Jam sudah menunjukkan pukul 22.50, sudah cukup malam namun mata Gify masih betah menatap langit-langit kamarnya. Satu jam yang lalu Rion mengantarnya pulang lalu pemuda itu berlalu pulang tidak mampir, karena besok pemuda itu sudah memulai projek barunya otomatis mulai besok Rion akan sibuk lagi.
Begini ya rasanya punya pacar superstar, mau pergi bareng ga bisa setiap saat, mau makan bareng harus diam-diam, mau punya waktu berdua ga bisa seenaknya. Semua harus tertutup, semua harus dirahasiakan kehidupannya bukan lagi miliknya.
Mata Gify beralih pada rak buku yang membentang sepanjang tembok di samping pintu kamarnya. Dengan perlahan gadis itu bangkit dari kasurnya yang nyaman lalu melangkah menuju rak itu. Tangannya terulur pada sebuah album foto biru bercorak hati, lalu membawa album foto itu ke kasurnya.
Gify mulai membuka lembar pertama, album foto itu berisi foto-foto dirinya dan sang kekasih. Sebernarnya untuk foto masa sekolah mereka tak begitu banyak. Tapi beda cerita saat mereka mulai beranjak kuliah, Rion yang mulai punya hobi baru fotografi, sering sekali menjadikan Gify layaknya kartu memori untuk menyimpan berbagai bidikannya, jadilah Gify banyak mengoleksi foto bidikan pemuda itu. Selain itu Gify memang memiliki hobi mengoleksi foto-foto ntah untuk dipajang atau sekadar disimpan, pasangan yang cocok, yang satu hobi memfoto yang satu hobi mengoleksi foto. Tapi belakangan ini semenjak Rion memilih menekuni dunia keartisan dan cuti kuliah, Rion juga cuti dalam dunia fotografi, tentu saja karena kesibukannya, bahkan waktu untuk keluarga dan orang terdekatnya sudah tak banyak jadi terpaksa hobi barunya itu juga sudah tak ditekuni lagi.
Kini Gify sudah sampai di suatu foto, keduanya tampak berada di sebuah restoran cepat saji. Gify mengenakan kemeja putih dibaluti sweater biru dan Rion mengenakan kemeja jins biru, Rion tampak tertawa merangkul Gify yang sedang tersenyum melirik pemuda itu. Kalau Gify tidak salah ingat sepertinya itu adaah kali terakhir dirinya bisa bebas bersama Rion di muka umum, bahkan ada satu janji Rion yang waktu itu belum di penuhi, karena kesibukannya. Tapi Rion sempat mengantarnya pulang dengan angkutan umum sperti kebiasaan mereka saat ngedate, dan itu terakhir kalinya.
***
“Aku yakin Papa kamu bakal ngomelin kamu,” Rion tampak tersenyum melihat Gify yang seakan menatapnya mengancam.
“Jangan bilang Papa makanya,” Rion tahu gadis dihadapannya sangat menyukai ayam goreng tepung yang menjadi menu andalan restoran cepat saji yang kini mereka pilih untuk menghabiskan waktu usai kuliah.
“Tapi kan Papa kamu bener makanan ini ga baik lho kalau sering-sering di makan,”
“Aku ga sering-sering kok, seminggu sekali juga ga nyampe kok,”
“Pinter,” tangan Rion terulur mengacak puncak kepala Gify, Rion memang memiliki kebiasaan itu sejak mereka resmi pacaran. Sebelumnya ia bahkan akan sangat canggung untuk sekadar menggenggam tangan. Tapi walau pun sudah mendapatkan status sebagai pacar Rion tidak pernah melebihi batas, ia menjadikan Gify pacarnya untuk dijaga bukan untuk disakiti.
“Kuliah kamu lancar?” Rion tampak mulai memakan ayam miliknya.
“Ya kaya biasa lah, datang dengerin kuliah, kuis, main bareng Revia,” lagi-lagi pemuda itu tersenyum. Percayalah hidup gadis ini tak semotonon itu kok, hanya saja gadis itu punya kebiasaan yang mirip dengannya, yaitu jarang bercerita. Bedanya kalau Rion karena sifatnya yang pendiam dan cenderung introvert sedang Gify karena sifatnya yang kelewat cuek. Tapi mereka akan mengutarakannya bila waktunya tepat dan tepat pula untuk di sampaikan.
“Ri, kemarin aku ke toko buku langganan aku, terus aku liat koleksi foto baru gitu, fotonya destinasi wisata di Thailand,”
“Oh ya ga beli?” biasanya Gify memang membeli foto bidikan pemandangan atau destinasi wisata untuk dikoleksinya.
“Ga cukup duitnya waktu itu, udah kepake untuk beli novel, baliknya aja nebeng Via,” gadis itu mengerucutkan bibirnya, seolah sayang sekali telah melewatkan kesempatannya.
“Nanti kita liburan ke Thailand ya, kita hunting foto di sana,”
“Serius? Kamu mau motoin buat aku?” mata gadis itu seketika berbinar, dibanding membeli foto, membidik sendiri jauh lebih keren kan?
“Iya nanti ya kita cari waktu, oh iya aku mau minta pendapat kamu,” pemuda itu tampak mengulum bibir seperti ragu-ragu.
“Tentang apa?”
“Menurut kamu aku ikut ini gak?” Rion menunjukkan sebuah pamphlet tentang sebuah audisi, setahu Gify itu adalah audisi pencarian bakat menyanyi terbesar di Indonesia, kebanyakan finalisnya pasti menjadi artis terkenal, penyanyi favorit Gify juga pemenang acara itu beberapa tahun lalu.
“Kamu mau ikut The Superstar?” pemuda itu mengangguk pelan, Gify sendiri bingung apa sebenarnya alasan pemuda itu tiba-tiba mau ikut acara seperti itu, padahal Rion kan pemalu dan kurang suka jadi pusat perhatian, sedangkan acara itu pasti disiarkan di stasiun televisi swasta otomatis Rion akan jadi pusat perhatian, bukan hanya pusat perhatian penonton studio tapi satu Indonesia.
“Tapi kamu tahu kan risikonya? Audisi ini gak sama dengan perlombaan yang sering kamu ikutin, ini perlombaan yang besar, sekali maju bakal sulit untuk mundur,”
“Aku cuman pingin ngembangin potensi diri aku, dan kamu tahu sendiri aku suka dengan bidang ini.” Gify mengangguk mengerti.
“Hidup kamu kan pilihan kamu, aku cuman bisa mendukung kamu,” setelah dipikir-pikir tidak ada salahnya sih meman, demi kemajuan Rion juga kan?
“Terima kasih Fy, aku beruntung punya orang yang bisa memahami aku,”
“Setelah kamu memutuskan untuk ikut acara itu kemungkinan hidup kamu ga akan sama lagi, tapi aku harap itu ga menjadi alasan apa yang sudah berjalan selama ini jadi berubah,” Rion menangkup salah satu jemari Gify merasakan kegelisahan gadis dihadapannya.
“Ga akan ada yang berubah Fy,” mungkin saat ini mudah untuk mengatakan semua akan sama dan baik-baik saja, tapi siapa yang tahu masa depan, bahkan siapa yang tahu apakah Rion akan mewujudkan atau bahkan ingat dengan salah satu janjinya yang baru diucapkannya beberapa waktu lalu.
***
Pagi sekali, saat matahari sepertinya belum mencapai ¾, seorang pemuda dengan kaca mata hitam dan kaus abu-abu dibaluti jaket parasut coklat tampak khusyuk dengan tablet di genggamannya, ia sedang menunggu penerbangan ke tempat syuting mereka yang delay. Beberapa orang yang lain juga tengah sibuk berbincang satu sama lain. Sedang gadis disebelah pemuda itu tampak bosan dan perlu teman bicara tapi, obrolan orang-orang di sekelilingnya tak bisa ia ikuti, ia tak terlalu hobi membicarakan balapan motor internasional yang ditayangkan tadi malam.
“Lo ngerti Ri yang dibicarain mereka?” Gadis itu berbisik ke arah Rion. Rion yang menyadari bahwa Naira, gadis di sampingnya sedang mengajaknya bicara, demi kesopanan pemuda itu menutup tabletnya menegakan tubuhnya dan sedikit menghadap gadis itu lalu terkekeh pelan, gadis itu tampak sekali sedang bosan.
“Satu-satunya olahraga yang gue kuasain dan gue suka cuman sepak bola,” sahut pemuda itu kalem, cukup lama berkecimpung di dunia keartisan membuat Rion yang cenderung tertutup dan pendiam jadi belajar sedikit terbuka dan ramah, terang saja sikap dan attitude-nya sangat disoroti.
“Ah masa lo ga bisa basket, bulu tangkis, catur mungkin?” gadis itu masih penasaran rupanya.
“Ya cuman bisa aja tapi ga mahir dan ga suka,”
“Ada ya yang kaya gitu,” Rion terkekeh melihat ekspresi bingung gadis itu, gadis yang ekspresif.
“Kalo lo?”
“Kalo gue?” gadis itu bertanya sambil menunjuk dirinya.
“Gue sukanya lari,” Rion jadi teringat penjelasan Gify tentang olah raga satu ini.
“Bagus juga olahraga yang ringan dan free, tapi banyak manfaat,” pemuda itu menjelaskan sesuai yang pernah didengarnya dari kekasihnya dulu.
“Maksud gue lari dari kenyataan,” sontak keduanya pun tertawa, selain ramah ternyata Naira memang sangat menyenangkan tidak salah bila ia punya banyak sekali fans, tidak salah setiap kru yang pernah bekerja sama dengannya pasti tak akan keberatan untuk bekerja sama kembali. Dan tanpa mereka sadari menunggu pesawat delay selama dua jam ternyata tak terasa begitu lama.
@aryalfaro terima kasih sudah mampir
Comment on chapter Bingkai 1 : Anak itu