Geo memotong-motong tempe dalam diam. Duduk di lincak dekat dapur. Ditemani suara ribut dari ayam yang dipelihara Beni di sudut rumah. Ayam itu merupakan sejenis investasi bagi keluarga ini. Karena harga bahan makanan semakin mahal, ayam itu dapat dijual maupun ditukar dengan beras dan bahan makanan lain. Sampai sekarang pun, Geo harus rela makan makanan seadanya. Dia rindu makan steak dan burger keju favoritnya.
Angin semilir berhembus mengibarkan selimut yang sedang dijemur. Udara yang cerah sangat cocok untuk mengeringkan jemuran. Lincak berderak. Ada seseorang yang duduk di dekat Geo. Geo tidak mengangkat wajahnya. Dia tahu sosok orang yang baru saja duduk itu. Dia lebih memilih menatap tempenya. Memotong-motongnya menjadi beberapa bagian.
"Itu terlalu besar." Seseorang berkomentar. Alih-alih menoleh, Geo memperbaiki potongan tempenya yang memang terlihat lebih besar dari yang sebelumnya.
"Itu terlalu tipis." Seseorang berkomentar lagi.
"Iya tahu! Diam!" Geo mengangkat wajahnya dengan kesal. Diperhatikan seseorang sambil dikomentari itu sesuatu yang menyebalkan. Orang itu terkekeh. "Memangnya ini lucu?" Geo meledak. Orang itu sangat menyebalkan. Tingkahnya sangat tidak bisa diprediksi. Sedikit-sedikit marah kemudian meledek lalu tertawa mengejek. Seperti punya kepribadian ganda.
"Maaf," ucapnya. Wajahnya tertunduk.
"Apa?"
"Tadi pagi sepertinya saya sedikit kelewatan."
"Bukan sedikit tapi memang kelewatan!" Geo jadi sedikit terpancing. Menurutnya saat ini Beni sedang berakting. Pura-pura meminta maaf.
"Kamu ngajak ribut, ya? Nada suaramu harus begitu?" Beni tersinggung dengan nada suara Geo yang sedikit naik.
"Kalian tidak bisa tenang dalam sehari, ya?" Hasan tiba-tiba muncul di saat yang tepat sebelum sesuatu yang lebih parah terjadi.
"Oh, Mas Hasan! Mau ke mana kok sudah rapi?" Geo menyapa Hasan dengan nada riang. Senyumnya mengembang dan membuat Beni sedikit berdecih. Geo melirik tajam ke arah Beni, memperingatinya untuk tidak bersikap menjengkelkan lagi.
"Mau ke kota sebentar. Koordinasi dengan pasukan yang lain."
"Oh, aku boleh ikut?"
"Hei! Siapa yang mengizinkanmu berkeliaran? Kamu harus belajar masak! Saya tidak akan mentolerir kalau ada yang gosong lagi." Beni menyela dengan suara kerasnya. Geo masih menjadi tawanannya.
Geo melotot pada Beni. Suara kerasnya membuat Geo terpancing lagi. "Bukan aku! Dibilangin bukan aku masih aja menuduhku!"
"Sudah, deh, kalian! Saya pusing dengar kalian ribut begitu. Sudah, ya, saya duluan. Mari Pak Beni, Geo."
"Iya, Mas, hati-hati." Geo melambaikan tangannya dengan semangat. Beni memelototinya seakan tidak suka dengan apa yang Geo lakukan.
"Tunggu! Kenapa kamu memanggil Hasan, Mas, sedangkan memanggil saya Pak?"
"Mas Hasan juga memanggilmu Pak, apa masalahnya?"
"Rasanya aneh kalau kamu yang memanggil saya begitu. Memangnya saya bapakmu?" Nada suara Beni kembali menaik.
"Aku juga nggak mau punya bapak pemarah kayak kamu. Bikin sakit kepala!"
"Siapa juga yang mau punya anak seperti kamu!"
"Kamu nggak ada kerjaan lain selain gangguin aku? Pergi sana! Aku masih punya banyak kerjaan!"
"Iya, iya." Beni berdiri dan menghadap Geo. "Jangan tiba-tiba nangis lagi seperti tadi pagi. Wajahmu jadi jelek banget tahu." Beni menyeringai. Segala ucapan yang keluar dari mulut Beni selalu membuat Geo naik darah.
"Pergi sana!" Geo mengangkat kakinya bermaksud menendang Beni, tetapi Beni dengan refleksnya yang bagus berhasil menghindar. Alhasil Geo hanya menendang udara di sebelah Beni.
"Kamu itu perempuan. Bertingkahlah seperti perempuan!!" Beni memberikan seringaian terakhirnya sebelum benar-benar pergi. Geo menghentakkan kakinya ke tanah. Makhluk bernama Beni itu sangat menyebalkan. Geo sampai merasa heran. Orang pemarah seperti itu masih dihormati oleh seluruh desa hanya karena orang itu menjadi seorang pemuda pemimpin pejuang gerilya di desa Minggiran ini.
Geo masih membayangkan semua ini hanyalah ilusi. Bagaimana bisa dia kembali ke masa 69 tahun yang lalu ketika Belanda ingin kembali menguasai Indonesia dengan nama NICA. Kembali menancapkan taringnya di Bumi Ibu Pertiwi. Geo tidak ingat bagaimana awal mula Belanda ingin kembali menguasai Indonesia. Pengetahuan sejarahnya sangat minim. Itu karena sejarah adalah pelajaran yang paling tidak dia suka. Sebagain besar pengetahuan tentang sejarah menguap di dalam kepalanya sampai tidak ada yang tersisa.
Dulu, Geo bahkan tidak peduli kalau semua itu menguap dari kepalanya. Toh, apa gunanya sejarah dalam kehidupan nyata? Memangnya saat wawancara kerja akan ada pertanyaan seperti "Mengapa kami harus mempekerjakan anda? Padahal anda sangat tidak peduli pada sejarah." atau "Jelaskan lebih dulu bagaimana Belanda bisa pergi dari Indonesia dan setelah itu saya akan mempertimbangkan anda untuk bekerja di perusahaan kami."
Sangat mustahil akan ada yang menanyakan pertanyaan seperti itu. Jadi, menurut Geo, sejarah hanyalah pengetahuan tambahan yang dibiarkan menguap. Namun, sekarang, sepertinya dia menyesal telah melupakan sejarah itu. Setidaknya dia ingin tahu, apa yang akan terjadi di tahun 1949?
***
Seperti keyakinan awalnya. Geo benar-benar ikut bergabung dalam pasukan Beni. Menjadi satu-satunya anggota perempuan dan mendapat banyak sorotan. Setidaknya Geo harus berterimakasih pada keyakinannya karena dengan itu dirinya menjadi terkenal. Inilah jalan terkenal instan yang banyak dicari kaum milenial di zamannya. Geo tersenyum tipis. Menikmati kepopulerannya yang mungkin hanya bisa didapatnya hari ini. Banyak pasang mata yang mengamatinya dengan aneh tetapi Geo menikmati itu. Bagi Geo mereka semua tidak terlihat menatapnya aneh melainkan menatapnya dengan kagum. Geo menjadi over confidence dengan semua sorotan itu.
Seseorang berteriak di barisan depan. Orang-orang mulai mengalihkan tatapannya dan memperhatikan seseorang yang tengah berteriak di depan. Hasan memimpin barisan. Tidak banyak yang memiliki senjata. Orang-orang yang memiliki senjata mulai menyelipkannya di sela sarung mereka. Rencana kali ini adalah menggerebek gudang senjata musuh dan merampas sebagian besar senjata untuk bekal persenjataan pasukan.
Beni menarik Geo lebih dekat. Supaya dia tidak kehilangan Geo ditengah pasukan. Celana kebesaran yang diberikan Beni membuat tubuh Geo serasa tenggelam. Terlihat mungil di antara para pria yang berada di sekelilingnya. Geo menoleh dan menatap bagian samping wajah Beni. Entah bagaimana, di bawah cahaya lampu yang temaram, wajah Beni terlihat lebih menarik. Geo seperti melihat sisi lain dari Beni. Geo membelalakkan matanya menyadari pikiran anehnya. Beni menoleh ke arahnya dan Geo langsung mengalihkan tatapannya. Menyembunyikan wajahnya yang panas dan mencari sesuatu yang lain untuk diperhatikan. Beni hanya dapat mengerutkan alisnya melihat tingkah Geo yang aneh.
Geo merutuki dirinya sendiri. Beraninya dia berpikir Beni menarik. Dia memarahi dirinya untuk tidak boleh menyukai Beni. Karena menurut Geo, hal seperti itu tidak boleh terjadi di masa ini. Dia hanya perlu fokus pada penyerangan kali ini dan mungkin hari ini dia bisa kembali ke tahun 2018, tahun di mana dia berasal.
"Heh! Kamu tidak mendengarkan arahan Hasan, ya?" Suara Beni menghardik dari arah sampingnya. Bukannya Geo tidak mendengarkan hanya saja ada sesuatu yang mengganggunya.
"Apa?" Geo menoleh dan bertatapan mata dengan mata tajam Beni. Terkutuklah otak Geo karena sekarang pun dia masih sempat berpikir kalau Beni sangat tampan. Menghindari debaran jantungnya yang tiba-tiba saja jadi berisik, Geo mengalihkan tatapannya ke serangga yang terbang di atas Beni.
"Kamu ini benar-benar! Fokuslah! Atau mau saya bunuh saat ini juga?" Beni mengancam Geo dengan membentuk jarinya menjadi sebuah pistol dan menodongkan jari itu ke dahi Geo.
Seketika saja Geo menjadi sadar. Debaran jantungnya berhenti. Benar. Orang ini adalah orang yang sama yang sangat ingin membunuhnya karena masih menganggap Geo mata-mata. Geo kembali merutuki pikiran konyolnya. Sesaat tadi dia hampir jadi gila karena merasa Beni begitu menarik, tetapi sekarang akhirnya dia sadar bahwa semua itu hanya pikiran konyolnya yang tidak berdasar. Beni masih Beni. Pria kasar yang sangat berambisi untuk membunuhnya. Geo tertawa sendiri seperti orang gila. Pikiran konyolnya itu merusak suasana hatinya.
"Sekarang tertawa? Entah kamu ini gila atau bagaimana, sekarang saya jadi takut padamu!"
"Sudah, deh. Jangan menggangguku! Awasi saja aku! Kalau aku berbuat aneh-aneh tinggal tembak saja!"
"Ho, boleh juga semangatmu. Ayo berangkat! Semua orang sudah mulai bergerak."
Benar saja. Orang-orang mulai bergerak ke arah Utara. Terbagi dalam beberapa kelompok. Mengendap-endap di balik malam dengan tenang dan cekatan. Menyembunyikan berbagai senjata sambil menggenggam rencana yang sudah matang untuk menghancurkan gudang persenjataan milik Belanda.
Geo berada di kelompok terakhir. Barisan terakhir yang bertugas menjadi pengawas dalam rencana penyerangan kali ini. Semua orang yang berada di barisan ini adalah orang-orang yang memegang senjata api. Geo juga mendapat satu pucuk pistol. Beni sudah menjelaskan secara singkat bagaimana cara menggunakan senjata itu dan walaupun Geo belum seratus persen yakin bisa menggunakannya, dia tetap menggenggam senjata itu.
150 meter di depan sana adalah target penyerangan. Semua pasukan tersebar di sekeliling target. Barisan Geo bersembunyi di bawah jembatan. Bunyi berderak berasal dari karet ban mobil-mobil Belanda yang membawa senjata melintas di atas jembatan. Ada sekitar dua mobil yang melintas seperti informasi yang didapat. Penjagaan yang tidak terlalu ketat juga berkat informasi akurat dari seseorang yang entah siapa. Suara-suara asing terdengar dari mobil-mobil itu yang mengindikasikan bahwa mobil itu benar-benar mobil milik Belanda.
Beni bangkit hendak berpindah tempat tetapi Geo kembali menariknya mundur. Beni melotot padanya dan dengan tenang Geo menunjuk ke suatu arah. Tidak jauh dari mereka ada seorang tentara Belanda yang tengah buang air kecil di semak-semak. Beni menatap Geo lalu mengangguk paham. Setelah tentara yang buang air itu pergi, Beni mulai berpindah tempat. Berbisik ke pejuang yang lain untuk mulai berpencar.
Suasana tenang yang terasa aneh ini seakan melilit tenggorokan Geo. Nafasnya seolah berhenti. Jantungnya berdebar keras menanti detik-detik terjadinya serangan. Peluh menetes dari dahi Geo. Aroma khas pria menguar di udara dan membuat Geo sedikit pusing. Sekarang Geo menyesal telah ikut dalam rombongan ini. Bersamaan dengan dirinya yang tengah mempertanyakan kesungguhan hatinya dengan ikut menjadi salah satu pejuang, suara berdebum keras mengawali serangan dini hari itu.
Kobaran api muncul dari salah satu mobil Belanda. Memporak-porandakan mobil itu hingga tak bersisa selain hanya setumpuk besi yang dilahap api. Tentara Belanda yang lain kebingungan dan mulai awas. Kemudian disusul oleh suara berdebum lainnya dari mobil di belakang mobil yang dilahap api itu. Sekarang ada dua besi rosok yang dilahap api. Umpatan-umpatan dari bahasa asing memenuhi udara. Tentara Belanda mengambil senjata mereka dan menembaki apa saja yang sekiranya adalah musuh. Menembak membabi buta.
Alis Geo terangkat. Sepertinya ada yang ganjil. Geo menoleh ke arah Beni untuk bertanya tetapi Beni malah membekap mulutnya agar diam dan fokus. Suara tembakan balasan terdengar dari pasukan pertama yang sudah berhasil merampas beberapa senjata. Geo melihat bagaimana beberapa tentara Belanda meregang nyawa setelah sebutir peluru menembus tubuhnya. Pemandangan itu terasa tidak nyata. Rasanya, Geo seperti tengah melihat film 3D. Dan memikirkan bahwa semua itu adalah nyata membuatnya menggelengkan kepala. Bagiamana bisa sesuatu yang tidak masuk akal begitu bisa dialami olehnya?
Beni menarik Geo untuk lebih bersembunyi di belakang semak belukar. Duri semak itu menggores lengan Geo. Menimbulkan rasa gatal dan perih. Geo mengabaikan itu setelah melihat ada beberapa mobil bantuan yang datang. Beni mengumpat. Bantuan Belanda tidak mungkin datang secepat itu. Informasi yang mereka dapat adalah bahwa hanya ada dua mobil yang mengantar senjata tanpa ada iringan lain sebagai pengawal. Bantuan itu tidak akan datang kecuali ada mata-mata. Beni menoleh ke arah Geo. Tatapannya sekarang dapat diartikan kalau dia tidak yakin bahwa gadis yang ditatapnya itu adalah mata-mata. Geo juga menatap Beni dan menggeleng seolah menegaskan bahwa bukan dia mata-matanya.
Tentara yang lebih banyak keluar dari mobil-mobil bantuan itu. Suara tembakan berdesing di sana sini. Tangan Geo gemetar. Geo mengumpat merutuki dirinya yang lemah. Hanya dengan mendengar suara tembakan saja sudah menyerah. Bagaimana dia bisa berpikir untuk mati oleh tembakan itu?
Beni menyentuh kedua bahu Geo, menariknya untuk menghadap Beni. "Dengar! Larilah ke sebelah sana. Lari terus dan jangan menoleh ke belakang. Kamu paham?"
"Apa? Lalu kamu dan yang lainnya?"
"Tidak perlu khawatir. Kami lebih berpengalaman dari kamu. Sekarang cepat pergi!"
Geo mengangguk lemah. Sudut hatinya terluka. Dia seperti orang tidak berguna yang menyusahkan kelompok. Kali ini Geo tidak menunjukkan sifat keras kepalanya. Dia sadar diri dengan kemampuannya yang menyedihkan. Kalau dia tinggal lebih lama bersama mereka, yang ada Geo hanya akan menjadi sebuah black hole bagi mereka. Geo mengendap-endap pergi ke arah yang ditunjuk Beni. Suasana gelap membantu Geo lebih leluasa mencapai sebuah titik yang tidak terlihat.
Dia belum pergi. Masih di sana, mengawasi semuanya. Suara teriakan pilu dari seseorang yang terkena tembakan bergema. Geo berdoa, semoga teriakan itu bukan berasal dari salah satu rekannya. Semua ini terasa tidak nyata. Kobaran api masih dapat dilihat dari tempat Geo berdiri. Dengan latar belakang kobaran itu, puluhan orang saling beradu tembakan. Geo menggeser pandangannya dan matanya membelalak.
Seseorang berdiri di sebelah salah satu mobil bantuan Belanda. Jaraknya terlalu jauh dari pusat pertempuran tetapi sangat dekat dari tempat Geo berdiri. Geo mengendap-endap mendekati orang itu. Dia ingin memastikan kalau orang itu bukan orang yang dikenalnya. Geo berdiri dibelakang sebuah batu besar. Menatap tajam ke arah orang itu. Tidak salah lagi, orang itu adalah orang yang dikenalnya. Geo mengatupkan tangannya ke mulutnya. Terkejut dengan pemikiran bahwa orang itulah si mata-mata.
"Ini sangat mengerikan," pikir Geo.
Orang itu melangkah ke dalam mobil. Tatapannya dingin menatap lurus ke arah medan pertempuran. Di sebelahnya, seorang tentara Belanda berparas licik merangkulkan lengannya ke bahu orang itu dan menjalankan mobilnya menjauhi arena pertempuran. Geo masih berdengap tak percaya. Orang itu, mata-mata yang dari kemarin dicari Beni. Mata-mata yang menggagalkan beberapa rencana termasuk yang ini. Mata-mata yang membuat Beni tidak percaya padanya. Geo mundur tanpa memperhatikan keadaan. Dirinya menginjak sesuatu dan menimbulkan suara berisik.
"Who's that?" seruan salah satu tentara Belanda yang kebetulan tengah berada di sekitar Geo. Geo panik, dia berjongkok dan bersembunyi di balik semak.
"You! Who are you? Raise your hand!" Hardikan tentara itu terdengar dingin dan kasar. Geo membeku di tempat. Memikirkan alasan apa yang harus dia buat agar bisa kabur. Kemudian dia menyadari kalau dia masih membawa senjata api pemberian Beni. Dikeluarkannya senjata itu dari saku celananya. Menatap senjata itu beberapa detik sebelum akhirnya dia bangkit.
Dengan tekad keberanian yang mulai berkumpul, Geo berdiri. Namun, tanpa peringatan atau pun aba-aba, tentara Belanda itu menembak Geo. Rasa sakitnya terasa nyata. Panas dan seluruh tubuh seakan terbakar. Tentara itu mendekat. Geo yang terasa terancam mengangkat tangannya yang menggenggam senjata dan mengarahkannya pada tentara itu. Satu tembakan tepat mengenai dada tentara itu. Tentara itu langsung terkapar di tempat. Geo juga ikut terkapar di tanah sembari menatap langit. Bintang-bintang berkilauan dengan sangat indah di atas sana. Apakah itu salam perpisahan untuknya?
Geo berpikir apakah dia akan segera mati dan kembali ke masa depan. Darah terasa mengalir dari lukanya. Entah ini bisa disebut keberuntungan atau apa, tetapi tembakan itu meleset beberapa senti dari jantungnya. Tubuhnya kesakitan dan nafasnya tersengal. Rasa sakit mengaliri tubuhnya. Ketika Geo sudah yakin ajal akan menjemputnya, seseorang muncul dalam penglihatannya.
"Dasar bodoh! Saya sudah suruh kamu pergi! Kenapa masih di sini? Kena tembak lagi!" Beni berteriak dengan wajah penuh amarah. Dia mendekati Geo dan mengangkat tubuh Geo dalam dekapannya. Di dalam penglihatan Geo, Beni tampak sangat tampan. Walaupun wajahnya berantakan dan kotor. Namun, Geo merasa sedih. Haruskah dia memberitahu Beni mengenai mata-mata yang dilihatnya?
"Ah, pelan-pelan. Sakit tahu!" Geo menyeringai. Gerakan Beni yang tiba-tiba membuat tubuhnya sangat sakit. Luka itu berdenyut-denyut.
"Salah siapa? Saya kan sudah menyuruhmu pergi!"
"Aku melihat mata-matanya."
Beni berhenti. Menatap Geo yang menatapnya dengan tatapan sedih.
"Siapa?" Nada suara Beni berubah. Geo menelan ludahnya. Dia dilema. Harus mengatakannya atau tidak? Kalau dia mengatakannya, dia takut Beni akan langsung marah dan membantingnya ke tanah.
"Kamu harus janji tidak boleh marah."
"Cepat katakan!" Rahang Beni mengeras. Sepertinya Beni tidak akan mendengarkan permintaan Geo.
"Kamu harus janji dulu!" Geo bersikeras bahwa Beni harus berjanji terlebih dahulu.
Beni menghela nafasnya kasar lalu mengangguk. "Katakan!"
"Mata-mata itu ... Kekasihmu .... "