Read More >>"> Do You Want To Kill Me? (1.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Want To Kill Me?
MENU
About Us  

 

“Maaf aku tidak bisa,” ucap seorang lelaki pada gadis yang ada di depannya. Gadis itu memasang wajah memohon untuk sebuah pinta. Harapan itu seketika sirna setelah  jawaban yang tidak sesuai didapatkannya.

“Kenapa? Apa aku ini bukan tipemu?” tanya gadis yang tengah berusaha membendung air mata.

“Bukan begitu, hanya saja aku tidak ingin menyakitimu  nanti.”

“Maksudmu?”

“Aku ditakdirkan untuk tidak menjalin hubungan seperti itu.”

“Akulah yang akan menjadi pengubah takdir itu. Akan kubuat takdirmu memiliki cabang, jadi kamu bisa memilih mana yang akan kamu panjat.”

“Tidak, itu tidak akan pernah bisa.”

“Ba-ik-lah,” jawab gadis itu sembari tersendu-sendu menahan sesak di dada. Dia pergi meninggalkan ruang kelas yang telah menjadi saksi bisu atas peristiwa tadi. Tidak ada yang mengerti dengan jalannya pembicaraan tadi. Tidak ada yang mampu saling memahami dan memaknai arti  setiap kata dari mulutnya.

Lelaki itu masih berdiri tak bergerak bagai patung yang tengah dipahat oleh seniman. Ya, mungkin kini dia sedang memahat dirinya sendiri hingga menjadi seperti yang diinginkannya. Dia memegang dadanya; merasakan sakit yang tidak sakit; dia merasakan perih yang tidak perih.

Apakah diriku ini sudah mati akan perasaan, pikirnya. Meja dan kursi diam membisu seakan sedang menahan tawa. Dia memelototi ke arah mereka, lalu  tersenyum kecil; merapikan seragamnya. Pergi meninggalkan ruang kelas untuk menyusuri jalan pulang.

Tawa-tawa walet yang tengah mengarungi  langit jingga. Kelelawar yang mulai keluar dari goa untuk memburu mangsa. Putri malu yang telah menguncupkan daunnya. Lelaki yang tengah meratapi angkasa untuk kesekian-kian kalinya. Tidak satupun orang tahu apa yang sedang diamatinya. Apakah dia sedang mengamati gumpalan awan yang terlihat seperti orang gendut? Apakah dia sedang menciptakan rasi bintangnya sendiri walau langit masih menyala terang? Atau justru dia sedang melukis di langit? Apa yang dilukis olehnya?

Bumi, tempatnya berpijak untuk sekedar menjalani kehidupan, menghirup napas, dan melakukan penolakan. Melakukan penolakan? Iya, menolak semua perasaan lawan jenis yang dipanah ke arahnya. Berbagai jenis dewi cinta dari seluruh penjuru kayangan telah berusaha melontarkan anak panah kepada lelaki itu. Tapi, dia memilih untuk menghindar dan tidak mencoba menangkap anak panah itu.

Dia mencoreng sebuah kalimat di dalam buku sakunya, ‘Menolak dengan alasan yang berhubungan dengan takdir.’ Kini dirinya merasa resah karena amunisinya semakin menipis. Aku harus segera mencari referensi, pikirnya. Lelaki itu mengurungkan niatnya untuk menuju ke rumah. Kakinya merespon sinyal yang dikirim oleh otak agar melangkah menuju ke perpustakaan langganan. Di perempatan besar nanti dia harus berbelok ke kiri untuk menuju ke perpustakaan, sementara rumahnya hanya tinggal lurus mengikuti jalan.

“Yo, akhirnya sang langganan tetap datang kembali untuk kesekian kalinya,” ucap seorang lelaki berkacamata pada pelanggan yang muncul dari balik pintu. Mata empat itu konon merupakan penghuni tetap perpustakaan, alias pemilik sekaligus penjaga. Pelanggan itu tidak membalas ucapan si mata empat, dia tengah sibuk membaca judul-judul buku yang tertata rapi di rak.

Mata empat berjalan menghampirinya, lalu menepuk pundaknya sembari berkata,” Sombong sekali kau sama penyelamatmu ini.”

“Diamlah! Aku lagi konsentrasi tingkat tinggi.”

“Bagaimana? Berhasil kan?”

“Tepat seperti yang dikatakan oleh buku ini,” balasnya yang tengah mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas.

Lo-ve-is-for-lo-ser,” eja mata empat dengan sengaja. Kemudian, "Hahahaha…” dia tertawa terbahak-bahak hingga sebulir air menetes dari matanya. Pelanggan itu mengendus kesal, mengembalikan buku ke rak, tempat asalnya.

“Aku sungguh tidak menyangka.”

“Apa soal buku tadi?”

“Hahahaha betul-betul.”

“Bodoh! Yang penting berhasil.”

“Kenapa dirimu begitu bersikeras menolak semua perasaan dari lawan jenis? Padahal dari sepengamatanku, sebagian besar cewek di sekolahmu itu cantik-cantik loh.”

“Bukan seperti aku menolaknya, hanya saja aku tidak bisa menerimanya.”

“Apa bedanya?”

“Resapi kalimatku dengan baik.”

Mata empat memangut beberapa kali, memegang dagunya sendiri, lalu yang terakhir mencubit dahi cukup lama. Setelah lama berpikir dia berkata, “Kau jangan-jangan, gay ya?”

Si pelanggan memicingkan matanya cukup lama, lalu menggelengkan kepala sembari menahan amarah. Tidak, tidak ada yang pantas menjadi alasan baginya untuk menumbuhkan amarah. Dia mengambil sebuah buku yang nampak masih perawan. Membuka halaman demi halaman, matanya mengikuti setiap kata yang tersusun. Lalu, menghembuskan napas dengan kasar. Kedua alisnya terangkat setelah merasa tertarik dengan buku berjudul ‘Menolak Atau Ditolak’.

Si mata empat menatap heran ke arah pelanggan yang membaca buku sembari terkekeh. Setelah puas sekedar mengamati, dia berkata,” Oh buku itu, jarang sekali ada yang meminjamnya.”

Pelanggan itu membuka bagian belakang buku untuk melihat catatan peminjaman. Di situ hanya tertulis satu catatan tanggal peminjaman, tepatnya sebulan yang lalu. Ingin hati dirinya menanyakan alasan di baliknya, tapi dia memilih untuk mengubur rasa penasaran itu.

“Aku pinjam ini."

"Kau yakin?"

"..."

Mata empat segera membawa buku yang telah dipilih oleh hati terdalam si pelanggan menuju ke meja peminjaman.  Langkah kaki pelanggan itu mengikutinya tanpa perlu diperintah. Seperti seluruh anggota tubuhnya tidak sabar ingin menikmati rentetan kata yang berbaris rapi di dalam buku tersebut.

Setelah catatan peminjaman buku itu diberi stempel, si pelanggan segera memasukannya ke dalam tas. Dia mengucapkan terima kasih dan segera pergi dari perpustakaan itu. Selangkah sebelum dia benar-benar keluar dari perpustakaan, mata empat berkata, “Semoga nanti ada perubahan ya.” Pintu pembatas antara gudang ilmu dengan lautan ilmu yang lebih luas sekarang benar-benar tertutup.

Dunianya sekarang telah menjadi gelap karena terang telah pergi, kembali. Sebenarnya sejak awal dunianya memang gelap, hanya saja ada sang pembawa cahaya yang dengan sukarela menjadi penyinar. Dan tidak ada jaminan jika pembawa cahaya itu akan muncul kembali esok hari.

Dia kembali menuju ke arah perempatan besar, hanya tinggal belok kiri, melangkahkan kaki beberapa kali, lalu  sampai di rumah, begitulah angan-angannya. Setelah sampai di perempatan besar, dia segera memerintahkan kakinya untuk belok ke kiri. Sepuluh langkah ditapaki, jalanan masih gelap, sebenarnya tidak terlalu gelap karena masih ada cahaya rembulan. Tetapi, karena malam hari identik dengan ‘gelap’, maka seterang apapun cahaya yang ada, manusia pasti akan menyebutnya demikian. Dua puluh langkah ditapaki, lampu-lampu yang menyoroti  mulai terlihat berdiri tegap samping kanan-kiri jalan. Di antara lampu-lampu itu, dari kejauhan yang tidak jauh, dia melihat seorang gadis berseragam sekolah berada di bawah sorot lampu jalanan. Dia menyimpulkan jika gadis itu satu sekolahan dengannya.

Karena gadis itu berada di jalur pulangnya, mau tidak mau dia harus melewatinya. Gadis itu hanya menatap ke langit dan mengangkat tangan kanannya ke atas. Dia seperti tengah mencoba menggapai sesuatu di antara bintang-bintang. Lelaki itu telah melangkahkan kaki berkali-kali hingga akhirnya mereka berpas-pasan, dia melirik si gadis sebentar sebelum benar-benar melewatinya. Tanpa diduga si gadis mulai bergumam, “Hei, apa kamu masih ingin tinggal di dunia yang akan hancur ini?” Lelaki itu berhenti melangkah tanpa alasan, tidak, pertanyaan dari si gadis yang menjadi alasannya.

“Kalau aku…ingin hancur bersamanya. Menuju ke alam baka, lalu bernanung di antara kehampaan dan ketiadaan,” kata si gadis pada lelaki yang masih terdiam membeku. Dua kalimat utuh telah terucap dari mulutnya, sementara lelaki itu masih saja memutar-mutar kata di dalam kepala. Dia begitu bingung untuk menjawab apa. Apa dia harus mengiyakan pertanyaannya? Apa dia memiliki argumen yang dapat menjawab pertanyaan itu?

Angin berhembus melewati celah yang ada di antara mereka. Dia sempat berharap angin akan membantunya menjawab, tapi rasanya sia-sia saja menaruh harapan pada yang datang dan pergi dalam sekejap. Dia mencoba menolehkan kepala ke arah si gadis, berharap  dapat menjawab pertanyaan tadi jika meiihat wajahnya.

“A-ku-ti-dak tahu,” ucap lelaki itu pada si gadis setelah melihat wajahnya yang benar-benar memesona, baginya. Kulitnya begitu putih seperti susu, rambut hitamnya dibiarkan terurai tanpa diikat.  Lelaki itu masih memuaskan diri dengan memandangi si gadis.

“Tuhan tidak suka dengan dunia ini karena sudah tidak ada cinta yang bersemi,” balas si gadis yang masih saja menatap ke arah langit. Dia menurunkan matanya perlahan dan mulai menatap lelaki itu. Dia melintangkan senyum ke arahnya; seketika lingkungan di sekitar lelaki itu menjadi gelap tak berwarna.

Aku mati? Benarkah? Aku tidak tahu respon apa yang harus diberikan. Bersyukur, menyesal, menangis, sedih, atau apa? Oh iya, ke mana gadis tadi?

Kelopak mata lelaki itu terbuka perlahan, dia melihat keadaan sekitarnya menjadi berwarna putih. Kosong, tidak ada apa-apa; hanya ruangan putih yang tanpa warna. Dia duduk bersimpuh, lalu menundukkan kepala untuk mencoba mencerna situasi ini. Gadis tadi juga telah menghilang dari hadapannya. Mimpi, hanya itu yang bisa disimpulkannya. Dia menonjok wajahnya sendiri; sakit dan keluar darah dari hidung. Ini kenyataan yang konkret, pikirnya.

Dalam keheningan tak  terbatas itu, tiba-tiba terdengar suara dari gadis yang ditemui olehnya tadi. Dengan suara sayup, lirih, kemudian menjadi keras terdengar jelas. Lelaki itu mulai mendengarkan monolog dari si gadis.

Ini adalah ketiadaan tak terbatas. Memang tidak ada apa-apa di sini. Tapi, kamu bisa menciptakan apapun di sini sesuai kehendakmu. Kamu akan menjadi tuhan di sini. Tenanglah, dan jangan panik. Kamu hanya kelinci percobaanku. Setelah aku puas, maka kamu akan kembali ke dunia busukmu itu dengan sendirinya.

Lelaki itu menelan ludahnya sendiri, mulutnya tak kuasa untuk sekedar terangkat dari posisi awal. Dia mulai berkeringat tapi tak mengeluarkan keringat. Sepertinya tempat ini tidak membiarkan bau masam terbang bebas di dalamnya.

Orang-orang menyebut tempat ini dengan alam baka, begitu pula denganku. Aku berencana membawa orang-orang di duniamu untuk tinggal di sini. Di duniamu sudah tidak ada lagi cinta sejati yang bersemi di antara dedaunan. Orang-orang di duniamu seperti hidup dalam jeruji besi. Mereka tidak bisa terbang bebas seperti burung di langit. Sayap mereka dipotong sejak lahir. jadi di sini mereka bisa terbang bebas untuk mencapai keinginannya.

“Tunggu! Jadi, duniaku ini akan kau hancurkan?”

Lelaki itu sontak terbangun dari tidurnya. Kaos polonya dibasahi oleh keringat. Kasurnya berantakan, seperti bekas medan perang. Dia menuju ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang begitu kusut dan acak-acakan.

“Hei-hei kamu yang ada di situ, bagaimana kabarmu hari ini? Baik? Buruk?” ucapnya pada bayangan diri sendiri di cermin setelah puas membasahi wajah. Dia melucuti pakaian. Dari pantulan cermin, dia melihat pada dada sebelah kiri tergambar sesuatu yang berbentuk lingkaran hitam dengan empat segitiga saling sejajar dalam garis diagonal.

Dia mengingat-ingat apakah dirinya pernah membuat tato seperti itu sebelumnya.  Tidak, kesimpulannya, tidak pernah sekalipun dia membuat tato di kulitnya. Setelah itu, dia mengingat lebih jauh tentang masa lalunya untuk mengetahui apakah dirinya memiliki tanda lahir maupun bekas luka seperti itu. Namun ternyata sejak kecil tidak teringat sekalipun dia memilikinya.

Dia lebih memilih untuk mengacuhkannya, karena mengingat bel masuk sekolah akan berbunyi satu jam lagi. Dirinya tidak ingin mendapatkan catatan keterlambatan dibuku siswanya.

“Kenapa mukamu kusut banget kayak cucian di belakang itu?” tanya kakak perempuannya. Kini, mereka berdua sedang menikmati sarapan dalam satu meja yang sama. Pertanyaan itu membuat dirinya menghentikan sendok yang akan menerbangkan makanan ke dalam mulut.

Dia menghirup napas dalam-dalam, menenggak air putih. Kemudian berkata, “Tidak ada jawaban pasti yang bisa kuberikan padamu.”

“Halah aku tahu, pasti kamu habis ditolak…atau putus sama pacarmu,  kan?”

“Wah-wah hebat sekali dirimu kak, seperti peramal saja.”

“Benarkah? Siapa dulu dong, ini kan kakakm-“

“Hahahahaha…”

“Kenapa kamu tertawa? Apa ada sesuatu yang menempel di pipiku?” tanyanya sembari bercermin. Begitu lebay, itulah pandangan dia pada kakak perempuannya itu. Sempat-sempatnya membawa cermin saat menikmati jamuan sarapan.

“Tak kusangka, jika kakakku sebodoh ini. Kakak tidak memahami kalimatku, dan mudah sekali terbawa arus.”

“Bodoh? Berani-beraninya kau sebut aku demikian!” balas kakaknya dengan nada kesal. Dia melipat kedua tangan di depan perut, lalu meminum air dengan berharap dapat meredam amarah.

“Apakah aku tadi membenarkan dugaanmu?” tanya dia pada kakak perempuannya yang mulai melirik-lirik.

“Ehmm kurasa tidak.”

“Tuh kan betul.”

“Apanya yang betul? Oh tidak! Bodohnya diriku, hahahaha…”

Mereka berdua tertawa bersama dengan puas sampai air mata berlinangan. Momen sarapan yang seharusnya diselimuti suasana tenang nan nikmat, telah berubah menjadi seperti acara SITKOM.

“Gawat-gawat aku bakalan terlambat ke kampus nih,” ucap kakaknya setelah melihat angka di jam digitalnya. Kakak perempuannya berlari menuju ke kamar, lalu keluar kembali sembari membawa tas ransel.

“Tolong bereskan ya. Mohon bantuannya,” ucap kakaknya yang tidak lupa untuk mengambil cermin miliknya.

“Sialan! Hati-hati,” balasnya singkat. Dia masih dengan tenang menikmati makanan yang tersisa di atas piring ketika kakak perempuannya telah mendapatkan panggilan dari medan perang.

Dia membereskan peralatan makan, mengambil tas sekolahnya, lalu bergegas menuju ke medan perangnya sendiri.

Matahari kali ini begitu terik nan menyengat. Memang akhir-akhir ini suhu di daerah tempat tinggalnya berada di atas normal. Bahkan es krim dapat mencair sebelum dijilat sekali ketika berada di luar ruangan.

Dengan keringat yang terus menetes dari keningnya, dia tetap melangkahkan kaki tanpa mengeluh sedikitpun. Menjadi manusia yang patuh merupakan salah satu realisasinya dalam menjadi ‘orang biasa.. Setelah cukup lama berjalan, akhirnya dia memulai percakapan  dengan dirinya sendiri; membunuh bosan.

Apa hal yang paling istimewa di dunia ini? Menjadi selebritis? Pemimpin negara? Atau mempunyai kekuatan super layaknya tokoh-tokoh fiksi? Tidak, kalian salah. ‘Biasa’ menjadi orang biasa merupakan yang teristimewa. Alasannya? Karena akan terhindar dari hal-hal merepotkan. Orang-orang tidak akan berekspetasi padamu. Dengan begitu, dirimu tidak akan menjadi korban dari ekspetasi orang-orang.

“Yo pagi  ordinary man,” sapa seorang siswa berambut keriting padanya.

“Sejak kapan telah diadakan upacara untuk pemberian julukan itu padaku?”

“Itu sesuai banget dengan dirimu.”

“Enak saja, prinsipku ini tidak diciptakan untuk menyandang julukan tak bernilai seperti itu. Aku juga punya nama kali,” balasanya sembari menunjukkan tag name miliknya.

“Arwantaka kan? Biasa dipanggil Taka oleh teman-teman sekelas. Terkadang juga dijuluki takoyaki, kan?” kata siswa berambut keriting yang tengah menunjuk-nunjuk lelaki bernama Arwantaka itu.

“Sialan kau  Farizha!  Seenaknya menciptakan julukan untukku.”

“Ahh sudah bel masuk. Ayo cepetan kita masuk ke kelas!” ucap Farizha dengan tegas padanya. Lelaki bernama Arwantaka dan biasa dipanggil Taka itu segera berlari menyusuri lorong sekolah untuk menuju ke kelas.

Di dalam kelas selama pelajaran berlangsung, dia berusaha untuk tidak terlihat mencolok di hadapan guru maupun teman sekelasnya. Dia merata-ratakan nilai ujian, menjawab pertanyaan lisan dari gurunya jika ditunjuk, dan tidak pernah sekalipun terlibat dalam kepengurusan kelas.

“Memang benar-benar hidup yang damai,” gumam Taka. Dia menikmati jam istirahat makan siang bersama sahabat karibnya, Farizha. Sebenarnya dia juga bingung, sejak kapan Farizha telah menjadi sahabatnya. Padahal tidak ada pengajuan diri darinya untuk menjadi sahabat. Dia terkekeh kecil setelah selesai memikirkan hal itu.

“Hei semuanya, Taka sekarang sudah gila,” teriak Farizha yang membuat seluruh pasang mata di dalam kelas tertuju pada mereka berdua.

“ Oh Si Takoyaki, sejak awal dia begitu,” balas seorang siswa yang berjarak tiga meja dengan mereka berdua. Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak secara bersamaan. Lagi-lagi untuk kedua kalinya, momen makan menjadi ajang perang tawa antar mulut.

Selama tidak merepotkan, bukan  masalah besar jika diriku menjadi pusat perhatian orang-orang. Aku sebenarnya cukup senang jika orang lain dapat bahagia karena diriku.

“Lihat-lihat, dia tersenyum-senyum sendiri lagi,” teriak Farizha untuk kedua kalinya. Kembali, tawa dari seluruh isi kelas pecah.

“Kau menganggu konsenstrasiku saja,” ucapnya dengan tenang.

“Hebat sekali dirimu. Aku sudah memancingmu dua kali agar menunjukkan amarahmu.”

“Aku bukan ikan yang bodoh. Pemancing murahan sepertimu dengan umpan seadanya tidak akan bisa menarik perhatianku.”

“Lain kali aku bakal menggunakan umpan terbaik,” balas Farizha. Dia segera menghabiskan bekal makan siangnya. Sementara itu, Taka telah menyelesaikannya terlebih dahulu. Dia memasukkan kotak bekalnya ke dalam kolong meja; tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu seperti kertas. Dia mengambilnya; sebuah surat beramplop merah muda lengkap dengan selotip berbentuk hati.

“Lagi?” tanya Farizha pada Taka yang tengah membalikkan amplop itu. Taka membuka amplop itu; sebuah kertas tersembunyi rapi di dalamnya. Itu bukan kertas biasa, melainkan kertas yang berisi jelmaan dari keberanian seorang wanita.

Kepada kamu yang aku khususkan untuk membaca surat ini, kumohon untuk datanglah ke kelas 2-C sepulang sekolah nanti. Di sana akau akan menantimu dengan sepenuh hati. Memang surat ini terlalu singkat, tapi aku tetap berharap kamu akan datang.

“Cihh pendek amat isi suratnya kali ini,” timpal Farizha yang ikut membaca isi surat itu.

“Kau ini tidak sopan! Dia telah berani mencurahkan keberaniannya dalam kata-kata ini. Hargai dikit kek.”

“Jadi bagaimana? Seperti biasa?”

“Tentu saja.”

“Baiklah, aku tidak akan menanyakn alasannya.”

“…”

Sesak, panas, dan menegangkan. Begitulah suasana yang dia rasakan ketika berhadapan dengan momen pernyataan ini. Gadis yang menulis surat itu terlihat begitu grogi, dan kesulitan untuk membuka mulut. Taka memutuskan untuk mengambil inisiatif dengan bertanya, “Jadi, apa tujuanmu memanggilku ke sini?”

“A-nu.”

“Iya ada apa?” tanya Taka dengan begitu ramah agar lawan bicaranya menjadi sedikit lebih rileks.

“Aku menyukaimu,” ucap gadis itu dengan tegas dan jelas. Taka hanya tersenyum kecil dan mengangkat tangan kanannya. Kemudian dia berkata, “Terima kasih, dan maaf aku tidak bisa membalas perasaanmu.”

            Keberanian gadis itu seketika padam dengan cepat. Taka tidak bersalah, dia tidak memadamkannya. Hanya saja takdirlah yang memadamkannya. Ekspresi sedih itu juga takdir yang menciptakannya.

            “Begitu ya, boleh aku berkata sekali lagi?”

            “Apa itu? Silahkan saja.”

            Gadis itu mulai mengeluarkan pisau dari belakang tubuhnya. Memang sedari tadi dia terus menyembunyikan tangan kanannya di balik tubuh. Taka melangkah mundur perlahan, lalu gadis itu berkata, “ Bolehkah aku membunuhmu?”

            Taka terus melangkah mundur hingga dinding menghentikan langkahnya. Kemudian dia berucap, “Ehmm kalau itu tidak boleh. Tolong tenanglah, aku sungguh minta maaf jika tidak bisa membalas perasaanmu.”

“Tidak apa-apa kok, aku baik-baik saja.” Gadis itu mengayunkan pisau ke arah Taka dengan cepat. Taka berhasil menghindarinya dengan menunduk ke bawah. Dia merangkak maju, sementara gadis itu menarik kakinya sambil berusaha menusukkan pisau itu. Taka menendang kaki kirinya; tanpa sengaja gadis itu terjatuh tersungkur dengan pisau yang menusuk dadanya.

Darah keluar dengan deras dari bekas tusukan pisaunya sendiri. Dia memuntahkan banyak darah dari mulutnya. Taka begitu syok melihat pemandangan di depannya. Wajahnya pucat pasi layaknya orang mati. Padahal dia sedang melihat orang yang akan mati.

“Apa kamu tidak apa-apa?” tanya Taka yang tengah mengecek denyut nadi gadis itu.

“Se-la-mat-kan-lah-du-ni-“ ucap gadis itu dengan tertatih-tatih dan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dia telah pergi meninggalkan dunia ini. Taka masih meratapi dirinya sendiri yang telah menjadi seorang pembunuh.

Ini bukan salahku kan? Takdir yang salah kan? Takdir digariskan oleh tuhan, dan tidak bisa diubah sedikitpun. Ini bukan salahku kan? Ini salah gadis itu sendiri yang mudah sekali matinya. Atau ini salah pisau itu karena begitu tajam hingga bisa menembus tulang rusuk. Pisau dibuat oleh pandai besi, jadi yang salah pembuatnya. Hahahaha…jadi aku tidak salah kan?

Tiba-tiba proyektor yang ada di kelas menyala dengan sendirinya. Taka menghentikan pengolahan kata di dalam pikiran. Lalu, dia mulai memfokuskan diri pada proyektor yang menyala berwarna merah. Warna merah itu memudar perlahan, kemudian muncul sesosok pria yang menggunakan pakaian antariksawan. Sepertinya dia akan mulai berbicara.

“Check…this Apollo-3 is in charge in two thousand and eleven. We report an eruption on the sun’s surface and it is estimated that in the near future there will be a large solar storm that will destroy the earth. We apologize  for leaving you first. Save yourself and may God bless.”

Proyektor mati seketika kata terakhir telah selesai diucapkan oleh antariksawan itu. Taka masih belum mampu mencerna maksud dari kalimat itu.

“Tunggu dulu, tahun dua ribu sebelas, itu artinya tujuh yang tahun lalu. Dan pesan itu baru sampai sekarang, itu artinya-“ setelah selesai bergumam, dia segera berlari ke arah jendela.

“Untunglah masih ada.”

Taka melirik ke arah mayat gadis itu. Tidak ada, mayatnya tidak ada, tadi sudah jelas dia tergeletak kaku di situ, pikirnya. Taka masih kebingungan mengenai hal yang dialaminya sekarang. Tidak ada kesimpulan yang bisa dia capai. Dia segera mengambil tasnya, lalu berlari keluar dari kelas.

Dia melangkahkan kakinya sekuat tenaga. Sesampainya di gerbang sekolah, tidak ada yang terjadi, pikirnya kembali. Taka meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Taka berlari kembali untuk menuju ke rumah, dengan harapan baik-baik sajanya juga berpengaruh di tempat tinggalnya.

Sesampainya di rumah, Taka segera ingin bertemu dengan kakaknya. Kakak perempuannya duduk santai di atas sofa sembari menikmati camilan kesukaannnya. Nafasnya terengah-engah, lalu kakak perempuannya bertanya,  “Kenapa? habis dikejar setan?”

“Ahhh untunglah. Tidak apa-apa, aku mau mandi dulu.” Taka segera meninggalkan kakaknya dan menuju ke kamar mandi.

Dia membasuh wajah sembari bercermin sebentar, melucuti seragam sekolahnya. Dari pantulan cermin dia melihat jiika tanda yang ada dada kirinya semakin jelas dan membesar. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar, lalu mengacuhkannya.

Taka berendam di dalambak mandi yang berisi air hangat untuk melupakan kejadian tadi sejenak. Lalu dimulailah pemikirannya.

Ke mana mayat gadis itu tadi? Tadi sudah jelas-jelas dia terbujur kaku. Dan juga nama Apollo-3, aku belum pernah mendengarnya. Besok akan kucoba tanyakan kedua hal itu pada Farizha. Hahahaha…semoga saja dia berguna.

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1333      656     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5462      1525     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.