Read More >>"> BALTIC (Lost in Adventure) (V. Ich steh' auf dich (Aku Menyukaimu)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - BALTIC (Lost in Adventure)
MENU
About Us  

 


"Bagaimana kencanmu semalam?" Tembak Tante Ria langsung pada Elbert yang sedang sibuk mengunyah sarapannya. Pertanyaan sederhana, namun mampu membuatnya seketika tersedak. Tante Ria memutar matanya, "jangan pura-pura tersedak untuk menghindari pertanyaanku."

Elbert menghela nafas, walaupun tidak ada hubungan darah antar mereka, tapi Tante Ria sangat paham dengan sifat Elbert.

"Aku belum mengatakannya." Elbert kembali sibuk dengan sosis panggangnya.

"Lamban sekali! Apa lagi yang kamu tunggu! Bahkan kamu sudah mendapatkan lampu hijau dari semua orang, termasuk orang tuanya!"

"Mom, aku butuh persiapan yang matang. Bagaimana kalau aku ditolak?"

"Hah, sudah tua begini masih saja takut ditolak." Tante Ria kembali melangkah menuju kursinya yang berada di seberang meja Elbert. "Kalau ditolak, ya kamu kejar lagi dong! Mom yakin Sava juga ada rasa sama kamu."

"Bagaimana mom bisa sangat yakin akan hal itu?"

"Instinct." Jawab Tante Ria singkat.

"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya om Hans yang langsung mengambil tempat duduk di sebelah Tante Ria.

"Ini anakmu, tidak seperti dirimu dalam hal mengejar wanita. Lamban sekali." Jawaban Tante Ria membuat om Hans terkekeh.

Elbert meletakan pisau margarin, kemudian bersandar malas pada kursinya. Dia tahu, sebentar lagi papanya akan memulai pidato panjang tentang bagaimana menakhlukan seorang wanita. Dengan bangganya, dia akan menyebutkan mantan-mantan pacarnya yang berhasil dibuatnya menangis dan merangkak memohon untuk kembali saat mereka putus.

"Apa yang kamu tunggu, son? Sava juga menyukaimu."

"Suka belum tentu cinta." Sanggah Elbert.

"Tapi perasaan suka adalah awal mula perasaan cinta. Apa lagi yang kamu tunggu?"

"Moment. El sedang menunggu saat yang tepat untuk mengatakan perasaan El pada Sava."

"Telat kamu! Mom sudah bilang ke Sava kalau kamu suka sama dia."

"Mom..." Elbert menggeram kecewa.

"Kamu ini perlu di push, makanya mom langsung bilang kalau kamu suka sama dia. Tapi kemarin mom bilang masih 'kayaknya' begitu. Kamu tahu reaksi Sava seperti apa?"

Elbert menggeleng.

"Wajahnya merona. Makanya Mom yakin kalau dia, walaupun sedikit pasti suka sama kamu." Lanjut Tante Ria sembari mengambil segelas jus apel milik om Hans. "Kamu ngga takut nanti dia bertemu orang asing, kemudian jatuh cinta?"

"Kalian tidak perlu khawatir, aku akan menyusulnya ke Baltik."

"Bagus. Papa mendukungmu. Tapi sebaiknya kamu bicara tentang perasaanmu sebelum kalian berpisah. Ya, sebagai 'tanda pengikat' antara kalian." Ucap om Hans sambil mengangkat kedua jarinya membentuk tanda petik di udara.

"Katakan saja saat kalian di Rothernburg!" Ujar Tante Ria dengan mata berbinar, "Sayang, bagaimana kalau kita tinggal di sini saja. Biarkan mereka berdua menikmati waktu di sana sebagai sepasang kekasih?" Tante Ria memandang om Hans dengan tatapan memelas.

Elbert sudah melotot ke arah ibu tirinya, sedangkan Om Hans terlihat sedang berpikir untuk menjawab permintaan istrinya. Bukan ide yang buruk, seperti semalam, mereka juga bersandiwara agar memberikan waktu kencan pada Elbert dan Sava.

Om Hans mengerlingkan sebelah matanya, "baiklah, Sayang."

"Mom...Dad!"

Tante Ria mengibaskan jari telunjuknya di depan wajah Elbert, "Jangan menolak. Ini kesempatan emas kamu. Jangan lupa, kalian akan melewati romantic roads, konon pengungkapan cinta di salah satu kota di sepanjang romantic roads, akan berakhir bahagia."

-------------------

Sava mengernyitkan dahinya saat menatap Tante Ria dan Om Hans yang masih asik bersantai sambil membaca koran di lobi hotel. Padahal mereka sudah terlambat untuk memulai perjalanan menuju Rothernburg odt.

"Sudah siap semuanya, Sava?" tanya Tante Ria sambil merapikan jaket Sava. Gadis itu hanya mengangguk sembari masih menatap bingung wanita di depannya. "Kenapa?" tanya Tante Ria melihat ekspresi Sava.

"Kok Tante sama Om belum siap-siap?"

"Oh, Tante sama Om ngga ikut. Tadi pagi sekali ada rekan om Hans yang mendadak ingin bertemu dengannya. Jadi, kamu berangkat berdua aja sama Elbert." Bohong Tante Ria.

"Sava, semua barang yang akan kamu bawa sudah siap?" tanya Elbert yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Sava.

"Aku hanya membawa ini." Jawab Sava sembari menunjukan tas ransel di punggungnya, "besok kita sudah kembali kan, jadi barang-barang milikku kutitipkan ke Tante Ria."

"Ya sudah, ayo kita berangkat. Mobilnya sudah kusiapkan di depan."

"Hati-hati di jalan." Pesan om Hans sebelum Elbert dan Sava melangkah keluar lobi.

"Sayang, apa yang kamu katakana tadi benar?" tanya Om Hans, belum melepas pandangannya dari mobil jip Elbert yang mulai menjauh.

"Yang mana?" tanya Tante Ria bingung.

"Tentang romantic roads. Aku sebagai orang Jerman tidak pernah mendengar mitos itu."

Tante Ria terkekeh, "aku hanya mengarangnya. Sudah kubilang, El itu perlu di push agar memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya."

Om Hans hanya menggeleng pasrah melihat tingkah istrinya, "kamu pikir El akan percaya dengan omonganmu? Tapi kamu benar juga, dia sangat berbeda denganku. Kalau aku tidak akan mampu memendam perasaan cinta dan rindu selama bertahun-tahun."

"Tapi aku senang dengan keberanian El, yang langsung menelepon orang tua Sava begitu mendengar kabar kalau gadis itu akan ke Jerman."

"Kukira kamu dan kakakmu yang merencanakan perjodohan mereka?"

"Memang, tapi aku tidak menyuruhnya untuk menelepon kakakku dan melamar anaknya." Jawab Tante Ria enteng sambil mengangkat bahunya tak acuh.

"O iya, sejak kapan kamu tahu El menyukai Sava?"

Tante Ria diam sejenak, memikirkan kapan tepatnya dia mengetahui perasaan El terhadap Sava.

Flashback

Dua tahun yang lalu...

"El, bangun. Hari ini kamu ada jadwal operasi."

Tante Ria kembali mengetuk pintu kamar El pelan, namun tidak ada jawaban dari empunya kamar. Perlahan dibukannya pintu itu, tak didapatinya El di kasurnya.

"El sudah berangkat, Sayang." Teriak Om Hans saat memasuki pintu dapur, "tadi aku bertemu dengannya di jalan."

"Benarkah?" teriak tante Ria dari dalam kamar El sembari menghela nafas pelan melihat meja belajar El yang berantakan, dan dia selalu lupa mematikan komputernya! Dihampirinya meja itu, kemudian menumpuk buku-buku kedokteran El yang tebal di salah satu pojok meja. Tanpa sengaja tangan Tante Ria menyenggol mouse komputer El, dan seketika matanya membelalak saat melihat layar komputer El. Dia menutup mulutnya, tak percaya melihat foto Sava dan El – saat mereka berlibur ke Indonesia terpampang sebagai gambar background layar komputer El.

Hari berganti bulan, rasa penasaran Tante Ria akan perasaan El terhadap Sava tak bisa lagi ditahan.

"Kamu suka dengan Sava?" akhirnya pertanyaan itu muncul saat El mengantar mama tirinya itu ke supermarket dan berhasil mengalihkan pandangan El dari jalan di depannya ke wajah di sampingnya yang menunggu jawaban.

"Apa?! Kenapa Mom bertanya seperti itu?" El berusaha kembali fokus menyetir.

"Mom tidak sengaja melihat layar komputermu saat membereskan meja belajarmu."

Check mate! El mengusap wajahnya kasar.

"Elbert?" panggil Tante Ria, dia masih setia menunggu jawaban dari El. Cukup satu jawaban Ya atau Tidak akan menjawab semua pertanyaan di kepalanya.

"Itu bukan urusan, Mom."

"I know. Tapi aku hanya ingin membantumu. Kebetulan Ayah Sava sedang ingin mencarikan calon suami untuk Sava. Kalau kamu mau, kamu bisa ikut audisinya."

"Untuk jadi suami Sava, aku harus ikut audisi?"

"Tenang, kamu punya 'orang dalam'. Ada Mom yang akan membantumu, kamu pasti lolos. Sekarang kamu tinggal jawab, kamu menyukai Sava?"

Esok harinya, setelah mendengar jawaban Elbert, Tante Ria langsung menelepon ayah Ridwan di Indonesia dan mengatakan bahwa dia memiliki kandidat kualitas super untuk menjadi suami Sava. Di ujung telepon, ayah Ridwan tertawa bahagia mendengar kabar dari adiknya, tak lama kemudian terdengar teriakan, "Sava akan segera menikah!" sebelum sambungan telepon terputus.

-----------

"Elbert, berapa lama perjalanan kita?" tanya Sava sembari membuka bungkus camilan kentang yang baru saja dibelinya – mereka sempat mampir di sebuah minimarket di perbatasan kota Munich.

Elbert mengambil beberapa buah keripik dari bungkusnya yang berada di tangan Sava, "sekitar dua jam perjalanan. Tidurlah, nanti kalau sudah sampai, aku beritahu."

"Tidak mau. Aku tidak mau melewatkan pemandangan sepanjang perjalanan. Apalagi kita akan melewati romantic roads. Akan banyak..."

Sava segera mengambil botol minum miliknya, kemudian menyerahkannya pada Elbert yang kali ini dia benar-benar tersedak. Sava tahu tentang romantic roads? Apakah dia juga tahu tentang mitos ungkapan cinta itu?

"Apa yang kamu tahu tentang romantic roads?" tanyanya dengan nada panik.

"Tidak ada. Resepsionis hotel memberitahuku, kalau perjalanan kita ini akan melewati romantic roads."

"Oh..."

Seketika hening, Sava sedang menatap Elbert lekat. Dia menanti kalimat lain yang akan diucapkan pria di sampingnya. Namun pria itu malahan berbalik memandang bingung pada Sava.

"Apa?" tanya Elbert bingung.

"Kamu tidak tahu apapun tentang romantic roads? Biasanya kamu menjelaskan tempat-tempat yang aku tidak tahu. Bukankah kamu adalah 'Tuan tahu segalanya'."

"Oh..." Elbert kemudian berdeham sebelum menjawab tuntutan Sava, "aku juga tidak tahu banyak. Aku hanya tahu bahwa jalan itu terbentang dari Würzburg di bagian utara sampai Füssen di bagian selatan." Sava mengangguk-angguk mengerti.

"Di sepanjang perjalanan kita ini, kita akan melewati beberapa kota yang termasuk dalam romantic roads, seperti Augsburg dan Harburg yang isinya adalah kastil-kastil dan bangunan khas abad pertengahan. Bahkan kota yang akan kita kunjungi juga termasuk, Rothernburg ob der Tauber."

Sava merogoh tas selempang di pangkuannya, dia kembali mencari kameranya untuk mengabadikan momen perjalanannya bersama Elbert. "Aku tidak akan tidur. Aku ingin memanjakan indra penglihatanku!"

-----------

Elbert meregangkan tubuhnya sejenak setelah memarkirkan mobilnya di halaman hostel yang sudah dipesan mama tirinya. Berulang kali selama perjalanan dia terus menahan tawanya, tidak ingin menganggu tidur nyenyak tuan putrinya – ya, Sava tertidur, lima menit setelah dia mengatakan 'tidak akan tidur selama perjalanan'.

Perlahan Elbert membuka pintu, kemudian menurunkan ransel Sava dan miliknya. Lalu menuju resepsionis hostel untuk check-in. Tak berapa lama setelah itu dia kembali menuju mobilnya untuk membangunkan Sava, namun di sisi lain dia juga tidak tega. Dia pasti kelelahan setelah nonton bola semalam. Kasihan. Atas inisiatifnya, Elbert menggendong tubuh Sava, menuju kamar mereka. Ya, kalian tidak salah baca, kamar mereka! Malam ini mereka akan tidur sekamar! Satu Ranjang!

Mama tirinya benar-benar tahu bagaimana membuatnya kehabisan kata-kata untuk mengomel. Tante Ria membatalkan dua dari tiga kamar yang dipesannya, dan hanya menyisakan satu kamar untuk menginap Sava dan Elbert. Keinginan Elbert untuk memesan tambahan kamar tadipun harus ditelannya kembali, karena hostel full booked! Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah, mereka tidur sekamar dan seranjang!

Selagi Sava melanjutkan tidurnya, Elbert memilih untuk mandi dan bersiap mengajak Sava berkeliling saat dia bangun nanti. Tadi pagi dia tidak sempat mandi, dia langusng sarapan dan menyiapkan segalanya untuk kemari. Sekeluarnya dia dari kamar mandi, di dapatinya Sava tengah berdiri di balkon kamar mereka, menikmati pemandangan kota dengan bangunan yang dipenuhi bangunan abad pertengahan berwarna-warni.

Sava menghirup dalam-dalam udara segar di sekitarnya. Meskipun sudah siang, namun udaranya masih dingin, mungkin karena ini adalah awal musim semi – lagipula di sini tidak banyak mobil, jadi polusi udara pun sangat kecil.

"Sedang apa?"

Sava terlonjak kaget saat mendengar sapaan Elbert, "apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa di kamarku?"

"Begini, ada yang ingin kujelaskan. Stiefmutter membatalkan pesanan kamar yang lain. Hanya tersisa kamar ini saja. Jadi untuk satu malam di sini, kita akan tidur sekamar."

Sava memiringkan kepalanya sedikit, melihat ke dalam kamar, "dan seranjang?"

"Tidak ada pilihan lain." Jawab Elbert pelan. "Kumohon jangan marah. Kalau kamu tidak suka, aku akan cari hostel lain." Lanjut Elbert, kemudian kembali masuk ke kamar, membereskan barang-barangnya ke dalam ransel.

"Elbert." Panggil Sava, membuat gerakan tangan Elbert yang hendak mencapai handel pintu terhenti.

"Ya?"

"Kita bisa tidur sekamar, untuk malam ini. Tidak apa-apa."

Elbert tersenyum, "terima kasih. Bersiaplah, kita akan makan. Kamu pasti sudah lapar." Ujar Elbert sambil mendorong tubuh Sava memasuki kamar mandi. Setelah keduanya bersiap, mereka segera melangkahkan kaki menjelajah kota tua Rothernburg odt.

Menjelajah pusat kota Rothernburg odt memang lebih nyaman jika dilakukan dengan berjalan kaki, terutama untuk menghindari macet di jalan-jalan kecil yang mendominasi isi kota – selain rumah dengan gaya abad pertengahan bercat warna-warni, yang membuatmu seakan-akan berada di negeri dongeng.

Kota Rothernburg odt ini memiliki kemiripan dengan kota Xi'an di Tiongkok, ya, keduanya dikeliling oleh benteng – dulunya saat perang adalah benteng pertahanan

Kota Rothernburg odt ini memiliki kemiripan dengan kota Xi'an di Tiongkok, ya, keduanya dikeliling oleh benteng – dulunya saat perang adalah benteng pertahanan. Jika benteng Xi'an memiliki empat gerbang utama (Barat, Timur, Utara, dan Selatan), Rothernburg odt memiliki enam gerbang utama, yakni Burgtor, Galgentor, Klingentor, Kobolzellertor, Roedertor, dan Spitaltor yang hampir semuanya dibangun pada abad ke-14 Masehi. Beberapa kali langkah Sava dan Elbert harus berhenti, karena Sava sibuk mengagumi dan mengabadikan setiap sudut kota yang membuat netranya terpesona. Belum lagi café-café dengan eksterior unik yang menyediakan kursi dan meja bagi pelanggannya di depan café – karena cuaca sedang cerah dengan suhu hangat memasuki musim semi. Jalan dari bebatuan yang tertata dengan rapi, kemudian beberapa bunga yang mulai bermekaran menambah atmosfir menenangkan sekaligus semangat untuk menyokong langkah Sava menjelajah kota yang dipenuhi dengan museum-museum unik. Diantaranya, museum criminal abad pertengahan, museum natal, serta museum boneka dan mainan.

Walau dibangun di abad pertengahan, namun bangunan di Rothernburg odt ini dilestarikan dengan baik, sesuai aslinya oleh pemerintah Jerman

Walau dibangun di abad pertengahan, namun bangunan di Rothernburg odt ini dilestarikan dengan baik, sesuai aslinya oleh pemerintah Jerman. Mulai dari rumah, toko, gereja, gedung perkantoran, gerbang benteng, hingga pancuran air. Bahkan restaurant franchise McDonald pun dipaksa untuk beradaptasi dengan sekitarnya. Alih-alih kalian temukan papan nama restaurant cepat saji yang identik dengan huruf 'M' melengkung berwarna kuning, drive-thru khas McD seperti di kebanyakan negara termasuk Indonesia, kalian akan menemukan bangunan McD bereksterior klasik. Uniknya, tidak hanya McD yang memiliki papa nama unik. Hampir semua café dan restaurant memasang papan nama yang mirip, hanya lambing dan namanya saja yang berbeda.

"El, apakah ini Snowballchaen yang terkenal itu?" tanya Sava dengan tatapan antusias di depan jendela kaca sebuah café

"El, apakah ini Snowballchaen yang terkenal itu?" tanya Sava dengan tatapan antusias di depan jendela kaca sebuah café. Matanya menatap penuh nikmat pada tumpukan kue berlumuran gula, krim coklat, krim stroberi, taburan kacang, dan lainnya. Elbert mengangguk mengiyakan.

"Mau mencobanya?" tawaran Elbert disambut antusias oleh Sava

"Mau mencobanya?" tawaran Elbert disambut antusias oleh Sava. Mereka langsung masuk ke dalam café.

Seorang wanita seumuran bunda Sava menyambut mereka dengan senyuman lebarnya. Sava menerima uluran sepotong Snowballchaen tester rasa coklat dari wanita itu. Rasanya manis. Tekstur rotinya tidak selembut dan seempuk roti goreng di Indonesia, namun sangat enak! Bentuknya seperti puff pastry dengan tekstur yang lebih keras.

"Kamu mau yang mana?" tanya Elbert, yang dijawab Sava dengan tunjukan jemari telunjuknya pada Snowballchaen rasa coklat, pistachio, dan mocca.

Sembari menunggu minuman dan es krim datang, mereka mengambil posisi duduk di pinggir jendela café

Sembari menunggu minuman dan es krim datang, mereka mengambil posisi duduk di pinggir jendela café. Sengaja Elbert memilih sudut itu, untuk memberikan Sava kesempatan menikmati pemandangan sibuknya kota sambil menikmati dessert khas Rothenburg odt. Sava memulai gigitan besar pada Snowballchaen bertabur pistachio, mulutnya seketika menggembung dan beberapa remahan roti jatuh di jaketnya. Sebuah kesempatan untuk menyeka sudut bibir Sava yang belepotan gula halus tidak disia-siakan oleh Elbert.

"Terima kasih." Ucap Sava masih dengan mulut penuh remahan Snowballchaen.

"Jadi kita mulai makan dari dessert dulu?" Elbert terkekeh. Seharusnya mereka mencari makanan berat untuk mengisi perut mereka yang sedari pagi tadi hanya terisi oleh camilan dari convenient store di perbatasan kota. "Setidaknya ini lebih mengenyangkan daripada halve Hahn." Sambung Elbert, membuat Sava merengut teringat kepercayaan diri berlebihnya yang mubazir kemarin.

"Aku ke toilet sebentar." Ijin Elbert seraya mengusap bibirnya dengan tisu dan bangkit menuju toilet, meninggalkan Sava yang masih asik dengan remahan Snowballchaen di piringnya.

Kelopak mata Sava berkedip beberapa kali. Mencoba memastikan apa yang dilihatnya. Matanya menyipit kemudian, menajam memperhatikan sosok perempuan di kejauhan yang sedang bergelayut manja di lengan seorang pria jangkung berkulit pucat. Nina? Sava hendak melangkah memastikan kalau penglihatannya tidak salah, namun langkahnya terhenti karena kedatangan pelayan café yang membawakan pesana coklat panas dan es krim miliknya.

"Kamu mau kemana?" tanya Elbert sekembalinya dari toilet.

"Oh, sepertinya aku melihat sahabatku, Nina."

"Benarkah? Dimana?" tanya Elbert sambil menolehkan kepalanya mencari sosok yang kemungkinan adalah Nina.

"Ah, mungkin aku salah." Sava kembali duduk di kursinya.

"Telepon saja kalau kamu ragu."

"Ah! Kau benar juga!" seru Sava, kemudian mengambil ponsel dari tas selempangnya. Ditekannya nomoe Nina. Terdengar beberapa kali nada sambung sebelum akhirnya, suara di seberang sana menjawab. Bukan suara Nina, tapi suara bass khas lelaki. Sava menjauhkan ponselnya, mengernyit memandang nomor yang tertera di layar ponselnya, benar kok nomor Nina. "Can I talk to Nina?"

"Hai Sava! Kenapa? Sudah sampai di rumah paman dan bibiku?"

"Siapa tadi yang mengangkat teleponmu?" Sava tidak menjawab pertanyaan Nina.

"Oh, dia Arlo, sahabatku." Jawabnya.

"Sahabat? Sejak kapan kamu punya sahabat selain aku?"

"Sejak kamu meninggalkanku sendirian di London." Jawab Nina sambil terkekeh geli mendengar reaksi sahabatnya seperti kekasih yang posesif.

"Kamu di London sekarang?"

"Ah, tidak. Aku sedang ada di..."

"Rothenburg?" potong Sava cepat.

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku..."

"Ah Sava maaf, aku harus segera pergi dulu. Aku dan Arlo harus segera mengejar kereta ke Praha. Bye! Nanti aku telepon lagi ya. Selamat liburan."

Sava mendengus pelan, karena sahabatnya memutuskan telepon begitu saja. Gusar dia melanjutkan makannya, sesekali menyesap coklat panas, dan bergantian menyendok es krim.

"Apa gigimu baik-baik saja?" Melihat cara makan Sava yang bergantian antara coklat panas dan es krim berhasil membuat Elbert merasakan linu di giginya.

"Tidak, aku hanya kesal. Penasaran dengan sahabatku. Terakhir yang aku ingat dia bilang liburan ini akan stay di London. Tapi barusan aku melihatnya di sini, dan sekarang dia akan ke Praha!"

"Mungkin temanmu tiba-tiba merasa butuh liburan?" Sava memilih tidak menanggapi perkataan Elbert. Dia kembali sibuk menyendok es krimnya sebelum nanti keburu meleleh.

"Apa mood mu sekarang kurang baik?" tanya Elbert pelan.

Sesendok penuh es krim vanilla mendarat manis di mulut Sava, sembari gadis itu menggeleng. "Es krim mengembalikan mood ku. Lagi pula mungkin benar yang kamu katakan. Dia butuh liburan, daripada di duduk di café setiap hari memandang laki-laki yang tidak jelas asal-usulnya."

Elbert hanya mengangguk.

Sekembalinya Elbert dari toilet, dia terlihat begitu tegang. Duduknya tegap, berulang kali tangannya meremas tisu di meja, matanya melirik kepada Sava setiap kali gadis itu menyesap isi mug putih di tangannya. Tingkah ganjil itu akhirnya ditangkap oleh Sava, yang kemudian membuatnya bertanya-tanya.

"Kamu kenapa? Sakit?"

Elbert menggeleng cepat.

"Kenapa mukamu tegang? Kamu lupa bawa dompet?"

Elbert kembali menggeleng sembari berusaha tersenyum.

"Apa coklatmu sudah habis?"

Sava melihat ke dalam mug putih di tangannya, "sedikit lagi." Kemudian menenggak habis sisa cairan di dalamnya dalam sekali teguk. Membuat kedua mata Elbert melebar, jantungnya seketika berdetak lebih cepat.

"Hmmm...?" gumam Sava dengan tepi mug masih menempel di bibirnya. Matanya menangkap sesuatu di dasar mug, seperti sederet tulisan. "Apa ini?" tanyanya sembari memutar-mutar mug.

"Apa? Tanya Elbert penasaran.

"Ini." jawab Sava menunjukan dasar mug pada Elbert, "kurasa ini semacam ungkapan cinta."

Sava mengambil ponselnya, kemudian membuka sebuah aplikasi penerjemah Bahasa. Dia mengetik satu per satu huruf sesuai dengan yang dilihatnya di dalam mug. "Ich steh' auf dich."

"Elbert..." panggil Sava tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

"Ya?" jawab Elbert pelan.

Sava mendongak, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling penjuru café, "kurasa salah satu pelayan di sini menyukaiku. Tulisan ini artinya 'aku menyukaimu' kan?" bisik Sava seraya memberikan mug di tangannya pada Elbert.

Bukannya menerima mug yang diulurkan Sava, Elbert malahan meraih pergelangan tangan Sava yang terulur.

"Bagaimana jika salah satu pembeli di sini yang menyukaimu?" tanyanya dengan menatap kedua manik mata Sava. Pertanyaan yang berhasil mengunci pandangan gadis itu.

 

 

Bersambung...

 

Notes:

Snowballchaen: Makanan khas setempat, sejenis roti goreng yang dilapisi berbagai macam toping seperti coklat, pistachio, gula pasir, dll. Beberapa toping juga diisi didalam roti.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    Baru tau soal negaral baltic. :D

    Comment on chapter I. Leaving England
Similar Tags
Nyanyian Laut Biru
1919      681     9     
Fantasy
Sulit dipercaya, dongeng masa kecil dan mitos dimasyarakat semua menjadi kenyataan dihadapannya. Lonato ingin mengingkarinya tapi ia jelas melihatnya. Ya… mahluk itu, mahluk laut yang terlihat berbeda wujudnya, tidak sama dengan yang ia dengar selama ini. Mahluk yang hampir membunuh harapannya untuk hidup namun hanya ia satu-satunya yang bisa menyelamatkan mahluk penghuni laut. Pertentangan ...
SERENITY
5      5     0     
Romance
Tahun ini adalah kesempatan terakhir Hera yang berusia 20 tahun untuk ikut Ujian Nasional. Meskipun guru konselingnya mempertemukannya dengan seorang tutor, namun gadis ini menolak mentah-mentah. Untuk apa? Ia pun tidak memiliki gairah dan tujuan hidup. Sampai akhirnya ia bertemu Daniel, seorang pemuda yang ia selamatkan setelah terjadi tawuran dengan sekolah lain. Daniellah yang membuat Hera me...
Yu & Way
723      355     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
The Difference
7223      1638     2     
Romance
Diana, seseorang yang mempunyai nazar untuk berhijab setelah ada seseorang yang mengimami. Lantas siapakah yang akan mengimami Diana? Dion, pacar Diana yang sedang tinggal di Amerika. Davin, sahabat Diana yang selalu berasama Diana, namun berbeda agama.
Begitulah Cinta?
14891      2168     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Ketika Kita Berdua
29458      4180     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Arganie
336      217     1     
Short Story
Aleisha and her friend, Alex went to a hidden place called Arganie.
Sekotor itukah Aku
328      243     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...
LUCID DREAM
433      306     2     
Short Story
aku mengalami lucid dream, pada saat aku tidur dengan keadaan tidak sadar tapi aku sadar ketika aku sudah berada di dunia alam sadar atau di dunia mimpi. aku bertemu orang yang tidak dikenal, aku menyebutnya dia itu orang misterius karena dia sering hadir di tempat aku berada (di dalam mimpi bukan di luar nyata nya)
Sampai Kau Jadi Miliku
940      460     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...