Read More >>"> BALTIC (Lost in Adventure) (VI. Sveiki atvykę į Lietuvą (Selamat Datang di ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - BALTIC (Lost in Adventure)
MENU
About Us  

"Hati-hati ya, Sava. Kabari Tante Ria kalau pesawat kamu sudah mendarat." Tante Ria mengelus puncak kepala Sava sambil tersenyum. Melepas keponakannya untuk berlibur sore ini.

"Iya, Tante. Nanti Sava kabari. Makasih ya buat semuanya." Balas Sava, kemudian memeluk Tante Ria erat. "Makasih banyak Om Hans." Sambungnya, diiringi pelukan hangat dari om Hans.

Perlahan dan dengan kepala tertunduk Sava berjalan menghampiri Elbert yang masih sibuk membalas pesan dari koleganya. Dirasakan Sava kedua sisi pipinya makin memanas seiring dengan langkahnya yang kian mendekati Elbert. Dalam kepalanya berputar memori tentang hari kemarin, saat Elbert mengungkapkan perasaannya di salah satu café di Rothernburg odt.

Elbert sadar, jika ia terlalu tergesa menyatakan perasaannya. Sava pasti tidak akan menyangka bahwa dia menyukai Sava sejak pertama mereka bertemu. Itu sudah lama sekali. Selama itu, mereka juga tidak pernah berhubungan sama sekali. Hanya sesekali berbincang jika kebetulan saat Tante Ria menelepon ke Indonesia dan Elbert berada di rumah, mama tirinya itu akan memaksanya untuk mengobrol dengan Sava. Namun mereka tak lagi bertegur sapa semenjak Sava melanjutkan kuliah di London, dan Elbert sibuk dengan tugasnya sebagai dokter bedah.

"Besok, sebelum kamu terbang. Aku ingin mendengar jawabanmu." Ujar Elbert sembari menatap langit-langit kamar, sesaat sebelum mereka tertidur di ranjang yang sama – namun tetap menjaga jarak.

"Apa kamu tetap menyusulku ke Baltik?"

Elbert berbaring miring, menatap wajah Sava di sampingnya. "Tentu saja."

Sava menoleh, ditatapnya kedua iris mata hijau – mirip om Hans – milik Elbert.

"Jika jawabanmu adalah 'iya', aku akan datang untuk berlibur dengan kekasihku. Jika jawabanmu 'tidak', aku akan datang kembali sebagai lelaki yang mengejar cintanya."

Hening. Hanya kesunyian yang kemudian menyelimuti mereka. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya, berusaha mencari cara, jawaban, dan kebenaran dalam hati dan pikiran mereka.

"Tidurlah, besok setelah ke museum, kita kembali ke Munich. Malamnya, saat di bandara, seperti yang sudah kukatakan. Aku ingin mendengar jawabanmu."

Hanya satu malam, waktu yang diberikan Elbert untuk Sava memikirkan jawaban yang dipastikan akan mengubah jalan hidupnya. 'Ya' Sava menang akan ayahnya, dan dia akan menjalani sisa hidupnya bersama Elbert. 'Tidak' berarti dia harus mencari laki-laki lain untuk dibawa ke hadapan ayahnya, atau dengan sukarela menerima calon pilihan ayahnya.

Memiliki sebuah rasa untuk Elbert beberapa hari terakhir ini, Sava tidak menampiknya. Namun, apakah dia yakin bahwa rasa itu adalah rasa yang sama seperti rasa milik Elbert? Ataukah itu hanya perasaan rindu sesaat – seperti sahabat yang lama tidak bertemu? Elbert membuat hatinya berdebar, Sava juga menyadari itu, tapi apakah debar itu juga debar yang sama seperti debar Elbert untuknya? Jika berbeda, sampai hatikah Sava mengucapkan 'Iya' hanya untuk memenangkan taruhannya dengan ayah?

Elbert menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku kemejanya, kemudian dihampirinya Sava yang masih melangkah linglung ke arahnya.

"Hei, kenapa denganmu?"

Sava mendongakan wajahnya, menghela nafas. Bibirnya masih mengatup, tidak tahu harus berkata apa? Dia masih belum yakin dengan perasaannya. Dia tidak ingin menyakiti Elbert.

Elbert menarik tangan Sava, mengajaknya untuk duduk di kursi, "mau memberiku jawaban?"

Sava kembali hanya diam, membuat Elbert hanya terdiam. Dalam hatinya ada rasa bersalah, seharusnya dia tidak usah buru-buru. Seharusnya dia memberi Sava kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Bukan seperti ini, lama tak bertemu ataupun komunikasi, lalu tiba-tiba menyatakan cinta.

"Ehm..." Sava kembali menarik nafas dalam, mencoba menenangkan hatinya. "Sebenarnya aku tidak yakin dengan perasaanku, El."

Elbert tersenyum. Dia sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan ini.

"Tak apa. Aku akan membuatmu yakin akan perasaanmu padaku, saat aku menyusulmu nanti." Elbert mengusap lembut puncak kepala Sava, "tunggu aku."

--------------

Pengumuman bahwa pesawat yang ditumpangi Sava baru saja mendarat dengan selamat, membangunkannya dari tidur lelap selama 3 jam penerbangan. Sava membuka matanya, dan mendapati beberapa orang telah bersiap untuk turun melalui pintu bagian depan pesawat, beberapa lainnya ada yang sibuk menggapai koper di tempat penyimpanan barang di bagian atas kabin. Sedangkan hanya sebagian kecil yang masih duduk manis seperti Sava, menunggu antrian terurai.

Saat memasuki area bandara, Sava segera menghidupkan kembali ponselnya. Pesan dari Elbert yang menyuruhnya untuk mengabari setelah mendarat langsung muncul di layar ponsel. Ini bukan saatnya membalas pesan dari El, dia harus menghubungi paman Nina terlebih dahulu.

Sava mengedarkan pandangannya ke arah para penjemput yang berbaris rapi, sembari menunggu teleponnya ke paman Nina tersambung. Tak berapa lama, sebuah sapaan terdengar di ujung telepon.

"..."

"Yes, uncle. It's me, Sava. Where? Sorry?" tanya Sava, sesekali dia kembali mendongak ke arah penjemput.

"..."

"Oh, I see you! There you are!" Sava melambaikan tangan pada seorang pria yang berperawakan mirip dengan om Hans, bedanya laki-laki yang kini di depannya ini memiliki jenggot berwarna putih yang panjang – seperti sinterklas.

"Welcome to Vilnius. I'm Matis, Nina's uncle."

"Thank you. Sava." Balas Sava sembari menyalami uluran tangan Matis.

"Ayo, kubantu bawa." Matis meraih koper Sava, namun langsung dicegah oleh Sava. "No need."

Mereka kemudian berjalan menuju parkiran mobil, kemudian melaju menuju rumah Mantis. Sepanjang perjalanan, Matis tak hentinya menanyakan banyak hal pada Sava. Dia juga sangat senang Sava mau menginap di tempatnya, sekaligus membantu mereka selama liburan di Vilnius.

"Flat yang akan kamu tempati tidak jauh dari rumah. Kalau ada perlu kamu bisa langsung datang. Aku bekerja saat siang. Aku baru ada di rumah setelah jam tiga sore. Tapi tenang saja, ada Egle di rumah."

Mobil sedan hitam Matis berbelok memasuki sebuah pekarangan rumah setelah sekitar 20 menit perjalanan dari bandara. Sava menjejakan kaki di lantai paving, dan mengikuti langkah Matis yang sudah lebih dulu masuk ke rumah.

"Hai, Sava." Sapa seorang wanita yang tak jauh lebih muda dari Matis. Keriput sudah terlihat di beberapa bagian wajahnya, terutama di sudut mata dan bibir. "Perkenalkan, aku Egle."

"Oh, Hai." Sava langsung membalas pelukan hangat Egle. "Terima kasih mau menerimaku."

"Jangan berkata seperti itu. Kami senang kamu datang kemari. Anggap saja rumah sendiri. Lagipula usiamu tidak jauh beda dengan putri kami." Jawab Egle, kemudian mengajak Sava menuju ruang makan yang terletak di sisi kiri pintu masuk.

"Nanti Matis akan mengantarmu ke flat. Ah, ingin rasanya kamu yang menempati kamar di depan itu, tapi sudah ada rombongan satu keluarga yang menyewanya untuk satu minggu ke deapan. Mereka akan datang besok." Jelas Egle sembari menunjuk bangunan kecil yang terlihat dari jendela ruang makan.

"Oh, bangunan mungil di samping rumah tadi?" Sava mencoba mengingat bangunan kecil yang kira-kira berukuran 4x4 meter yang dilihatnya sebelum memasuki rumah Matis.

"Iya, itu dulunya kami jadikan gudang. Tapi semenjak putri kami memilih ikut suaminya, dia merelakan kamarnya untuk menjadi gudang. Sedangkan bangunan itu menjadi airBnB pertama yang kami sewakan."

Matis mengusap lembut pundak Egle, mencoba mengusir kesedihan yang tampak di wajah wanita setengah baya itu saat membicarakan putri mereka. "Sudahlah, Sayang. Sava juga tidak jauh tinggalnya, dia akan datang kemari membantu kita. Selama dia berlibur di sini."

Egle tersenyum dan jemarinya mengusap lembut tangan Matis yang masih berada di pundaknya, "ah kamu benar. Aku terlalu melankolis. Ya sudah, ayo kita makan."

Melihat pemandangan itu, membuat Sava teringat dengan ayah dan bundanya yang selalu romantis, meskipun terkadang mereka juga suka bertengkar karena hal sepele.

Mereka bertiga kemudian duduk mengitari meja makan berbentuk bundar. Tak berapa lama Egle datang dengan membawa dua piring berisi makanan untuk Matis dan Sava.

"Ini adalah balandėliai. Makanan favorit Matis." Ujar Egle sembari meletakan satu piring di depan Sava, dan piring lainnya di depan Matis. Sava tersenyum, kemudian mencoba mencium aroma yang menguar dari masakan di depannya.

"Oh, aku akan membantumu

"Oh, aku akan membantumu." Sava bangkit dari duduknya, kemudian menyusul langkah Egle yang kembali ke dapur.

"Tidak perlu, Sayang."

"Tidak apa-apa. Aku akan membawa minuman ini."

Sava kembali duduk di kursinya, matanya menangkap jenis makanan lain di hadapannya, "apa ini?"

"Itu bulviniai blynai. Hem...pancake tapi dari kentang."

Sava mengangguk antusias mendengar penjelasan Matis, sembari menerima uluran sepotong makanan yang digoreng hingga berwarna coklat keemasan itu dari Egle.

"Sebelum kemari, kamu sempat pergi kemana?"

"Sebelum kemari, kamu sempat pergi kemana?"

"Aku mampir ke rumah bibiku di Jerman. Tinggal di sana sekitar tiga hari, lalu aku terbang kemari." Jawab Sava, kemudian menyendokan balandėliai ke mulutnya.

Setelah makan malam dan berpamitan dengan Egle, Sava melaju bersama Matis menuju flat – tempat tinggalnya selama di Vilnius. Mereka berhenti di depan sebuah bagunan yang terlihat baru dengan tinggi lima lantai, setelah sepuluh menit perjalanan menggunakan mobil. Kata Matis, lantai paling bawah digunakan untuk pertokoan, sedangkan untuk flat mulai dari lantai dua. Tipe flat studio di lantai dua dan tiga, sedangkan lantai empat dan lima adalah flat yang terdiri dari dua kamar.

Matis membantu Sava membawa kopernya menaiki tangga, kemudian mereka berhenti di depan flat dengan nomor 207 yang berhadapan dengan flat 209. Matis memasukan anak kunci, sedikit aroma pengap memenuhi indera penciuman Sava – namun tidak lama. Sava menarik kopernya.

"Flat 207 dan 209 adalah milikku." Ujar Matis sembari menunju pintu dengan angka 209 di bawah lubang intip. "Saat ini sedang disewa oleh orang Jepang." Kemudian menekan tombol saklar lampu yang berada di samping pintu masuk.

"Baiklah, untuk ranjangmu, ada di atas." Matis berjalan memasuki flat sembari menunjuk ke atas. "Untuk dapur kamu bisa gunakan, letaknya ada di sini." Lanjutnya sembari berbelok ke kanan, ternyata letak dapur minimalis itu ada dibalik rak sepatu yang berada tepat di samping pintu masuk.

"Sisanya seperti yang kamu lihat. Kamar mandi ada di sana." Jelasnya lagi dengan telunjuknya mengarah ke sisi di hadapan rak sepatu.

Sava mengangguk paham, masih mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan

Sava mengangguk paham, masih mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Di tengah flat ada satu set meja-kursi makan, kursi santai, dan sofa untuk santai serta menonton TV. Kemudian ada anak tangga untuk menuju ranjangnya di lantai atas.

"Baiklah, kamu bisa istirahat. Kalau ada apa-apa, telepon saja."

Sava mengangguk.

Matis memberika kunci flat pada Sava, kemudian pergi meninggalkan Sava setelah mengucapkan salam perpisahan.

Setelah memastikan pintu flat terkunci, Sava segera menarik kopernya ke dekat sofa. Dibukanya jaket dan syal yang sedari tadi membungkus tubuhnya dan meletakkannya begitu saja di sofa. Dia berjalan mendekati jendela dan memerhatikan sekilas pemandangan jalanan yang sepi di luar flat. Sava kemudian memutuskan untuk segera membersihkan diri dan tidur. Dia harus mengumpulkan tenaganya lagi untuk mulai berpetualang di Vilnius esok hari.

----------------

Entah berapa jam Sava tidur, namun kini dia terbangun karena suara berisik – sepertinya dari bawah. Perlahan Sava menuruni tangga, kakinya berjengit setiap kali melangkah agar tidak menimbulkan suara di kegelapan. Mata Sava menyipit, mencoba memfokuskan indera penglihatan dan pendengarannya ke sumber suara.

Sayup-sayup terdengar suara hembusan angin, juga dari arah dapur. Seingat Sava, dia sudah menutup dan mengunci semua pintu dan jendela di flat ini sebelum beranjak tidur. Maling? Aku belum ingin mati. Bagaimana ini? Aku harus kabur!

Sava kembali berjengit menuju pintu keluar, sepintas dia mengintip ke dapur. Dia terkejut melihat sebuah bayangan sosok asing. Tak terlalu jelas, karena memang Sava tidak menghidupkan kembali lampu flat. Aku harus minta pertolongan dulu! Perlahan Sava memutar anak kunci, berusaha tidak menimbulkan suara. Berhasil! Dia segera keluar dan mengetuk pintu kamar flat nomor 209 tak sabaran, berharap orang Jepang yang menyewa flat itu akan bangun dan menolongnya. Berkali-kali dia Sava mengetuk dengan kasar, namun pintu tak kunjung terbuka. Sava mulai putus asa. Minta tolong ke flat lain saja!

Langkahnya tehenti saat pintu flat 209 terbuka, sosok pria jangkung, kulit pucat, mata sembab bangun tidur, rambut coklat, bertelanjang dada, berdiri sambil mengucek matanya dan menggeram pelan.

"Hi, I know this is not the right time to wake you up. But, please help me! Someone sneaking in!"

Pria itu hanya diam. Dia tidak mengerti apa yang aku katakan? Tapi dilihat dari penampilannya dia bule. Bukan orang Jepang, seperti yang dibilang Matis. Apa Matis lupa siapa penyewa flatnya?

Sava akhirnya menyerah. Jika dengan Bahasa Inggris pria di depannya ini tetap tidak mengerti, maka yang harus dilakukannya adalah menggunakan Bahasa Tarzan Internasional. Sebisa mungkin Sava mencoba melakukan gerakan-gerakan yang dapat dipahami oleh si pria di depannya, yang berarti 'ada pencuri di flatku. Tolong aku. Panggilkan polisi'.

Pria itu kembali ke dalam flatnya, meninggalkan Sava yang terengah di depan pintu karena lelah menjelaskan. Tak berapa lama kemudian, dia kembali dengan sebuah ponsel yang sudah menelakup di telinga kirinya.

"I called 112. Now you can relax, back to your room."

What? 'Back to your room' dia bilang? Hellooww apa dia lupa kalau di dalam sana ada rampok?

"Apa kamu gila?! Di dalam sana ada rampok! Tidak mungkin aku ke sana. Ijinkan aku menumpang di flatmu. Setidaknya sampai polisi datang dan memastikan keadaan sudah aman."

Pria itu menghela nafas kesal, namun tetap membiarkan Sava masuk ke dalam flatnya – koreksi flat yang disewanya.

"Apa kamu berasal dari Jepang?" tanya Sava penasaran, mengingat perkataan Matis tadi, seraya mengedarkan pandangannya pada flat milik Matis lainnya – tidak jauh berbeda dengan flat Sava.

Sambil menunduk di depan lemari pendingin untuk mengambil sebuah apel dan sebotol jus, pria itu menjawab, "apa aku terlihat seperti orang Jepang?"

Sava menggeleng. "Apa kamu ada darah campuran orang Jepang?"

Pria itu mengernyit dalam, kemudian mengambil tempat duduk tepat di sebelah Sava. "Ada apa antara dirimu dan Jepang? Apakah fisikku lebih mirip ras Mogoloid daripada Kaukasoid?"

Sava kembali menggeleng.

"Jadi kurasa itu sudah cukup menjawab rasa penasaranmu tentang hubunganku dengan Jepang."

"Apa itu untukku?" Sava mengangguk pada botol jus yang kini sudah ada di meja tamu.

"Tentu saja tidak. Apa yang kamu harapkan? Aku akan menjamumu tengah malam? Kau ini pengganggu."

"Aku hanya minta tolong padamu! Apa salahnya menolong tetangga yang sedang kesusahan? Dan kamu sebut aku pengganggu?"

Pria itu menegakkan punggungnya, meneguk jus jeruk hingga tandas.

"Kita tidak bertetangga. Kita hanya orang asing yang kebetulan tinggal bersebelahan untuk sementara waktu." Dilemparkannya botol kosong itu ke dalam tempat sampah di dekat anak tangga. "Kamu memang pengganggu."

Sava geram mendengar ucapan pria di depannya, dia bangkit dari duduknya. Berjalan cepat menuju pintu keluar flat. Pria itu masih saja memandang dalam diam tingkah Sava yang kesal.

"Apa password pintumu ini?" meskipun kedua flat ini adalah milik Matis, namun ternyata kunci keamanan pintunya berbeda. Satu masih manual – menggunakan anak kunci -, yang satunya sudah lebih canggih sedikit, menggunakan password.

Tanpa menjawab Sava, dengan langkah lebarnya pria itu kini tengah berdiri di samping Sava. Kemudian ia menekan beberapa kombinasi angka di panel kunci pintu. Bukan maksud hati Sava melihat kombinasi angka itu, namun pria dengan bokser hitam ini sepertinya memang sengaja menekan kombinasi itu dengan perlahan.

Bersamaan dengan terbukanya pintu flat, Sava mendapati dua polisi pria sudah berdiri di depan flatnya hendak menekan tombol bel. Sava bergegas menghampiri dua polisi itu, kemudian menjelaskan apa yang baru saja dilihatnya di dalam flatnya.

"Aku terbangun karena suara berisik. Aku juga tidak tahu pasti apa yang aku lihat. Tapi sosok itu ada di dapur. Untung saja aku berhasil keluar."

Salah satu polisi dengan jenggot dan kumis tebal merekam pernyataan Sava dengan ponselnya. Setelah berunding dengan kawannya – yang bertubuh tambun, menggunakan Bahasa Lithuania – mereka memutuskan untuk memeriksa keadaan di dalam flat Sava. Perlahan polisi berkumis mendorong pintu flat Sava, sembari sebelah tangannya bersiap menarik pelatuk pistol. Sedangkan kawannya sudah menodongkan pistol ke depan.

Sunyi. Senyap. Tak ada suara apapun.

Kedua polisi itu melangkah pelan. Salah satu diantara mereka mencoba mencari saklar lampu yang biasanya terletak di samping pintu, lalu menekannya. Ia bermaksud mengangetkan rampok yang bisa saja sedang beraksi. Namun tetap tak ada apapun yang terjadi, bahkan tak ada suara sedikitpun. Mereka kembali melangkah ke dapur, sesuai dengan petunjuk Sava, namun tidak ditemukan apapun di sana.

Tak berapa lama, kedua polisi itu keluar kembali, menemui Sava dan pria bokser hitam yang masih berdiri di ambang pintu.

"Tak ada siapapun." Lapor polisi berkumis. "Namun jendelamu terbuka, apa kamu yakin sudah menguncinya?"

Sava berpikir sejenak, kemudian mengangguk sebagai jawaban. Dia...yakin kalau tadi sebelum tidur sudah mengunci seluruh pintu dan jendela.

"Untuk lebih amannya, beberapa hari kedepan lebih baik kamu mencari tempat tinggal sementara. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut." Jelas polisi tambun sembari memasukan kembali pistolnya kedalam sarung pistol di pinggangnya.

"Kami akan menghubungimu saat penyelidikan sudah selesai. Silakan tulis nomormu di sini."

Polisi berjenggot menyodorkan pulpen dan note kepada Sava.

"Apa ada nomor lain yang bisa dihubungi? Saudara?"

Sava menggeleng dan menyerahkan kembali note dan pulpen.

"Anda tetangganya?" kali ini polisi tambun bertanya pada pria berbokser hitam.

"Aku tinggal di sini sementara."

"Kalau begitu berikan nomor telepon Anda juga. Siapa tahu nona ini tidak bisa dihubungi." Ujar polisi berkumis, kembali menyerahkan note dan pulpen pada pria berbokser.

"Tapi aku bukan..."

Pria yang sedari tadi hanya mengenakan bokser hitam itu tak lagi melanjutkan kata-katanya saat menangkap ekspresi memelas Sava yang berdiri di sampingnya. Terlihat memohon padanya. Pria itu segera menuliskan nomor teleponnya.

"Kami permisi dulu. Selamat malam."

Dua polisi itu kemudian berlalu, meninggalkan dua manusia yang masih berdiri diam di tempatnya.

"Bolehkan aku menumpang untuk malam ini?" Sava membuka pembicaraan.

Ini bukan keinginan Sava, tapi keadaan yang memaksanya. Tidak mungkin tengah malam begini dia menelepon Matis bahwa ada rampok yang mengancam jiwanya. Sava tidak ingin membuat Matis dan Egle mengkhawatirkannya. Jadi untuk malam ini, Sava memohon pada pria berbokser agar mengijinkannya tinggal di flat sewaannya. Tidur di sofa pun tak masalah. Besok dia akan mencari penginapan – meskipun kecil kemungkinan dia akan mendapatkan penginapan dengan harga miring.

Pria berbokser itu tidak menjawab, dia kembali masuk ke dalam flatnya, namun tidak menutup pintu flat. Ragu Sava mengikutinya masuk, kemudian memastikan pintu terkunci. Dilihatnya pria itu menuruni anak tangga sembari membawa bed cover dan bantal.

"Aku akan tidur di sini. Terima kasih." Ucap Sava.

"Tidak usah berterima kasih, dan kamu tidur di atas." Balas pria itu, kemudian merebahkan diri di sofa.

Sava merasa tak enak hati dengan sikap yang ditunjukan pria yang sudah memejamkan mata dan menutupi seluruh tubuhnya dengan bed cover, di hadapannya ini. Namun dia tidak bisa berbuat apapun. Pelan dia berjalan menaiki anak tangga, menuju ranjang di lantai atas.

"O iya, namaku Sava. Siapa namamu?"

Pria itu menurunkan bed cover sebatas lehernya, "Arlo." Jawabnya, kemudian menarik kembali bed cover menutupi wajahnya.

"Arlo?" gumam Sava pelan. Dia tidak asing dengan nama itu. Sepertinya dia pernah mendengarnya. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Sava.

"Tidurlah, kalau tidak ingin aku usir. Besok kita baru bicara." Jawab Arlo dari balik bed cover.

Ancaman Arlo berhasil membuat Sava tak lagi bertanya. Benar, masih ada hari esok untuk mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya, hmmm...Arlo. Dimana aku pernah mendengar nama itu?

Bersambung...

NOTES:

balandėliai: Kol gulung rebus maupun kukus, yang didalamnya terdapat berbagai macam isian seperti daging cincang, sayuran. Biasanya di negara Lithuania disajikan dengan siraman saus pasta tomat.

Bulviniai blynai: Pancake kentang,terbuat dari kentang yang ditumbuk, dicampur dengan tepung, telur, bawang, danditambah dengan bumbu, kemudian digoreng.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    Baru tau soal negaral baltic. :D

    Comment on chapter I. Leaving England
Similar Tags
Nyanyian Laut Biru
1919      681     9     
Fantasy
Sulit dipercaya, dongeng masa kecil dan mitos dimasyarakat semua menjadi kenyataan dihadapannya. Lonato ingin mengingkarinya tapi ia jelas melihatnya. Ya… mahluk itu, mahluk laut yang terlihat berbeda wujudnya, tidak sama dengan yang ia dengar selama ini. Mahluk yang hampir membunuh harapannya untuk hidup namun hanya ia satu-satunya yang bisa menyelamatkan mahluk penghuni laut. Pertentangan ...
SERENITY
5      5     0     
Romance
Tahun ini adalah kesempatan terakhir Hera yang berusia 20 tahun untuk ikut Ujian Nasional. Meskipun guru konselingnya mempertemukannya dengan seorang tutor, namun gadis ini menolak mentah-mentah. Untuk apa? Ia pun tidak memiliki gairah dan tujuan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Daniel, seorang pemuda yang ia selamatkan setelah terjadi tawuran dengan sekolah lain. Daniellah yang membuat Hera me...
Yu & Way
723      355     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
The Difference
7225      1638     2     
Romance
Diana, seseorang yang mempunyai nazar untuk berhijab setelah ada seseorang yang mengimami. Lantas siapakah yang akan mengimami Diana? Dion, pacar Diana yang sedang tinggal di Amerika. Davin, sahabat Diana yang selalu berasama Diana, namun berbeda agama.
Begitulah Cinta?
14895      2168     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Ketika Kita Berdua
29458      4180     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Arganie
336      217     1     
Short Story
Aleisha and her friend, Alex went to a hidden place called Arganie.
Sekotor itukah Aku
328      243     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...
LUCID DREAM
433      306     2     
Short Story
aku mengalami lucid dream, pada saat aku tidur dengan keadaan tidak sadar tapi aku sadar ketika aku sudah berada di dunia alam sadar atau di dunia mimpi. aku bertemu orang yang tidak dikenal, aku menyebutnya dia itu orang misterius karena dia sering hadir di tempat aku berada (di dalam mimpi bukan di luar nyata nya)
Sampai Kau Jadi Miliku
941      460     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...