Sesuai kesepakatan mereka berdua sebelum menikah, mereka berdua hidup serumah seperti kakak beradik. Mereka pun tidur secara terpisah, Nanda tidur di kamar yang telah disiapkan ortunya, sementara Endi tidur di kamar sebelah yang awalnya dijadikan gudang, kini dibersihkan menjadi kamar layak huni. Sejauh ini kehidupan mereka mulus tanpa konflik, karena memang baru dua hari mereka menikahnya, dan baru pindah ke Jogja kemarin.
Pagi itu Nanda menyiapkan sarapan sederhana, sementara Endi masih tidur di kamarnya. Nanda sudah rapid an wangi siap pergi ke kampus melihat pengumuman ospek yang akan ditempel pukul 8 tepat jadi dia hanya meninggalkan note yang ditempel di pintu kamar Endi, bahwa sarapan sudah siap di meja.
Nanda mulai mengayuh sepedanya menyusuri jalanan kota Jogja. Dia tampak segar dan bersemangat menyambut hidup barunya sebagai mahasiswa. Sesampainya di fakultas Nanda mulai berkenalan dengan beberapa mahasiswa baru lainnya.
“Maba Miba…” teriak salah satu senior menggunakan TOA. Seketika para mahasiswa baru pun mendekati sumber suara. “Apa kabar kalian? Semangat ya menyambut hari baru di kampus kita tercinta ini.” Lanjutnya. Maka dimulailah pengarahan ospek yang akan diadakan lusa. Ospek yang diadakan bukanlah perploncoan tapi lebih ke pengenalan kampus berupa seminar umum dan diskusi.
Setelah selesai pengarahan ospeknya, maba miba, sebutan untuk mahasiswa baru dan mahasiswi baru, dipersilakan pulang untuk istirahat dan bersiap untuk kegiatan lusa yang sangat padat dan pastinya melelahkan. Sesuai instruksi Nanda pun hendak pulang mengambil sepedanya di parkiran.
Tin tin tinnnnn… sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi melewati jalan didepan gedung komunikasi hampir menabrak Nanda. Untungnya Nanda ditarik oleh seseorang sehingga dia selamat dari kecelakaan mobil tersebut, meskipun dia juga jatuh terpental dan lecet-lecet di sikunya.
“Kamu tidak apa-apa?” Tanya orang yang barusan menolong Nanda. “Hei tanganmu berdarah!” seru orang itu dan langsung mengambil sapu tangannya dari saku untuk menutupi luka Nanda.
“Tidak apa-apa kok, hanya luka kecil saja.” Nanda tidak enak.
“Oiya, perkenalkan aku Dirga,” cowok itu mengulurkan tangan ke Nanda.
“Nanda.”Jawab Nanda singkat karena gugup.
“Nan, kamu kenapaaaa???” Teriak Monica histeris melihat sahabatnya berdarah.
“Gapapa Mon, Cuma kurang hati-hati hehe.”
“Kamu ini baru aku tinggal sebentar di jurusan sebelah saja sudah kejadian aneh-aneh.” Monica ngomel ala emak-emak.
“Oh iya, karena kamu sudah ada teman, aku tinggal pergi dulu ya Nanda,” kata Dirga sambil tersenyum.
“Makasih ya atas bantuannya.” Ucap Nanda.
Dirga pun berlalu. Monica memapah Nanda yang agak pincang karena kakinya tadi terbentur trotoar.
“Kuantar kamu pulang ya,” kata Monica
“Sepedaku gimana?”
“Udah titpin satpam aja. Pasti aman kok.”
“Ok!” Nanda dan Monica berjalan menuju pos satpam menitipkan sepeda, kemudian mengambil motor Monica di parkiran.
“Gimana sih kok bisa luka begini? Kamu udah ngabarin suami belum?”
“Sssstttt! Jangan kenceng-kenceng. Pokoknya di kampus yang tahu aku udah nikah sama Endi Cuma kamu doang. Karena aku dan Endi sepakat merahasiakan pernikahan kita di kampus, pokoknya Endi adalah kakakku sekarang.” Bisik Nanda.
“Pfffftttt kalian ini engga dewasa sama sekali. Emang kenapa kalo teman-teman tahu? Toh universitas kan juga engga melarang mahasiswa yang sudah menikah.”
“Pokoknya diem!” Nanda membekap mulut Monica.
***
Sesampainya Nanda di rumah, Endi sudah menghilang entah kemana. Mungkin dia menemui teman-temannya, kan dia lebih duluan kenal Jogja pastilah punya banyak teman dan urusan di Jogja. Monica hanya mengantar sampai depan rumah dan langsung berpamitan karena ia harus kembali ke kost beberes kamarnya yang masih berantakan.
Nanda berjalan menuju dapur hendak mengambil air minum. Ia melihat meja makan sudah kosong, dan piring nasinya sudah dicuci bersih di rak piring. Syukurlah kalo Endi mau makan masakanku, batin Nanda tersenyum.
Ceklek…seseorang membuka pintu depan. Endi sudah pulang rupanya. Ia menemukan bungkusan obat merah dan perban serta sapu tangan berdarah di atas meja ruang tamu. Seketika Endi panik, dan mencari Nanda ke dalam.
“Nda, kamu udah pulang?”
“Iya sudah, aku di dapur. Kenapa?”
“Harusnya aku yang tanya kenapa sama kamu, itu bekas darah dan obat-obatan siapa?” Endi memperhatikan seluruh tubuh Nanda dari atas ke bawah sampai menemukan luka di siku dan memar di lutut. “Hei, kamu kenapa? Kok bisa luka seperti ini?” Endi meraih lengan Nanda yang sakit.
“Tadi hampir ketabrak mobil, tapi aku nggak apa-apa kok.” Nanda nyengir.
“Kamu ini, kenapa tadi nggak bangunin aku saja, kan bisa minta tolong aku biar kuantar. Kalo ayah tahu kamu luka gini di hari pertama di kampus bisa kena semprot aku.” Endi mulai ngomel.
“Iya aku tahu, aku nggak akan cerita ke ayah atau papa.” Nanda berjalan pincang menuju sofa. “Maaf ya belum sempat kubereskan ini.” Nanda mulai mengemasi obat-obatannya yang berserakan di meja.
“Sudah kamu duduk aja, aku yang beresin.” Endi meraih tangan Nanda dan tak sengaja mereka saling bertatapan. Seketika suasana berubah menjadi sangat canggung, Endi pun segera melepas tangan Nanda dan mengalihkan pandangan.
“Kamu udah makan?” Endi mencairkan kecanggungan.
“Belum. Soalnya emang belum lapar sih.”
“Oiya makasih ya sarapan tadi pagi.”
“Maaf ya cuma bisa bikin telor ceplok hehe.” Nanda nyengir malu.
“Gapapa enak kok. Oh iya tadi pulang di antar siapa? Kok sepedanya tidak ada di rumah?”
“Monica.”
“Dia kuliah di sini juga?”
“Iya, anak Psikologi dia. Jadi masih satu fakultas sama aku.”
“Besok kamu ada agenda keluar rumah engga?”
“Kayaknya engga sih, aku mau di rumah aja soalnya lusa uda mulai ospeknya. Kenapa emangnya?”
“Besok aku mau survey lokasi buat café jadi mungkin akan seharian jadi ga bisa nganterin kamu semisal mau pergi.”
“Okay gapapa. Misal mau pergi kan bisa pakai ojek online.”
***
Kesokan paginya Endi dijemput Tio, sahabatnya, untuk survey lokasi café. Kebetulan pemilik lokasi café adalah paman Tio, jadi Endi pun sedikit banyak menggunakan Tio sebagai senjata negosiasi harga dengan pemilik. Alhasil paman Tio pun takluk dengan harga yang lumayan terjangkau karena Tio adalah keponakan kesayangannya.
“En, aku mau tanya, itu adekmu yang di rumahmu tadi sudah punya pacar belum?” tanya Tio tiba-tiba waktu perjalanan pulang.
“Uhuk uhuk uhuk…” Endi yang sedang minum langsung tersedak mendengar pertanyaan Tio.
“Biasa aja kali En, nggak usah lebai gitu. Wajar kali temanmu yang jomblo ini langsung kepo kalau lihat cewek cantik.” Tio mulai senyum-senyum sendiri membayangkan sapaan Nanda tadi pagi pas jemput Endi.
“Dia sudah punya tunangan, jangan diganggu.” Kata Endi agak menekan.
“Yak an masih tunangan, selama janur kuning belum melengkung masih bisa sepik-sepik dong ya, emang kamu nggak kasian sama aku yang masih jomblo di umur segini? Kamu aja udah punya Siska.”
“Aku sudah putus sama dia setahun yang lalu. Jadi engga usah dibahas lagi.” Endi terlihat sensi membicarakan Siska.
“Putus? Serius? Kukira hubungan kalian adem-adem aja.”
“Dia ada main sama juniornya di marching band.”
“Serius? Wah ga kusangka.”
“Sudahlah bahas yang lain saja.”
“Hahaha, ok lah kalo begitu kita bahas pencomblangan antara aku dan Nanda saja gimana?” Tio semakin antusias ingin mendapatkan Nanda.
Endi yang terlanjur bad mood karena masalah Siska diungkit cuma diam tidak menanggapi ocehan Tio. Tio yang engga peka terus mengoceh memuji Nanda dan tak henti-hentinya meminta Endi nyomblangin dia dan Nanda. Alhasil Endi pun semakin bad mood jadinya.
Sesampainya di rumah Endi langsung turun mobil dan masuk kamar. Nanda yang ada di halaman rumah menyiram tanaman heran melihat sikap Endi yang lain dari biasanya. Tio bukannya pulang, malah turun mobil nyamperin Nanda, seolah ia sedang mendapat peluang PDKT.
“Hai Nanda!” sapa Tio.
“Eh Mas Tio, tadi Mas Endinya kenapa kok seperti bad mood gitu? Survey lokasinya gagal kah?” Nanda polos.
“Berhasil dong, kan ada Mas Tio jadi apa sih yang bakalan engga berhasil hehe.” Tio mulai tebar pesona.
“Lha itu kenapa?” Nanda menunjuk ke dalam rumah.
“Tadi menyinggung masalah Siska, jadinya gitu deh.” Tio mengangkat bahu.
“Siska?”
“Siska pacar Endi, mantan ding, katanya abis putus tahun lalu.”
“Oh,” Jawab Nanda pendek. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hati Nanda saat mendengar Siska, mantan pacar Endi.
“Hei! Kok jadi bengong?” Tio membuyarkan lamunan Nanda.
“Eh gapapa kok mas, hehe.”
“Ok lah kalo begitu, Mas Tio pulang dulu ya dek Nanda, baik-baik di rumah jagain Mas Endi yang lagi PMS ya haha…”
“I…iya…” Nanda mendadak agak geli mendengar kalimat Tio terakhir dan nadanya yang ganjen.
Tio pun berlalu dengan mobilnya. Nanda masuk ke dalam rumah dan melihat pintu kamar Endi masih tertutup rapat sejak pulang tadi. Tampaknya Endi sangat menyayangi Siska, pikir Nanda. Ia pun tak berani mengusik Endi karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Nanda memnunggu Endi keluar sambil nonton tv untuk menawari makan malam.
Baru sekitar satu jam Nanda berbaring di depan tv, dia sudah bablas ke alam mimpi. Mungkin efek capek yang berakumulasi sejak prosesi pernikahan hingga pindahan ke Jogja. Tak lama kemudian Endi keluar dari kamarnya hendak ke kamar mandi. Langkahnya terhenti ketika melihat Nanda tidur sangat pulas di depan tv. Endi tersenyum kecil tanpa ia sadari.
“Nda…” Endi menggoyang-goyangkan bahu Nanda agar dia bangun. “Nda…pindah ke kamar kalau tidur, nanti lehermu sakit.” Sama sekali tidak ada respon. “Nda…kebo banget sih kamu tidurnya, bngun Nda,” Endi bertambah kencang menggoyangkan tubuh Nanda tapi Nanda Cuma mengubah posisi tidurnya tanpa melek.
Endi bingung. Sebenarnya dia mau tidak peduli tapi melihat Nanda yang polos sedang tidur pulas jadi tidak tega kalo besok pagi badannya jadi sakit semua karena tidurnya di sofa. Mana tubuhnya masih ada memar karena jatuh, dan besok pagi harus mengikuti ospek. Akhirnya Endi memutuskan untuk memindahkan Nanda ke kamar dengan menggendongnya.
“Nda, sorry ya bukan maksudku mau modus atau macem-macem sama kamu. Tapi ini karena kamu kebo banget tidurnya.” Kata Endi sebelum menggangkat tubuh Nanda. “Duh berat banget sih kamu Nda,” Endi sempoyongan membopong Nanda masuk ke kamarnya.
Endi membaringkan Nanda di ranjangnya dan menyelimutinya. Refleks Endi membelai rambut Nanda. Ups! Dia langsung menarik kembali tangannya setelah menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Endi hendak beranjak dari kamar Nanda sebelum dia melakukan hal-hal aneh lagi. Tap!!! Baru selangkah dia beranjak, tangan Nanda menarik tangan Endi hingga ia terduduk lagi di samping Nanda.
Endi sempat gelagapan karena kaget dan gugup, dikiranya Nanda terbangun dan akan marah karena apa yang telah dia lakukan tadi. Tapi ternyata Nanda masih tertidur lelap dan ia tersenyum dalam tidurnya. Endi pun merasa lega. Pelan-pelan dia melepaskan tangannya dari genggaman Nanda pelan-pelan kemudian keluar kamar Nanda. Setelah menutup pintu kamar, Endi menghela nafas panjang dan segera ke kamar mandi membasuh mukanya yang memanas.
***
Keesokan paginya Nanda bingung menyadari dia berada di kamarnya. Seingatnya semalam habis isya, dia nonton tv di sofa. Dia berpikir keras, mengingat apa yang terjadi tapi tak berhasil mengingat apapun. ‘Apa Endi yang memindahkankku ke kamar ya?’ pikir Nanda tiba-tiba. ‘Tidak mungkin lah, mungkin aku tidur sambil berjalan hehe.’ Nanda mencoba mengusir rasa geer nya.
Setelah subuh, Nanda segera ke dapur hendak membuat sarapan karena hari ini dia masuk jam 7 pagi. Waktu tidak memungkinkan untuk memasak apapun sehingga Nanda hanya membuat sandwich dua porsi untuk dia dan Endi. ‘Oh iya tadi Endi belum kubangunkan sholat subuh.’ Pikir Nanda
Tok tok tok… “Mas Endi sudah subuh belum tadi?” Nanda mengetuk pintu kamar Endi.
“Iya sebentar.” Jawab Endi dari dalam. Endi pun keluar kamarnya mengambil wudhu dan kembali ke kamar untuk subuh.
Selesai subuh Endi menghampiri Nanda di dapur, tapi sudah kosong. ‘Lho ilang kemana tuh bocah? Baru jam setengah enam masa sudah berangkat.’ Pikir Endi dalam hati. Ia pun berbalik hendak mencari Nanda di ruangan lain.
Bukkk…Baru saja berbalik, Endi ditabrak Nanda yang terpeleset genangan air di lantai. Untung saja Endi sigap menangkap Nanda meski dalam posisi tidak siap. Sejenak mereka berdua terdiam mematung saling berpandangan dengan posisi berpelukan. Seketika Nanda dan Endi kompak wajahnya memerah dan jantungnya berdetak di atas normal. Ups! Mereka berdua segera menyadari posisi mereka dan melepaskan pelukannya. Keduanya sama-sama salah tingkah jadinya.
“Mau sandwich engga? Aku tadi buat dua porsi.” Nanda memecah kecanggungan.
“Boleh.”
“Sebentar aku ambilkan. Kamu duduk di kursi saja.” Baru saja Nanda berjalan selangkah sudah terpeleset lagi, untung Endi belum beranjak jauh dan masih sigap menangkap Nanda.
“Hati-hati Nda, yang keserempet mobil kemarin aja belum sembuh udah mau ditambahin lagi.”
Nanda Cuma nyengir kuda.
“Lagian ini air apa sih Nda? Dimana-mana ada cipratan air. Nanti bikin kepleset lagi.”
“Tadi engga sengaja numpahin air gallon pas masangin di dispenser hehe, terus mau cari lap ke garasi tapi ga nemu.”
“Gallon? Kalo ga kuat kenapa engga minta tolong aku aja.”
“Kuat kok, buktinya berhasil.”
“Iya berhasil tapi ceceran air dimana-mana bikin kecelakaan.”
“Iya maaf, tadi trial soalnya. Oiya ini sandwich-nya. Kamu mau susu, teh, atau kopi?”
“hmmm…air putih aja deh, kan udah ada yang kerja keras masang gallon sendiri tadi, haha” Endi tertawa melihat Nanda semakin cemberut dengan ledekannya
***
Sudah menjadi rutinitas setiap pagi jalanan di area kota Jogja sangat padat di pagi hari. Hiruk pikuk orang berangkat bekerja, kuliah, dan sekolah membuat jalanan terasa penuh sesak. Suara klakson dan asap kendaraan bukanlah hal baru di sini. Mungkin beberapa tahun yang akan datang kepadatan jalanan Jogja sudah menyamai Jakarta.
“Pegangan ya Nda,” Kata Endi kemudian menarik gas motornya. Dengan sigap Endi menerobos padatnya jalanan Jogja pagi itu. Nanda yang duduk di bonceng Endi terlihat sangat cemas karena takut telat ospek hari pertama. Dia lupa memperhitungkan lamanya perjalanan di kala pagi hari, makanya hari ini dia sangat buru-buru.
Ciiiiitttt! Endi mengerem motornya tepat di depan panitia ospek yang berjaga di gerbang. Tepat sekali Nanda berhasil melewati gerbang sebelum ditutup panitia.
“Nanti aku pulang sendiri naik sepeda, tidak usah dijemput!” teriak Nanda dari dalam gerbang. Endi melingkarkan jari tanda ‘OK’.
Bersama dengan maba miba lainnya, Nanda berjalan menuju auditorium kampus untuk mulai orientasi. Senyum fresh dan antusiasme tampak sekali menghiasi wajah maba miba. Acara orientasi berjalan dengan lancar dan menyenangkan tanpa ada perploncoan.
***
Sementara Nanda mengikuti orientasi kampusnya, Endi kembali mengurus renovasi tempat yang akan dijadikannya sebagai café. Ia menemui kepala tukang untuk menyerahkan design dan menjelaskan beberapa hal teknis yang harus dikerjakan para tukang.
Sebelumnya tempat yang akan dijadikan café oleh Endi ini adalah sebuah gallery seni. Nuansa etnik sangat kental dimana banyak elemen kayu dan alam di bangunannya. Bagian indoor dan outdoornya terhubung oleh jajaran pintu kaca yang menerus sampai ke plafon. Endi mendapatkan bangunan ini seperti jackpot karena bangunan ini sangat sesuai dengan konsep cafénya. Ia tidak akan melakukan banyak renovasi bentuk pada bangunannya. Hanya butuh beberapa polesan sedikit dan pengaturan layout ruang bangunan ini sudah siap beroperasi.
Endi terlihat sangat menikmati setiap proses pembangunan cafénya. Semua proses hampir dihandle sendiri olehnya dengan cekatan. Di samping proses renovasi bangunan dia juga sudah menyiapkan konsep café dan elemen-elemen kecilnya, seperti menu, harga, advertising, entertainment café dan lainnya. Dia merasa sangat hidup saat ini.
Jika dilihat dari cara Endi mempersiapkan cafénya, ia terlihat sangat professional meskipun dengan basic amatir karena dia tidak pernah menjalani pendididkan bisnis. Bekalnya dia hanya rasa suka. Dengan ‘suka’ tersebut dia jadi belajar sendiri melalui internet dan pengalamannya pribadi ketika diskusi dengan teman atau jalan-jalan mengamati.
Meskipun diambang kata drop out tapi Endi bukanlah mahasiswa bodoh dan pemalas. Dia bertindak seenaknya saat menjalani kuliah hanya memberontak ke papanya yang dianggap Endi selalu memaksakan kehendaknya sendiri untuk anak-anaknya.
Setelah Endi menjalani proses mendirikan bisnis cafénya ini, ia baru menyadari kenapa papanya dulu memaksanya masuk jurusan arsitektur padahal dia bercita-cita menekuni bisnis kuliner. Awalnya Endi hanya menganggap arsitektur adalah tukang gambar bangunan yang nantinya hidupnya hanya 24 jam di proyek. Tetapi kini ia menyadari, dunia arsitek sangatlah luas dan bisa mempelajari apapun disini. Dia tidak memungkiri banyak hal yang dia pelajari di dunia arsitektur ini untuk pendirian cafenya. Bukan tentang perancangan design bangunannya saja, tetapi juga perancangan menu, advertising, peluang pasar dan lain sebagainya. Jadi intinya kenapa papanya tidak menyekolahkan dia di jurusan bisnis ataupun tata boga adalah agar Endi bisa menekuni bisnis kuliner yang ia idam-idamkan dari kaca mata yang berbeda. Dengan begitu Endi bisa menciptakan sesuatu yang baru alias antimainstream. Meskipun terlambat Endi bertekad menyelesaikan kuliahnya hingga mendapat ijazah dan wisuda untuk berterimaksih kepada papanya.
***