontot dari pasangan Adam Sari. Dan itu aku. Yah, benar. Aku adalah anak ke-4 dari pasangan yang dari awal sudah ku bahas sejak tadi. Sebagian besar orang Baubau, biasanya menggunakan “La” untuk panggilan anak laki-laki di depan namanya, sedangkan “Wa” untuk panggilan seorang wanita yang diletakkan di depan nama.

Beda usia kami hanya berjarak masing-masing setahun kecuali aku dan Salim selang 2 tahun. Ternyata mamaku subur sekali atau memang bapakku yang pejantan tangguh. Sungguh luar biasa mantap. Kami seperti anak tangga yang disusun secara rapi dengan menggunakan keramik Milan yang begitu indah. Bagaimana tidak, untuk urutan gender saja, urutan kami selang seling, nampak seperti papan catur. Sungguh unik. Waktu terus berputar dan kebahagiaan makin menyelimuti keluarga kami. Sejak kecil kami tinggal di rumah nenek (ibu dari Bapak) hingga usiaku satu tahun. Hampir 5 tahun mama dan bapak tinggal bersama nenek. Sejak awal Bapak dan Mama menikah, mereka sudah nyicil membangun rumah sederhana di daerah Betoambari (nama salah satu jalan yang berada di Kota Baubau). Namun, diusia pernikahan ke 5 tahun Bapak dan Mama baru bisa menyelesaikan pembangunan rumah. Bapak berniat membangun rumah tangganya dengan tinggal di rumah yang dibangun dengan hasil keringat bersama istrinya. Walaupun rumah yang dibangun sederhana, tapi rumah kami penuh cinta.

Rumah yang memiliki 5 kamar tidur sempit. Ruang tamu imut, ruang tengah sealakadarnya, dapur sepetak kecil, ruang makan hanya muat untuk meja makan kecil beserta 5 tempat duduknya yang dikelilingi oleh tembok batako yang belum diplester dengan baik, serta pekarangan rumah yang cukup luas untuk digunakan bermain Tradisional Ase atau permainan yang lebih dikenal dengan nama gobak sodor. Rumah kami berpetak-petak, walau kecil, namun setiap ruangan ada fungsi dan namanya. Ya, ala-ala rumah gedongan gagal total lah, namun di rumah ini menjadi bagian dari saksi kebahagiaan keluarga kecil kami.

Kebahagiaan makin terpancar dan tercurah dalam kehidupan kami. Keluarga yang selalu menghabiskan waktu bersama setelah Bapak dan Mama pulang dari mengajar. Keluarga yang dibangun dengan kerja keras dan cinta. Bapak sosok kepala rumah tangga yang sangat disiplin. Sosok pemimpin yang sangat tegas dalam keluarganya. Sosok yang mencintai wanitanya dengan sangat tulus. Sosok yang mencintai anak-anaknya dengan kesempurnaan. Beliau memang sangat keras kalau sudah menyangkut perkara pendidikan. Namun, ia benar-benar menumpahkan segala kasih sayangnya untuk keluarga kecilnya. Bapak mendidik anak-anaknya untuk selalu menjadi anak yang mandiri, cerdas dan saling tolong menolong.

Saat Iman dan Zura menginjak usia prasekolah SD, Bapak selalu mengajari mereka membaca, berhitung, dan menulis sebelum menginjakkan kaki di bangku SD. Jadi,saat SD ke dua kakakku sudah dibekali ilmu dalam menulis, berhitung, serta membaca. Semua itu tak mudah untuk didapatkan. Tiap hari beliau mengajari anak-anaknya yang akan siap diterjunkan ke bangku SD.

“Apa itu yang kalian nonton, Nak?” Bapak melayangkan tepukan di bahu Iman.

“Doraemon, Pak…” jawabnya.

Minggu pagi, disaat matahari mulai mengeluarkan cahaya teriknya, kami sudah berkumpul di depan TV. Formasi kami lengkap. 4 bersaudara yang selalu bersama-sama. Tontonan yang paling kami gemari saat itu adalah Doraemon. Kartun yang sangat menggemaskan. Dengan kantung dan pintu ajaibnya, semua hidup seakan terasa mudah. Nobita benar-benar beruntung memiliki Doraemon. Apapun yang diinginkan bisa dengan mudah didapat. Semua bisa diraih melalui kantung ajaib. Tapi, jangan terlalu bermimpi. Di dunia nyata, itu takkan pernah terjadi. Ini cuman skenario kartun. Hanya fiksi belaka. Jika kau ingin mendapatkan sesuatu, bekerja keraslah dengan sungguh-sungguh, karena usahamu tidak akan pernah menghianati hasil. Jika kerikil maupun batu besar menghalangi jalanmu,  jangan pernah berfikir untuk mundur. Tapi, tetaplah berfikir kalau halangan itu hanyalah udara yang bisa kau tembus. Terus langkahkan kakimu. Jangan pernah mundur walau selangkah. Itu pesan bapakku yang seakan menampar keras kami untuk selalu berupaya dan bersungguh-sungguh dalam menjemput nikmat-Nya.

Layar TV hitam putih Merk Lincoln 20inc sudah cukup bikin kami senang seperti sedang nonton bioskop beralaskan semen berkarpet plastik motif kotak-kotak.

“Kalau sudah selesai, nanti Wa Zura dengan La Iman, mulai belajar sama Bapak, ya… Bapak sudah siapkan papan tulis sama meja kecil kalian di depan. Bapak tunggu di ruang tamu,” Bapak bergegas meninggalkan kami yang sedang asyik menonton.

“La..la…la… aku sayang sekali… Doraemon…”

Lagu penutup kartun robot kucing yang datang dari abad ke-22 yang sangat suka dengan makanan Dorayaki itu membubarkan kami.

“Kira-kira kita mau diajarin apa, ya?” tanya Zura ke Iman. Mereka seraya berbisik dengan suara yang sangat amat pelan, seakan-akan ada pengintai yang ingin mendengar percakapan mereka. 2 sampai 3 menit, mereka masih tetap menduga-duga apa yang ingin diajarkan bapak untuk ke-2 anaknya itu.

“Iman… Zura… sudah belum nontonnya? Ayoo, ke sini,” terdengar suara laki-laki yang mewariskan rambut lepeknya ke Salim, anak ke-3 nya.

Zura dan Iman berlari kecil menghampiri Bapak. Mereka mengambil formasi baru. Pagi itu jadwal kegitan mereka mulai diatur, mulai padat merayap. Jadwal mereka tak kalah dengan jadwal para petinggi negara, tak kalah pula dengan para penyanyi yang sedang melakukan persiapan latihan vokal untuk mengadakan konser tunggal. Diusia mereka yang masih duduk di bangku TK, mereka sudah memiliki jadwal yang harus dipatuhi. Kini waktunya mereka berkonsentrasi dengan angka dan huruf. Hari pertama mereka akan diajarkan membaca. Di meja kecil yang terbuat dari kayu lapuk itu, sudah ada buku dan pensil yang telah diruncing tajam seperti jarum milik mama yang sering digunakan saat menjahit baju kami yang sobek. Kini juga sudah tertata rapi papan tulis hitam kecil berukuran 60cmx90cm yang berada persis di depan 2 anak bersaudara itu.

“Kalau begitu sekarang kita mulai belajar, ya.. kita belajar pelan-pelan saja. Yang penting, sebelum masuk SD, kalian harus sudah bisa baca, nulis, dan menghitung, Bapak ingin kalian sudah siap nantinya untuk dilepas ke bangku sekolah. Ini khusus untuk La Iman yang sebentar lagi akan masuk SD. Kalo Wa Zura, ikuti saja untuk bekal ilmunya juga. Angka dan huruf sudah kalian kenali, kan? " Bapak mulai menggebu-gebu.. 

"Sekarang saatnya bermain dengan angka dan huruf yang disatuin hingga menjadi kata sampai kalimat yang baik.”

Bapak menjelaskan panjang kali lebar maksud dari mengumpulkan anak pertama dan keduanya. Mereka menyimak dengan seksama penjelasan Bapak sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Entah bingung, entah paham, atau entah ingin melambaikan tangan karena tidak sanggup menjalani private study ini? Entahlah. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

Bapak menuliskan huruf-huruf di atas papan tulis hitam menggunakan kapur putih. Bapak mulai mengulang kembali ingatan anak-anaknya tentang huruf A sampai Z.

Aku tau persis bagaimana cara Bapak mengajari kakakku membaca, berhitung, dan menulis. Mempersiapkan anaknya untuk terjun dalam dunia pendidikan. Jika belum bisa baca, hitung, dan menulis, anak-anaknya tidak akan pernah dimasukkan ke SD. Jadi, jangan berangan-angan terlalu tinggi. Jika kami tidak bisa membaca, kami tidak akan pernah mencicipi rasanya duduk di bangku SD. Tapi, itu hanya berlaku di dalam keluarga kami. Pantang bagi Bapak untuk menyekolahkan anak tanpa bekal 3M. 3M yang dimaksud di sini bukan untuk mencegah demam berdarah dengan menutup, menguras, dan menimbun. Tapi, ini adalah (menulis, membaca, dan menghitung). Ini tugas berat. Anak usia  yang akan memasuki 5 tahun dan 6 tahun harus dicekokin makanan 3M hampir setiap harinya.

Secara bergantian Iman dan Zura diajak untuk berpikir, mengingat, dan mengamalkan semua jenis huruf dan angka. Banyaknya abjad itu harus menjadi teman sepermainan mereka. Usia mereka hanya selisih 1 tahun. Jadi, saat Iman akan dimasukkan ke SD, Zura juga sudah akan dipersiapkan Bapak untuk masuk SD.

Hampir tiap hari jadwal pelajaran private yang diajarkan Bapak pada mereka. Angka dan huruf selalu membuat mereka mual pengen muntah. Bagaimana tidak? Makanan tiap hari mereka adalah belajar dan belajar. Angka dan huruf itu seakan-akan menari di atas kepala mereka saat pelajaran private berlangsung. Angka dan huruf  itu seperti sedang memperolok-olok mereka karena mereka akan selalu kenyang dengan sajian tulisan-tulisan di papan tulis.

Membaca, menulis, dan menghitung. Rutinitas yang dilakoni mereka saat Iman akan menginjak bangku SD dalam 2 bulan kedepan. Sikap dan didikan bapak membuat mereka berusaha lebih keras terkhusus untuk Iman. Ini seperti latihan militer. Berat sekali. Diasah otaknya sejak kecil untuk mampu mempersiapkan diri saat masuk sekolah nanti. Bagai pisau tumpul yang diasah tiap hari hingga tajam, begitu pula otak yang masih fresh, diasah tiap hari yang akhirnya akan menjadi otak yang tajam dipenuhi dengan ilmu yang bermanfaat.

Bapak mengajari mereka dengan sangat sungguh-sungguh. Didikan yang diberikan untuk mempersiapkan anaknya masuk SD, seperti mengajari para aparat TNI dengan berbagai aturan dan ketegasan untuk menjadi aparat yang tangguh.

1 minggu, 2 minggu, 3 minggu berjalan tanpa ada halangan. Mereka bisa melewati pelajaran private yang diberikan Bapak dengan mulus, seperti jalan tol tanpa ada kata macet. Target Bapak, setidaknya anak-anaknya dapat membaca, menulis, dan menghitung, walaupun tidak begitu mahir. Bapak paham bagaimana kemampuan anak usia prasekolah dalam mencerna setiap pelajaran yang diberikannya. Mereka tak begitu dipaksakan dan tak begitu ditekan, namun mereka tak diizinkan pula untuk terlalu bersantai dan menganggap remeh. Tidak terasa memasuki minggu ke-4 pelajaran itu berlangsung. Iman dan Zura mulai jenuh dengan pelajaran yang mengharuskan mereka untuk tiap hari belajar dan belajar. Waktu bermain di luar rumah jadi sangat terbatas karena dipakai untuk berkenalan terus menerus dengan huruf dan angka yg makin hari makin memuakkan. Pelajaran yang sangat membosankan dan menguras pikiran. Saat itu kejenuhan yang mereka rasakan.

Suatu ketika Iman dan Zura bleng saat disodori soal membaca kalimat. Mereka lupa dengan apa yang mereka telah pelajari. Alhasil, kemarahan Bapak yang mereka dapatkan. Saat Bapak marah, memang begitu menakutkan. Suaranya keras, matanya tajam mencekam, namun ia tak pernah menggunakan kata-kata kasar pada kami. Ia tak pernah memukul kami. Kami paham sekali bagaimana karakter Bapak jika sedang mengajar. Ia bisa berubah jadi singa yang sedang mengaung namun tak pernah menerkam. Pribadinya sangat berbeda disaat ia sedang bercanda gurau dengan kami. Bapak menjadi sangat menyeramkan disaat mendidik kami. Tak ada yang salah dari semua yang Bapak ajarkan, karena kami paham itu semua demi kepentingan anak-anaknya.

“Bapak tidak ingin kalian kelak menjadi anak yang manja dan tidak peduli terhadap pendidikan. Bapak tak ingin kalian buta sama ilmu. Ingatlah, Nak, perkataan Rasulullah:

Ilmu adalah warisan para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan emas ataupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka telah mengambil bagian yang banyak.”(Shahihul Jami al-Albani: 6297) Bapak memang selalu berkata sesuai dengan sumber yang terpercaya.

Iman dan Zura seakan tersihir dengan kata-kata Bapak. Kata-kata yang mencambuk lebih keras semangat mereka untuk menaklukkan ilmu dan menjadikan ilmu sebagai sahabat terbaiknya. Iman dan Zura kini makin berusaha untuk tekun belajar karena mereka tak ingin mengecewakan Bapak. Bapak sudah berusaha sekuat tenaga meluangkan banyak waktu untuk mengajar kami, padahal kami tahu persis kalau Bapak selalu lelah saat pulang mengajar. Kami tak punya apapun untuk dibanggakan kecuali ilmu yang bermanfaat yang dimulai sejak kecil. Tak lupa pelajaran agama dan cerita Nabi yang selalu diajarkan kepada kami adalah ilmu dasar yang kami dapatkan untuk menjadi makhluk Allah yang harus selalu bersyukur apapun kondisinya. Kini Iman dan Zura tak perlu disuruh untuk memulai belajar. Kesadaran diri mereka akan pentingnya pendidikan sudah merasuk. Mereka berjuang lebih dari anak-anak sepermainan kami yang lain. Awalnya memang berat, tapi kami sadar, hidup itu punya porsinya masing-masing.

Usia kami memang usia bermain. Namun, kami tak ingin rasa malas kami untuk belajar menghantui kami disaat semuanya sudah terlambat. Disaat orang lain berlari dengan kencang, kami tak ingin bergerak lambat selayaknya kura-kura. Setelah Iman dan Zura lulus private Bapak, mereka nampak sangat bangga sekali dengan diri mereka masing-masing. Selama mereka belajar private, mereka memang selalu disibukkan dengan jadwal yang begitu padat. Jadwal bermainpun jadi sedikit, namun bukan berarti mereka tak ada waktu untuk bermain bersama teman-teman sepermainannya. Kami sekeluarga pun hampir tiap hari tak melewatkan waktu untuk berkumpul bersama. Bapak selalu menyajikan cerita-cerita menarik untuk kami.

Satu persatu, Iman dan Zura mulai masuk SD. Yang pertama Iman kemudian disusul oleh Zura yang dimasukkan ke SDN1 Lamangga yang jaraknya dekat dengan rumah. Jarak yang ditempuh hanya sekitar 5-10 menit untuk dapat sampai ke sekolah dengan berjalan kaki.

Salim memang berbeda dengan kami bertiga. Dari segi otak dia memang yang tercerdas dan dari segi prilaku pun dia yang paling berani dari kami. Otaknya memang cepat meresap apa yang telah ia dengar. Salim memang sering melihat saat Iman dan Zura diberi private study berhitung, menulis, dan membaca oleh Bapak. Jadi, saat Salim masuk TK, ia nampak sangat berbeda dari anak-anak seusianya. Salim sudah pandai membaca. Beda cerita dengan kakakku, Iman dan Zura yang diajari berulang-ulang baru mahir. Jadi, tidak heran kalau Salim merupakan anak kebanggaan Bapak walaupun sebenarnya Bapak sering memarahi Salim karena suka mengganggu anak-anak tetangga sampai menangis. Namun, rasa sayang Bapak untuk anaknya yang satu ini memang sangat besar. Walaupun Bapak tidak pernah membeda-bedakan kami sebagai anaknya, namun sangat terasa cinta Bapak untuk Salim berlebih. Mungkin karena ia yang paling peka terhadap Bapak. Saat Bapak pulang kerja, ia yang paling pertama menyambut kedatangannya dan yang paling depan maju untuk mengambil tas kantor miliknya serta melepas sepatunya. Ia memang sangat pandai mengambil hati.

Setiap Bapak duduk santai di depan TV, hanya Salim yang langsung mengambil lengan Bapak untuk dipijit. Dengan tangan mungilnya, dipijatnya lengan Bapak yang sangat keras itu. Bagaimana tidak, tangannya begitu sangat berjasa menghidupi kami sekeluarga. Membanting tulang demi kebahagiaan kami.

“Bapak capek, kah? Saya pijit, e? Biar enak sedikit badan ta,” ucap anak yang rambutnya mirip sekali dengan Bapak. Ikal dan lepek. (Badan ta*) = badanmu, memiliki arti yang halus jika dipergunakan untuk orang yang lebih tua dari kita. Dengan muka polos dan lugu, diurutnya lengan Bapak yang tidak muat digenggam oleh tangan kecilnya. Tangan Bapak yang sangat lelah mencari nafkah untuk kami ini diurut dengan penuh rasa hormat seorang Salim pada kepala keluarga yang sangat kami banggakan itu. Memanjakan bapak dengan penuh kepolosannya, menatap tiap kerutan yang kini sudah mulai muncul menghiasi wajah Bapak, meraba dan menggenggam tangannya yang kasar dan keras karena sudah banyak pekerjaan berat yang dihasilkan oleh tangannya. Walaupun Salim sering mengganggu tetangga lain, namun ia sangat menyayangi dan sangat takut kalau melihat Bapak marah padanya.

Kasih sayang yang sangat terpancar dari seorang anak yang akan menginjak usia 6 tahun itu terhadap laki-laki yang sudah menghidupi kami sekeluarga. Terus memijat lengan, bahu sampai Bapak tertidur lelap di kursi yang terbuat dari bambu yang berada tepat di depan TV, milik keluarga kami. Dipandanginya laki-laki hebat itu dengan penuh rasa bangga. Nampak jelas kelelahan di wajahnya setelah pulang mengajar, membagikan ilmu yang dimilikinya untuk para murid yang sangat dikasihinya. Salim menatap dalam wajah Bapak yang terlelap tidur di kursi. Dengan penuh semangat kobaran jiwa seorang anak belia muncul. Kobaran dan impian membara di dalam dadanya untuk membanggakan keluarga dan kelak akan menjadi manusia sejati yang mampu membakar seluruh ketakutan tantangan dunia yang akan dihadapinya.

***

Anak yang paling unik dari keluarga kami adalah Salim. Anak cerdas, dan keingintahuannya besar walaupun agak nakal. Dimulai dari memiliki keinginan untuk merubah kehidupannya menjadi jauh lebih baik untuk masa depannya kelak.

Senin pagi itu hari baru baginya, mungkin akan menjadi hari besar juga untuknya. Hari dimana dia akan dimasukkan sekolah SD oleh Bapak karena sudah dianggap layak untuk masuk SD. Usianya saat itu sudah menginjak 6 tahun. Kala itu masih pukul 05.00. Kicauan burung dan ayam yang berkokok dipagi hari membuat nuansa pagi begitu nyaman. Keadaan luar rumah masih cukup gelap. Dinginnya hembusan udara pagi masih sangat merasuk tubuh untuk tetap memanjakan diri di kasur. Tapi, hari itu kobaran tekad Salim dihari pertama sekolahnya sangat membara. Keinginan yang besar dari anak usia 6 tahun ini untuk menggapai ilmu setinggi-tingginya. Ia pun selalu ingat perkataan Bapak, “Orang yang memiliki ilmu akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi.

Disaat orang-orang masih tertidur lelap, Salim sudah segar membasuh tubuhnya dengan air yang dinginnya bikin bulu kuduk merinding. Mengambil baju di lemari yang sudah dipersiapkan Mama semalam dan langsung mengenakannya. Dengan seragam rapi dan tas yang sudah berisikan buku dan pensil kelengkapan sekolahnya, Salim duduk di kursi ruang tamu menunggu waktunya menjadi warga SDN 1 Lamangga. Untuknya waktu seakan begitu lambat berjalan hari itu. Ia sudah tak sabar lagi. Mama dan Bapak yang bangun langsung tercenang melihat semangat anak ketiganya pagi itu.

“Lihatlah semangat anakmu, Pak… Ia persis sepertimu,” Mama tersenyum melihat Salim yang begitu antusias. Zura dan Iman sudah bangun. Mama pun telah kelar menyediakan sarapan pagi buat kami. Tak pernah ketinggalan tuli-tuli dan sambal khas buatan Mama serta teh yang tak terlalu manis untuk Bapak. Tuli-tuli adalah makanan kesukaan bapak. Makanan yang terbuat dari singkong berbentuk angka 8 yang di sajikan dengan di goreng. 

Bapak siap dengan seragam cokelat kebangsaannya untuk mengajar begitu pula Mama. Sedangkan Iman dan Zura dengan seragam putih merahnya sudah siap juga untuk berangkat sekolah. Mereka duduk mengambil posisi kursi untuk menyantap sarapan bersama pagi itu. Salim yang dari pagi menunggu,  sudah standby di depan ruang tamu.

“Bau, sini, Nak. Makan dulu baru kesekolah. Ada bubur kesukaanmu ini,” suara Mama memanggil Salim dari meja makan. Kami memang pecinta bubur santan buatan Mama. Jarang-jarang kami makan bubur campur santan karena mencari santannya saja harus ke pasar Maweo yang jaraknya ± 7km dengan menggunakan angkot. Jadi, kalau Mama sudah membuat bubur bersantan ini, kami seakan melihat berlian yang siap untuk diperebutkan. Salim menghampiri kami yang sudah duduk rapi di meja makan. Dengan seragam merah putih dan tas ransel bergambar robot transformer yang tidak ingin dilepaskan dari bahunya. Ia makan dengan sangat sergap.

“Ayo, Pak… antar mi saya ke sekolah, saya sudah selesai makan!” ajak Salim pada Bapak. Ia bicara namun tak begitu jelas artikulasinya, sebab mulutnya masih terbungkam dengan makanan yang penuh dalam mulutnya.

“Telan dulu makanan dimulutmu La Bau e. Itu juga sisa bubur di samping mulutmu belepotan sekali. Mau kau simpan untuk besokkah itu sisa nasi?” celetuk Iman. Kami tertawa dengan nyaring. Namun, tatapan mata Bapak pada kami membuat kami diam seketika. Bapak tak suka melihat kami memperolok Salim. Kami hanya bisa menahan tawa dengan tangan yang berada tepat di mulut. Salim tak marah. Ia tetap menebarkan senyumnya. Ia tak ingin merusak mood yang ia sudah tanam sejak bangun pagi tadi, karena ia sangat ingin cepat-cepat bersekolah seperti ke-2 kakak kami.

Iman dan Zura pun berpamitan untuk ke sekolah karena pagi itu sudah menunjukkan pukul 06.35, sedangkan Bapak berangkat ke sekolah untuk mengikuti apel pagi dengan menggunakan motor. Sebelum mengantarkan Salim, Bapak mampir ke sekolahnya untuk mengikuti upacara dan apel pagi. Salim pun diajak ke sekolah oleh Bapak. Saat Bapak mengikuti upacara pagi, Salim diperintahkan untuk duduk di bangku halaman sekolah agar Bapak bisa memantaunya walau dari kejauhan. Mama yang mengajar pagi pun siap untuk berangkat kerja dan membawaku ikut dengannya karena di rumah tidak ada yang menjagaku. Hampir setiap pagi begitulah pemandangan aktivitas di dalam rumah kami setiap harinya. Walau aku ikut dengan Mama, aku sudah tahu diri sejak kecil. Aku tak pernah menangis dan tidak pernah mengganggu saat mama lagi mengajar.

Lokasi sekolah Mama dengan Bapak berlawanan arah, namun Bapak selalu menyempatkan diri untuk mengantar mama terlebih dulu ke SMK 1 Negeri Kota Baubau, tempat Mama mengajar, sedangkan Bapak mengajar di SMAN 2 Kota Baubau. Namun, jika Bapak sama sekali tidak sempat, Mama biasanya naik mikrolet maupun ojek untuk dapat sampai ke sekolah tempatnya mengajar. Setelah Bapak mengikuti upacara dan apel pagi, Bapak bermaksud meminta izin kepada kepala sekolahnya untuk mengantarkan Salim dihari pertama sekolahnya. Sekolah yang terlebih dahulu menjadi tempat kedua kakakku menimbah ilmu.

Senin ditahun 1993. Pukul 08.30, pagi itu Bapak mengantarkan Salim ke SDN 1 Lamangga dengan mengendarai motor Kawasaki KZ 200 atau biasa disebut Binter Merzy. Pada eranya, motor sport ini sangat digemari meskipun kepopulerannya masih kalah dengan Honda CB. Salim yang sangat percaya diri dan bangga karena mengenakan baju baru, tas baru, dan sepatu baru, sudah tidak sabar untuk tiba di sekolah yang sudah dipilihkan Bapak untuknya menggali ilmu dan mengasah kemampuan yang dimilikinya.

Sampai di SDN 1 Lamangga, Bapak menitipkan Salim pada gurunya, kemudian Bapak melanjutkan kewajibannya untuk kembali mengajar. Pertama kali Salim diperkenalkan dengan lingkungan baru tempatnya menggapai ilmu, Salim sangat excited pagi itu. Lingkungan baru yang menurutnya sangat asing tapi menarik. Disekelilingnya banyak anak seusianya yang sedang duduk di bangkunya masing-masing. Bangku kosong hanya ada di belakang dan itu adalah bangku yang akan selalu ditempati Salim selama ia berstatus kelas 1.

Hari itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.00. Bunyi bel sekolah terdengar dua kali pukulan, yang artinya waktu istirahat telah tiba.

“Bau!!!” terdengar suara dari tempat duduk paling depan. Itu suara Sam. Tetangga samping rumah kami yang ternyata satu kelas dengan Salim. Sam dan Salim rival di lingkungan rumah. Sam selalu menganggap Salim adalah saingan terberatnya dalam hal apapun. Sam selalu saja iri jika semua teman-teman komplek lebih memilih bermain bersama Salim walaupun Salim sering membuat anak-anak komplek menangis, namun Salim tipe teman yang sangat setia kawan. Ia selalu membantu dan membela temannya jika diganggu oleh anak lain. Namun, jika ia yang mengganggu, itu sah untuknya. Sungguh egois sekali. Salim selalu jadi ketua genk di dalam perkumpulannya dengan anak seangkatannya. Pernah suatu ketika, Salim begitu usil. Ia menyembunyikan sandal temannya di atas pohon mangga pendek belakang rumah kami. Ia menggantungkan sandal temannya pada ranting mangga. Hingga membuat temannya panik sampai menangis karena mengira sendalnya raib. Anak ini kelakuannya memang sering bikin teman-temannya kesel karena tingkahnya. Namun, tak ada yang pernah kapok bermain dengannya, sebab Salim memang hanya sekedar mengganggu tanpa main tangan.

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 2 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • iinazlah

    Mantaap

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • enhaac

    @dede_pratiwi

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • dede_pratiwi

    Wah ceritanya keren. Setting dan penokohanya kuat. Fighting...

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • mubarok

    @Nhana nice

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • mubarok

    Mantap. its totally different.
    easy to read. easy too understanding
    enak di baca. alur cerita ok

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • yurriansan

    Suka ????

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • Kang_Isa

    Halo, Indy. Ceritanya cukup menarik. Cuma di narasi awal, kayaknya kepanjangan. Bisa dipadatakn lagi. Untuk tahap pengenalan awal tokoh, memang bagus dengan narasi seperti itu. Hanya alangkah baiknya enggak terlalu melebar dari awal pengenalan tokoh. Kalau dari segi tanda baca, sudah bagus. Alur dan plotnya juga dapet. Itu aja dariku, ya. Salam semangat.

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • desioctav

    Ceritanya oke, bisa ngebawa pembacanya masuk ke cerita tersebut jadi kaya ngebayangin situasinya hehehehe
    Bahasanya juga gampang di ngerti . Semoga bisa jadi penulis terkenal yaaa....

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • Nhana

    So sad..
    Jdi inget teman kuliah aku dulu, yg dari kecil udh ditggal Bapakx pergi ke surga.
    Mamanya tegar bget besarin anak2x..
    Miss u teman seperjuangan, salam syg buat mama disana.

    Comment on chapter Surat untuk belahan jiwa ibuku
Similar Tags
My Noona
5734      1342     2     
Romance
Ini bukan cinta segitiga atau bahkan segi empat. Ini adalah garis linear. Kina memendam perasaan pada Gio, sahabat masa kecilnya. Sayangnya, Gio tergila-gila pada Freya, tetangga apartemennya yang 5 tahun lebih tua. Freya sendiri tak bisa melepaskan dirinya dari Brandon, pengacara mapan yang sudah 7 tahun dia pacariwalaupun Brandon sebenarnya tidak pernah menganggap Freya lebih dari kucing peliha...
Petrichor
4898      1577     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
ALVINO
4452      1973     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
Shinta
6097      1782     2     
Fantasy
Shinta pergi kota untuk hidup bersama manusia lainnya. ia mencoba mengenyam bangku sekolah, berbicara dengan manusia lain. sampai ikut merasakan perasaan orang lain.
NADI
5868      1572     2     
Mystery
Aqila, wanita berumur yang terjebak ke dalam lingkar pertemanan bersama Edwin, Adam, Wawan, Bimo, Haras, Zero, Rasti dan Rima. mereka ber-sembilan mengalami takdir yang memilukan hingga memilih mengakhiri kehidupan tetapi takut dengan kematian. Demi menyembunyikan diri dari kebenaran, Aqila bersembunyi dibalik rumah sakit jiwa. tibalah waktunya setiap rahasia harus diungkapkan, apa yang sebenarn...
Love Escape
9676      1862     3     
Romance
Konflik seorang wanita berstatus janda dengan keluarga dan masa lalunya. Masih adakah harapan untuk ia mengejar mimpi dan masa depannya?
Puisi yang Dititipkan
505      331     2     
Romance
Puisi salah satu sarana menyampaikan perasaan seseorang. Puisi itu indah. Meski perasaan seseorang tersebut terluka, puisi masih saja tetap indah.
Returned Flawed
257      207     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.
North Elf
2017      923     1     
Fantasy
Elvain, dunia para elf yang dibagi menjadi 4 kerajaan besar sesuai arah mata angin, Utara, Selatan, Barat, dan Timur . Aquilla Heniel adalah Putri Kedua Kerajaan Utara yang diasingkan selama 177 tahun. Setelah ia keluar dari pengasingan, ia menjadi buronan oleh keluarganya, dan membuatnya pergi di dunia manusia. Di sana, ia mengetahui bahwa elf sedang diburu. Apa yang akan terjadi? @avrillyx...
Aku Tidak Berlari
683      478     0     
Romance
Seorang lelaki memutuskan untuk keluar dari penjara yang ia buat sendiri. Penjara itu adalah rasa bersalahnya. Setelah bertahun-tahun ia pendam, akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan kesalahan yang ia buat semasa ia sekolah, terhadap seorang perempuan bernama Polyana, yang suatu hari tiba-tiba menghilang.