Gemaan musik yang terlantunkan berhasil membuat pria bertopi hitam itu menghentak-hentakan kakinya seirama dengan lagu yang ia dengarkan melalui headset miliknya. Seraya merapikan kemeja kotak-kotak yang ia kenakan. Topi sudah, baju sudah rapi, sepatu oke, jam tangan serta parfum sudah menemani.
Sebelum lekas pergi, ia melihat kembali dirinya di cermin besar yang ada dihadapannya itu. Tak lupa, membawa sebuah buku untuk menghilangkan kepenatan. Pria bertopi tadi pergi menuju sebuah cafe favoritenya, tiap hari ia sisihkan sedikit waktunya untuk berkunjung kesana meski hanya memesan segelas kopi saja.
"Untuk meja berapa orang kak ?" Tanya seorang karyawan disana
"Satu" Ucap pria itu sekenanya.
Karyawan tadi sedikit mengernyitkan matanya. Barangkali dia terheran-heran ada pria yang tiap hari ke cafe seorang diri dan hanya membaca buku saja. Terlebih, yang ia pesan bila tidak sepotong cake ya segelas kopi.
"Silahkan duduk diujung sana ya kak" Timbal karyawan yang bernama Sita itu.
Pria tadi segera menuju kesana. Sita melambaikan tangan pada Tisa yang tengah berdiri mengamati pengunjung.
"Ada satu"Tunjuk Sita ke arah pria tadi. Ia segera menangkap maksud Sita. Seraya menganggukkan kepalanya.
"Eh masnya lagi" Pria itu menyelipkan senyuman diujung bibirnya.
"Pesan apa mas ?"Tanya Tisa
"Kopi"
"Ada yang lainnya mas?" Setelah sejenak menunggu pria itu akan melanjutkan atau tidak pesanannya, dan akhirnya Tisa memilih untuk menanyakannya.
"Udah itu aja"Ucapnya lembut
"Baik, ditunggu ya mas" Tisa lekas pergi.
Kring.. Kring...
"Pesanan kopi meja 2, satu ya" Pekiknya pada karyawan lain yang ada diruang belakang melalui lobang kecil yang ada di dekat kasir.
"Pengunjung yang sama ya ?"Ejek Tofan sahabat Tisa di cafe itu
"Yang pentingkan dia gak pernah absen datang kesini, panjul" Tisa menimpuk pelan kepala Tofan dengan sendok yang sedang ia pegang.
"Tapi anehnya tiap jam 10 dia dateng ya, seolah jadwal nya gitu haha" Ucap Tofan seraya melihat pengunjung bertopi hitam tadi dari kejauhan.
"Jangan berfikir yang aneh-aneh, giliran sepi bawel, enggak sepi bawel juga" bela Tisa pada orang yang belum ia kenal.
"Eh sa" Panggil Tofan saat Tisa beranjak pergi.
"Hee" Tisa tak berpaling pada pengunjung yang bertebaran di depan sana. Barangkali ada tambahan pesanan.
"Pulang ini kemana ?"
"Menurut lo ? Kemana lagi kalo enggak kerja" Cetus Tisa sewot
"Sekali-kali sa, senengin diri" Tofan menasehati Tisa seraya mengelap piring yang sudah di cuci.
"Ah bawel kamu mah" Ucapnya, dan secara tak kebetulan Tisa melirik ke arah pria bertopi yang tengah memperhatikannya juga. Tisa salah tingkah, matanya bergerak tak karuan. Fikirnya, apa dia mendengar pembicaran dia dengan Tofan. Wah sungguh tak enak hati bila benar ia. "Haduh" Tisa menimpuk jidatnya pelan. Dengan keheranan Tofan melihat tingkah Tisa. "Woy..." Tegurnya menyadarkan Tisa. Wajah Tisa membelangak.
"Kring.. Kring.. "
"Pesanan satu kopi" Ucap karyawan bagian dapur
"Iyaa.." Sontak Tisa mengambil pesanannya, dan menghiraukan Tofan. Lantas Tofan melihat Tisa hingga berlalu.
***
Seraya berjalan mengambil pesanan pria tadi Tisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencemaskan bila ternyata benar pria tadi mendengar omongannya dengan Tofan, akan kehilangan satu pengunjung. Dengan menebarkan senyuman lebar dan menghela napas panjang Tisa berjalan menuju pria bertopi.
"Ini mas pesanannya" Ucap Tisa dengan manis.
"Tambah cake"
Tisa sedikit terkejut. Matanya membelanga, bibirnya sedikit terbuka.
"Iya mas ?" Tanya Tisa untuk memastikan bahwa dia tak salah mendengar.
"Saya pesan cake" Ucap pria itu tak sedikitpun menebarkan senyuman. Tisa mulai resah dan tak enak hati. Dia gelisah harus berbuat apa.
"Semua ini karna Tofan" Gerutu Tisa pelan.
"Iya.. "
"Haa, emm jadi gini mas. Saya mohon maaf banget. Tadi bukan saya tidak sopan mas. Tapi.... " Tisa menggigit bibirnya seraya ada yang ia fikirkan.
Pria itu heran melihat sikap Tisa yang tak ia mengerti.
"Maksudnya ?" Tanyanya
"Pokoknya saya minta maaf mas, bukan bermaksud mau ngomongin mas di belakang. Mas gak apa-apa pesan cuma kopi enggak perlu nambah" Jelas Tisa memelas
"Oh jadi, saya bahan cibiran kamu" Ucapnya membuat jantung Tisa terasa ingin meledak.
"Bukan gitu mas" Tisa melambai-lambaikan tangannya dengan cepat. "Saya minta maaf banget kalo mas nya merasa tersinggung" Tisa sedikit menundukkan kepalanya, memohon pada pria bertopi itu.
"Tambahan cake itu untuk temen saya mbak"
"Haaa" Tisa mengangkat wajahnya yang terkejut itu.
"Oh, haha buat temen nya ya mas, haha" Tisa salah tingkah di depan pria itu. Tak sanggup menahan lagi, dia melipir pergi memesankan pesanannya. Pria bertopi tadi meninggalkan senyuman diujung bibirnya melihat tingkah aneh Tisa yang berkali-kali menimpuk jidatnya.
***
Terik matahari berhasil membuat sayur-mayur yang semula segar menjadi layu tak bergairah. Dengan semangat yang menurun laki-laki yang kerap disapa Tisa ayah mengibas-ngibaskan lalat yang bertebaran di sayur-mayurnya dengan plastik yang di ikatkan pada ujung ranting kayu.
"Sayur.. Sayur.. Bu sayurnya bu" Ucapnya pada pembeli yang lalu-lalang didepannya. Tak satu pun dari mereka yang melirik ke arah dagangan ayah Tisa.
"Aduh yah, ini gimana dagangan kita masih utuh" Keluh ibu Tisa
"Ya mau gimana bu, rezeki kan enggak selalu lancar" Timbal ayah Tisa.
"Usaha dong ayah, gimana caranya biar laku" Ucapnya lagi tak mau kalah.
"Iya bu, sabar" ayah Tisa lekas pergi dan menaruh ranting yng ia pegang.
Ayah Tisa berjalan ke gubuk yang ramai oleh para bapak-bapak Tisa. Memesan segelas kopi dan membeli sebatang rokok. Mengeluarkan kepenatan hati, menenangkan sejenak jiwa. Dia ingin menyesal dia lah orang yang lebih menyesali hidupnya, sebab tak bisa membawa keluarganya pada kebahagian, namun apalah dayanya bersyukur satu-satunya cara yang bisa ia lakukan.
Sayangnya, istri tak memihak kepadanya hingga sempat dia berfikir menyesali hidupnya dan melupkan rasa syukur atas nikmat Allah SWT. Bagaimana tidak, istri yang selalu ada di sampingnya itu tak bukan yang dibahas selalu uang, uang dan uang. Baginya uang memanglah segalanya. Ayah Tisa juga manusia biasa yang kadang lelah bila selalu dituntun untuk selalu ada uang. Raga sudah lelah, pikiran pun dibuat lelah. Bagaimana bisa bahagia.
"Ini kopinya"
"Iya, terimakasih"Ucapnya seraya mengebulkan asal rokok dari mulutnya.
"Zak, pusing banget kayanya" Tanya salah satu teman nongkrongnya di pasar.
"Haha, namanya hidup juk, kadang berat kan ringan. Sekarang hidup saya masih berat banget" Rozak ayah Tisa mengeluarkan sedikit unek-uneknya pada juki temannya.
"Sabar aja zak, nikmatin. Kalinudah waktunya ya bakalan dateng" Juki menepuk pelan bahu Rozak. Ia tersenyum tipis seraya melihat kepergian Juki. Ayah Tisa menyeruput kopi yang masih hangat itu dan segera menghabiskan sebab harus kembali lagi untuk berdagangan.
***
Bau parfum yang tak asing lagi di hidung seseorang tercium dengan tajam. Membuat mata dan kepala sontak untuk mencari asalnya.
Seseorang dengan tas kecil yang ia selempangkan di bahunya, berjalan seraya melihat ke kiri dan ke kanan seolah ada yang ia cari.
Stylenya tak pernah salah meski sedikit tomboy namun tetap saja wajahnya memancarkan kecantikan. Warna sweeter biru muda itu berhasil menghipnotis satu, dua, tiga pengunjung pria di warung itu. Di tambah nuansa jeans yang berwarna putih membuatnya lebih menyala-nyala.
Rambunya diikat, dengan poni miring sebelah kanan. Membawa satu buku, dan tergantung sebuah headset di kedua telinganya.
Seseorang dari jauh melambaikan tangan mungilnya, dia tersenyum tipis karna berhasil menemukan seseorang yang ternyata benar, ia sedang mencarinya.
"Dari mana ?" Tanya Tisa setelah Anggi menghampirinya.
"Rumah dong, biasa" Senyumnya sumringah.
"Mau pesan ?"
"Heemm" Kepalanya mengangguk
"Duduk dulu aja gi" Ucap Tisa. Anggi hanya membentuk tangannya "Ok" mengiyakan suruhan Tisa.
"Nih" Tisa menyodorkan daftar menunya
"Ketoprak satu deh, emm sama es cincaunya ya. Jangan.... "
"Terlalu banyak gula boleh banyak susunya, cincau nya yang kental, siap bos"Tisa melanjutkan ucapan temannya itu seraya memberi sedikit hormat.
"Haha, tau aja ya"
"Sebentar ya" Tisa lekas pergi memesankan pesanan sahabatnya itu.
Anggi menatap punggung Tisa lekat-lekat seolah menaruh keibaan pada Tisa. Sebenarnya bila ingin diceritakan begitu menyedihkannya hidup Tisa. Berat, jelas, ia harus memikul derita yang tak seharusnya di usianya yang masih rentan muda ia rasakan.
Teman-teman yang seusianya rata-rata masih merasakan masa kuliah, sementara ia harus bertarung pada pekerjaan. Namun, Tisa tak pernah mengeluh, senyuman lebar dari bibirnya selalu tercurahkan disana. Ingin sekali rasanya Anggi memeluk sahabatnya itu sejenak saja. Andai apa yang dipikulnya bisa dibagi, Anggi akan menjadi orang pertama yang menerimanya.
Tisa tersenyum saat tatapannya dan Anggi sahabatnya itu bertemu, ketika ia tengah melayani pengunjung yang lainnya. Seraya menggerakkan bibirnya untuk berkata "sebentar ya" segera Anggi tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Anggi kembali membaca buku yang dia bawa tadi sembari menunggu Tisa.
15 menit telah berlalu, Tisa menghampiri Anggi dengan membawa pesanannya.
"Maaf ya lama" Ucap Tisa
"Santai si, kan aku juga bisa lama liat kamu nya haha" bualan Anggi
"Hueekkk" Ledek Tisa
"Duduk bentar bisa kali sa, temenin aku. Kan belum ada pengunjung lagi" Pinta Anggi
"10 menit ya" Segera Tisa duduk disamping Anggi.
"Ini ni ngangenin, berasa ngidam tau sama menu khas disini" Sanjung Anggi pada makanan yang ia makan.
"Lah lebay" Tisa menumpuk pelan pipi Anggi.
Tisa mengambil minuman Anggi seolah pencuri yang sedang diberi kesempatan untuk kabur. Anggi tercengang melihat tingkah Tisa.
"Kamu kenapa gi ?" Seraya menyeruput minuman segar itu
"Haaa, enggak apa-apa sa" Ucap Anggi yang menatap aneh sahabat nya itu.
"Kamu masih nulis sa ?" Tanyanya kemudian
"Iya, ikut lomba lagi. Doain ya" Ucapnya sumringah.
"Jangan terlalu ngoyo, nanti malah.... "Timbal Anggi yang mengembangkan ucapannya.
"Hmm, kan minta doa yang baik bukan yang buruknya" Balas Tisa
"Ya iya, kan diriku cuma mengingatkan"
"Makasih sayang" Tisa menunjukkan ekpresi paling menggemaskan.
"Jijik tau liatnya" Anggi membuang wajahnya.
"Yakin ?????" Tisa mendekatkan wajah nya seraya mengedip-ngedipkan matanya dengan centil.
Anggi tak tahan melihat tingkah sahabatnya itu dan menimpuk pipinya dengan pelan menandakan bahwa ia ingin Tisa menyudahi tingkah konyolnya itu.
"Udah ah, aku kesana bentar ya. Gak enak, bye love you baby" Tisa meninggalkan kiss bye pada Anggi. Sahabatnya itu hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, saat Tisa pergi raut wajah nya berubah menjadi masam seoalah ada hal yang sangat ia hawatirkan.
Sedih bacanya kak :( semoga endingny bagus
Comment on chapter 1