Dosa Pelangi
Ceritanya pasti akan berbeda jika saja aku tidak memiliki kesadaran akan norma-norma sosial, dan yang paling penting— agama. Oh, aku memang pendosa yang tidak tahu malu. Apa yang baru saja aku katakan? Kesadaran apa? Tahi kucing!
Seandainya malam itu kamu tidak datang dan mengatakan hal-hal konyol seperti itu, sampai detik ini aku pasti tidak akan pernah memikirkan kamu setiap kali terhimpit dan bergelayutan di dalam gerbong kereta. Mungkinkah kamu, ketika terduduk di dalam kelasmu, memikirkan dosa ini sudah membakarku lebih dahulu sebelum aku sampai ke neraka? Kamu yang menyalakan api neraka untukku.
Sekarang neraka sudah membara dan mengapa kita tidak sama-sama berpesta di dalamnya? Ayo, minumlah anggur yang terbuat dari darah kita sendiri; berteriaklah setiap kali kita ditusuk sampai mati dan dihidupkan lagi— ayo, kita nikmati. Tetap genggam tanganku dan aku akan mencium bibirmu walau malaikat sedang mengulitiku.
Kita bisa menjadi pelangi di jalan-jalan gelap dan terpencil. Jangan lari dan bersembunyi karena aku telah minggat dari rumah untuk ini. Gubuk kita tetap tentram tanpa tangisan bayi. Hanya aku dan kamu— atau kita bisa main ke gubuk pelangi yang lain nanti.
Ah, sekarang aku pasti sudah gila. Aku tidak bisa kehilanganmu tetapi neraka selalu membuatku ingin bersujud. Aku gelisah setiap kali adzan berkumandang. Doa-doa ibuku menguras air mataku. Sayang, aku takut kita hanya akan saling menyalahkan ketika berada di hadapan Tuhan.
Sama2. Mampir di cerita aku ya hehe.