Setap hari perpustakaan semakin sepi karena liburan tinggal beberapa hari. Udara dingin dan rintik hujan membuatnya jadi sering memikirkan Bas. Lift membuka dan Anne-Marie mendongak untuk melihat siapa yang datang. Seorang perempuan ramping dan cantik keluar dari lift. Anne terheran-heran, siapa dia?
Pintu otomatis membuka dan menutup kala perempuan itu masuk dan mendekati counternya. Perempuan itu melihat kesekeliling perpustakaan yang sepi dari mahasiswa. "Perpustakaan ini sudah berubah banyak ya?"
Ah~ orang baru, Anne berdiri untuk menyambutnya. "Perpus ini direnovasi sekitar empat tahun lalu, interiornya dirancang oleh salah satu designer terkenal di Indonesia. Apakah tante alumnus disini?"
Tante itu menatap Anne, ia terlihat puas dengan keterangan dari Anne. "Ya, jurusan Desain Komunikasi Visual. Aku lulus dengan cum-laude." Anne terkesima mendengar pernyataan dari tante cantik di depannya. "Bukankah kau perempuan di foto itu?"
Pipi Anne merona, "yeah, pasti kau mau bilang berbeda jauh dengan aslinya ya." Semua orang mengatakan itu. Anne tergelak sendiri, sementara perempuan di depannya hanya tersenyum datar.
"Kita ngobrol disana yuk, highheels ini membunuhku jika aku berdiri terlalu lama." Anne mengikutinya ke tempat duduk yang ditunjuk dan duduk didepannya. "Lelaki di foto itu pacarmu?"
"Ah~ dulu, kurang dari seminggu. Ironis ya..." Anne memainkan jemari tangannya.
"Apa yang terjadi?" Tatapan tante cantik itu mempelajarinya.
"Kurasa tante akan bosan mendengar ceritaku." Anne mengibaskan tangannya. Dalam hati ia berharap bisa bercerita ke seseorang mengenai Bas, seseorang yang tidak mengenalnya dan tidak mengenal Bas sehingga rahasia mereka tidak akan bocor.
"Ceritalah, aku punya banyak waktu untuk mendengarmu."
Anne girang sekali tante di depannya mau dijadikan tempatnya curhat. "Jadi tante, kami jadian minggu lalu. Minggu ini Bas datang padaku dan memberitahu seorang gadis kaya sudah dijodohkan dengannya dan mereka akan segera menikah. Pilihan yang diberikan pada Bas adalah putus atau aku menunggunya sampai setelah ia menikah. Aku meminta Bas memutuskanku." Anne menatap kosong ke meja, kepada kedua jemarinya yang bertautan.
"Lalu?"
"Bas mengajakku kawin lari." Anne tertawa terbahak-bahak, sementara perempuan di depannya terkejut sambil memegang dadanya. "Aku tau, bukankah itu romantis? Bas rela meninggalkan semuanya, bahkan orang tuanya."
"Itu gila, kau tau?! Tidak masuk akal!" Sergah tante didepannya merasa kesal, Anne terkejut mendengar komentarnya. Kemudian suaranya melembut, "lalu... kenapa kau tidak kawin lari dengannya? Kau mencintainya juga bukan? Dia anak orang kaya."
Anne tertawa, "yeah, sekarang aku berpikir kenapa tidak ya? Tapi, cinta tidak sesederhana itu, hanya mementingkan perasaan kita dan mengorbankan perasaan orang lain. Bas anak satu-satunya lelaki dan calon penerus tahta, tanggung jawabnya terhadap keluarga sangat besar, walaupun dia membenci orang tuanya." Evelyn lagi-lagi membelalak sambil tangannya memegang dadanya.
"Aku bisa sampai sejauh ini dari kampung halamanku karena usaha sendiri, jadi tidak pernah terpikir olehku mendekati Bas karena status dan kekayaannya tante.Kami bertolak belakang, yang kurang darinya hanyalah cinta dan kasih sayang. Dipihakku, kondisi sebaliknya... keluargaku hanya punya cinta dan kasih sayang. Bas layak mendapatkan cinta, dia lelaki yang sangat sangat lembut.
"Tetapi aku sudah merelakan Bas, meskipun itu menyedihkan. Setiap kali aku memikirkan Bas, aku merasa sangat kasihan padanya. Ia mungkin akan menjalani hidup seperti orang tuanya."
"Hidup seperti apa maksudmu?"
Anne menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. "Hidup yang hampa dan pernikahan tanpa rasa."
Lyn rupanya meninggalkannya setelah mereka cekcok dan Evelyn terpaksa pulang sendiri dari kampus dengan menggunakan taxi. Di perjalanan, kata-kata Bas; kata-kata Lyn; kata-kata Anne, semua berulang-ulang dan membuatnya bertanya-tanya apakah ia seburuk itu?
Ketika Evelyn masuk ke ruang keluarga, suaminya sedang membaca koran sambil menyalakan televisi. Eve melempar tasnya ke sofa dan mematikan televisi. Lelaki itu mendelik kearahnya dari atas koran, ia mendapatkan perhatiannya.
"Kau bisa tidak cari tempat lain di rumah ini, jangan ganggu aku." Tanto mengusir istrinya. Ketika Evelyn tidak bergerak, Tanto bangun dari duduknya, mendengus dan melempar koran yang sudah dilipat itu keatas meja; dan hendak beranjak dari ruangan itu.
"Duduk To." Tanto tidak mengindahkan kata-kata Eve. "Duduklah, kita bicara." Eve mendekat dan duduk disebelah suaminya.
"Jika masih ada yang perlu kita bicarakan, pengacaramu bisa menghubungi pengacaraku."
"Duduk kataku! Aku mau bicara, tidak bisakah kau berikan aku waktu sebentar?!" Evelyn membentak. Ayah Bas yang sudah berbalik hendak pergi berhenti dan menghadap istrinya, matanya mempelajari perempuan yang sudah dinikahinya belasan tahun, kemudian ia memutuskan untuk duduk.
"To, apakah aku istri yang tidak baik? Seorang Ibu yang payah? Jawab aku dengan jujur."
Tanto menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan. Ia merasa lega diberikan kesempatan untuk berbicara sejujurnya setelah sekian tahun pernikahan mereka. "Eve, Kau istri yang luar biasa. Kau membantu memajukan perusahaanku, kau membentukku menjadi orang yang keras sehingga aku mampu berpikir dingin. Aku lah yang lemah, aku tidak bisa mengimbangimu.
"Kau juga ibu yang luar biasa telah melahirkan Lyn dan Bas, namun mereka hanya anak-anak. Mereka tidak bisa mengimbangimu, Lyn mungkin mengambil gen-mu lebih banyak, tetapi Bas lebih mirip aku. Kami butuh kelembutan dan kasih sayang. Kau membuat Bas rapuh, sekarang kau akan mematahkannya menjadi abu." Ayah Bas menunduk dibawah tatapan Evelyn. Hati Eve seakan-akan teriris-iris sedikit demi sedikit melalui kata-kata Tanto.
"Apakah kau mencintainya?"
"Julie?" Tanto menerawang dan tersenyum pada udara kosong didepannya. "Dengan sepenuh jiwa Eve. Salahku tidak membawa anak-anak bersamaku. Kupikir kau bisa berbahagia tanpaku dengan adanya anak-anak. Kau juga masih cantik dan bisa mencari suami yang jauh lebih baik dariku. Seseorang yang bisa mengimbangimu." Ia menatap lantai lagi, seakan-akan kehidupan masa lalunya diputar disana.
"Apakah kau pernah mencintaiku?" Eve ikut menekuri lantai marmer di depannya.
"Jujur--tidak pernah." Tanto menoleh dan menatap sedih pada Eve, ia mengasihani perempuan ini yang mendedikasikan diri untuk dirinya sendiri. Titik-titik air mata Eve jatuh ke lantai. Tanto merengkuh pundak Eve dan berkata lembut, "Eve, jika bisa... berbaik-hatilah pada Bas, ia benar-benar terpuruk mengetahui ia akan menjalani kehidupan seperti kita. Yang sudah kita lalui adalah suatu kesalahan, jangan kau ajari anakmu kesalahan yang sama. Biarkanlah mereka membuat kesalahan mereka sendiri, menyadarinya lalu mencoba memperbaikinya. Itulah hidup Eve, sebuah pelajaran." Mata Tanto berkaca-kaca, ia memohon pada Eve.
Ketika Eve mendongak, air mata penyesalan membasahi wajahnya yang cantik. Ia menangis sejadi-jadinya di dada orang yang akan menjadi suaminya untuk terakhir kali.
@deborahana hugs... terima kasih Deb
Comment on chapter 21. Semester Baru Bersama Anne