Udara yang berasal dari pendingin ruangan ini berhasil membuat pria yang kerap disapa jimy itu menggigil. Rasanya dia ingin keluar dari ruangan yang membuatnya menimbulkan kepenatan di sanubarinya yang paling dalam.
Gila memang orangtua Jimy yang memaksanya untuk mengikuti les rutin setiap harinya. Mungkin bukan orangtuanya yang gila, rasa kepedulian yang begitu dalam hingga tak bisa lagi memberikan sedikit waktu senggang untuk anaknya sekedar berleha-leha. Belajar, belajar dan belajar itu harus bagi orngtuanya.
Sementara Jimy yang melaksanakannya merasa terbebani, terlebih tugas kuliah yang begitu banyak. Belajar terus menerus bila tak dari hati juga percuma, pikirnya.
"Untuk pelajaran hari ini ada yang ditanyakan ?" Ucap guru les Jimy pada semua anak yang ada disana. Ibu gurunya menatap ke arah kiri tengah dan kanan, melihat tak ada seorang pun yang mengacungkan tangannya lalu ibu itu tersenyum.
"Baiklah, kita akhiri saja perjumpaan kita hari ini ya. Selamat sore" Lantas ibu itu lekas pergi meninggalkan kelas.
Segera Jimy keluar dari ruangan yang membuatnya menggigil itu.
"Jim..jim.."Panggil seseorang, Jimy menoleh kearahnya.
"Mau langsung pulang ?" Tanya Ara teman Jimy. Ia hanya menganggukkan kepalanya dan berjalan kembali. Namun ara masih juga mengikutinya.
"Gak mau makan dulu gitu ?"Tawarnya. Jimy menggeleng.
"Kalo kamu mau makan, makanlah" Ucap Jimy kemudian.
"Enggak enak kalo makan sendiri" Timbal ara memelas. Jimy menoleh ke arahnya saat mendengar ucapakan yang sedikit menyenggol hatinya.
"Mau makan dimana ?" Tanya nya setelah berfikir sejenak.
"Dimana aja si enggak apa-apa" Ucap Ara begitu sumringah, seketika Jimy mengertikan dahinya.
"Emm gimana kalo di WK ?"
"Boleh-boleh" Dengan penuh kegembiraan Ara mengiyakan tawaran Jimy. Bagaimana tidak, Ara sudah bertahun-tahun menyukai Jimy.
Sejak smp saat Ara pindah ke komplek rumah Jimy, mereka bertetanggaan. Orangtuanya juga bersahabat baik. Bahkan ibu Jimy sangat menyukai Ara sebab Ara pintar dan anaknya begitu sopan. Sayang, Jimy tak pernah menganggap Ara lebih dari seorang sahabat.
Dalam perjalanan mereka hanya diam, terlebih Jimy juga cukup pendiam bila dengan wanita. Sementara Ara sepanjang jalan tersenyum sumringah.
"Gak kering ra ?" Tanya Jimy
"Haa ??" Ara terkejut
"Dari tadi senyum-senyum sendiri" Jimy tak berpaling dari hpnya.
"Haha" Ara hanya tertawa mendengar ucapan Jimy. Pipinya tiba-tiba merona. Suhu badannya terasa panas. Dia menumpuk pelan jidatnya.
"Bentar lagi sampai iya" Ucap Jimy.
Ara hanya tersenyum seraya menoleh pada Jimy.
Tak lama kemudian Jimy bangkit dari duduknya, mengulurkan tangannya pada Ara. Dia menatapnya, baginya itu hanya mimpi.
"Raa.... " Jimy mengayunkan jemarinya.
Ternyata bukan mimpi, ini nyata. Lagi-lagi Ara tersenyum dan menyambut hangat uluran tangan Jimy.
Pintu buswaynya terbuka. Mereka dan orang-orang lainnya berbondong-bondong untuk keluar. Jimy seolah melindungi Ara dan menggenggam tangannya. Mereka jalan sejenak dari halte.
Tak begitu jauh, justru bila Ara bisa dia ingin memindahkan warung itu lebih jauh lagi, karna tanpa sadar dari mereka turun busway sampai sekarang jemari iti masih bertahan satu dengan yang lain dalam sebuah genggaman erat.
"Selamat sore, selamat datang di warung kuno, semoga menikmati hidangannya" Sapa Tisa pada pengunjung seraya tersenyum lalu menundukkan sedikit kepalanya.
Raut wajah Tisa seketika berubah setelah ia menemukan sosok yang tak asing baginya. Melihat kembali ke arah dua jemari yang slaing mengikat. Pria itu tersenyum pada Tisa.
"Ada yang kosong ?" Tanyanya
"Oh, iya mari saya antarkan" Ucap Tisa sedikit gugup, entah mengapa dia juga heran.
"Silahkan duduk, saya ambilkan menunya dulu" Tisa segera mengambil daftar menunya.
Jimy tak sadarkan diri bila sedari tadi ia dan Aya saling menggenggam tangan.
"Aduh, maap ay. Gak sadar" Ucap Jimy terkejut melihat tangannya dengan hebat menggenggam jemari aya.
"Gak apa-apa. Aku juga ngerasa dilindunginya kalo kaya gitu" Ucap Aya malu-malu.
Mereka duduk berhadapan. Aya yang bersikap biasa saja sementara Jimy hawatir Aya salah pengertian, sebab Jimy tau bahwa sahabatnya itu suka padanya meski Aya tak pernah mengungkapkannya.
"Ini menu nya. Bisa di lihat terlebih dahulu" Ucap Tisa seraya tersenyum.
Saat mereka memilah-milih menu, dahi Tisa mengerut hebat. Dalam pikirnya, kenapa pria ini tak sedikit pun terkejut melihat Tis ayang sering ia lihat di cafe, atau sekedar bertanya, "oh kamu juga kerja disini ?" bukan kah ini pertama kalinya ia berkunjung d WK. "Ahh" Tisa berusaha menyadarkan dirinya.
"Mbak, saya pesan onde-ondenya sama cincau ya" Ucap Aya dengan lembut
"Kamu pesen apa ?"Tanya nya pada Jimy.
"Ketoprak aja, sama mineral" Ucapnya
"Itu aja mbak" Timbal Aya
"Oh, iya. Di tunggu selama kurang lebih 15 menit ya" Ucap Tisa tak kalah santunnya dengan Ara.
Tisa segera pergi dan memesankan pesanan mereka dengan suasana hati yang menyebalkan, Tisa juga heran ada apa dengan dirinya.
***
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
"Udah pulang nak" Ucap Ayah Tisa
"Iya ayah" Ucap Tisa sekenanya. Dengan raut wajah yang ditekuk seolah sedang berfikir keras.
"Sa... "Tisa memberhentikan langkahnya.
"Iya ayah" Tumbalnya, seolah baru tersadarkan.
"Sini... "Panggil ayahnya seraya menumpuk pelan soffa mereka, menyuruh Tisa untuk duduk di sampingnya. Ia segera menghampiri ayahnya yang sedang menonton TV sendiri.
"Gimana kerjanya, lancar ?" Tanya ayah, satu-satunya orang rumah yang begitu peduli padanya.
"Alhamdulilah, lancar ayah" Tisa tersenyum.
"Capek ?" Tanya ayah lagi
"Wajar itu ayah, namanya ada yang dikerjakan" Tisa melepas tasnya dn menaruh di atas meja.
"Yaudah, mandi habis itu langsung tidur" suruh ayah pada Tisa.
"Ibu mana ayah ?" Tanya Tisa seraya beranjak dari duduknya.
"Udah tidur dari tadi, kecapean"
Tisa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu meninggalkan ayahnya.
Tisa menaruh tas di meja samping tempat kasurnya. Membaringkan tubuh pada kasur kesayangannya seraya menatap langit-langit kamarnya.
"Kenapa dia gak nanya aku juga kerja di sana. Dia juga seolah gk kenal sama kau. Atau jangan-jangan perempuan tadi pacarnya" Pikir Tisa yang masih saja kepikiran dengan pengunjung yang selalu datang ke sweet cafe dan untuk pertama kalinya datang di WK, dan anehnya seolah tak mengenali Tisa.
Memang tak pernah bertuker nama, tapi setidaknya untuk orang yang sering ketemu kenapa tidak untuk saling menyapa ?
"Aaahhh..." Ia mengacak-acak rambutnya "bukan urusanku juga, gak ada untung dan ruginya dia tak menyapaku" omelnya sendiri di dalam kamar.
Menggerutu ini itu sampai ia terlelap tidur tanpa membersihkan badannya terlebih dahulu, mungkin itu juga efek Tisa terlalu lelah. Ia pun terlelap dalam tidurnya, seolah tak ada beban yang ia pikul.
Sedih bacanya kak :( semoga endingny bagus
Comment on chapter 1