Sebastian pulang esok paginya dengan gontai. Ia masuk melewati ruang keluarga dimana ayahnya sedang menonton TV sambil membaca koran. Melewati ibunya dalam pakaian tidur yang sexy sedang makan sendirian di ruang makan. Melewati kamar Lyn dengan pintu terbuka, menuju kamarnya.
"Bastian!" Lyn berlari mengejar Bas dan masuk ke kamar Bas sambil membanting pintu. Bas terpaku berdiri di depan ranjangnya.
"Bas, kupikir kau tidak akan pulang lagi." Mata Lyn berkaca-kaca. Bas menoleh perlahan menatap Lyn. "Aku mengkhawatirkanmu. Apa yang terjadi Bas?"
Bas duduk lemah di pinggir ranjangnya diikuti Lyn. "Kami putus Lyn. Anne memintaku memutuskannya." Bas menatap kosong kearah pintu masuk.
"Oh~ Anne yang malang." Lyn memeluk Bas. Ketika Bas berpikir ia tidak bisa menangis lagi, sebulir air matanya jatuh, mengalir ke sela-sela rambut Lyn.
Bas menolak makan, ia hanya ingin sendirian. Ayah dan ibunya akan bercerai namun Bas merasa ialah orang yang paling menderita, bukan mereka. Ia butuh minum, butuh melupakan semuanya untuk sementara. Diluar kamarnya, sepi dan gelap. Lyn sedang pergi. Bas masuk ke pantry dan terkejut mendapati ayahnya sedang minum sendirian dalam gelap.
"Ah kau dad, kau mengejutkanku." Bas baru akan menyalakan lampu ketika ayahnya melarangnya.
"Nyalakan lampu di sudut itu saja jika kau merasa terlalu gelap, aku sedang tidak ingin menampakkan diri." Suara ayahnya terdengar parau, Bas bertanya-tanya sudah berapa lama orang tua itu minum disana.
Bas berjalan ke sudut ruangan dan menyalakan lampu tinggi, seperti petunjuk ayahnya. Ia juga sedang tidak ingin terlihat. "Mana mom?" Tanya Bas ketika kembali ke depan meja pantry dan mengambil gelas untuk bergabung dengan ayahnya.
Ayahnya mendengus keras, "pergi dengan Filia dan ibunya. Menghabiskan uangku." Bas menaikkan alisnya terkejut akan komentar pedas dari ayahnya. Ia sudah lama tidak bertemu ayahnya, secara jujur ia tidak mengenal sifat ayahnya sama sekali.
"Kau kelihatannya membenci mom? Kau yang mau cerai ya dad?" Bas menuangkan cognac dari botol Chivas Regal ke gelas mereka.
Ayahnya terkekeh. "Cheers untuk kebebasan!" Denting gelas berkumandang. Berdua mereka menandaskan minuman itu dalam satu tegukan, rasa panas yang familiar mengaliri tenggorokan Bas. Bas berpikir paling tidak ia memiliki kesamaan dengan ayahnya.
"Dad, kenapa kau mau cerai?" Tanya Bas penasaran.
"Evelyn itu licik Bas, dia bagai ular berbisa. Dia menipuku." Ayah Bas menegak gelasnya, Bas menyusul sambil mendegarkan cerita ayahnya yang setengah mabuk. "Dia dijodohkan denganku karena orang tua kami kaya. Tetapi waktu itu aku telah berpacaran dengan Julie--mahasiswi arsitek. Kami bahkan sudah siap kawin lari, jika tidak tertangkap basah Evelyn dan orang tuaku. Kemudian..." Ayah Bas berhenti sebentar untuk menuangkan lagi minuman beralkohol itu kedalam gelas mereka. Bas tertegun dengan kemiripan cerita ayahnya dan kondisinya sekarang. Apakah ayahnya terlalu mabuk hingga ceritanya tertukar dengan cerita Bas?
"Evelyn menawarkan Julie untuk putus denganku atau Julie bisa menungguku sampai kita menikah." Wait! Berarti mom mengajarkan Filia untuk memberikan penawaran itu padaku. Mom tau aku sudah berpacaran, rasa dingin merayapi punggung Bas.
"Aku berpikir Julie mungkin hanya akan menungguku satu sampai dua tahun lalu aku bisa kembali lagi ke dirinya, dengan egois aku meminta Julie menungguku Bas. Evelyn menggunakan berbagai macam cara agar aku tidak pergi, salah satunya dengan menggunakan Lyn dan kau." Mata ayahnya memerah penuh kemarahan ketika dia menatap Bas.
"Satu sampai dua tahun berubah menjadi sebelas tahun. Bayangkan Bas, dia rela menyia-nyiakan 11 tahun masa mudanya untukku. Julie bahkan tidak mencariku, ia tidak mau keluargaku berantakan. Akulah yang mencarinya disaat aku benar-benar putus asa dengan Evelyn." Ayah Bas meneguk lagi, Bas menyeimbanginya, rasa panas mulai naik ke sisi wajahnya. Ia butuh lebih banyak lagi dan mulai menuang.
"Aku menemukannya. Rasanya lega sekali Bas berada disamping Julie." Mata ayahnya menerawang. Bas menandaskan gelasnya dan mengisinya lagi. "Bukannya aku tidak bersyukur, Evelyn perempuan yang cantik, sexy, hebat, dia efisien, logis,..."
"Dingin, tidak berperasaan." Bas meneruskan.
"Yeah, kau benar itu anakku. Aku sekarang kasihan padamu, kurasa Filia sama seperti Evelyn. Aku dapat melihat persamaan mereka. Jika aku bisa membantumu Bas, aku akan melakukannya." Ayah Bas menatap Bas lembut.
Bas berpikir sebentar dan berharap, "bisakah kau batalkan pernikahan itu dad?"
Sutanto Lingga cekikikan kemudian tawanya hilang ketika menjawab, "tidak bisa sayangnya. Itu urusan Evelyn, perjanjiannya dengan para iblis."
Bas berpikir lagi dan berharap lagi, "Kalau begitu, bisakah dad bantu agar Anne bisa mendapat beasiswa sampai dia lulus dad. Hanya itu yang kuminta."
"Done! Kalau itu aku bisa membantumu Bas, anggap saja permintaan maafku karena tidak mendampingimu waktu kecil. Syarat ketentuan berlaku ya karena jika IPK-nya jelek aku tidak bisa berbuat apa-apa."
"Tenang dad, Anne anak yang pintar." Bas mereguk lagi dengan cepat cognac yang membakar tenggorokannya dengan rasa manis.
"Ah~ seperti Julie-ku. Aku merindukannya."
Bas senang sekali ayahnya menyetujui permintaannya akan beasiswa Anne. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk Anne, ia ingin melihat Anne terbang tinggi dan terbang jauh mencapai cita-citanya. Dan mungkin suatu hari Anne akan kembali padanya.
Bas melihat ayahnya mulai mabuk, ia menyingkirkan gelasnya dan membawa sisa cognac itu ke kamarnya. Dari bawah ayahnya meneriakkan namanya dan memaki-makinya agar mengembalikan minuman itu. Bas terkekeh, persetan dengan ayahnya!
Jumat itu, Bas sedang pergi bertanding basket yang mengambil tempat di lapangan Universitas Indonesia, Depok. Ayahnya sedang pergi bersama pengacaranya. Lyn terpaksa menemani ibunya ke kampus untuk acara meeting tahunan para donatur. Lyn baru tau kalau ibunya alumni UMUNUS jurusan DKV dan salah satu yang terbaik di fakultasnya.
"Lyn, sedang ada pameran ya di aula desain. Kita lihat-lihat yuk." Lyn mengangguk dan berjalan mengikuti ibunya. Karya-karya mahasiswa desain dipasang secara apik dan dibagi per area. Mereka melihat-lihat karya calon desainer masa depan dan terpana melihat betapa kreatifnya anak jaman now.
"Mom, kau harus melihat ini." Lyn memekik dengan antusias tinggi ketika ia masuk ke pameran DKV.
Ibunya yang berada di luar area pamer DKV buru-buru menghampirinya, "Oh~ apakah itu Bas dan..."
"Anne mom, Anne-marie namanya."
Evelyn mendengus dan mencibir, "cantik juga gadis miskin itu."
"Mom, kau tidak berhak mengatakan itu! Dia anak yang pintar, anak yang baik, seorang malaikat untuk Bas, kau tau?" Lyn tersinggung dengan kata-kata ibunya mengenai Anne. Ia merasa harus membela Anne dan Bas. "Oh~ maaf, kau tidak tau apa-apa."
Evelyn langsung menoleh dan menyipitkan matanya dengan rasa tidak senang, "apa maksudmu Lyn?"
"Kau tidak melihat apapun dari anak-anakmu mom, kau tidak melihat Bas yang terluka karena perjodohan itu, kau tidak melihat aku sedih karena adikku sedih, kau juga tidak melihat dad tersiksa ketika bersamamu. Kau cuma melihat dirimu sendiri! Berkacalah mom. Lihat itu! Lihat ekspresi Bas disana, kau tidak akan pernah melihat dia tertawa lagi, kau tidak akan pernah melihat dia jatuh cinta lagi. Kau sudah membunuhnya. Kau sudah membunuhnya sejak kecil." Lyn tidak tahan lagi dengan ibunya, kata-kata merendahkan yang sering ia dan Bas terima sejak kecil bahwa mereka yang menyebabkan ia dan dad berpisah.
Ketika Lyn pergi, kata-kata terakhirnya membuat Evelyn terkoyak-koyak. Benarkah ia ibu yang sekejam itu? Evelyn berbalik dan melihat deretan foto candid Sebastian di ruang pamer. Bas yang tertawa, Bas yang malu-malu, Bas yang jatuh cinta....
Antara Lyn dan Bas, Evelyn paling sayang dengan Bas. Sebastian adalah anak yang penurut--berbeda dengan Lyn--Bas itu manja, sehingga seringkali hatinya luluh ketika Bas bergelayut padanya. Ketika suaminya meninggalkannya, Evelyn merasa frustasi. Ia sudah berusaha menahan lelaki itu agar tidak pergi dengan melahirkan Lyn, kemudian Bas; namun keinginan suaminya sangat kuat untuk kembali ke kekasihnya yang lama sesuai janji.
Rumah itu menjadi pengingat akan cintanya pada Tanto. Itu menyakiti hatinya dan membuatnya ikut pergi dari rumah. Anak-anaknya dibiarkannya diasuh oleh suster dan pelayan, Evelyn mensupervisi perkembangan anak-anaknya setiap hari dari jauh melalui remote CCTV. Dipikirnya jika dia pergi maka Tanto akan kembali; dan dia akan kembali. Ketika suaminya tidak pernah kembali, kemarahannya juga membuatnya tidak pernah kembali. Sebulir air matanya jatuh dan Evelyn segera mengambil sapu tangan sutranya dan mengusap matanya dengan anggun. Ia tidak tau bagaimana menebus dosanya pada Lyn dan Bas.
Seorang mahasiswa DKV melewatinya dan Evelyn mencegatnya, "Dik, perempuan di foto itu--Anne -Marie--apakah dia ada disini? Dimana bisa kutemui dia?"
@deborahana hugs... terima kasih Deb
Comment on chapter 21. Semester Baru Bersama Anne