Read More >>"> Do You Want To Kill Me? (9.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Want To Kill Me?
MENU
About Us  

            Kemarin itu pernyataan yang bergitu memalukan bagiku. Dasar mulutku ini, seenaknya berkata, ”Setidaknya aku akan berusaha untuk menjadi pelindungm.” Bodoh!

            Dia mengetuk-etuk ujung bolpoin di atas buku putih yang setiap lembarannya mulai terisi dengan coretan tangan. Mengikik pelan, melihat betapa lucunya diri sendiri karena mengatakan hal memalukan itu. Walaupun dirinya tidak berjanji, tapi gadis itu pasti menganggap sebaliknya.

            Mulutnya ingin berteriak sekeras mungkin seperti, “Ahhh sialan! Dasar sok keren!” tapi kondisi kelasnya terlalu penuh dengan pasang telinga yang siap menerima erangan bodoh itu. Pada akhirnya, dia hanya melampiaskan dalam bentuk tulisan yang sama bodohnya.

            Ada beberapa poin yang bisa kuanggap sebagai pencapaian dari perjuanganku selama ini. Tunggu dulu, memamngnya dirku sudah berjuang?

            Kalimat yang ditulisnya itu mnciptakan sebuah senyum sinis. Sebenarnya tidak ada bukti sejarah yang dapat dijadikan acuan untuk mendukung bahwa dia sudah berjuang.

            Pertama, aku telah satu langkah ke depan; menyatakan bahwa diriku akan menjadi pelindungnya. Kedua, tanda di dada kiriku, tinggal satu perubahan lagi, mungkin, akan menjadi salah satu penyebab lembaran kertas itu bisa dibuka. Aku memang membutuhkan momen tepat. Untuk yang ketiga dan keempat….

            Bolpoinnya berhenti bergerak menyusun setiap kata. Hanya tiga titik yang tercipta setelah kata terakhir. Bukan tanpa alasan, dia belum mencapainya. Begitu berat, itu yang dirasakannya ketika mencoba. Dirinya masih mengingat betul peringatan dari kakak perempuannya. Dia memang harus menarik gadis itu ke dalam lingkaran, tapi tidak untuk menari bersamanya. Dia hanya akan menonton gadis itu berdansa dengan dirinya sendiri.

            “Cukup,” gumamnya. Dia menutup buku tersebut, dan segera mungkin memasukannya ke dalam tas.

            Sebuah tangan yang putih dan halus, menyentuh lengannya. Sontak, kepakan sayap buku tersebut terhenti; dia tidak bisa masuk ke dalam sarangnya.

            “Ehhh buku apa ini? Dari tadi aku lihat kamu begitu serius menulis di dalamnya,” celetuk seseorang yang begitu dikenalinya. Entah dari mana dia muncul. Bahkan telinganya yang peka, tidak mampu mendeteksi suara langkah kakinya.

            Dia mulai menatap ke arahnya, gadis itu, Rafethea. Tatapan Rafethea pada hari ini, terlihat berbeda. Memang bola matanya masih cokelat, tapi seperti ada bintang di dalamnya, berkilau-kilau. Dan juga wajahnya tampak begitu menyegarkan, seperti oase di padang gurun. Jika memang demikian, dia begitu bersyukur, entah untuk apa dan kenapa.

            “Bisa disebut semacam note book ataupun diary book, tapi aku lebih suka menyebutnya note book, karena di dalamnya hanya berisi catatan penting, dan aku tidak menulis di dalamnya setiap hari,” jelas lelaki itu, Taka.

            “Tujuannya untuk apa?” tanya gadis itu. Pertanyaan yang dilontarkan olehnya seperti balita yang bertanya pada orang tuanya, “Mama, itu apa? Ini apa? Boleh dimakan?” Lalu, orang tuanya akan bereaksi berlebihan ketika mengetahui benda yang ditanyakan berbahaya dalam tanda kutip.

            Lelaki itu, Taka, mulai berdeham, entah demi apa, mungkin agar nampak keren di hadapan lawan bicaranya.

            “Mungkin bisa membantu dirimu sendiri yang ada di masa depan. Atau juga bisa kamu tunjukkan pada seseorang di waktu yang akan datang. Kamu bisa berbicara padanya secara tidak langsung.”

            “Wahhh hebat!” seru gadis itu, Rafethea. Matanya mulai berbinar-binar seiring dengan decak kagum yang diungkapkan. Taka terkekeh saat melihatnya.

            “Kamu ini benar-benar simpel,” ujar Taka.

            Selepas decak kagumnya mereda, dia mendapat tumpahan kalimat tersebut. Kini, matanya dipenuhi tanda tanya. Penasaran terhadap maksud ucapan lelaki itu, Taka. Dia melihat ke dalam dirinya, mencari apakah pernyataan lawan bicaranya itu berbanding lurus dengan fakta atau tidak.

            Tidak satupun yang dapat dijadikan bukti. Dia menganga cukup lama. Bibir tipisnya nampak mengering karena dilewati udara yang masuk dan keluar. Seperti biasa, sedikit memiringkan kepalanya ke kiri sembari menaruh jari telunjuk tepat di dagu.

            “Maksudnya? Apa itu pujian? Apa itu ejekan?” tanyanya.

            Lelaki itu, Taka, dalam posisi duduk di atas kursinya, tertawa kecil di hadapan gadis yang tengah berdiri di depannya, Rafethea. Seketika ekspresi kesal terbentuk di setiap guratan wajahnya.

            “Jawabannya tergantung pada bagaimana kamu menilai dirimu sendiri,” balas Taka. Lagi-lagi, jawaban yang diberikan olehnya justru semakin menambah jumlah penasaran gadis itu. Cawannya sudah dipenuhi dengan rasa penasaran, suatu saat pasti akan penuh dan tumpah, mubazir.

            Rafethea mennyentuh pipi kanan Taka dengan jari telunjuknya. Ini pertama kalinya, mungkin, dirinya melakukan tindakan seperti ini. Mereka mungkin sudah tampak seperti sepasang kekasih, mungkin. Memang benar, terlihat seperti para budak cinta yang tengah bermesraan; tak kenal waktu dan tempat.

            Mendapatkan tindakan seperti itu, Taka memberi sinyal pada gadis itu berhenti. Ini bukan tindakan kosong. Matanya sedari tadi menangkap tatapan tidak mengenakkan yang mengarah pada mereka berdua. Telinganya bereaksi pada setiap kata yang diucapkan dalam bentuk bisik-bisik tetangga, sudah tampak sempurna, seperti bapak-ibu tukang gosip.

            Taka bangkit dari duduknya, lalu berkata, “Kembalilah pada lingkaranmu, aku mau mengurangi rasa sesak ini.”

            Entah apa yang ditangkap oleh Rafethea dari ucapan Taka, tapi dia hanya menganggukan kepala, sebagai bentuk responnya. Taka meninggalkan ruang kelas. Meninggalkan Rafethea tanpa penjelasan dari ucapannya. Membiarkannya mengenggam jawaban yang diciptakan oleh pikiran Rafethea sendiri.

            Ada dua alasan di balik Taka meninggalkan pembicaraan secara tiba-tiba. Pertama, suasana kelas tadi berada pada titik tertinggi kesesakan, karena kepadatan ucapan simpang siur. Kedua, ada nyeri di dada kirinya. Alasan kedualah yang benar-benar menuntutnya untuk pergi. Tapi, alasan pertama juga dipertimbangkan, dirinya tidak ingin membuat Rafethea merasa kerepotan,

            Sudah seminggu sejak dia menyatakan bahwa akan menjadi pelindung dari Rafethea. Entah bagaimana Rafethea menganggapnya. Tapi, dirinya akan berusaha sebaik mungkin layaknya pelindung. Mungkin dia tidak seahli dan seprofesional body guard artis kelas atas. Ataupun anjing penjaga yang selalu taat pada perintah tuannya.

            “Tinggal dua minggu lagi sebelum ramalan para ilmuwan menjadi kenyataan,” ujarnya pada cermin di hadapannya.

            Tanda di dada kirinya, telah berubah. Ada ular yang mengikat kedua gagang pedang pada lingkaran hitam di dada kirinya. Pasti ada maksud di balik perubahan yang semakin terlihat kompleks, begitu penangkapannya.

            Hembusan napasnya menciptakan embun di atas cermin. Dia menggosok dengan telapak tangan, agar wajah tidak karuannya terlihat kembali. Taka melangkah mundur ketika melihat sesosok wanita di dalam cermin. Napasnya terdengar berat, detak jantung sudah seperti alunan music hardcore.

            Dia berusaha sebaik mungkin menenangkan dirinya. Tidak, dirinya tidak bisa tenang. Wanita yang ada di cermin memiliki wujud seperti orang mati; tertusuk pisau pada perutnya.

             “Aku akan membunuhmu.”

            Tiba-tiba kalimat tersebut melesat menuju ke pikirannya. Seakan memaksa membuka loker ingatan yang tidak diinginkan. Dia tersentak, karena mengenali wanita yang ada di dalam cermin. Wanita itu menatapnya tanpa eksrpesi, dia tidak meringis maupun menyeringai, meski ada darah mengalir dari bagian perutnya.

            “Kamu harus mempercepat langkahmu, pasir waktu tinggal beberapa bulir lagi.”

            Ucapan wanita yang ada di dalam cermin menggema di dalam pikiran Taka. Ini peringatan, dia memang harus sesegara mungkin. Tapi, ini juga tidak mudah, sulit. Sudah kedua kalinya wanita itu menghampiri dalam wujud seperti itu. Dia ingin bertanya; membuka mulutnya. Demi mendapatkan sebuah jawaban, entah dalam bentuk apa.

            “Aku tidak ingin kematianku dan kematiannya di masa itu menjadi sia-sia.”

            Satu tembakan peluru timah menembus ke dalam gendang telinga. Dia tidak mengerti, tapi mengetahui maksudnya, secara garis besar. Hanya saja, dirinya penasaran, siapakah wanita itu. Jika dia mengetahui banyak hal, apakah ada kesamaan dengan gadis itu, Rafethea. Taka mencengkram kepala sembari menjambak rambutnya sendiri. Berharap agar otaknya mampu menangkap dengan jelas.

            “Baiklah, tapi aku tidak berjanji untuk memenuhi harapanmu dalam segi waktu,” balas Taka. Bibirnya sudah tidak bergetar lagi. Es yang membekukannya sudah meleleh, entah kapan. Matanya terlihat begitu meyakinkan, terlihat seperti pasukan yang akan bertemu kematian.

            Wanita itu tersenyum di antara luka fisiknya. Rambutnya panjang, sampai ke bahu. Lebih panjang dari gadis itu, Rafethea. Dia mengangguk dengan dalam, senyumnya bertahan begitu lama, hingga munculnya sebuah pertanyaan.

            “Kamu siapa?” tanya Taka. sedari tadi, tidak, sudah cukup lama dia penasaran. Memang tidak sopan mencoba menggali identitas seseorang. Tapi, untuk sekarang, dirinya melakukan itu secara terang-terangan. Jadi masih ada kesopanan, sedikit.

            “Aku?” gumam wanita itu. Dia menghapus lintangan senyum di wajahnya. Lalu menulisnya kembali dengan pensil wajah.

            Taka mencoba menerka dari gaya bicaranya, mirip sekali dengan gadis itu, Rafethea. Memiliki kesan misterius yang sama. Tampak begitu liar untuk seukuran perempuan. Entah dari mana dia mendapatkan ilham tidak bermakna seperti itu; tiba-tiba saja melintas di wilayah udaranya.

            “Aku adalah bayangannya.”

            Anggukan kepala dilempar tanpa sepatah kata oleh Taka, ludahnya juga sempat tertelan tanpa sengaja. Dia tidak mengerti, tapi juga kebingungan untuk menanggapi; harus dengan pertanyaan kembali atau ucapan, “Oh begitu, baiklah, silahkan pergi.”

            “Aku datang ketika dia pergi. Aku hanya gelap, tapi dia memberiku cahaya untuk bersinar. Jadi, ada yang  dapat mengenaliku. Jika tidak, maka aku hanya akan menjadi objek tak berguna,” tambah wanita itu.

            Kurang lebih, lebih kurang, tidak kurang, tidak lebih, Taka memahami. Pembicaraan ini berjalan lancar dengan ringannya, meski pembahasan terdengar begitu berat. Mereka berdua dapat berbicara dengan normal. Taka merasa sedang berbicara dengan gadis itu, Rafethea. Praduganya tepat, mendapat dukungan.

            “Berapa jumlahmu?” tanya Taka sembari melempar senyum. Hanya untuk kali ini, saat dia bersama wanita itu, dia memasang topeng andalannya.

            “Hanya satu, aku berada sangat dekat dengan duniamu ini.”

            Begitu rupanya.

            Bayangan wanita itu menghilang dalam satu kedipan mata. Taka menghembuskan napas dengan kasar, lega. Dia  membasuh wajahnya. Kesegaran bagai diguyur air terjun dirasakan oleh saraf wajahnya. Bebannya seketika luntur dan ikut terbuang bersama air yang hilang ditelan lubang pembuangan wastafel.

            “Aku harus cepat! Harus cepat! Cepat!” serunya. Hanya di dalam toilet dirinya bisa melakukan itu. Harga dirinya yang begitu murah itu akan menjadi gratis ketika berteriak sendiri di dalam kelas.

            Lorong kelas begitu nyaman baginya. Suasana sayup dan hening dengan sedikit gesekan berupa suara samar dari penghuni sementara. Tapi, ini akan menajdi mencekam ketika penghuni sementara telah pulang. Dia menertawai dirinya sendiri. Padahal, beberapa waktu ini, dia telah mengalami kejadian yang erat hubungannya dengan hal seperti itu. Tapi, ini merupakan kewajaran, menunjukkan bahwa dirinya manusia yang masih manusiawi, setidaknya begitu.

            Dirinya sudah tiba tepat di depan pintu yang akan membawa dirinya menuju ke ruang penyiksaan, baginya, mungkin. Asal muasal pemikiran itu juga tidak diketahui olehnya. Suara riuh menggema tanpa seizin pemilik ruangan. Mereka yang ada di dalam seenaknya membuka mulut. Saling bersahutan, hingga membuatnya tidak dapat menangkap secuil kata pun.

Ini sama saja seperti memancing ikan teri.

            Kaki kanannya mulai memasuki ruang kelas; semuanya menjadi diam. Kehadiran dia dianggap seperti guru yang dapat membungkam mulut murid-muridnya hanya dengan tatapan, tanpa ucapan. Semua mata menuju kepadanya. Perasaan tidak enak menggelantung di dalam mulutnya, membuat mual. Acuh, terus berjalan menuju ke kursi dan meja yang disediakan khusus untuknya.

            Tatapan mereka terus mengikutinya tiada henti. Matanya melirik ke kanan; posisi duduk gadis itu, Rafethea. Tidak ada, pikirnya singkat. Dalam alibinya, dia berusaha mencari-cari; berpura-pura membaca buku, namun dirinya menebar jala untuk menangkap gadis itu.

            Pupil hitamnya berhenti bergerak, dan terfokus pada satu titik. Gadis itu, Rafethea, tengah dipojokkan di depan kelas. Posisinya berada di samping kiri papan tulis, tepat di sebelah jendela. Ada tiga, tidak, lebih dari itu, yang tengah memojokannya. Mereka semua menatapnya dengan sinis, dan menyimpan sesuatu di balik bola mata.

            Taka kebingungan, bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Sebab, menurut pengamatannya, gadis itu, memiliki citra yang baik. Kawan banyak, dan dianggap idola sekolah. Dia baru ingat, siswi yang memojokkannya merupakan teman satu lingkarannya.

            “Apa yang sedang terjadi?” gumamnya pelan, bertanya-tanya.

            Sebisa mungkin dia menghindari tabrakan tatapan dengan gadis itu. Dirinya tidak ingin melihat kesedihan yang terpancar dari sudut matannya. Tapi, dia mengenalinya, begitu baik. Tidak mungkin keadaan ini akan terus berlanjut. Taka mengendus ketika melihat para siswa yang ada di dalam kelas, hanya menonton dengan senyuman; seperti melihat tayangan komedi.

            “Dasar penghianat!” teriak salah seorang dari mereka yang memojokkan gadis itu.

            Gadis itu, Rafethea, hanya melihat dengan lembut si asal suara, bahkan senyum dilemparkan olehnya. Si asal suara semakin terlihat geram, menggertakkan giginya, seperti tupai yang tengah mengupas kulit kenari.

            “Aku pikir, dengan berteman denganmu, aku bisa sepertimu,” tambah siswi yang berteriak tadi. Dia memiliki rambut panjang yang disemir pirang, dan lengan seragam dilinting ke atas.

            Taka tidak habis pikir dengan alasan yang dilontarkan itu. Menurutnya,  siswi itu terlalu berlebihan memaksakan diri untuk menjadi orang lain. Dia ingin sekali seperti ‘Rafethea’.

“Tapi, apa yang sebenarnya diinginkan jika telah menjadi seperti Rafethea?” tanyanya pada diri sendiri dengan lirih hingga tidak satu pun telinga mendengar.

Rafethea kembali melempar senyum ke arah siswi yang telah berkata sebanyak dua kali. Dia tidak terlihat seperti kehabisan kata-kata. Justru tatapan mata yang penuh keyakinan, siap menembakkan amunisi kapanpun. Tapi, nampaknya dia tidak ingin membuat keributan lebih dari ini.

Siswi berambut semiran pirang mulai melipat tangan di depan perut, lalu berkata, “Kamu bisu ya? Atau ingin menyebar ekspresimu ini demi menarik empati orang lain? Tidak akan ada yang menolongmu!”

Sombong sekali.

Taka untuk kedua kalinya tidak habis pikir dengan pernyataan siswi itu. Dari hasil pengamatannya, siswi berambut piranglah yang mendominasi intimidasi ini. Nampak seperti hanya dia yang memiliki masalah dengan Rafethea. Siswi yang ada di samping kanan dan kirinya, hanya melihat tanpa melakukan apapun. Mereka seperti ingin berteriak, “Sudah hentikan!” lalu melawan balik. Tapi, siswi berambut pirang terlihat memiliki sesuatu yang lebih besar daripada Rafethea, hingga tidak ada satupun orang di ruang kelas yang angkat bicara.

Siswi berambut pirang mendekat ke arah Rafethea, lalu mengangkat tangan kanannya, membuat gerakan seperti akan menampar. Tangannya sudah mendapat jarak tarik yang cukup, dan siap dihempaskan seperti ketapel.

“Terus, jika kamu sudah menjadi sepertinya, apa yang akan kamu lakukan?”

Sebuah bom yang tidak diharapkan, akhirnya meledak. Hembusan napas kasar terdengar jelas setelah bom itu diledakkan. Mereka yang sedari tadi fokus pada tontonannya, mulai menghiraukan lokasi ledakan.

Taka membodohkan dirinya sendiri. Mulut kotornya mulai mengeluarkan tinja tanpa izin. Memang sedari tadi dia ingin berak. Jadi, dia merasa ini momen yang pas untuk membuang kotoran.

“Aku akan menjadi lebih berkuasa, dengan ayahku sebagai pemilik sekolah, ditambah menjadi idola sepertinya,” timpal siswi berambut pirang. Dia menurunkan tangan kanannya. Taka tersenyum melihatnya.

Taka sudah mengerti alasan mengapa semua murid tidak melakukan pembelaan terhadap Rafethea. Dia hanya perlu mencelupkan kail tanpa umpan ke dalam rawa, dan sebuah ikan besar langsung menyambar. Menurutnya, siswi berambut pirang itu hebat, tapi sangat bodoh.  Entah hebat dalam artian apa.

“Begitu, tapi, apa kamu siap dengan risikonya?” tanya Taka. Dia mulai bangkit, dan berjalan menuju ke arah kerumunan. Sontak, seisi kelas mulai memerhatikannya dengan detail.

Dia mengenggam tangan kanan Rafethea. Kemudian, berkata, “Sudah siap?”

Pertanyaan tersebut tentu ditujukan kepada siswi berambut pirang yang hanya mampu menganga melihat aksi heroiknya. Dia seperti menjadikan dirinya sebagai perisai bagi Rafethea.

“Risiko apa yang kamu maksud?”

Taka mulai tersenyum kecil, melirik siswi berambut pirang dengan senyuman sinisnya. Dia menarik Rafethea dari kerumunan. Tidak ada sat upun dari mereka yang menjadi penghalang, mencoba untuk menghalangi. Mereka tampak lega karena sang pahlawan telah muncul.

Dia menghentikan langkah, Rafethea juga demikian.

“Aku anggap ucapanmu itu adalah jawaban yang akan kuberikan padamu.”

Taka dan Rafethea berjalan keluar meninggalkan kesesakan yang begitu menyiksa. Taka masih menggandeng tangan kanan Rafethea. Mereka yang terlibat secara langsung dan tidak, mulai membubarkan diri, lalu kembali ke habitat. Sementara sang biang kerok, masih mematung sembari menggerutu.

Mereka berdua terus berjalan menyusuri lorong kelas tanpa tujuan. Semua tergantung pada ke mana kaki Taka melangkah. Dia bahkan tidak berniat melepaskan genggamannya dari tangan kanan Rafethea. Hingga sebuah suara asing menghentikan langkah mereka.

“Tunggu Rafethea!”

Suara itu bukan berasal dari mulut Taka, melainkan seseorang yang tengah berlari menuju ke arah mereka. Napasnya terenagah-engah setiap kakinya menapaki lantai sekolah.

“Akhirnya karakter tampan muncul juga,” gumam Taka. Rafethea meliriknya, tersenyum kecil.

Lelaki yang berteriak seperti anak kecil minta susu itu berhenti tepat di depan Rafethea. Dia menunduk sembari memegangi kedua lutut, seperti telah berlari sejauh mata memandang. Membuka mulut, kesusahan, udara yang keluar-masuk tidak karuan penyebabnya.

“Maaf, aku tadi tidak bisa menolongmu,” ujarnya. Taka sepintas mengamatinya, tidak, dia tidak mengenali.

“Apa dia satu kelas dengan kita?” bisik Taka pada Rafethea.

 Rafethea mengangguk. Entah kenapa dia menggunakan bahasa isyarat. Dirinya mungkin berusaha tidak mengabaikan lelaki itu dengan berbicara pada Taka.

Taka melepas genggamannya dari tangan kanan Rafethea, karena lelaki itu terus melihat ikatan tersebut. Dia merasa tidak enak. Dia tidak ingin ada percikan api. Dia tidak ingin menari lagi. Wajahnya sudah cukup dengan satu bekas luka. Dia tidak ingin tampak seperti frankenstein.

Dia berjalan menjauh dari Rafethea. Dirinya tidak ingin menganggu momen ini, sungguh pengertian. Sebab, posisinya hanyalah pengamat, baru bertindak ketika dibutuhkan. Rafethea tampak tidak melirik sedikitpun langkah kepergiannya.

Sebuah tembok yang tidak jauh dari posisi mereka berdua, menjadi tempat sembuny baginya. Dia juga tidak tahu harus bersembunyi dari apa atau siapa. Dadanya kembali nyeri, dia membuka seragam sekolahnya. Tidak ada perubahan tanda di dada kirinya.

“Nyeri ini terasa beda,” gumamnya setelah menutup kembali kancing seragamnya. Dia mengelus-elus dada kirinya.

Dari kejauhan, mereka berdua tampak bicara dengan normal. Rafethea tersenyum, sama persis saat bersamanya. Lelaki itu pula, lebih lebar dan jelas. Perubahan fisik juga tidak terjadi pada Rafethea.

Dada kiri Taka kembali terasa nyeri.

“Perasaan tidak mengenakkan apa ini?" gumam Taka.

Dia menenangkan diri dengan memikirkan hal yang disukainya; tidak ada. Menghembus napas ala biksu yang tengah bermeditasi. Meregangkan jari seperti tengah melakukan yoga. Dia tersenyum, nyeri itu hilang, kedamaian kembali menyelimuti. Bukan penenangan diri penyebabnya, melainkan Rafethea telah selesai berbicara dengan lelaki itu. Dia mulai menghampiri Taka di persembunyiannya.

“Kenapa pergi?”

Rafethea sudah ada di hadapannya. Dengan lugas pertanyaan tadi diucapkan olehnya.

“Aku tidak enak menganggumu.”

“Hahahaha…pasti aneh-aneh.”

“Siapa dia? Orang yang kamu cintai?” Kedua pipi Taka mulai tampak memerah, dia menutupi dengan telapak tangan.

Rafethea tampak kaget dengan alur pembicaraan yang mengarah tak terkendali. Akar pohon telah tumbuh menjalar mencari-cari nutrisi, hingga bertemu hal tak terduga. Perubahan  topik ini terlalu ekstrim baginya. Pikirannya begitu sulit menangkap dan mencerna, apalagi membalikkan.

“Tentu saja bukan,” jawabnya dengan tegas.

Jawaban itu membuat Taka bernapas lega, begitu lega, sangat lega, entah kenapa. Dia kebingungan mengambil peran cermin sebagai pemantul ucapan. Tidak ada kata-kata yang terselip di dalam pikirannya.

“Dia itu sahabatku, tidak cocok untuk dicintai.”

Entah bagaimana caranya alur cerita ini berubah, karakter wanita memiliki sahabat laki-laki. Ini benar-benar terlalu pasaran bagi Taka. Dia seperti tengah membaca sebuah novel percintaan segitiga. Tapi, sayangnya dirinya tidak punya kesempatan untuk menjadi tokoh utama sekalipun.

“Begitu, apa sudah ada orang yang kamu cintai?” Taka kini semakin beringas. Bukan tanpa alasan jelas. Waktunya semakin dikit, hingga dia harus memelas, menunggu hidupnya terus ditebas.

            Rafethea mengangguk, memasang topeng senyum, lalu berkata, “Ada.”

            “Siapa dia?” Satu lagi pertanyaan subjektif terbang dari mulutnya.

            “Kamu akan segera mengetahuinya, nanti-.”

            Gadis itu, Rafethea, mulai berjalan meninggalkannya dengan kedua tangan ditaruh di belakang, lalu berbalik badan sembari berkata, “Karena waktuku sudah hampir habis.”

            Taka berdiam diri saat gadis itu mulai berjalan menjauh darinya. Dia mengejarnya dengan penuh tanya di kepala. Tidak satu pun bagian kepalanya mampu menjawab pernyataan tadi. Hanya saja ada satu hal penting yang harus didiskusikan dengan dirinya sendiri.

            Rasa nyeri tadi.

 

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1333      656     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5461      1524     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.