Suasana gelap, Geo tidak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas. Namun, dari suara beratnya terdengar jelas bahwa itu seorang laki-laki. Dia hanya menurut saja ketika laki-laki itu membawanya entah kemana. Mungkin saja ini termasuk ke dalam adegan pementasan drama dan dia masuk ke dalam cerita tanpa sepengetahuannya. Gadis itu bergumam kesal, dirinya merasa tidak diberitahu tentang ini.
Lalu, benda keras yang menekan punggungnya itu sepertinya bukan candaan. Walau begitu dia masih berpikir ini bagian dari pementasan drama yang menggunakan senjata mainan. Suasana yang gelap membuatnya bertanya-tanya, apakah hari sudah mulai malam tanpa disadarinya atau karena awan mendung yang membuatnya gelap?
"Hei, aku mau dibawa ke mana? Kayaknya kita udah jalan jauh banget, deh!" Geo mulai mengeluh. Kalau dirasakan, sedari tadi dia sudah berjalan cukup jauh. Berkali-kali tersandung gundukan batu dan diseret untuk berbelok dengan kasar. Dia bahkan tidak bisa melihat jalan karena suasana gelap yang tidak wajar ini. Biasanya walaupun langit mendung, suasana tidak akan segelap ini kecuali kalau aliran listrik tidak menyala. PLN pasti membuat masalah di saat begini.
"Diam saja dan ikuti saya! Kalau saya bilang belok, belok!" Laki-laki itu sedikit mendorong tubuh kecil gadis itu agar berhenti bicara dan mempercepat jalannya. Geo sedikit berdecih. Harga dirinya sebagai ketua merasa tergores. Aktor ini tidak tahu sopan santun. Tidak memberitahunya kalau akan berada dalam adegan dan memperlakukannya dengan kasar. Awas saja kalau pementasan ini sudah berakhir, dia berencana akan marah pada ayahnya. Dia mendendam di dalam dirinya.
Untuk sekarang, mungkin Geo hanya perlu menurut dan pura-pura terlibat dalam cerita. Laki-laki itu terus menuntunnya berjalan dalam kegelapan. Melewati sebuah gorong-gorong air yang tidak pernah dia lihat. Sebuah pemikiran bahwa mereka hanya berjalan keliling benteng membuatnya kesal. Walau begitu, dalam hatinya, dia mengapresiasi kreatifitas tim pementasan drama. Mereka berhasil membuat sebuah adegan yang terlihat nyata. Setelah melewati gorong-gorong, Geo dan laki-laki itu bertemu dengan tiga orang lain. Mereka sedikit terkejut melihat Geo.
"Nah, mereka saja terkejut. Pasti ini keputusan internal si aktor ini sendiri." Geo membatin dengan kesal.
Tiga orang lainnya itu sepertinya juga laki-laki. Geo melihat seperti sebuah sarung yang menutupi bagian leher mereka. Laki-laki itu masih menahan Geo dengan sesuatu yang masih berada di punggungnya. Geo merasa lelah. Sampai kapan mereka akan terus berjalan berputar-putar benteng. Salah seorang yang berdiri di samping Geo menoleh ke belakang.
"Pak, sepertinya ada yang mengikuti." Baru saja dia bicara begitu, dari Utara meletus rentetan tembakan yang mengarah pada mereka. Mereka berlarian menghindari tembakan dan bersembunyi di semak-semak. Laki-laki yang membawa Geo, menyeretnya ke belakang pohon besar dan membekap mulut Geo. Geo merasa jantungnya seperti akan keluar dari tempatnya, tapi sebelum itu, sepertinya ada yang salah. Laki-laki itu tepat berada di belakangnya dan Geo bisa merasakan hembusan nafas laki-laki itu di telinganya.
"Diam! Mereka tidak akan melihat kita di sini. Pasti karena kamu mata-mata, mereka jadi mengikuti kita."
Geo menoleh, merasa kesal karena laki-laki itu menuduhnya mata-mata. Walau ini hanya sekadar pementasan drama, tetap saja menuduh seseorang sebagai mata-mata itu terlalu berlebihan. Sebelum mengeluarkan protesnya, laki-laki itu kembali membuat Geo diam. Suara langkah kaki berdebum di belakang mereka. Suara-suara bisikan terdengar sangat dekat. Jantung Geo berdetak kencang. Dia seperti tengah berada di dalam film action. Bersembunyi dari musuh yang tengah mengejar.
Lama mereka bersembunyi dalam posisi itu sampai kaki Geo terasa kesemutan. Setelah itu, laki-laki itu kembali menyeret Geo keluar dari tempat persembunyian dan melanjutkan perjalanan yang rasanya tidak pernah berakhir.
Rasa curiga mulai menghinggapinya ketika mereka sampai di sebuah desa yang rumah-rumahnya terbuat dari kayu dan bambu. Baru sekarang Geo bertanya-tanya dia berada di mana. Apakah di suatu tempat di sekitar benteng ada sebuah desa yang terbuat dari kayu dan bambu seperti itu? Atau semua itu hanya properti yang disiapkan tim pementasan? Geo merasa linglung dan bingung. Setelah diingat-ingat, suara tembakan yang tadi juga terdengar nyata. Sekelebat mimpinya kembali muncul.
"Eii, tidak mungkin." Geo menyangkal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sepintas pikiran aneh itu benar-benar gila. Di depan setiap rumah dipasangi lentera kecil yang terbuat dari benda tradisional. Geo memuji totalitas tim pementasan karena membuat semua ini tampak begitu nyata.
Laki-laki itu menyeret Geo masuk ke dalam sebuah rumah yang terletak paling belakang. Rumah sederhana berwarna cokelat dengan atap dari genteng. Sejak masuk desa ini, banyak warga yang menatapnya waspada. Ada beberapa orang yang lalu mengikuti mereka masuk ke rumah itu. Laki-laki itu lalu mengikat tangan Geo ke belakang menggunakan tali rafia dan mendorongnya duduk bersimpuh di lantai.
Geo mendongak dan baru sekarang dia bisa melihat wajah laki-laki yang menyeretnya itu dengan jelas. Seorang pemuda yang lumayan tampan, mengenakan kaos oblong dengan celana pendek warna hitam, dan di bahunya tersampir sebuah sarung kotak-kotak juga warna hitam. Rambutnya pendek lurus dengan mata tegas yang tajam. Namun, tiba-tiba laki-laki itu menodongkan pistol ke kening Geo. Lupakan tentang pemuda tampan yang baru saja Geo pikirkan, laki-laki ini tidak tampan sama sekali. Beraninya menodongkan pistol pada gadis innocent sepertinya.
"Sekarang katakan yang sejujurnya! Kamu mata-mata Londo, kan?" Laki-laki itu terdengar sedikit membentak sambil semakin menekan pistol di kening Geo.
Geo mendesah kesal. Sepertinya akhir-akhir ini dia sering sekali mendengar kata Londo. "Belanda maksudnya?"
Laki-laki itu mengernyit. Dia sama sekali tidak berniat menurunkan pistol dari kening Geo. "Jawab pertanyaan saya atau saya ledakkan kepalamu sekarang! Kamu mata-mata Londo, kan?"
"Bukan!! Aku ini ketua peringatan Serangan Umum. Kamu nggak beritahu aku tentang ini dan sekarang malah mengancamku begini? Di mana ayahku? Aku harus bicara dengannya!" Geo meledak. Tidak tahan lagi harus pura-pura menjadi bagian dari pementasan.
"Kamu ini bicara apa? Aneh sekali. Jangan pura-pura, ya! Kamu pasti mata-mata."
"Ah, berapa kali aku harus bilang? Bukan!! Aku bukan mata-mata. Aku Geo, ketua peringatan Serangan Umum. Sekarang katakan, apa maksud kalian dengan berdandan begitu dan melakukan ini padaku?" Dengan kesal Geo menatap seluruh orang yang berada di dalam ruangan itu. Mereka memakai pakaian tradisional, kebaya dan jarit batik untuk putri dan laki-laki hanya memakai kaos biasa dengan sarung tersampir di bahunya.
Laki-laki itu menurunkan pistolnya dan kini menatap Geo dengan aneh. Dia berjongkok untuk mensejajarkan pandangannya dengan Geo. "Memangnya dengan begitu saya akan percaya padamu?"
Geo hampir menangis karena frustasi. "Tolong lepaskan aku. Aku sudah bilang daritadi kalau aku bukan mata-mata. Ah, sial, aku benci jadi ketua."
"Saya tanya kamu sekali lagi! Kamu itu sebenarnya siapa dan dari pihak mana?"
Geo mendesah, "Namaku Geovani, kuliah di Universitas Yogyakarta. Hari ini tanggal 1 Maret 2018 dan aku terpaksa menjadi ketua di acara peringatan Serangan Umum. Lihat badge merah putih di lenganku, ini tanda aku jadi ketua." Geo memajukan lengannya yang mengenakan badge merah putih.
Laki-laki itu menatapnya seolah dia orang sinting. "Kamu ini bicara apa? Hari ini tanggal 5 Januari 1949."
"Hah?" Geo merasa ada sesuatu yang menyumbat telinganya. Dia salah mendengar atau memang skenario drama yang seperti ini. Kemudian Geo tertawa seperti orang gila.
"Wanita ini aneh! Hanya karena kamu memakai lencana itu, bukan berarti kamu terbebas dari tuduhan mata-mata. Bawa wanita ini ke kamar dan kunci pintunya. Dia akan jadi tawanan kita sampai kita tahu identitasnya." Laki-laki itu memerintahkan beberapa orang untuk menyeret Geo paksa masuk ke sebuah kamar di bagian belakang rumah dan menguncinya dari luar.
***
Pada akhirnya tidak ada yang melepas penyamaran mereka. Geo dibiarkan terkurung di kamar bagian belakang. Sendirian dan kesepian. Sesekali ada seorang wanita yang membawakannya makan bernama Mbak Tutik. Mbak Tutik tidak pernah mengajaknya bicara dan hanya mengunjunginya untuk memberi makan. Orang-orang itu sangat kejam. Geo merasa tidak melakukan kesalahan apa pun tetapi sepertinya dia sedang dihukum. Kalau ayahnya berada di balik semua ini, dia akan benar-benar kabur ke Bandung, ke tempat kakeknya.
Rasa bosan mulai menghinggapinya. Sepertinya sudah tiga hari Geo terkurung di kamar ini dan selama itu yang dia lakukan hanya melakukan olahraga ringan dan tiduran di kasur. Kalau dia bosan, dia akan mengintip dari jendela berukuran lebar dua lima senti dengan panjang lima puluh senti. Dari jendela itu, dia bisa melihat Mbak Tutik mencuci pakaian sambil mondar-mandir ke arah dapur. Kamar yang ditempati Geo berada di sebelah dapur dan akses ke kamar mandi sudah ada di dalam kamarnya.
Kadang tatapan mata Geo bertemu dengan tatapan Mbak Tutik, lalu Mbak Tutik akan buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan pergi dari tempat itu. Geo jadi merasa kalau Mbak Tutik takut padanya.
Malam mulai datang. Setelah membersihkan tubuhnya, Geo bergerak mendekati lemari dan membuka tumpukan pakaian tradisional yang tidak sesuai seleranya. Dia harus mengenakan pakaian seperti itu di sini. Geo mendecih dan memakai satu pakaian kebaya berwarna cokelat terang dengan hiasan bunga, lalu membelitkan kain jarik ke pinggangnya dengan gaya modern.
Untung saja dia sudah selesai berpakaian ketika pintu kamar itu tiba-tiba terbuka. Laki-laki yang membuat Geo harus mendekam di dalam kamar ini muncul bersama seseorang yang terlihat masih sangat muda.
"Sekarang, sudah bisa katakan yang sejujurnya?" Laki-laki itu menyeret sebuah kursi ke depan Geo yang duduk di pinggir dipan.
Geo memutar matanya kesal. "Aku harus bilang berapa kali sampai kamu mau mempercayaiku?"
Laki-laki itu menatap tajam ke arah Geo. Sepertinya dia tidak ingin mendengar kata tidak. "Apa saya harus menyiksa kamu dulu supaya kamu mau mengaku?"
Geo mendesah. "Kamu itu sebenarnya siapa, sih? Sukanya memerintah orang!"
Laki-laki itu tertawa. "Buat apa kamu mau tahu siapa saya?"
"Buat mengingat-ingat kepada siapa aku harus balas dendam kalau kamu menyiksaku sampai mati." Nada bicara Geo terdengar mengejek, tetapi laki-laki itu tertawa lagi.
"Baik. Silahkan lakukan! Nama saya Beni."
Geo hanya memandangi Beni kesal. Laki-laki itu sangat menyebalkan. Geo bahkan tidak yakin sekarang dia harus merasa bagaimana?
"Mm, Mbak, tolong duduknya yang benar." Seorang pemuda di sebelah Beni mengeluarkan suaranya.
"Apa?" Geo melirik posisi duduknya. Dia duduk bersila sambil mengenakan jarit. Jarit yang dia buat seperti rok pendek itu sedikit terangkat. Geo buru-buru menutupi bagian atas pahanya dengan bantal di belakang punggungnya.
"Hah! Benar-benar wanita aneh! Saya akan putuskan dengan cara apa saya akan menyiksamu." Setelah berkata begitu, Beni keluar bersama pemuda yang menemaninya.
"Hei, siapa namamu?"
Pemuda di belakang Beni berhenti dan menoleh ke arah Geo. "Hasan."
Geo mengangguk dan Beni memanggil Hasan untuk segera keluar. Suasana kembali sepi dan hening. Geo turun dari dipan dan mondar-mandir. Entah bagaimana nama Hasan terdengar familiar. Rasanya seperti pernah mendengar nama itu di suatu tempat.
"Sepertinya aku pernah dengar. Di mana, ya? Hasan. Hasan." Langkahnya terhenti. Ingatan yang sempat terlupakan menggeliat kembali. Kakek tua veteran yang dia temui di Benteng Vredeburg. Kakek aneh yang bilang pernah bertemu dengannya di tahun 1949, lalu dia juga ingat sekarang tahun 1949. Kakinya melemas, dia terjatuh di lantai seperti baru saja menyadari sesuatu. Pantas saja mereka tidak ada yang membuka penyamaran. Ternyata begitu, kakek tua bernama Hasan itu memang bertemu dengan Geo yang asli, bukan reinkarnasinya karena entah bagaimana dia bisa berada di tempat ini.
Apakah Geo kembali ke masa lalu? Bagaimana bisa? Dia menggeleng. Menyakinkan dirinya bahwa dia salah. Seiring dengan tubuhnya yang bergetar, dia meyakinkan dirinya bahwa semua ini masih berada dalam skenario pementasan drama. Tidak ada yang namanya perjalanan melintasi waktu. Tangannya yang gemetaran bergerak menangkup wajahnya. Dia harus percaya bahwa dia masih berada dalam skenario drama.
Hari beranjak siang dan Geo hanya terbaring di kasur sambil menatap langit-langit. Bosan. Aroma harum menyeruak indera penciumannya. Sepertinya Mbak Tutik sedang memasak sesuatu. Perutnya berbunyi. Dia mengeluh, sekarang belum waktunya makan siang. Entah sudah pukul berapa sekarang yang jelas matahari tampak bersinar terik di luar sana.
Geo memejamkan matanya dan menajamkan indera pendengarannya. Biasanya, di siang hari begini akan terdengar suara deru mesin kendaraan roda tiga dan empat yang berlalu-lalang di jalanan. Namun, di sini, terasa sepi. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara alat dapur yang saling bersenggolan, lalu ada juga suara hewan-hewan kecil seperti burung dan serangga kecil yang tidak tahu namanya.
Kemudian suara jeritan, gebrakan pintu, dan pecahan kaca menggema. Seketika matanya langsung terbuka. Suara itu bukan berasal dari khayalannya. Suara itu benar-benar dia dengar. Geo berlari mendekati pintu dan menempelkan telinganya ke sana. Suara Mbak Tutik yang histeris minta ampun diiringi suara berat dengan aksen aneh yang mencari seseorang.
Penasaran dengan apa yang terjadi, Geo menyeret kursi ke bawah ventilasi kecil lalu mengintip. Dua orang bule berseragam mengacak-acak dapur. Salah satu bule menodongkan senjata pada Mbak Tutik yang dalam keadaan bersimpuh di tanah. Perlakuan para bule itu membuat sesuatu dalam dirinya merasa marah.
Geo mendengar salah seorang bule yang menodong Mbak Tutik menyuruh bule satunya untuk keluar sementara dia menghabisi Mbak Tutik. Tanpa pikir panjang, gadis itu segera melompat turun dari kursi. Dia tidak boleh diam saja melihat kejadian itu. Bagaimana pun dia harus menolong Mbak Tutik.
Geo berlari ke arah pintu dan langsung mencoba mendobrak pintu itu dengan tendangan kakinya. Pintu tidak bergeming. Sekali lagi dia mencoba.
"Ayolah! Aku berlatih Taekwondo bukan untuk menjadi lemah seperti ini!" teriaknya keras disertai hentakan kuat dari kakinya.
Pintu terbuka lebar. Gadis itu segera berlari ke arah si bule yang terkejut melihat ke datangannya. Senapan di tangannya yang digunakan untuk menodong Mbak Tutik terangkat mengarah ke arah Geo. Sebelum bule itu sempat menarik pelatuknya, Geo menendang pegangan tangan bule itu dengan kaki kanannya dan senapan itu terlepas dari genggaman bule itu. Satu detik kemudian, Geo melancarkan tendangan berputar yang mengarah ke samping kepala bule itu. Namun, serangannya meleset. Bule itu terlalu tinggi dan tendangan berputar Geo hanya dapat mengenai lengan si bule. Merasa tendangannya meleset, Geo mendesis dan mundur. Memungut senjata si bule yang terjatuh dan gantian menodongkannya ke arah si bule.
"You're extremists. You don't know how to use that gun. You're just a young woman." Bule itu menyeringai.
"Heh!I haven't tried it yet. Let's see. I just need to pull the trigger. Right?" Gantian Geo yang menyeringai. Di sampingnya, Mbak Tutik menatap Geo tanpa berkedip. Bersimpuh di tanah dengan wajah yang berurai air mata.
Wajah si bule menjadi pucat. "You bitch! How dare you doing that to me!"
"Dorrr!!" Geo tanpa belas kasih langsung menarik pelatuknya. Tembakan langsung mengenai dada si bule yang kemudian terkapar di tanah.
"Itu balasan karena mengataiku bitch, berengsek!"
Mbak Tutik gemetaran di lantai memandangi tubuh si bule yang sudah tak bernyawa. Kemudian terdengar derap langkah kaki beberapa orang yang mendekat. Geo mengangkat senapan di tangannya dan mengarahkan ke pintu masuk dapur, mengira akan ada banyak bule berseragam yang datang. Beni muncul lebih dulu sambil menodongkan senjatanya juga. Geo dan Beni sama-sama saling menodongkan senjata. Melirik di antara senjata yang terangkat.
"Ah, mengagetkan. Kupikir siapa!" Geo membuang senapannya dan mendekati Mbak Tutik. "Kamu nggak apa-apa, mbak?"
Mbak Tutik nampak terguncang dan hanya mengangguk sekilas sambil memandangi Geo.
"Kamu pikir apa yang kamu lakukan?" Nada suara Beni meninggi.
"Apa?" Geo bangkit dan juga ikut meninggikan suaranya. Beni menunjuk ke arah onggokan mayat bule yang terkapar di lantai. Mata Geo membulat. Dia baru saja menyadari sesuatu.
"Mampus! Aku baru saja membunuh orang! Bagaimana ini? Apa aku akan dipenjara?" Geo menjadi panik sendiri. Dia terlalu terbawa suasana sampai tidak sadar benar-benar telah membunuh seseorang. Selama ini yang ada di pikirannya adalah bahwa dia berada di dalam sebuah skenario pementasan drama bohongan dan senjata yang mereka gunakan juga tidak nyata. Siapa sangka ternyata senjata itu berfungsi sungguhan.
Sekarang yang harus dia pikirkan adalah menghabiskan sisa hidupnya di dalam penjara.