Read More >>"> Bukan kepribadian ganda (4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bukan kepribadian ganda
MENU
About Us  

Kejadian tak mengenakan kemarin sudah berlalu. Hanya Kimi masih mendiamkan kakaknya. Tisa sedikit heran, mengapa Kimi marah pada dirinya.
Pagi-pagi buta Tisa menghampiri kamar Kimi dengan membawa sebuah kotak. Barang kali isi dari kotak itu bisa membuat adiknya membaik.

"Apa itu ?"Tanya ibunya yang berpapasan dengan Tisa saat menuju kamar adiknya. 

"Hadiah, buat Kimi"Ucap Tisa

"Emang dia ulang tahun ?" Tanya ibunya lagi seraya memilah-milih sayur-mayur dagangan mereka. 

"Gak harus ulang tahun juga bu"Timbal Tisa.. 
"Tok... Tok... Tok... "Tisa mengetuk pintu kamar adiknya. 

"Dek.... "Panggilnya. 
Tisa menyenderkan telinganya di depan pintu kamar Kimi. 

"Bukain dong dek" Pinta Tisa memelas.

"Ayah mana bu ?" Tanyanya seraya duduk di sofa. 

"Udah di pasar" Ucap ibu sekenanya. 

Seraya mengetuk-ketuk kotak yang Tisa bawa, dia menunggu adiknya keluar dari kamar. Acara TV bila di pagi hari tak ada yang menarik, gosip gosip dan gosip. Ditambah layar TV yang terdapat banyak semutnya disana, mengundang hasrat tak tertarik untuk menonton TV.


Ibu Tisa tengah sibuk dengan dagangannya. Satu-satunya keluarga yang sangat gigih mencari uang. Bagi ibunya uang adalah cara untuk seseorang bahagia. Tak punya uang maka tak akan bahagia.


Seseorang dari ruang depan keluar dan masuk ke ruang tengah menuju dapur kecil mereka. Dengan mengenakan lacton berwarna putih dan boxcer warna hitam. Mengambil segelas air putih. Meminumnya bak orang yang tak minum selama 1 minggu. 

"Sa,  apa itu ?" tanyanya setelah minum air putih dan lekas dari dapur menuju ruang tengah.

"Sejak kapan saling peduli ?" Ucap Tisa sewot. 

"Gua cuma nanya, huhh" Abng nya melambungkan sebuah tinjuan tanda bahwa dia saking gereget pada adiknya itu. Tisa menjatuhkan tatapan tajamnya.

"Sa hari ini kerja pulang jam berapa ?"

"Bukan nya kemarin kamu gajian ya ?" Tanya ibu Tisa. 

"Pulang malem bu, iy gajian. Tapi aku bisa kasih setengahnya bu"Ucap Tisa seraya melirik abangnya. 

"Kok bisa ? Pemasukin sama pengeluaran kita gak sinkron. Ibu ada hutang di pak Gunawan, pak Mukis. Gimana ibu mau bayar kalo kamu cuma kasih setengah gaji" Jelas ibu yang mengeluh pada anaknya. 

"Iya bu, bulan ini aja yang setengah"Timbal Tisa

"Ahh, kamu buat pusing aja" ibunya lekas pergi dari ruang itu bersama dengan sayur-mayurnya. 

"Sa bagi duit dong" Abangnya segera duduk di samping Tisa. 

"Abang gak denger omongan ibu?"

"Yaudah si, kamu kapan pernah bagi abang duit" Ucap abangnya yang tak tau diri. 

"Abang harusnya sadar diri, anak pertama harusnya bersikap seperti apa ?" Omel Tisa

"Diem kamu, kalo enggak mau ngasih gak usah banyak omong" Ucap abangnya seraya beranjak dari duduknya. 

Ditengah-tengah keributan itu tiba-tiba suara pintu terbuka . Segera Tisa berdiri dari duduknya. 

"Dek.. " Tisa menghampiri Kimi yang keluar dari kamarnya. Sialnya, raut wajah kimi sungguh tak mengenakan. 

"Ini, kakak punya hadiah" Tisa menyodorkan kotak yang isis nya sepatu itu pada adiknya. 

Kimi mengibaskan tangannya, menolak hadih pemberian dari kakaknya. Dan lantas pergi ke dapur mengambil sepatu yang sudah tak layak dipaikai. 

"Udah buat abang aja" Abang Beni menghampiri Tisa. 

"Apa si abang, ini buat Kimi"

"Kimi kan gak mau, biar abang jual"

Kimi menatap tajam abangnya setelah ucapan itu melengking dari mulutnya. 

"Apa ?" ucap abang beni yang sadar bahwa Kimi menatapnya tajam

"Abang emang keterlaluan. Abang gak liat sepatu ku udah rusak. Boro-boro mau beliin ini abang mau ambil sepatunya. Untuk dijual lagi. Abang jahat" Protes Kimi dan segera mengambil kotak yang di pegang Tisa, lantas beranjak pergi. Tisa melukiskan garis senyuman di ujung bibirnya melihat adiknya itu. 

***
Pagi hari berlalu, waktu berganti siang. Disebuah ruangan terdapat botol-botol berserakan di atas lantai. Bungkus kuaci dan kulitnya bertebaran dimana-mana. Nuansa ruangannya redup, bohlam yang di pakai tidak memancarkan sinar berwarna putih.

Sebenarnya untuk ruangan sebesar itu, lampu yang baik untuk mata yang memancarkan warna putih bukan kekuningan. Tapi mungkin, mereka nyaman dengan suasana itu. Sepanjang dinding disana terukir lukisan nakal, menandakan semua penghuninya berandalan.
Terdapat pemuda-pemudi yang sedang berkumpul, ada yang sedang memegang botol minuman, yang sedang menyuntik tangannya, bahkan ada yang menggigit tangannya untuk mengisap darahnya sendiri.

Gender tidak membatasi kenakalan seseorang sebab diruangan itu pun banyak anak gadis yang tak kalah nakalnya. Betapa menyedihkan cara hidup mereka yang sangat disayangkan itu.
Memang setiap orang pasti punya masalah dalam hidupnya masing-masing. Kenakalan seseorang juga tak semata-mata mereka ingin seperti itu.

Salah satu penyebabnya adalah keluarga, kenapa masalah dalam keluarga sangat berdampak pada anak. Sebab ada anak itu dalam keluarga, dan perkembangan anak dimulai saat mereka masih kecil. Seharusnya mereka mendapat didikan yang layak dari orangtua, namun justru sebaliknya.

Mereka belum bisa berfikir dengan dewasa saat masalah menerpa mereka. Mereka ingin keluar dari yang tak seharusnya mereka fikirkan, mereka ingin kebebasan, melupakan segenap masalah yang tak seharusnya mereka hadapi. Mereka buntu, kehilangan arah, dan yang pasti tak ada seseorang yang ada disamping mereka. Hanya orang-orang yang memiliki masalah sama yang bisa saling mengerti.

Satu-satunya cara yang ada dipikiran mereka adalah penyimpangan, melakukan sesuatu yang tak pernah mereka lakukan, ingin merasakan kebebasan dengan mengonsumsi obat-obat terlarang. Mereka tak salah hanya cara mereka yang tak seharusnya sejauh itu. Harusnya mereka berfikir, untuk tidak seperti orangtua mereka bukan jauh lebih buruk dari orangtua mereka. Sehingga penyimpangan anak hanya sampai keterunan mereka tidak untuk anak dan cucu mereka. 

Seseorang keluar dari ruangan belakang, badannya setengah goyang, matanya sangat sayu seraya memegang botol minuman. 
"Aahhh... "Pekiknya

"Kalah lagi-kalah lagi" Ucapnya.

"Ngapa ben ? Kalah ?" Tanya seseorang yang disana

"Uang saya habis"Keluh nya seperti orang gila. Lagi-lagi Beni kalah main judi.

Padahal tiap kali main, dia tak pernah menang. Namun tak pernah sadar sebab dia sudah kecanduan. Bila kalah dia mengamuk pada keluarganya, meminta uang lagi dan main lagi.
Anak sulung yang tak mencerminkan anak sulung yang sesungguhnya. Entahlah mengapa beni bisa menyimpang seperti itu. 

"Gua butuh uang"Ucapnya yang terbangun dari lantai. 

"Bro, lo punya uang" Tanyanya yang seolah kerasukan. Matanya memerah dan membelangak. 

"Udah lagi ben. Yang ada kalah lagi lo" Ucap Angga kawan Beni

"Enggak, kali ini gua bakalan menang" Timbalnya dengan percaya diri seraya berjalan keluar dari ruangan itu. 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Keyzakaren

    Sedih bacanya kak :( semoga endingny bagus

    Comment on chapter 1
Similar Tags