Irama musik menggema begitu syahdu dari luar sana menembus dinding yang terbuat dari selembar triplek, menjadi batasan antara ruang tengah dan kamar, ditemani gemercik hujan yang masih tersisa satu dua tetesan. Setiap sore laki-laki yang bisa dikatakan sudah rentan itu, menikmati alunan musik dari sebuah radio yang mulai rapuh dari dirinya yang semula sempurna. Memejamkan matanya, melupakan sejenak tekanan yang ada, membiarkan sedetik dirinya untuk bernapas lega. Tubuhnya diselonjorkan pada kursi panjang yang mereka miliki. Satu-satunya kursi yang enak untuk tempat bersantai yang keluarga mereka punya.
Seorang gadis cantik keluar dari kamarnya. Rambutnya terurai , badannya mungil, tingginya kira-kira 156 cm. Berjalan menghampiri penikmat musik tadi.
“Ayah,” Sapanya dengan selembut mungkin
Laki-laki itu terbangun, dengan perlahan membuka matanya.
“Oh, Tisa. Kenapa ?” Ayah Tisa membenarkan duduknya
“Mau Tisa buatkan kopi ?” Ternyata Tisa membangunkan ayahnya untuk menawarkan sebuah kopi.
Ayahnya sedikit berfikir “Boleh, kalo mau” Ucapnya kemudian. Tisa melempar senyuman manis pada ayahnya yang sudah letih berdagang seharian di pasar bersama ibunya.
Ayah adalah satu-satunya keluarga yang dekat dengan Tisa. Ibunya terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa sejatinya seorang ibu harus bagaimana bersikap. Itu juga mengapa Tisa tak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi, hanya sampai di bangku SMA saja.
Dia lebih memilih untuk mencari pekerjaan dan membantu ibunya mencari uang. Tisa mempunyai satu abang dan satu adik yang masih duduk di bangku SMP. Kehidupan yang Tisa miliki adalah kehidupan yang tak pernah dia harapkan. Menjadi bahagia itu tak melulu dengan uang namun ibunya menyalah artikan sebuah kehidupan sehinga rusaklah keluarga mereka.
Kelurganya tak pernah harmonis. Tiap hari Tisa harus mendengar rengekan dan amarah ibunya yang selalu mempermasalahkan uang. Abang yang satu-satunya dia harapakan bisa membantu, justru sebaliknya. Tak perlu begitu, setidaknya tidak menambah masalah dalam keluarga, itu sudah lebih dari kata cukup. Pun dia tak bisa menaruh harapan pada adik yang belum mengerti apa-apa.
Bersama ayahnyalah dia merasa damai, hidup seolah tak ada beban. Inilah kelebihan Tisa, meski begit dia tak pernah memperlihatkan betapa batinnya tersiksa. Senyuman dari bibirnya berhasil menutupi semua pilu yag dirasakan. Baginya, hanya berakhir kesia-siaan saja memperlihatkan kepedihan hidupnya pada orang lain, sebab mereka pun tak bisa mengubahnya.
“Ayah, kopinya” Ayah tisa segera meraih kopi buatan anak perempuannya yang baru ia sadari bahwa anaknya sudah beranjak dewasa. Ayahnya tersenyum seraya menggeserkan pinggulnya. Tisa duduk di samping ayah.
“ Bagaimana pekerjaannya ?” Tanya ayah yang sedang meniup kopi
Tisa tersenyum dan menoleh ke arah ayahnya seraya menatap gumpalan uap yang tipis dari kopi yang baru saja ia sedu. “ Yah tidak ada bedanya ayah”
“Jawaban itu cuman untuk orang yang tak menikmati pekerjaannya ?” Ayah menyeruput pelan kopinya. Tisa memandang lagi ayahnya, dengan lekat. Ayah tisa menghentikan tengukan kopinya. Menaruhnya kembali di atas meja. Mengerti bahwa anaknya tak begitu paham ucapannya. Ayahnya sedikit menghela naas, seolah hidup ini berat namun itu sudah menjadi hakikat masing-masing setiap insan.
“ Bila mana seseorang itu menikmati pekerjaanya, dia tidak akan pernah merasakan hal sama di setiap waktunya. Bagaimana caranya dia mencari hal yang beda setiap dia melakukan sesuatu” Jelas ayah tisa
“Nak...” Panggil ayah tisa seraya menundukkan kepalanya
“ Cintailah sesuatu yang kau kerjakan tanpa pernah mengharapkan imbalannya. Boleh saja mereka berfikir bahagia bila memiliki banyak uang, tapi tidak untuk kita. Tanamkan itu baik-baik pada hatimu” Ayah mengambil kopi nya setelah memberi seuntai nasehat pada anak gadisnya yang mulai dewasa ini, lalu lekas pergi meninggalkan Tisa.
--
Malam berganti pagi, suhu dingin yang berada pada malam hari pun menjadi dingin nya pagi. Bedanya saat malam, dinginnya tak menyejukkan sementara begitu. Pertikaian dua orang di luar sana menjadikan suasana bising di pagi hari yang seharusnya di bubuhkan hal yang menyenangkan.
“Aku butuh uang, bu” Ucap laki-laki yang berusia 25 tahun itu pada ibunya
“Kamu kalau butuh uang cari kerjaan, jangan bisanya nyusahin orangtua. Masih banyak yang harus ibu pikirkan, Adik-adik mu, kehidupan kita sehari-hari lah” Jelas ibunya secara lantang.
“Ibu pilih kasih, yang ibu pikirkan mereka terus tanpa pernah liat ada aku juga di sini bu” Tangannya masih melekat pada sebuah kantung yang sedikit buruk itu. Iya benar, dia adalah anak pertama dari ayah dan ibu Tisa.
Namanya Rio Kulomande, anak yang tak tau diri, anak berandal, anak yang menyimpang, tiap hari kerjaannya mabuk-mabukan. Selalu yang ada di otaknya uang, uang, dan uang. Orangtuanya sampai sempat berfikir salah apa mereka sampai anaknya berkembang dengan didikan yang salah.
“Udah bu, lepas” Rio menarik kantung yang juga di pegang erat oleh ibunya.
“Ini untuk bayaran adikmu, rio” Mata sayu itu menggelinangkan sebuah cairan yang khas di ujung matanya.
Seorang gadis yang tengah pulas dengan tidurnya, bangun mendengar gemuruh perdebatan di pagi buta ini. Matanya bengkak, entah dia terlalu nyenyak atau justru sebaliknya. Mengusap-usap matanya, seraya melihat ke arah dua orang yang sedang bertengkar.
Gadis itu tak menghentikan apa yang dia lihat justru dia pergi ke kamar mandi dan membasuh wajah. Setelahnya, mengambil segelas air putih dan duduk di kursi seraya menikmati acara tv, meski terdapat banyak semut yang muncul tapi baginya acara tv itu jauh lebih enak dilihat daripada yang ada dihadapannya sekarang.
“Dek, belum mandi ?” Tanya seorang laki-laki pada gadis kecil itu. Ia oun bersikap seolah tak ada yang terjadi di sana.
“Belum, Ayah” Ucapnya lalu menghabiskan air putih tadi.
Mereka berjalan kesana-kemari tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi. Sebab kejadiaan ini tidaklah hanya sekali atau dua kali, bahkan ini sudah menjadi rutinitas anak dan ibu itu di setiap paginya.
15 menit sudah berlalu, sementara mereka masih dalam pertengkaran. Tisa yang sedang bersiap-siap untuk pergi bekerja akhirnya geram ada ulah ibu dan abangnya itu. Tisa keluar dari kamarnya dengan wajah yang emosi.
“Abang !!” Pekiknya
“Kamu, diem. Gak perlu ikut campur” Ucap abangnya setelah menoleh ke arah Tisa
“Udah ibu, kasih ke aku aja” Rengeknya, sementara Tisa menatap tajam abangnya.
“Abang memang gak punya malu ya. Abang itu harusnya tau diri” Cetus Tisa begitu sadis. Mungkin peran seorang abang dan adik suduh tidak berlaku lagi dalam keluarga itu.
“Apa kamu bilang ?” Rio melepaskan tangannya yang sedari tadi memegang kantung itu. Berjalan mendekati adiknya, dengan perangai yang begitu menakutkan. Ibunya terdiam, tangannya menggigil, matanya memancarkan ketakutan. Sementara Tisa, pasrah dengan apa yang akan terjadi.
“Plaakkk.....” Sebuah tamparan jatuh di pipi mungil adiknya
“Rio !!!!!!” Pekik ibunya lantang, lalu menghampiri putrinya yang meringis kesakitan.
Matanya membesar, memerah, dan ada sedikit cairan di dalamnya. Uratnya mengencang, pertanda bahwa dia sedang begitu emosi. Ayahnya segera menghampiri mereka.
Dengan wajah yang tak kalah emosinya. Jemarinya menggumpal, uratnya mengencang dan siap untuk diluncurkan pada wajah anak laki-lakinya itu. Namun langkahnya terhenti “ Ayah mau memukul ku ? Itu tak jauh lebih buruk dari aku menampar adikku sendiri.” Ucapan Rio yang menghentikan ayahnya. “Dia pantas untuk dipukul, ayah” Seraya menunjuk adiknya “Wanita berand-...”
“Plakkkk” Sebuah pukulan menghentikan ucapan Rio. Dia tertegun, ayahnya bisa melakukan itu dari sekian banyaknya tamparan yang pernah dia hinggapkan ke wajah munggil adiknya. “ Biarlah, untuk hari ini ayah ingin tak jauh lebih baik dari anaknya” Sebuah sentuhan hangat ayah tinggalkan pada lengan Rio, lalu meninggalkan mereka seraya menunduk lemas. Semua orang yang ada di sana diam dengan seribu kata.
Sedih bacanya kak :( semoga endingny bagus
Comment on chapter 1