Suara ketukan keyboard yang berasal dari jari-jemari Tisa berhasil mengungkit cerita lama yang menyedihkan dalam hidupnya. Pernah dinobatkan sebagai bulliner di sekolahnya, di ejek, di olok-olok, bahkan di asingkan, itu sungguh menyakitkan. Namun, setiap kejadian dalam hidupnya tak pernah dia sesali, sebab tak akan pernah ada cerita atau bahkan dirinya tidak akan jauh lebih baik dari sekarang bila tak melalui hal-hal tersebut. Rasa sakit itu di sembuhkan oleh penyebab itu sendiri.
Ada beberapa hal yang dapat Tisa petik dari itu semua. Salah satunya dia memilih untuk menjadi seorang penulis, bukan begitu lebih tepatnya memiliki hobi menulis. Sejak saat dia terasingkan, dia menulis semua yang terjadi.
Untuk tidak mengolok teman, mengejek teman, mengasingkan teman, ia tuangkan ke dalam tulisannya, agar dia tau bagaimana harus bersikap terhadap sesama. Pun dengan menulis Tisa bisa berandai-andai tentang kehidupan yang ia inginkan. Membuat skenario sesuka hatinya, bahkan sempat dia menobatkan diri sendiri ke dalam ceritanya. Tulisannya lah yang menyadarkannya bahwa benar kebahagiaan itu memang kita yang menciptakan.
Ketukan demi ketukan, sebuah kalimat terukir di layar monitor laptop Tisa. Dengan suasana malam yang hening dan di temani secangkir kopi, Tisa bermalam dengan segudang cerita yang ingin dia curahkan.
Satu-satunya waktu yang bisa Tisa gunakan untuk menulis adalah malam hari, di saat semua orang terlelap dengan tidurnya sebab letih yang mengundang, dia masih berkutat dengan laptopnya. Benar saja, Orangtua Tisa tak pernah mengizinkan dia untuk menulis, bagi orangtuanya terlebih ibunya, menganggap menulis hanya membuang waktu saja, lebih baik mengerjakan suatu pekerjaan yang memang akan mendapatkan royaltinya. Tapi, untuk menulis atau sekedar menuangkan sebuah hobi Tisa tak perlu mendapatkan izin dari orangtuanya. Pikirnya, asal dia bisa membagi waktu dengan baik, mengapa tidak?
Tisa selalu bermimpi, suatu saat nanti dia akan menjadi penulis hebat dan terkenal. Sejujurnya, Tisa dan bahkan semua penulis tidak menginginkan itu semua, menjadi hebat atau bahkan terkenal, menjadi kaya sebab tulisannya, tidak. Tapi terkadang, ada beberapa orang yang ingin orang lain tau bahwa mereka punya sebuah prestasi, hanya untuk sebuah pembuktian tidaklah lebih dari itu.
Tisa menyerup kopi yang mulai mendingin itu. Menompang dagu dengan tangan kirinya seraya membaca ulang cerita yang dia tulis, barang kali berlimpah kata typo disana. Tisa menaruh kembali kopinya, dan tanpa dia sengaja matanya melirik ke sebuah gambar yang terbentang di perkumpulan buku, pensil dan alat tulis lainnya. Sebuah poto yang dia liat. Bibirnya mengukir sebuah senyuman. Untuk pertama kalinya, Tisa memiliki poto bersama teman-temannya.
Ada anggi, teman yang membelanya dulu dan sekarang menjadi sahabatnya, ada Tio yang membulinya sampai bertahun-tahun, dan sekarang menjalin pertemanan dengan baik, ada Siska pacar Tio, ada rangga sahabat Tio. Di saat kelulusan kami dulu, gambar itu di ambil. "Bila dulu aku tak menjadi bahan bullian kalian, mungkin cerita yang ada di layar laptop ku juga tak akan pernah ada" Ucapnya seraya memandang poto itu. Lalu, dia meletakkan kembali potonya, lantas berbalik pada layar laptopnya.
Tisa sedang menyelesaikan ceritanya tentang masa dimana dia di bulli dulu. Entah, ingin saja membuat cerita yang pernah terjadi dalam hidupnya. Barang kali, suatu saat buku ini bisa di jamu oleh khalayak banyak dan para pembuli tak akan membuli lagi. Sebab jika kita ingin bercanda maka buatlah semua pihak tertawa bukan justru merasa terasingkan. Karna sejatinya berteman itu adalah saling melengkapi, saling memahami, dan saling menyayangi.
Tisa menutup layar laptopnya karna waktu sudah menunjukkan pukul 2.30. Sementara besok pagi harus bekerja lagi. Mata nya juga sudah terlihat sangat letih, istirahat adalah satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan. Tisa berbenah dan membaringkan tubuhnya pada kasur yang sudah memanggil-manggilnya.
***
Hembusan angin pagi membuat bulu halus bergidik, merasuki sebuah hasrat yang ingin menarik secarik selimut tebal. Nuansa kamar yang redup, bantal dan guling yang tergeletak di dasar lantai, hamparan kertas bertebaran dimana-mana menjadi saksi bisu bagaimana Tisa tertidur, begitu lelap hingga ia menunjukkan sejatinya diri dia yang nyata. Bila kau ingin melihat jati diri seorang perempuan terutama Tisa, lihatlah bagaimana posisi ia tertidur.
"Tok... Tok.. Tok.." ketukan itu membuat Tisa berdecak kecil
"Tok... Tokk.... Tok.. "
"Hmmmm... " Tisa berdeham malas
"Bangun, jangan sampai di tikung sama matahari" Ucap nya dari bilik pintu.
Tisa meraba-raba kasurnya, mencari sebuah benda yang memang pada umumnya bagi seorang perempuan, benda pertama yang harus di sentuh. Layar hpnya mengeluarkan sinar terang, matanya mengernyit, menandakn bahwa sinar itu terlalu menyilaukannya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5.30. Tisa menarik napasnya panjang. Merenggangkan badan dengan begitu malas, lalu memaksa dirinya untuk beranjak dari tidurnya.
"Semangat Tisa. Hidup itu tentang uang. Ayo, semangat" Celetuknya pada diri sendiri.
Tisa berjalan, menyalakan lampu. Lalu membuka pintunya.
"Haduhh.. " Seseorang hampir menabrak Tisa
"Iiss kamu dek" Ucap Tisa sedikit membuka matanya.
Adiknya yang bernama kimi itu menyeretnya kembali ke dalam kamarnya. Tisa tertegun dengan tindakan adiknya.
"Kak sepatu ku udah gak layak di pakai" Keluh adiknya setelah menyeret kakaknya dan menutup pintu.
Tisa menatap sendu adiknya, seraya mengingat kembali uang yang tertinggal di dompetnya.
"Tapi, buat satu minggu ke depan masih bisa di pakai sih, haha" Kimi jadi salah tingkah di depan kakaknya seraya menepuk pelan sepatu yng dia kenakan.
Tisa masih dalam diamnya. Sementara kimi merasa tak enak hati pada kakaknya, seharusnya tak perlu memberi tau Tisa soal sepatunya yang tak layak di pakai. Masih banyak keperluan selain itu.
"Tuh kak, masih kuat ternyata haha"Ucap Kimi berlompat-lompat memperlihatkan sepatunya bahwa benar masih kuat. "Iya kan kak?" Tanyanya yang menginginkan pengakuan dari kakaknya.
Tisa menarik lengan adiknya untuk menyuruhnya berhenti melompat sebab dengan begitu dia akan menambah kerusakan pada sepatunya.
"Hari ini kakak gajian, pulang dari sekolah kamu mampir ke caffe. Nanti kita beli bareng ya"Ucap Tisa dengan merasa bersalah pada adiknya.
Wajah berbinar kesenangan terpancar dari raut Kimi " Bener kak ? Yeee kimi sepatu baru" Seraya menyentuh tangan kakaknya meyakinkan itu benar, lalu melompat kegirangan.
***
Lampu dengan sinar kuning menjadikan warung itu bernuansa unik. Bertebaran di atas atap dengan di bungkus sebuah botol aqua. Dindingnya di selimuti beragam koran. Sementara lantainya di ukir layaknya tikar anyam yang terbuat dari ilalang. Ada beberapa rak yang di buat dari bambu di tiap pojok dari warung ini. Tersusun rapi buku-buku disana. Tak hanya itu, warung ini menyedikan fasilitas musik. Setiap pengunjung boleh menyumbangkan lagu, bila mereka ingin.
Tiap malam minggu warung itu mengadakan sebuah perlombaan, pesertanya adalah pengunjung. Memang unik warung yang di beri nama kuno ini. Semua yang di hidangkan bernuansa kuno. Dari model ruangannya sampai pada menu yang ada.
Seorang gadis cantik keluar dari pintu dapur. Membawa berbagai pesanan dari pengunjung. Belum pernah warung kuno ini sepi. Selalu ramai pengunjungnya. Dengan penuh kesopanan gadis itu menyuguhkan pesanan pengunjungnya. Dia nampak terlihat tak menginginkan ada sebuah kesalahan dalam pelayanannya.
"Pesanannya 2 urap, 1 nasi kuning, cireng porsi 2, orem-orem 2 porsi, dan kopi" Sebuah senyum terukir di ujung bibir gadis yang memiliki nama Tisa itu setelah usai menghidangkan beberapa pesanan.
Warung kuno adalah tempat kedua Tisa bekerja. Bahkan bila bisa Tisa ingin semua pekerjaan ynag ada di dunia ini, dia kerjakan. Selagi itu bisa menghasilkan uang. Prioritas utama Tisa adalah uang.
Tempat kerjanya yang pertama itu juga di cafe, namun bedanya di sweet cafe khusus menghidangkan cemilan dan coffee. Pekerjaannya yang ketiga menjadi staff di sebuah penjualan toko buku, seraya menulis yang di jadikannya sebagai pekerjaannya ke 4.
Mulai dari jam 7-12 Tisa bekerja di sweet cafe, sementara di siang hari dia bekerja di toko buku dari jam 1-4. Setelahnya, dari jam 5-10 dia bekerja di warung kuno. Sebagian besar waktunya ia curahkan pada pekerjaan.
"Terimakasih mbak" Ucap salah satu pelanggannya.
"Iya kembali kasih, ada yang ingin di tambah ?"
"Belum dulu mbak"
"Baiklah, bila ada yang bisa kami bantu atau tambahan menu laknnya, mas dan mbak tinggal panggil kami saja. Kami siap untuk melayani, selamat menikmati makanannya, semoga suka dan tak kecewa dengan menunya. Terimakasih, saya pamit undur diri" Ucap Tisa dengan begitu fasih. Semua pelanggannya menyimak tanpa berkedip sedikit pun, pertanda mereka baru pertama kalinya berkunjung di warung kuno.
"Brukkk..... "Sesuatu terjatuh.
Noda kopi berlumuran di kemeja putih laki-laki yang ditabrak Tisa, sial mengapa menabrak seseorang yang sedang memegang segelas kopi. Sempat terdengar pula keluhan "au" dari mulut laki itu, nampaknya, kopinya baru saja di sedu.
Seraya menimpuk pelan jidatnya, Tisa mengusap lumuran kopi pada baju laki yang di baru saja ditabrak.
Laki itu mengibaskan tangan Tisa. "Bisa kerja yang bener gak ?" Ucapnya. Raut wajah laki itu begitu kesal.
"Maaf mas maaf" Tisa menundukkan wajahnya
"Maaf kamu enggak bisa buat bersih kemeja saya. Gaji kamu 1 bulan di sini belum bisa bayar kemana saya"Ketus laki itu kejam
Semua pengunjung memerhatikan mereka. Berbisik sana berbisik sini. Menatap dengan tatapan aneh, entah apa yang sedang masing-masing kepala itu pikirkan.
Seseorang dengan tubuh sigap dan gagah datang menghampiri sumber keributan. Raut wajahnya tak kalah kesalnya dengan laki yang ditabrak oleh Tisa. Benar saja, dia bos dari cafe tempat Tisa bekerja.
"Saya mewakili pegawai saya, mohon maaf atas kecerobohannya mas" Ucap bos cafe itu
"Enggak. Mood saya memang udah buruk dia tambah buruk. Saya mau dia minta maaf dengan bener" Dengan sombong laki-laki itu berucap.
"Iya mas iya" Pak Hasan mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda setuju pada laki itu. "Tisa, minta maaf dengan benar, cepat" Ucap Pak Hasan
Wajah tisa memancarkan kebingungan harus meminta maaf dengan benar itu bagaimana selain mengucapkan kata maaf itu sendiri. Dia melirik laki itu dengan sedikit rasa takut. Lalu matanya mengisyaratkan untuk Tisa bertekuk lutut padanya tanda perminta maaf bahwa Tisa sangat menyesal dengan ini.
Pak Hasan pun dengan cepat menangkap isyarat dari laki itu. Dia mendorong Tisa agar segera dilaksanakan. Dengan ragu Tisa menurunkan kakinya, bersimpuh dihadapan laki yang sungguh sangat kejam itu. Tentu mata semua mengunjungi memandang ke arah mereka. Tatapan nya justru merendahkan laki yang tinggi besar itu, namun dia tak peduli dengan penilain orang. Mungkin benar, laki itu memang tak punya hati nurani.
Dengan menjatuhkan harga dirinya, Tisa meminta maaf dihadapan semua pengunjung seraya bersimpuh pada laki itu. Matanya berbinar-binar. Ingin rasanya menumpahkan air mata saat itu juga.
"Kak.. "Suara lembut dari seorang gadis cantik yang berasal dari belakang Tisa terdengar, Tisa mendelikkan matanya karna begitu terkejut, barangkali suatu itu tak asing untuk di dengar olehnya.
Secara tidak langsung, Tisa, bos, dan laki tadi menengok ke sumber suara.
Dengan mata sendu Kimi menatap rendah laki yang sudah menghilangkan harga diri kakaknya. Dia berjalan, mendekati mereka. Menggendong tas ranselnya yang berwarna biru. Masih dengan pakain sekolahnya. Kimi datang karna sudah membuat janji dengan kakaknya, tak pernah dia pikirkan akan adanya hal ini.
"Gak seharusnya prilaku seorang atasan itu kaya gini" Ucap Kimi, Bos Tisa menunjuk dirinya heran.
"Kakak saya emang salah, tapi gak ada orang yang mau melakukan kesalahan. Jadi kesalahan yang di buat kakak saya bukan dari hatinya, kenapa dia harus meminta maaf sampai ke hati yang paing dalam sakitnya" Jelas Kimi dengan wajah polosnya namun kata per kata yang dia ucapkan begitu bermakna.
"Cuma demi takut kehilangan sebuah pekerjaan dia rela sujud di hadapan orang serendah kamu. Kalian tau, gimana sakit nya kakak saya cari duit, kalian tau gimana menderitanya kakak saya kesana-kemari cari duit, saya cuman tau sejauh itu tanpa pernah tau kakak saya juga melakukan hal serendah ini" Kimi menatap tajam kakaknya
"Bukan saya berkata meminta maaf itu rendahan, bukan. Tapi cara anda menyuruh kakak saya buat minta maaf itu sangat rendah dari apapun"
"Dia sampai kurang tidur, sakit dia masih kerja, cuma buat apa ? Menghidupi keluarga yang gak mampu ini !!!" pekik kimi melengking membuat suasana haru tambah pecah, suara isakan tangis kimi mengundang semua pengunjung merasa iba padanya.
Laki yang Tisa tabrak tadi mulai salah tingkah, dan baru menyadari bahwa semua orang yang ada disana menatapnya rendah.
"Kalian enggak akan pernah tau rasanya kalo belum ngerasain" Ucap Kimi dan beranjak pergi seraya mengusap air matanya.
"Kimi..... "Panggil Tisa yang sedari tadi hanya menangis melihat adiknya yang masih kecil itu membelanya di hadapan khalayak.
Bos Tisa mengusap air matanya yang setetes dua tetes jatuh, sebab ikut larut dalam makian Kimi. Dengan reflek bos Tisa melambaikan tangannya, menandakan bahwa dia menyuruh Tisa untuk mengejar adik. Segera Tisa beranjak dari sana tanpa memikirkan laki tadi.
Sedih bacanya kak :( semoga endingny bagus
Comment on chapter 1