Read More >>"> Rver (1| Sena & Jhordan - Mahasiswa Baru) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rver
MENU
About Us  

First Impression

First impressions, First words

Expressions, Reactions

They can say a lot about a person

Good, bad, happy or sad

Brings a smile or a frown

The eyes say so much

Such as love at first sight or mistrust

 

S e n a

Drrt. Drrt.

Drrt.

Mata gue mengerjap-ngerjap dan telinga gue serasa pengang mendengar suara getar yang sudah gue dengar sejak setengah jam lalu itu. Suara itu berasal dari benda tipis kotak berwarna hitam yang teronggok di sudut meja belajar gue. Suara alarm yang bunyi setiap lima menit sekali dan gue matikan dengan semena-mena karena mata gue belum sanggup untuk membuka.

Tadinya, benda hitam itu berada di sebelah gue, tetapi semakin bergetar, dia bergerak ke ujung meja. Kebiasaan gue kalau berupaya untuk mengambis di tengah-tengah kelelahan adalah memasang alarm yang jaraknya gak pernah lebih dari lima belas menit. Setelah berbunyi, gue akan belajar hingga pagi hari.

Tapi hari ini beda, badan gue rasanya mau pecah begitu aja. Dan ketika mata gue akhirnya membuka untuk melihat jam yang tertera di dinding kamar gue, hampir saja gue terlonjak karena jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

Pukul tiga pagi tapi tugas gue belum selesai.

“Dan,” panggil gue dengan suara yang pelan agar tidak mengganggu penghuni kosan lainnya. “Jhordan.” Gue yakin suara gue akan terdengar karena kamar dia berada tepat di sebelah kamar gue –kecuali kalau dia tengah tertidur pulas seperti biasanya.

Tapi, ya, seperti yang gue sangka makhluk itu gak bakal menyahut di pagi-pagi buta begini.

“Kenapa, Sen?”

Suara lain justru menyahut dengan lembut. Tapi tenang, itu bukan lelembut. Siapa lagi yang bangun di pagi buta seperti ini kecuali Dennis? Dennis akan bangun setiap jam tiga pagi untuk shalat tahajud dan dilanjutkan dengan belajar hingga subuh, lalu kemudian dia akan mandi paling pertama. Masya Allah.

“Gak, Den. Gue mau nanya ke Jhordan tugasnya udah beres apa belum,” jawab gue. “Tapi dia gak mungkin jawab, sih.”

“Kayaknya dia belum kelar, pulang rapat dia langsung tidur, Sen,” terang Dennis. “Sen, lo mending tidur aja, deh. Tugas kan bisa nego sama dosen, apalagi lo ketua kelasnya. Lo sibuk kaya gitu, tidur gak pernah lebih dari dua jam. Gak baik tahu.”

“Usaha gue ini gak bakal sia-sia, kok,” jawab gue sambil menghela napas. Memandang dinding sebelah kiri kamar gue –di mana kamar Dennis berada. “I am just trying to manage my time, I want all of them are balance. Tapi btw, makasih udah nasihatin gue. Mungkin manajemen waktu gue yang buruk.”

“Hahaha,” Dennis tertawa pelan. “You’re just too busy. Punya cewek dong, Sen. Biar semangat kalau begadang, ada yang semangatin, ada yang temenin, jadi alarm lo bukan alarm yang lo pasang setiap menit itu.”

“Cewek apaan, Den? Hahaha,” gue balas tertawa. “Ya udah lo lanjut belajar aja, gue juga mau belajar dan ngerjain tugas.”

“Siap, Pak Bos!”

Suara itu adalah suara yang terakhir gue dengar dari seorang Dennis. Gak kok, dia gak pergi. Tapi Dennis pasti sudah tenggelam pada dunianya sendiri –pada  buku psikologinya yang tebal dan isinya tulisan semua. Ya, mending gue, kan? Ada gambar batu-batunya yang seenggaknya membuat rasa malas gue untuk membacanya menjadi berkurang karena atraksi dari gambar tersebut.

Baru beberapa menit gue mengerjakan tugas, handphone gue kembali bergetar. Kali ini bukan karena alarm tadi, tetapi karena ada sebuah telepon yang masuk.

Mata gue memicing ketika mencoba melihat nama yang tertera di layar handphone gue.

Nama yang selalu menelepon gue pagi-pagi buta begini dan pasti ada maunya.

Nandhika Sahara, ketua pelaksana ospek jurusan angkatan ini.

“Kenapa, Nan?” Tanya gue sambil masih mengerjakan tugas yang sudah gue kerjakan seperempatnya. “Gue harus datang lagi ke sana?” Tanya gue setengah kesal. Karena, saking seringnya Nandhi meminta bantuan gue dalam urusan perospekan itu, gue jadi hapal apa yang harus gue lakukan setiap dia menelepon.

“Gak, gak, kali ini lo gak perlu ke sini. Tapi ini, Sen. Ada satu nama yang belum dimasukkin ke kelompoknya, gue udah telepon sekretaris tapi kagak dijawab,” ujar Nandhi dengan nada panik. “Hari ini osjur pertama, gue gak boleh gagal.”

Nandhika Sahara, seperti biasa, adalah seseorang yang selalu panik tanpa mengerjakan apa pun. Karena kepanikannya itu, dia malah tidak bisa mengerjakan apa-apa, bahkan hal kecil seperti yang tadi dia minta kepada gue.

Apa susahnya sih memasukkan nama satu orang ke dalam kelompok?

“Sen?” Panggilnya lagi. “Ini gue masukin ke mana, ya? Lo bisa bantu gue, gak? Nanti gue kirimin filenya. Terserah lo aja.”

“Kan tinggal diketik, Nan,” jawab gue masih dengan nada yang sabar.

“Iya tapi gue harus ngerjain yang lain,” jawabnya masih dengan nada yang panik.

Seorang Nandhika Sahara bahkan merelakan nilainya hanya untuk bergelut di dunia organisasi dan menjadi seseorang berpengaruh di dalamya. Tapi, tanpa dia tahu, dia selalu berputar dalam lingkaran yang sama, panik –gak bisa ngerjain apa-apa –terbengkalai –panik lagi. Pada akhirnya, orang lain yang mengcover pekerjaannya.

Salah satunya adalah gue. Mau bagaimana pun gue kesal pada seorang Nandhi, gue akan selalu berkata ‘ya’ ketika dia menyuruh gue melakukan sesuatu. Alasannya cuma satu, gue gak pernah merasa puas jika pekerjaan gue dilakukan oleh orang lain. Kalaupun itu dikerjakan orang lain, paling tidak ada beberapa bagian yang harus gue edit. Ya, karena gue setidak percaya itu.

“Ya udah,” jawab gue.

“Ya udah gimana, Sen? Lo gak sibuk, kan?”

Gue memandang tugas gue yang kini sudah selesai setengahnya. “Gak.”

Thanks, gue udah kirimin filenya, ya.”

“Oke.”

Telepon itu ditutup dengan semena-mena –sama dengan cara gue mematikan alarm yang berbunyi pada jam satu pagi dan pada akhirnya gue bangun pada jam tiga pagi. Seperti yang gue lakukan biasanya, gue langsung membuka laptop dan mengerjakan apa yang harus gue kerjakan.

Nandhika Sahara : Maba yang belum masuk namanya Bening Asmara Nidalaina, NPM 260120170090. Dia telat daftar ulang, makanya pas gue buka file yang awal gak ada nama dia

Bening Asmara Nidalaina.

Bagus juga namanya.

Tangan gue bergerak menyusuri kelompok-kelompok ospek dan melihat kelompok mana yang masih kekurangan orang. Setelah menelusuri beberapa kali dan menyadari bahwa semua kelompok sama, gue mempunyai suatu ide.

Dan ide itu membuat gue berakhir dengan senyuman miring.

***

J h o r d a n

“Sen,” panggil gue.

Tanpa menoleh, Sena menjawab sambil masih terus melajukan mobilnya. “Oy.”

Pagi ini adalah pagi yang sangat indah buat gue. Saking indahnya, gue sampai bersemangat sekali menuju kampus gue dan mau-maunya nebeng Sena yang udah berangkat satu jam sebelum masuk –ketika kampus gue tepat di belakang kosan. Ya, walaupun harus memutar arah, setidaknya itu cukup ditempuh dalam waktu sepuluh hingga lima belas menit.

Eit tapi, pagi ini adalah pagi yang indah buat gue, karena gue gak perlu ikut kelas selama seharian ini. Kenapa coba? Karena ada pembukaan ospek jurusan dan gue jadi komdis! Akhirnya, gue bisa membolos dengan penuh rahmat pada mata kuliah geologi sejarah oleh dosen tercinta gue yang baru ngomong satu kata udah bisa bikin gue terbang ke alam mimpi.

Gue gak pernah suka sejarah. Menceritakan masa lalu yang tidak akan pernah terulang kembali membuat gue berpikir, ‘Terus, kenapa gue harus tau tentang itu? Kenapa gue harus peduli pada masa lalu?’

Ya, intinya gue gak suka sejarah karena sejarah itu masa lalu.

Gue sih orangnya gak pernah mengingat-ingat masa lalu. Gak guna, mending menatap masa depan, iya, gak?

Ketika gue udah nyengir-nyengir gak jelas dan sangat bahagia dikarenakan bisa tidak mengikuti kelas seharian penuh, hal sebaliknya terjadi pada seorang Sena. Mana mau dia bolos satu matkul walaupun dipagari dengan kata dispensasi? The real ambis people zaman now adalah Sena.

Karena, sekarang gue bisa menebak apa yang membuat dahinya berkerut sejak tadi. Makin cepet tua anjir kalau dia kebanyakan mikir gitu. Pasti dia sedang berpikir bagaimana caranya tetap menjadi panitia ospek yang berkualitas tanpa harus izin matkul.

Kadang gue heran, kenapa ada orang seperti Sena di dunia ini yang kasurnya sangat empuk tapi tidak pernah tidur di kasur –karena waktunya lebih banyak dihabiskan di atas meja belajar? Bagaimana pun, seorang Bhismasena sebenarnya adalah panutan gue yang tidak pernah gue akui dan tidak pernah jadi gue turuti kebiasaan baiknya.

Gue sih santai aja menghadapi masa muda ini. “Lo bolos matkul Pak Husen aja, kali-kali. Hari ini kan cuma satu matkul, Sen. Lo bolos satu kali gak bikin nilai lo jadi D,” ujar gue yang dijawab oleh cengiran Sena.

“Bukan gitu, Dan. Masalahnya, gue bego banget di mata kuliah ini, semakin gue gak masuk, semakin bego, dong.”

LAH KAN GUE JUGA?

Tapi kenapa gue gak merasa kayak gitu, ya?

Jawaban Sena itu berakhir membuat gue diam, karena gue gak bisa membantah. It feels like gue mau mengajak dia kepada keburukan, tetapi jawaban dia justru menggoyahkan niat gue. Karena, gue rasa jawabann dia memang benar? Tapi gue gak mau mengakui.

POKOKNYA GUE HARUS GAK IKUT MATKUL PAK HUSEN TITIK.                 

“Gue kan kompin. Mungkin gue dateng di tengah-tengah acara juga oke,” lanjut Sena. “Lo pasti belum kerjain tugasnya, kan?” Dia melirik gue dengan senyuman mengejek.

Lah gue bahkan baru inget anjir kalau ada tugas.

Deadlinenya kapan?”

“Hari ini sih,” jawab Sena lagi. “Tapi kalau lo ada surat dispensasi bisa ditunda jadi besok.”

“Ya udah besok ae,” jawab gue.

“Udah?”

“Udah apaan sih?”

“Kok lo gak panik karena belum kerjain tugas? Belum lagi kita hari ini pasti balik tengah malam dan kegiatan lo akan tetap sama sesampainya di kosan. Tidur,” ujar Sena lagi.

Wah, benar-benar si bangsat ini mengerti sekali hal-hal yang gue lakukan dari bangun tidur hingga tidur lagi. Gue hanya mendengus ketika Sena mengatakan hal yang menyentuh batin gue terebut hingga rasa-rasanya gue ingin tobat tapi gue gak mau.

Pandangan gue hanya menyusuri sekeliling mobil Sena yang rapi. Selain rapi, mobil Sena adalah mobil yang paling wangi jika dibandingkan dengan mobil Bang Ijul atau mobil Bang Yoga. Sekarang pun, gue sudah bisa mencium aroma-aroma mint di mobilnya ini. Macam mobil bapak-bapak kantoran yang punya selingkuhan banyak.

“Sen, lo suka cewek apa cowok?”

“Ha?” Sena menoleh pada gue yang memasang muka nyengir.

“Lo sebenarnya suka sama cewek apa gak sih?” Tanya gue bercanda. Tapi ternyata perkataan gue ini menyebabkan kening Bhismasena mengerut kembali dan terlihat berpikir. Ya ampun, gue harusnya sudah bersujud di depan Sena karena membuat dia seperti itu.

“Lo ngira gue gay?”

“Ya, gak juga, Sen,” jawab gue. “Hehehe. Tapi lo gak pernah punya pacar, jomblo dari lahir kan, lo?”

Sena terkekeh. “Yaa iya, sih. Gue belum mau aja, bukan berarti gue gak suka sama cewek dan gak mau punya pacar. Semuanya ada waktu yang tepat.”

Ingin rasanya gue berteriak, woy kalau jodoh lo gak lo kejar, lo bisa jadi perjaka tua, gimana kalau gue udah punya anak tujuh dan dia cuma termenung di depan rumahnya sambil berharap sesorang datang? It’s so sad, man.

Tapi, seorang Sena sangat percaya apa yang namanya takdir, usaha, dan hasil yang membuatnya selalu berusaha menjadi orang yang berkualitas di mana pun ia ditempatkan. Gue berpikir juga, sih. Sebenarnya si Sena ini banyak banget yang suka, tapi dia seakan menutup mata karena dia ingin mengejar semua mimpinya dulu.

Dulu sekali, waktu dia SMA –kata Dennis yang satu sekolah dengan Sena, banyak sekali cewek-cewek yang menyukai Sena karena kharisma dan kegantengannya sebagai ketua OSIS saat itu. Tapi, semua cewek itu akhirnya menyimpan rasa sukanya dalam diam dan gak lagi mengejar-ngejar Sena dikarenakan cara bicaranya yang dingin dan ketus pada perempuan serta disiplin yang sangat-sangat kebangetan.

Berkat Sena sebagai ketua OSIS, sekolah mereka menjadi sekolah yang aman, damai, dan tentram. Cerita itu sudah menjadi cerita lumrah di antara teman sepergosipan gue di maison de rêve, siapa lagi kalau bukan Bang Yoga yang kalau sudah bergosip mulutnya harus gue sumpel biar berhenti. Apalagi kalau dia bergosip sambil masak, udah macam ibu-ibu arisan.

“Maba cewek angkatan baru ini ada berapa, sih?” Tanya gue lagi.

“Dua puluh lima kayaknya,” jawab Sena. “Kenapa?”

“Dua puluh lima per sembilan puluh?” Tanya gue sambil menganga. “Lumayan juga, ya, banyak.”

Jurusan gue yang sangat laki ini membuat hampir dari seluruh populasinya adalah laki-laki, maka dari itu gue sangat heran ketika di angkatan ini cukup banyak anak perempuan yang masuk ke jurusan ini. Ya, gak apa-apa lah, cuci mata lihat dedek baru.

“Yo-i, mereka gak tahu ya kejamnya kita,” ujar Sena, kemudian tertawa.

“Kejamnya gue maksudnya?” Balas gue.

“Nah itu,” jawabnya lagi, kali ini tawanya lebih kencang.

Mobil Sena telah melewati tulisan yang terpampang besar di depan pagar dan segera memarkirkan mobilnya di tempat parkir yang sebenarnya masih kosong –baru beberapa panitia yang hadir.

Para mahasiswa baru sudah berseliweran dengan pakaian kotak-kotak dan celana jeans mereka, serta tas besar di punggungnya. Mereka membuat lingkaran-lingkaran kecil –biasa lah mahasiswa baru pasti berkubu-kubu.

Mata gue tertuju pada sesosok perempuan yang tengah berduaan dengan temannya. Bercanda dan sesekali tertawa.

Woy, itu dia kecengan gue pas dia daftar ulang!

“Sen, gue udah ganteng, kan?” Tanya gue.

Sena menyipitkan matanya dan memandang gue. “Like usual.”

“Ah elah!”

“Iye-iye ganteng,” jawabnya. “Kenapa emang?”

“Mau ketemu kecengan gue kan nanti,” terang gue cepat. “Emang gak ada mahasiswa baru yang menarik perhatian lo apa? Gue sekalinya mereka daftar ulang aja langsung punya. Cantik banget, lo mau lihat?”

“Gak, makasih,” jawab Sena lagi.

“Eh, jangan gitu, siapa tahu ada yang nyantol,” gue terkekeh. “Tuh lihat-lihat tuh, yang lagi berduaan itu.”

“Yang bajunya kotak-kotak coklat?”

“Bukan, yang sebelahnya,” jawab gue dengan bangga.

Sena kembali menyipitkan matanya untuk memfokuskan pandangan. “Oh, ya udah, sana kejar.”

“Ya ini mau,” jawab gue yakin. “Gue samperin, ya. Selamat belajar buat lo yang gak mau dispen,” ujar gue, kemudian langkah gue akhirnya meninggalkan Sena menuju dua orang yang sedang berbicara tersebut.

Saking ingatnya gue pada momen saat para maba daftar ulang, gue masih ingat nama dia dengan sangat jelas. Iya, nama seseorang yang rambutnya kini di kucir satu –katanya sih ekor kuda, dan sedang tersenyum dengan sangat manis pada temannya. Kulitnya putih dan binaran matanya sangat indah.

Ah, apaan sih gue.

Tapi iya, gue suka dia pada pandangan pertama. Tapi, gue gak tahu sih, udah cinta apa belum, lihat aja nanti. Dia membuat gue suka hanya karena kebiasaan dia merapikan poninya dengan jari-jari tangan, menurut gue lucu aja. Terus, wanginya itu… wangi cokelat. Gue gak tahu dia pakai parfum apa, tapi yang jelas, it’s so sweet.

Farhana Cattelya Imran.

Tuh kan, gue bahkan ingat kalau huruf T pada nama tengahnya ada dua.

“Ehem,” gue berdeham membuat kedua cewek di hadapan gue menoleh. Gue mendapati dua tatapan yang mendominasi; tatapan gak suka dari si cewek berbaju cokelat, dan tatapan yang… gak bisa gue definisikan dari cewek gebetan gue ini?

“Hana,” panggil gue.

“Sa—saya, Kak?” Jawabnya dengan terbata.

Ah, ya, gue tahu sekarang. Tatapan dia adalah tatapan takut, mungkin karena gosip-gosip para maba yang menyebutkan siapa komdis termenakutkan sepanjang ospek jurusan ini –yang sudah pasti jawabannya adalah gue.

“Iya,” jawab gue.

Sejujurnya nih ya, pemirsa, gue ini sedang degdegan dan napas gue menjadi tidak beraturan hanya untuk mengatakan kalimat ini. “Hari ini kan ospek jurusan, gue bolos kelas demi kalian. Lo bantu gue ya, kerjain tugas? Ah gue harusnya gak nanya. Pokoknya jam empat sore nanti, setelah ospek, lo bantu gue kerjain tugas. Gue tunggu di tempat ini lagi, jangan telat satu menit pun.”

***

B e n i n g

“Lo kemarin beli baju di mana, Han, jadinya?” Tanya gue sambil memperhatikan sahabat gue yang tengah merapikan poninya. “Gak di cimol-cimol itu, kan?”

“Gak lah hahaha,” jawabnya. “Gue beli banyak kemeja cuma buat ospek doang, dong.”

“Ya sama gue juga,” jawab gue lagi. “Masa kemarin pas gue beli baju ini, gue ketemu si komdis yang katanya paling galak itu. Siapa, sih? Jhordan? Gak tahu lah gue, pokoknya dia udah jadi gosip di grup kemarin-kemarin.”

Gila, ya. Gue gak ngerti lagi, gimana caranya teman-teman gue yang seangkatan ini, yang jumlahnya sekitar sembilan puluh orang bisa mendapat informasi secepat itu dan langsung tersebar di grup line yang baru dibuat beberapa hari lalu?

Tapi, memang dasarnya gue suka menerka-nerka, gue berpikir bahwa rumor tersebut sengaja dibuat dan disebarkan ke para mahasiswa baru agar kita merasa segan dan takut saat ospek ini dimulai. Dengan adanya rumor tersebut sejak awal, gue pastikan nantinya mayoritas mahasiswa baru tidak ada yang berani berurusan dengan si Jhordan Jhordan ini.

Ya, seperti cewek di hadapan gue ini.

“Pokoknya gue mau jadi mahasiswa baru yang baik dan gak mau berurusan sama para komdis,” ujar Hana. “Apalagi sama Kak Jhordan. Bisa mati teraniaya nanti gue.”

Gue tertawa menanggapi pernyataan Hana. Mati teraniaya katanya. Kalau gue adalah orang yang gak takut terhadap soal beginian –karena gue tahu ini semua adalah scenario belaka dari kakak tingkat, Hana adalah orang yang sebaliknya.

Entah apa yang sebenarnya dialami oleh Hana, gue rasa dia punya sedikit gangguan kecemasan? Hana bukan orang yang mudah berbaur dengan orang-orang yang baru, bukan pula orang-orang yang bisa berbicara dengan percaya diri di hadapan banyak orang, dan Hana juga akan selalu takut berlebihan terhadap sesuatu.

Ya, semenjak gosip mengenai Kak Jhordan ini menyebar di grup angkatan gue, Hana dengan sangat hati-hatinya mempersiapkan barang-barang ospek, dan dia bahkan sudah bercerita beberapa kali tentang ketakutan dia pada Kak Jhordan yang bahkan belum kita temui sama sekali.

Dan gue sangat mengerti. Farhana Cattelya Imran, anaknya Pak Imran –gak penting sih ini, adalah orang yang sudah berada di sekitar gue sejak tiga tahun yang lalu. Teman sebangku pertama gue saat SMA dan akhirnya kita diterima di jurusan yang sama tahun ini –teknik geologi.

Seperti dia yang sangat menerima gue apa adanya ketika orang lain menilai gue sebagai cewek yang cerewet sekaligus judes dan gak banyak yang mau berteman dengan gue, bagi Hana, gue adalah orang yang sama.

Gue sudah mengerti bahwa Hana tidak mudah berbaur dengan orang lain, setiap ia bertemu dengan orang baru, gue bisa merasakan bahwa dia panik dan cemas –dia takut orang itu tidak berbuat baik kepada dia, takut jika dia berbuat salah pada orang itu nantinya, dan ketakutan lain yang memang agak kurang wajar buat gue.

Tapi dialah Hana, satu-satunya orang yang selalu ada di samping gue. Ketika Hana berada di hadapan gue, dia adalah orang yang berbeda. Dia bisa bercerita panjang lebar mengenai kejadian lucu yang menimpanya, mengenai nilainya, dan lain sebagainya. Selain itu, dia adalah pendengar yang baik untuk gue. Dia bisa menjadi teman menelepon gue hingga tengah malam.

“Ehem,” dehaman itu membuat gue dan Hana menoleh.

Seorang laki-laki dengan postur cukup tinggi yang menggunakan jaket jeans tiba-tiba berdiri di hadapan kita berdua. Untuk beberapa saat, gue menerka-nerka siapa sosok di hadapan gue ini –yang pasti kakak tingkat, karena dia gak pakai baju kemeja kotak-kotak.

Kemudian, pikiran gue berkelebat cepat dan membuat gue teringat.

Avarel Ginardhi : Teman-teman! Inget-inget ya, ini foto-foto komdis kita, mohon jaga sikapnya terutama saat bertemu mereka. Dan ini ketua komdisnya, Kak Jhordan.

Avarel Ginardhi sent a photo.

Gue jadi teringat chat terakhir yang gue lihat pagi tadi di grup angkatan. Chat yang dikirimkan oleh penanggung jawab sementara di angkatan gue, Varel. Kalau begitu, orang di hadapan gue ini adalah Jhordan Jhordan itu?

Gue melirik Hana cepat yang kini matanya terlihat tidak fokus menatap sosok di depannya. Ah, ya, berarti dia sudah tahu kalau itu Kak Jhordan.

“Hana,” panggilnya.

Dan waw it’s so amazing ketika ternyata Kak Jhordan sudah mengenal Hana? Sementara itu, orang di samping gue ini semakin cemas dan takut. Ini orang kenapa sih datang ke sini tiba-tiba dan langsung memanggil Hana? Memangnya dia bikin kesalahan?

“Sa—saya, Kak?” Jawab Hana dengan terbata.

Aduh, kasihan Hana, pasti jantungnya sedang berdetak cepat karena Kak Jhordan yang tiba-tiba muncul. Walaupun harus gue akui kalau sebenarnya Kak Jhordan yang tampang-tampang nakal ini gak jelek.

Gak jelek ya, bukan berarti ganteng. Itu first impression gue.

“Iya,” sempat ada jeda beberapa detik sebelum Kak Jhordan melanjutkan. “Hari ini kan ospek jurusan, gue bolos kelas demi kalian. Lo bantu gue ya, kerjain tugas? Ah gue harusnya gak nanya. Pokoknya jam empat sore nanti, setelah ospek, lo bantu gue kerjain tugas. Gue tunggu di tempat ini lagi, jangan telat satu menit pun.”

Eh buset?

Kakak tingkat emang seenaknya begitu, ya?

Atau karena dia komdis?

Hana terlihat kaget dan beberapa kali mengerjapkan matanya. Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri, memikirkan jawaban yang harus dikeluarkan –walaupun sebenarnya gue tahu, dia gak mau. Tapi mana bisa seorang Hana menolak ketika ditodong pertanyaan seperti itu oleh seseorang yang ditakutinya?

“Maaf, Kak, Hana gak mau,” jawab gue. Kelewatan sih emang gue, tapi Kak Jhordan ini lebih kelewatan dan memanfaatkan posisinya untuk menindas mahasiswa baru –dan kenapa harus Hana?

Mendengar jawaban gue, Kak Jhordan langsung menatap gue tajam dan bisa gue tahu apa yang akan dia katakan selanjutnya adalah makian. “Lo siapa? Gue nanya sama Hana, bukan sama lo!” Matanya bergerak menatap name-tag yang terpasang pada dada gue. “Bening.”

Mampus, dia udah menandai gue sebagai adik tingkat kurang ajar sepertinya. Tapi, it’s ok lah, selama dia tidak menganiaya Hana.

“Eh, Bening,” Hana memegang tangan gue. “Jangan kayak gitu.” Pandangannya beralih kepada Kak Jhordan –kali ini tatapan matanya sudah kuat. “Siap, Kak.”

“Oke, gue tunggu jam empat..”

“Han?” Gue memandang Hana dan meyakinkannya bahwa keputusan yang ia ambil adalah kesalahan besar. Bukan besar lagi, jumbo bahkan. Bagaimana bisa dia mengiyakan ketika dia tahu kondisi dirinya sendiri? It’s not fair for her.

“Iya, Kak,” Hana mengabaikan panggilan gue.

Gue menghela napas panjang dan beberapa kali berpikir untuk mengambil keputusan ini. “Gue aja, Kak. Gue aja yang bantu lo.”

Tetapi Kak Jhordan hanya mengernyit. Kemudian, sebelum meninggalkan gue dan Hana, dia tersenyum sinis. “Bening, ya? Bisa tolong gak, nanti sesudah lo denger bunyi bel kedua, sekitar jam sebelas, temui komandan terpimpin geologi?” Tanya dia.

“Ha?” Dan begonya gue malah bengong di depan Jhordan Jhordan ini.

“Namanya Bhismasena, lo cari sampai ketemu, gue gak mau tahu,” ujar Kak Jhordan, kemudian dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan kartu berwarna kuning. Untuk beberapa saat gue malah memperhatikan dia yang menulis sesuatu di atasnya. “Lo udah memiliki dua puluh lima poin untuk pelanggaran lo hari ini.”

Kak Jhordan melempar kartu kuning ke arah muka gue dan dengan cepat gue menangkap kartu kuning itu untuk melihat tulisan yang berada di atasnya.

Bening Asmara

Minus 25 poin untuk tidak sopan dan membantah perintah.

Pukul 06.20

 

Gue ternganga. Apa-apaan ini? Ospek jurusannya baru akan dibuka hari ini tetapi gue udah punya poin pelanggaran? Waw, prestasi yang sangat membanggakan untuk mahasiswa baru seperti gue ini.

“Bening,” Hana menepuk pundak gue. “Maafin gue, lo jadi…”

It’s ok,” jawab gue sambil tersenyum.

Gue gak munafik, gue benar-benar baik-baik saja. Sayangnya, ketika gue sudah mendapatkan dua puluh lima poin pelanggaran, gue gak berhasil membuat Hana terbebas dari tindasan Kak Jhordan.

“Maafin gue, Han,” ujar gue pelan.

***

S e n a

Nandhika Sahara: Gue tunggu di ruang panitia

Pesan itu masuk bersamaan dengan berakhirnya pelajaran Pak Husen –tentang geologi sejarah yang dibenci setengah mati oleh Jhordan. Ketika orang-orang masih sibuk bergumam dan menyalahkan nilainya atas tugas Pak Husen, gue sudah mencoba keluar dari kelas.

Untungnya, kelas tidak seramai biasanya, karena beberapa sudah stand by untuk menjadi panitia di pembukaan ospek jurusan ini. Ospek jurusan tentu saja nantinya tidak akan mengganggu jam pelajaran, hanya saja untuk hari ini, karena jam pelajaran belum pasti, dan juga waktu pembukaan yang tidak boleh diganggu gugat –katanya sih pak dekan hanya bisa datang hari ini –akhirnya mengganggu kelas beberapa mahasiswa.

Gue sedang berlari terburu-buru keluar dari kelas gue yang terletak di lantai atas dan cukup ujung, ketika seorang perempuan dengan kemeja kotak-kotak khas mahasiswa baru berdiri tepat di depan pintu.

Gue ulangi lagi.

Tepat di depan pintu, di mana pintu adalah tempat orang-orang lewat dan dia seenaknya berdiri di sini.

“Kak Bhismasena?” Tanyanya dengan tatapan mempelajari muka gue. Kalau bisa gue bilang, ini seperti tatapan maut Jhordan jika bertemu dengan orang baru.

“Ya?”

Perempuan itu merogoh saku celananya dan menyerahkan sebuah kertas kuning ke arah gue. Gue hanya mengangkat alis ketika dia tidak berkata apa-apa lagi.

“Nama gue--,” ujarnya. “Nama saya Bening Asmara, kata Kak Jhordan, saya disuruh menemui Kak Bhismasena pukul sebelas untuk memberikan ini.”

“Sena,” jawab gue.

“Ya?”

“Panggil saya Sena saja,” jawab gue pelan.

“Oh, iya, Kak Sena,” ujarnya lagi.

Mata gue dengan cepat membaca tulisan yang berada di kartu kuning yang sudah menjadi perlengkapan komdis setiap saat. Melihat waktu yang tertera di kartu tersebut, membuat gue akhirnya menggelengkan kepala. “Lo udah melanggar peraturan di hari pertama ospek dan di pagi hari tadi?”

“Seharusnya ini gak dimasukan pelanggaran, karena saya melakukan itu sebelum acaranya dibuka,” jawabnya santai.

Oh, ya, sekarang gue mengerti kenapa Jhordan dengan semena-mena memberikan kartu kuning di pagi buta tadi. Karena perempuan ini memang senang membantah omongan orang dan membuat kesal. Apalagi Jhordan adalah orang yang mudah kesal.

Melihat namanya, gue pun langsung teringat sesuatu. Nama ini yang semalam Nandhi minta untuk dimasukkan ke dalam salah satu kelompok karena telat daftar ulang. Ah, ya, benar sekali. Nama ini juga yang akan gue hukum karena tidak disiplin.

Baru jadi mahasiswa baru, sudah berani telat daftar ulang? Bagaimana nantinya?

Gue menambahkan tulisan di bawah tulisan Jhordan.

Bening Asmara

Minus 25 poin untuk tidak sopan dan membantah perintah.

Pukul 06.20

Minus 25 poin untuk tidak disiplin.

 

Gue mengamati alisnya yang tiba-tiba terangkat sebagai respon terkejutnya terhadap apa yang gue lakukan. “Kak?” Tanyanya memastikan.

“Dua puluh lima poin untuk telat daftar ulang,” gue menjelaskan, dan sepertinya perempuan di hadapan gue ini cukup paham. “Lo udah ngerti, kan? Setiap melanggar sepuluh poin, lo akan dihukum satu seri push-up? Tabung aja dulu pelanggaran lo. Ada saatnya lo beneran di hukum.”

Dia, Bening Asmara, hanya mengangguk dan menjawab, “Makasih, Kak. Saya kembali ke aula,” jawabnya.

Gue menggelengkan kepala heran. Selalu saja ada mahasiswa baru semacam ini, yang pelanggaran di hari pertamanya sudah menumpuk. “Gue tahu lo sebenarnya orang baik. Lo melanggar perintah Jhordan pasti karena ada alasannya, lo orang yang kritis, tapi perlu ditempatkan kritisnya ada di mana.”

Langkah Bening terhenti untuk mendengar lanjutan kalimat gue.

“Lo itu beda,” lanjut gue.

Sedikit pun gue gak berniat menyanjung atau memuji perempuan bernama Bening yang sekarang kembali menghadap ke arah gue dengan tatapan yang tidak bisa gue definisikan.

Gue hanya berbicara dengan jujur sesuai dengan pemikiran gue. Argumen dia tadi gak salah, tetapi memang cukup mengesalkan. So, isn’t it different? Karena biasanya hanya cowok yang berani membantah kakak tingkat, di hari pertama pula –seperti di angkatan gue tahun kemarin.

Tapi sepertinya, ada sesuatu dengan kalimat gue tadi yang membuat dia menatap gue nanar dan berkata dengan lemah, tidak seperti sebelumnya yang bersemangat dan menyebalkan, “Makasih, Kak.”

Kemudian dia berlari dengan terburu-buru meninggalkan gue yang masih mengernyit.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Finding Home
1945      914     1     
Fantasy
Bercerita tentang seorang petualang bernama Lost yang tidak memiliki rumah maupun ingatan tentang rumahnya. Ia menjelajahi seluruh dunia untuk mencari rumahnya. Bersama dengan rekan petualangannya, Helix si kucing cerdik dan Reina seorang putri yang menghilang, mereka berkelana ke berbagai tempat menakjubkan untuk menemukan rumah bagi Lost
MANTRA KACA SENIN PAGI
3162      1169     1     
Romance
Waktu adalah waktu Lebih berharga dari permata Tak terlihat oleh mata Akan pergi dan tak pernah kembali Waktu adalah waktu Penyembuh luka bagi yang sakit Pengingat usia untuk berbuat baik Juga untuk mengisi kekosongan hati Waktu adalah waktu
Princess Harzel
14865      2164     12     
Romance
Revandira Papinka, lelaki sarkastis campuran Indonesia-Inggris memutuskan untuk pergi dari rumah karena terlampau membenci Ibunya, yang baginya adalah biang masalah. Di kehidupan barunya, ia menemukan Princess Harzel, gadis manis dan periang, yang telah membuat hatinya berdebar untuk pertama kali. Teror demi teror murahan yang menimpa gadis itu membuat intensitas kedekatan mereka semakin bertamba...
Reminisensi Senja Milik Aziza
766      392     1     
Romance
Ketika cinta yang diharapkan Aziza datang menyapa, ternyata bukan hanya bahagia saja yang mengiringinya. Melainkan ada sedih di baliknya, air mata di sela tawanya. Lantas, berada di antara dua rasa itu, akankah Aziza bertahan menikmati cintanya di penghujung senja? Atau memutuskan untuk mencari cinta di senja yang lainnya?
A - Z
2567      873     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Bulan Dan Bintang
4721      1190     3     
Romance
Cinta itu butuh sebuah ungkapan, dan cinta terkadang tidak bisa menjadi arti. Cinta tidak bisa di deskripsikan namun cinta adalah sebuah rasa yang terletak di dalam dua hati seseorang. Terkadang di balik cinta ada kebencian, benci yang tidak bisa di pahami. yang mungkin perlahan-lahan akan menjadi sebuah kata dan rasa, dan itulah yang dirasakan oleh dua hati seseorang. Bulan Dan Bintang. M...
Ruman Tengah Jalan
682      400     3     
Horror
Kulacino
369      237     1     
Romance
[On Going!] Kulacino berasal dari bahasa Italia, yang memiliki arti bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah. Aku suka sekali mendengar kata ini. Terasa klasik dan sarat akan sebuah makna. Sebuah makna klasik yang begitu manusiawi. Tentang perasaan yang masih terasa penuh walaupun sebenarnya sudah meluruh. Tentang luka yang mungkin timbul karena bahagia yang berpura-pura, atau bis...
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
7119      1994     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
About love
1097      509     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...