21 februari 2014, Pada hari jum’at di kelas 11 IPS 2. Seorang gadis yang malang duduk sebatang kara di pojok kelas itu. Menundukkan kepalanya dengan berlinang air keringat di dahinya. Sementara khalayak lainnya tertawa bersama, menikmati sejuta aktifitas bersama. Malangnya gadis itu, menjadi alasan bahagia orang lain tanpa pernah ia merasakan bahagia jua dari orang lain. Bullian tiap hari menghatam pendengaran dan pikirannya. Membentuk diri menjadi semakin takut dan pengecut. Sempat terpikirkan, mengapa sebagian orang bahagia dengan merendahkan seseorang dengan cibiran-cibiran yang menyakitkan. Haruskah bahagia dengan cara serendah itu ?
“Kidal.. boncel..boncel...kidal....” Tawaan beberapa anak laki-laki pecah saat meledek gadis lemah tak berdaya itu. Begitu bahagianya mereka sampai terduduk seraya memukul tembok melihat gadis yang mereka ejek itu semakin ketakutan.
Rambutnya yang panjang sebahu dan terurai menutupi wajahnya yang penuh dengan keringat, kakinya ia hentak-hentakan dengan pelan, bibirnya ia gigit seraya menahan semua rasa yang dia rasakan.
Tak seorang pun berpihak padanya, tak seorang pun yang mengulurkan tangannya, dia tak meminta untuk berada di sampingnya, menjadi temannya, hanya untuk mengeluarkan dia dari ruangan pengap itu sudah jauh lebih dari kata cukup. Namun, dia menyadari bahwa bila ada satu orang yang mengulurkan tangannya itu sama halnya mereka mendorong diri sendiri pada lubang yang sama.
Orang-orang terbelakang yang menggelompok akan menjadi bahan ejekan bersama. Bila mana kau berteman dengan ornag yang terbulli tak menutup kemungkinann kau akan bernasib sama.
“Berisik woy....” Ucap gadis yang bernama Anggi. Perempuan tergalak di kelas itu
“ Minggat aja lo ke kuburan sana kalo gak mau berisik” Timbal salah satu anak laki-laki yang tadi mengejek anak gadis pojok di kelasnya.
Anggi menoleh ke arah sumber suara. Menjatuhkan tatapan tajamnya. Berjalan mendekati laki-laki yang bernama Tio. “ Lo enggak liat, keringat segede jagung ngumpul di dahi dia, lo enggak liat kakinya gemeteran sampai menggigil gitu, lo gak liat dia nunduk tanpa gerak sedikit pun, karna takut sama berandalan kaya lo pada” Cetusnya tanpa adanya rasa takut sedikit pun.
Tio dan kedua temannya beranjak dari lantai seraya membersihkan debu yang menempel di pinggul mereka. Wajah yang tenggil dan penuh amarah itu mendekati Anggi, satu-satunya perempuan yang tak kenal takut. “Ngomong apa lo barusan” Tio mendorong pundak Anggi. “Ngomong sekali lagi” Dia mengibaskan tangannya di samping telinganya, pertanda bahwa dia sungguh menginginkan Anggi mengulang perkataannya. “Berandalan yang berengsek” Dan tak kalah sahingnya Anggi memperlihatkan wajah tengil yang seolah merendahkan martabat Tio sebagai The King di sekolah Harapan Bangsa. Sontak Tio mengangkat wajahnya, emosi meluap di benak Tio.
“Plakk....” Tamparan jatuh pada pipi Anggi.
Anggi masih bersikap tenang seraya menjilat bibir yang sedikit berdarah hasil tamparan dari Tio tadi. Dia menarik napas panjang. Sedang gadis yang menjadi alasan mereka bertengkar hebat, masih dengan posisi nya, tak berkutat sedikit pun. Menundukkan wajahnya, menutupnya dengan urain rambut yang sedikit panjang itu “Lo lebih rendah dari bajingan mana pun !” Anggi memutar balik badannya setelah puas berkata kasar di hadapan wajah Tio yang memang pantas dapat cacian setelah jutaan kata yang dia cibirkan pada gadis di kelasnya yang dinobatkan sebagai “Bulliner”. Dengan kasarnya Tio menarik Anggi lalu menamparnya lagi hingga 2x tamparan. Semua anak yang berada di sana terkejut bukan main dengan apa yang sudah dilakukan Tio.
“Tio !! Kurang berengsek gimana lagi lo sampai hati bisa-bisa nya nampar cewe” Sahabat Anggi pun ikut andil membela saat suasana semakin memperkeruh. “ Diem bacot lo kalo memang gak mau kena sasaran” Ucapnya belum sadarkan diri. Geram rasanya gadis yang di bulli tadi, dia pun berdiri dari tempat duduknya, sayang tak ada seorang pun yang menoleh padanya, Pertengkaran Anggi dan Tio lebih menarik darinya.
Tisa, iya benar. Nama gadis yang di nobatkan sebagai “Bulliner” itu adalah Tisa. Gadis munggil nan polos, yang juga tak ada salah sedikit pun pada dirinya, selama ini menjadi olokan teman-temannya. Dan untuk pertama kalinya, ada seseorang yang membelanya, entah bagaimanapun alasannya dia membela, hanya rasa senang yang Tisa rasakan.
“Gua bukan tipikal cowo yang membedakan gender. Jangan sangka gua gak bisa mukul lo karna lo cewe” Ucap Tio penuh amarah.
“Pukul aja kalo memang itu prinsip lo” Timbal Anggi menantang.
Tak kuasa menahan lagi, Tio yang memang tipikal laki-laki yang emosional itu semakin emosi sebab Anggi memancing amarahnya terus-menerus. Tio memicingkan kerah Anggi dengan kedua tangannya. Beberapa teman nya yang lain mencegah Tio namun Tio tak bisa di cegah.
Salah satu dari mereka akhirnya pun berlari ke ruang guru untuk melaporkan apa yang sedang terjadi. Anggi melepaskan tangan Tio dari kerahnya. Sebuah tamparan hampir meneduh lagi di pipi Anggi, untunglah Anggi berhasil menyeka tangan Tio. Dan menghempaskannya, lalu memukul wajah Tio, mendorong bahunya dengan penuh emosi. “ Lo sangka karna lo cowo gua gak berani. Lo sangka, cuman lo satu-satunya orang yang mukul tanpa mempertimbangkan gender.” Anggi semakin mendorong Tio sampai menghentak tembok.
“Gua juga” Ucap Anggi menantang. Setelah ucapan itu, pertunjukan pun di mulai. Pertengkaran antara keduanya pun di mulai. Tanpa pernah Tio tau bahwa Anggi, anak pindahan yang baru beberapa bulan itu sudah banyak memenangkan turnamen silat di ajang nasional. Tak heran bila Tio juga babak belur saat itu.
Menangis, yang hanya bisa di lakukan Tisa melihat temannya yang dari dulu ida harapkan ada satu yang membelanya, akan berakhir dengan suasana sekacau ini. Andai dia tau akan seperti ini, tak akan pernah dia mengharapkan satu orang yang membelanya, yang berpihak padanya. Biarlah dia menajdi bahan olokan teman-temannya asal tak merekrut anggota baru untuk di bulli.
Suasana kelas semakin gemuruh, anak kelas-kelas yang lain berdatangan. Sorak sorai menghatam telinga Tisa, seahrusnya bukan sikap demikan yang mereka tunjukkan saat melihat teman sendiri bertengkar, tapi menghentikannya dan menyadarkan mereka. Tisa berbenak, sudah saatnya dia mengakhiri semua ini, sudah saatnya dia curahkan semua sesak dalam diri, sudah saatnya dia angkat bicara.
“Tolong berenti !!!!” Suara yang asing terdengar itu menggelegarkan isi kelas. Pertengkaran itu pun terhenti seketika. Benar, Tisa tak pernah menggeluarkan sepatah suara pun di hadapan teman-temannya. Bahkan semua teman dan guru berprangka bahwa selain kidal Tisa juga bisu. Saat bersamaan dengan suara Tisa yang melengking hebat , beberapa guru juga tiba di kelas itu.
“Tio !!! Pramuda Tio Kusuma. Nama kamu jauh lebih hebat dari kamu sendiri. Setiap orang yang mendengar nama itu pasti akan menilai bahwa kamu orang yang hebat. Tapi pada kenyataannya salah. Tio, Pramuda Tio Kusuma pada orang yang selalu bahagia dengan membulli saya, dengan menjadikan saya bahan olokan, saya ingin mempertanya suatu hal sejak kamu menjadikan saya sebagai bahan bullian kalian. Dimana letak kesalahan saya ? Saya penah membuat kesalahan ? Apa kidal itu membuat kesalahan dalam hidup saya ? Apa menjadi pendek itu suatu kesalahan ? Setiap orang punya kekurangan masing-masing.” Tetes demi tetesan menggelinang di pipi Tisa. Semua orang seketika terhipnotis dengan suara Tisa dan membuat mereka menyimak ucapan Tisa.
“Salah kah seorang kidal dan pendek berteman dengan kalian yang nampak sempurna ? Saya pun sama dengan kalian, ingin berteman, ingin tertawa bersama teman, ingin bermain, ingin berbagi, sangat ingini bahkan walau sekali dalam hidup saya, untuk di anggap sebagai teman.” Tisa menatap satu persatu teman kelasnya seolah dia tak hanya bertanya pada Tio saja namun pada semua orang yang sudah merendahkannya.
“ Kalian tau, cibiran kalian, olokan kalian, kata kasar kalian, membuat saya prustasi, depresi, menyiksa batin saya. Tanpa pernah kalian tau, betapa inginnya saya berteman dengan kalian, saya berusaha merubah diri saya. Saya belajar bagaimana saya bisa menulis dengan tangan kanan saya. Tiap hari saya berolah raga demi menambah 1 cm tinggi saya. Sejauh ini saya sudah berusaha menjadi yang kalian inginkan, tapi ini sudah menjadi suratan untuk saya. Tak pernah sedikit pun saya mengeluh pada Tuhan, menyalahkan Tuhan, sebab kalian saya mengeluh, saya mengubur rasa syukur saya atas nikmat yang sudah diberikan. karna kalian saya menjadi tidak tau diri dan memaki Tuhan yang sudah menciptakan saya dengan sebaik mungkin” Isakan tangis Tisa membuat beberapa temannya tersentuh dan ikut menangis, guru yang berada di sana juga ikut menangs bersama Tisa.
“Saat kalian mengejek saya, saya diam. Berharap dengan begitu kalian ingin berteman dengan saya. Saat kalian tertawa puas dengan mengejek saya, pun saya ikut tertawa dengan menundukkan kepala saya. Di saat itulah saya bisa merasakan tertwa bersama dengan seorang teman. Saya tidak membeci kalian, sedikit pun tidak. Hanya saya kecewa pada sikap seseorang yang sudah saya kenal yang tak seharusnya demikian, karna apa karna sudah maka sudah sayang. Tak kenal maka tak sayang, bukan kah kita saling mengenal ? Lantas, apa yang terjadi selama ini” Tisa menutup wajahnya, menahan tangis yang meluap begitu hebatnya. Anggi menghampiri Tisa, dan memeluknya. Sedang Tio memijat-mijat kepalanya yang bisa jadi dia baru sadar, apa yang sudah dia lakukan adalah kesalahan terfatal. Sejak saat itu kehidupan Tisa merubah. Teman-temannya seringmengajaknya mengobrol, mengajak ke kantin, meledek satu dengan yang lain seraya tertawa. Tisa si penyendiri, kini sudah mempunyai banyak teman.
Ketahuilah becanda bagimu belum tentu lucu buat orang lain. Maka bercandalah sewajarnya, dan bersikap tak melewati batas sebagai teman pada umumnya. Karna , sikap seseorang itu sangat berperan penting pada batin seseorang. Kenangan ini pun menjadikan Tisa untuk menemukan bagaimana harus memahami seseorang dengan tidak melihatnya dari satu sisi saja namun berbagai sisi.
Sedih bacanya kak :( semoga endingny bagus
Comment on chapter 1