Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jingga
MENU
About Us  

       Aku melihat jam dinding, sudah pukul delapan papa dan mama belum pulang aku melamun sendiri di ruang Keluarga. Duduk di sofa menghadap TV. Mama tadi bilang akan ketemu temannya Tante Neta jadi lama pulang sedang papa pasti alasannya ketemu klien. Biasanya orang kalau akhir pekan bersama keluarga tapi aku... Aku mendesah pelan. Dulu juga begitu setiap akhir pekan begini aku dan keluargaku kumpul di ruangan ini ngobrol bersama. Walau kadang abang kembarku suka pergi kalau malam, dengan alasannya anak muda itu sabtu malam tidak boleh diam di rumah saja. Anak muda harus gaul dong... Kata mereka sok gaul padahal mereka sedang pendekatan dengan cewek. Dan ntah kenapa tak pernah berhasil mendapatkan satu cewek pun. Aku tak pernah dikenalkan sama pacar mereka. Kata teman-teman mereka, kedua abang kembarku itu belum menentukan siapa yang tepat untuk jadi pacar mereka. Sombong banget sih abang kembarku itu, memang sih mereka keren. Banyak cewek yang menyukai mereka termasuk teman-teman SMP-ku. Teman-temanku akan heboh kalau mereka muncul di sekolahku, terkadang mereka menjemputku sepulang sekolah. Aku tersenyum teringat masa itu....

“Senyum-senyum sendiri.” suara itu mengagetkanku aku menoleh ke sumber suara. Bang Dega menatapku sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding di samping pintu kamarnya. Bang Dega ada di belakangku, aku senyum.

“Mikirin siapa...” godanya, aku tertawa Bang Dega suka banget mengodaku. Tiba-tiba suara bel rumah berbunyi, aku menoleh ke depan. Siapa yang datang ya? Mama? Ah tidak mungkin secepat ini. Apa lagi papa... Aku menoleh ke Bang Dega tapi... mana Bang Dega... Aku melihat ke sekelilingku ke mana perginya Bang Dega...

“Siapa yang datang ya Jingga?” suara Bik Onah menyadarkanku dari rasa bingungku.

“Eh...a... ngak tau bik.” Jawabku bingung. Bik Onah ke depan melihat siapa yang datang. Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi dan mendesah pelan. Kenapa bayang-bayang ini selalu menggangguku? Kenapa aku tidak bisa lepas darinya.

“Jingga.” suara Bik Onah mengagetkanku, aku menoleh.

“Ada teman kamu yang datang.” ucap Bik Onah.

“Siapa Bik?” tanyaku was-was, sudah lama sekali tidak ada temanku yang datang ke rumahku semenjak...

“Nggak tahu Jingga.” ucap Bibik, siapa ya... Aku diam sejenak sebelum bangkit dari dudukku dan melangkah ke depan. Mana orangnya? Tidak ada orang di depan, apa dia masih di luar. Ku lihat ke arah pintu yang terbuka. Aku berjalan perlahan lalu berhenti di pintu dan melihat ke teras rumah, Banyu? Banyu berdiri menghadap ke jalan.

“Banyu...” ucapku ragu, Banyu menoleh. Tanpa seragam Banyu kelihatan lebih keren.

“Hai Jingga.” ucapnya, benarkah ini Banyu? Apa aku berilusi.

“Ayo masuk Ban.” ajakku setelah sekian detik terdiam menatap Banyu. Banyu berjalan masuk ke rumah, aku persilahkan duduk. Ada apa Banyu datang? Aku duduk di hadapan Banyu, Banyu menatapku lalu...

“Sesuai perkataanku kemarin kalau kamu janji dengan aku malam ini.” ucap Banyu, menjelaskan kehadirannya malam ini di rumahku. Aku janji dengan Banyu? Aku mengerutkan keningku, masih belum paham.

“Karena itu kamu ngak bisa datang ke rumah Deri.” ucap Banyu. O... aku akhirnya ingat, yang kemarin itu. Jadi karena itu Banyu beneran datang?

“Bisa saja Deri tiba-tiba muncul di rumahmu... Aku cuma tidak mau Deri ada alasan lagi untuk mengganggumu. ” ucap Banyu, baru kali ini Banyu bicara panjang. Dan aku suka mendengar suaranya yang membuatku merasa tenang. Mungkin karena setiap aku ketemu dengan Deri suaranya yang menghentikan Deri menggangguku.

“O...” ucapku, tidak tahu harus ngomong apa. Bik Onah datang membawa minum.

“Terima kasih Bik.” ucapku, Bik Onah senyum. Dan yang membuatku kaget Banyu tersenyum pada Bik Onah yang mempersilahkannya untuk minum. Hahhh... baru kali ini aku melihatnya senyum. Senyumnya membuat wajahnya terlihat lebih cerah. Biasanya wajah itu dingin... Sepeninggal Bik Onah kami hanya saling diam, pembicaraan apa yang harus ku bicarakan selama ini kami tidak pernah ngobrol tentang apa pun.

“Rumahmu sepi.” ucapnya memecah keheningan diantara kami.

“Iya, mama dan papa belum pulang.” ucapku.

“Hanya berdua dengan Bibik itu?” tanyanya, aku mengangguk.

“Aku sudah biasa begini...” ucapku sambil senyum.

“Suasana seperti ini menyenangkan, di rumahku suasana seperti ini sulit didapat.” ucapnya.

“Memang suasana di rumahmu bagaimana?” tanyaku penasaran dengan keluarganya, melihat Banyu yang pendiam.

“Selalu bising.” jawabnya.

“O ya... pasti menyenangkan.” ucapku, kebalikan dari situasi rumahku yang sepi. Itu pasti lebih menyenangkan.

“Kamu berapa bersaudara?” tanyaku lagi, mulai ada bahan pembicaraan dengan Banyu.

“Kami ada lima bersaudara.” ucapnya, aku senyum.

“Pasti menyenangkan ya... di rumah pasti nggak kesepian.” ucapku senang.

“Tidak juga, kamu kan tidak mengalaminya.” ucapnya nada suara Banyu yang tadinya kaku mulai berubah santai.

“Aku pasti suka mengalaminya.” ucapku membayangkan gimana serunya kami dulu walau cuma bertiga.

“Tidak ada ketenangan.” ucapnya aku senyum, kenapa aku jadi banyak senyum.

“Kamu punya adik?” tanyaku.

“Dua.” jawabnya.

“Berapa orang cowok saudara kamu?” tanyaku.

“Dua, adikku cewek dan cowok begitu juga di atasku.” ucap Banyu.

“Kamu anak tengah ya... Wah seru ya... punya adik dan punya kakak dan abang.” ucapku riang.

“Bukan seru tapi bising.” ucapnya lagi, aku senyum. Suasana ruang tamu berubah hangat pembicaraan kami mengalir begitu hangat.

“Aku tiga bersaudara, aku punya dua abang kembar.” ucapku, Banyu menatapku. Kenapa dia menatapku seperti itu.

“Mereka itu sangat seru dan keren.” ucapku lagi.

“Kalau ada mereka aku selalu aman dan tidak membutuhkan apa-apa lagi.” tambahku, Banyu masih menatapku dengan tatapan yang sama tatapan yang tak ku mengerti apa maksudnya. Aku menerawang mengingat kedua abang kembarku.

“Mmmm...Jingga, kamu harus menjauh dari Deri ya...” ucap Banyu tiba-tiba mengalihkan pembicaraan kami.

“Aku sih pengen banget tapi dia selalu mendekatiku.” jawabku sedikit kesal, mengingat Deri. Padahal tadi hatiku sedang senang karena mengobrol dengan Banyu.

“Deri itu memang seperti itu...” ucap Banyu.

“O...” ucapku, Banyu terlihat ramah bila seperti ini. Kenapa di sekolah dia sangat dingin... Tak mau berteman dengan yang lain.

“Maaf, tapi sudah lebih sebulan aku pindah ke sekolah kita aku nggak pernah melihatmu mengobrol dengan siapa pun.” ucapku. Banyu diam aja...

“Eh...maaf kalau kamu tidak mau jawab juga nggak apa.” ucapku, takut Banyu nggak suka dan jadi berubah dingin lagi padaku.

“Nanti kamu juga tahu.” ucap Banyu pelan. Nanti?

“Kamu terganggu dengan sikap diam ku?” tanya Banyu lagi.

“Oh... nggak, awalnya aku merasa aneh. Tapi setelah tahu kalau kamu baik karena sering membantuku, aku nggak apa-apa.” ucapku cepat, karena sebenarnya aku juga tidak suka banyak bicara. Tapi saat ini aku suka berbicara dengan Banyu.

“Kamu juga tidak ingin banyak bicara kan...” ucap Banyu, aku mengangguk. Tapi sekarang aku banyak bicara denganmu ucapku dalam hati. Aku hanya merasa tiba-tiba ingin bicara... ingin bercerita padamu.

“Jangan berlari terlalu jauh, kamu harus bisa mengahadapinya. Aku pun pernah berlari terlalu jauh. Tapi ku sadari berlari kemana pun aku, tidak akan menyelesaikan semua. Aku harus berani menghadapi semua dan berani melepas juga supaya semua menjadi lebih baik.” ucap Banyu, aku diam menatap Banyu. Kenapa aku merasa Banyu tahu apa yang sedang ku alami.

“Kamu pasti bisa.” ucapnya lagi, apa yang coba Banyu katakan kepadaku... Ku dengar suara klakson mobil, mama papa pulang? Aku bangkit berdiri dan melihat ke depan, Banyu ikut berdiri. Mobil mama di depan pagar aku melangkah keluar dan membuka pagar. Mobil mama masuk, Banyu sudah berdiri di teras. Bik Onah yang baru keluar dari rumah segera mendekati garasi dan membuka garasi supaya mobil mama bisa masuk. Aku membiarkan pagar terbuka, dan berjalan mendekati garasi. Mama keluar dari mobilnya, aku berdiri di depan garasi.

“Eh... Jingga belum tidur?” tanya mama, biasanya memang jam segini aku sudah tidur. Tapi karena Banyu aku bisa tetap terjaga sampai mama pulang.

“Ya Ma.” ucapku, mama terlihat lelah dan mendekatiku.

“Ayo masuk.” ucap mama lalu kami melangkah ke teras langkah mama terhenti ketika melihat Banyu.

“Eh... ada tamu rupanya, teman Jingga ya?” tanya mama, Banyu senyum.

“Iya tante, saya Banyu.” ucap Banyu sambil mengulurkan tangannya, mama menerima uluran tangan Banyu. Lalu...

“Tante saya permisi dulu.” ucap Banyu lagi.

“Loh kok langsung pulang.” Tanya Mama.

“Iya Tante sudah larut malam, saya juga sudah lama kok di sini.” ucap Banyu.

“Okelah kalau begitu, kamu hati-hati ya.” ucap Mama, Banyu mengangguk lalu Mama masuk ke dalam rumah. Banyu mendekati aku.

“Aku pulang dulu ya Jingga.” ucapnya, lalu senyum.

“Iya, terima kasih sudah datang.” ucapku, dia senyum lagi. Seharusnya kamu banyak tersenyum begini Banyu, kamu terlihat lebih menarik. Banyu menghidupkan  motornya dan melaju pergi meninggalkanku yang masih berdiri di teras menatap kepergiannya. Banyu sudah menghilang dikegelapan malam dan hanya tersisa bau asap motornya di halaman rumahku. Lalu aku melangkah masuk ke dalam rumah. Bik Onah berjalan ke arah pagar hendak menutup pagar, tapi aku dengar suara mobil masuk ke halaman rumah. Itu pasti papa... Aku tidak melihat mama di depan atau di ruang keluarga, mungkin mama langsung ke kamar. Mama pasti kelelahan, aku juga sebaiknya istirahat sekarang. Aku melangkah menuju kamarku. Malam ini rasanya lebih hangat dengan kedatangan Banyu. Aku tidak pernah menyangka akan bisa ngobrol dengan Banyu apalagi kami ngobrol di rumahku sendiri...

 

       Suasana di sekolah masih sama, Banyu masih menjadi Banyu yang super pendiam. Tapi aku tahu kalau Banyu sekarang adalah temanku meski kami tidak banyak berkomunikasi. Karel dan Weny penasaran kenapa aku bisa janjian dengan Banyu dan kenapa Banyu bersikap baik padaku. Aku mengeditkan bahuku tak mengerti. Mungkin karena kami teman sebangku kali, kan teman sebangku harus saling membantu. Aku mulai menyukai sekolah ini, aku mendapatkan teman-teman yang baik.

Aku melangkah menyusuri tepi lapangan sekolah. Ku lihat Banyu di sudut lapangan duduk di bangku di bawah pohon yang rindang sambil menatap langit. Apakah ini yang selalu Banyu lakukan bila dia ke lapangan. Siswa yang berlalu lalang di hadapannya tidak menganggunya. Angin mempermainkan rambutnya lembut. Satu-satu daun pohon yang sudah tua jatuh ke tanah terkadang jatuh ke pangkuannya tapi dia tidak mengubrisnya. Tanpa sadar aku mendekatinya dan berdiri di sisinya. Apakah dia tidak menyadari kehadiranku? Aku duduk di bangku itu juga, ada sedikit jarak antara kami. Angin berhembus lebih kencang, Banyu tetap pada pandangannya. Apa yang sedang dipikirkan Banyu. Aku ikutan menatap langit, langit disiang hari...langit yang cerah biru dihiasi awan yang putih...

“Langit itu bagus kan.” suara di sisiku berkata lembut. Aku mengangguk ya... bagus banget. Aku tersenyum, aku menoleh ke sisiku Bang Dega... Tapi tidak... bayang Bang Dega memudar. Banyu... Banyu sedang menatapku, aku kaget dan bangkit berdiri. Aku melihat sekelilingku suasana lapangan sudah sepi dan tak ada Bang Dega. Kakiku bergetar, ku memegang sisi rokku kuat. Beneran Bang Dega nggak ada, ini kan sekolah... Nafasku tidak beraturan... tanganku bergetar. Tidak... Bang Dega itu ada tadi... Aku mulai merasakan sesak di dadaku.

“Jingga.” suara yang beda... itu bukan Bang Dega. Aku menoleh, itu... Banyu lalu Bang Dega mana...

“Jingga.” aku mendengar suara Banyu yang khawatir. Kenapa? Kenapa dia khawatir? Rasanya tubuhku lemas.

“Jingga...” tubuhku jatuh kedalam pelukan hangat. Hangat sehangat senyuman Bang Dega... langit di atasku berputar. Gelap, apakah sudah malam...

“Jingga.” suara itu, Bang Digo aku senyum. Bang Digo... juga ada di sini... Aku lelah dan ingin tidur...

Kepalaku sakit, aku membuka mataku aku ada di mana. Sebuah ruangan yang asing dan bau obat.

“Jingga.” suara Banyu aku menoleh, Banyu duduk di sisi tempat tidur tempat ku berbaring.

“Banyu... ini dimana?” tanyaku bingung.

“Ini ruang UKS, kamu tadi pingsan.” ucap Banyu.

"Pingsan?” ucapku aneh dan berusaha bangkit.

“Jangan, kamu tiduran dulu sebentar.” Banyu menahanku untuk bangkit.

“Kenapa aku pingsan?” ucapku pelan pada diriku sendiri.

“Kamu tidak usah mikir apa-apa kamu hanya kelelahan.” ucap Banyu, kelelahan?

“Kita harus masuk kelas...” ucapku teringat kalau kami lagi di sekolah.

“Tidak apa-apa tadi aku sudah izin ke guru, guru sudah tau kok. Kamu istirahat aja.” ucap Banyu menenangkanku. Aku mendesah pelan, tadi aku bertemu Bang Dega dan Bang Digo... Seperti nyata... tapi aku sedang di sekolah. Apakah aku bermimpi?

Sisa jam sekolah ku habiskan di ruang UKS dan Banyu menjagaku. Sepulang sekolah Karel dan Weny menemuiku di ruang UKS.

“Aduh, kamu kalau lagi sakit ya. Seharusnya tidak usah masuk sekolah dulu Jingga...” ucap Weny khawatir sambil memegang tanganku, aku cuma senyum.

“Gimana keadaanmu sekarang?” tanya Karel.

“Sudah lebih baik kok...” jawabku, sambil senyum.

“Syukurlah...” ucap Weny.

“Ini tas kamu Jingga...” ucap Karel sambil meletakkan tasku di sisiku.

“Terima kasih...” ucapku, aku melihat Karel juga menyerahkan tas Banyu kepada Banyu. Aku bangkit dari tidurku.

“Eh... kamu tiduran aja.” ucap Weny.

“Tidak apa-apa Wen, aku sudah baikan. Aku harus pulang kalau tidak Bik Onah bisa khawatir.” ucapku.

“Biar aku antar pulang.” ucap Banyu, Karel dan Weny menatap Banyu. Banyu pura-pura tidak memperhatikan pandangan heran Weny dan Karel. Banyu mengambil tasku dan menyandangnya di bahunya sedang tas ranselnya disandangnya di punggungnya. Aku turun dari tempat tidur, Weny dan Karel membantuku. Lalu kami keluar dari ruang UKS setelah terlebih dahulu mengucapkan terima kasih ke guru kami, Ibu Sekar. Ibu Sekar yang menjaga ruang UKS. Kami berjalan ke parkiran, kali ini Banyu tidak bawa helm dua. Banyu menyerahkan helmnya padaku.

“Kamu pakai saja, supaya jangan kena angin.” ucapnya dan juga menyerahkan jaketnya untuk ku pakai. Aku lalu naik ke boncengan Banyu.

“Pegangan Jingga, kamu kan masih lemas ntar jatuh lagi.” ucap Weny sambil menarik tanganku dan menaruhnya di pinggang Banyu. Ku bisa merasakan kekagetan Banyu karena aku menyentuh pinggangnya.

“Tidak usah.” ucapku sambil menarik tanganku.

“Ntar kamu jatuh, boleh kan Banyu Jingga berpegangan ke kamu?” tanya Weny kepada Banyu, ku lihat Banyu mengangguk.

“Nah itu Banyu bilang boleh.” ucap Weny, aku akhirnya memegang baju Banyu.

“Duh takut amat, begini memegangnya.” ucap Karel sambil menarik tanganku dan melingkarkannya di pinggang Banyu. Aku jadi salah tingkah.

“Pegangan yang erat...” ucap Karel, aku melingkarkan kedua tanganku ke pinggang Banyu. Memang aku masih merasakan lemas dan kalau tidak berpegangan mungkin aku bisa jatuh. Banyu menghidupakan motornya, Weny dan Karel melambai sambil senyum. Senyum mereka sangat mencurigakan... Motor Banyu melaju tubuhku memang masih lemas, aku memeluk Banyu erat. Aku takut tak bisa menopang tubuhku dan itu bisa membuatku jatuh. Tubuh Banyu yang hangat memberi kenyamanan bagiku meski ku bisa sedikit merasakan angin dingin yang masuk dari leherku yang tidak tertutup jaket. Aroma tubuh Banyu mengisi udaraku. Terima kasih Banyu... Banyu mengantarku sampai rumah bahkan membantuku sampai masuk ke kamarku. Kemudian Banyu permisi pulang. Bik Onah kelihatan khawatir sekali walau aku sudah katakan aku tidak apa-apa. Bik Onah terus menemaniku, aku tertidur dalam bayang-bayang memudar. Wajah Bang Dega dan Bang Digo bermunculan namun memudar berganti wajah Banyu... Banyu? Kenapa Banyu.... Aku tak mampu memikirnya dan aku pun tertidur.

 

       Besoknya aku tidak ke sekolah aku demam, mama menemaniku di rumah. Mama... Aku meminta mama tidur di sisiku, aku memeluk mama sepertinya sudah lama sekali aku tidak memeluk mama. Wangi mama begitu kompleks, terkadang terasa seperti mama, papa... terkadang seperti bang Dega dan seperti bang Digo... Ma...aku kangen semua. Keesokan harinya aku sudah masuk sekolah. Aku duduk di bangkuku di sebelahku Banyu duduk di bangkunya dan asyik dengan coretannya.

“Hai Jingga sudah sembuh.” sapa Karel yang baru muncul bareng Weny.

“Kemarin kami datang ke rumahmu, mama kamu bilang kamu lagi tidur. Waktu mama kamu  mau bangunin kamu Banyu melarang. Takut mengganggu katanya.” ucap Weny panjang lebar. Ku lirik Banyu yang tidak tergubris dengan suara Weny. Ternyata mereka kemarin datang menjengukku, tapi kenapa mama ngak kasi tahu aku ya.

“Yang penting kamu sudah sembuh.” ucap Karel. Hari ini aku terus ada di dalam kelas, saat pulang Banyu mengajakku pulang bersamanya karena aku baru saja sembuh katanya. Dan Banyu mengantarku ke rumah. Banyu kamu baik banget meski kamu cuek dengan sekelilingmu.

 

       Aku bersandar pada tiang bangunan sekolah yang ada di depan kelasku. Aku sedang memperhatikan teman-teman yang sedang bermain basket di lapangan. Kami sedang jam olahraga aku memilih untuk hanya jadi penonton. Akhir-akhir ini aku merasa tubuhku sedikit lemah. Aku menatap langit yang cerah... Angin berhembus menyejukkan suasana. Langit yang menyimpan banyak rahasia.

“Aduh langit bisa runtuh kamu pandangi begitu.” suara Bang Dega di sisiku aku menoleh, Bang Dega sedang menatap langit. Angin mempermainkan rambutnya lembut.

“Abang juga, bisa tersipu malu tuh langit abang pandangi begitu.” ledekku, Bang Dega tertawa aku ikutan tertawa mendengar tawanya. Aku kembali menatap langit terlihat ada beberapa burung yang terbang. Aku tersenyum.

“Jangan tersenyum sendiri.” aku tersenyum mendengar perkataan itu, aku melihat ke arah Bang Dega. Bang Dega... Bukan Bang Dega tapi Banyu. Kenapa Banyu? Kenapa Banyu yang ada di sampingku bukan Bang Dega. Aku melihat ke sekelilingku, Bang Dega mana... Tunggu dulu ini di sekolah? Bang Dega mana? Nafasku mulai tidak teratur aku seperti merasakan ketakutan... ketakutan Bang Dega akan hilang selamanya. Tapi Bang Dega memang sudah hilang untuk selamanya...

“Cari siapa?” suara Banyu menegurku, aku menoleh. Ini beneran Banyu... Angin berhembus lembut mempermainkan rambut kami. Aku mengerutkan keningku Banyu berubah jadi Bang Dega... Bang Dega senyum lalu memudar kemudian menjadi Banyu... Ada apa ini? Kepalaku pusing.

“Jingga...” suara Banyu...

“Jingga...” Banyu kembali memanggilku, wajah Banyu berbayang, Banyu memeluk pundakku. Aku hampir terjatuh... Banyu membantuku bangkit dan memapahku duduk di dalam kelas. Aku menutup mataku mencoba mengatur nafasku.

“Sebenarnya ada apa?” suara Banyu membuatku membuka mataku. Banyu berdiri di hadapanku.

“Setiap kamu menatap langit kamu selalu tersenyum kemudian kamu seperti mencari-cari sesuatu. Kelihatan binggung kemudian menjadi tidak stabil.” ucap Banyu, aku diam dan menunduk.

“Sudah dua kali aku melihatmu seperti ini.” ucap Banyu. Aku... aku tidak tahu mau jelasin apa... Begitu banyak hal nyata menjadi semu dan hal semu menjadi nyata... Atau apa benar yang mereka katakan kalau aku sudah gila... Tidak... aku tidak gila. Aku menggelengkan kepalaku... Tidak, aku normal semua juga normal. Bang Dega itu nyata dia nyata... Tapi dia ngak ada...

“Jingga...” panggil Banyu aku menaikkan wajahku. Banyu menatapku, aku harus katakan apa Banyu. Kalau aku cerita apa yang aku lihat, kamu pasti tidak percaya. Dan menganggapku tidak waras.

“Sudahlah kalau kamu belum mau cerita, kamu istirahat di kelas dulu.” ucapnya lalu membelai rambutku lembut. Lalu Banyu berjalan keluar kelas. Banyu membelai rambutku lembut? Aku menyentuh rambutku yang tadi dibelai Banyu. Seperti Bang Digo kalau melihat aku sedang lelah. Aku menatap punggung Banyu yang segera hilang dibalik pintu. Banyu... Kamu sudah melihat apa yang selama ini ku rahasiakan. Halusinasiku bersama Bang Dega... Aku tahu itu hanya halusinasi tapi kenapa aku merasakan kalau itu sangat nyata...

*

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
8743      1609     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.
Di Bawah Langit
3206      1011     1     
Inspirational
Saiful Bahri atau yang sering dipanggil Ipul, adalah anak asli Mangopoh yang tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Namun, Ipul begitu yakin bahwa seseorang bisa sukses tanpa harus memiliki ijazah. Bersama kedua temannya Togar dan Satria, Ipul pergi merantau ke Ibu Kota. Mereka terlonjak ketika bertemu dengan pengusaha kaya yang menawarkan sebuah pekerjaan sesampainya di Jakarta. ...
Pisah Temu
1039      561     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu
Nobody is perfect
13752      2479     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Pillars of Heaven
2954      951     2     
Fantasy
There were five Pillars, built upon five sealed demons. The demons enticed the guardians of the Pillars by granting them Otherworldly gifts. One was bestowed ethereal beauty. One incomparable wit. One matchless strength. One infinite wealth. And one the sight to the future. Those gifts were the door that unleashed Evil into the World. And now, Fate is upon the guardians' descendants, whose gifts ...
Bertemu di Akad
4115      1184     1     
Romance
Saat giliran kami berfoto bersama, aku berlari menuju fotografer untuk meminta tolong mendokumentasikan dengan menggunakan kameraku sendiri. Lalu aku kembali ke barisan mahasiswa Teknik Lingkungan yang siap untuk difoto, aku bingung berdiri dimana. Akhirnya kuputuskan berdiri di paling ujung barisan depan sebelah kanan. Lalu ada sosok laki-laki berdiri di sebelahku yang membuatnya menjadi paling ...
Forestee
482      340     4     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.
Love Finds
16074      3288     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Salju di Kampung Bulan
2098      962     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Sekotor itukah Aku
402      304     4     
Romance
Dia Zahra Affianisha, Mereka memanggil nya dengan panggilan Zahra. Tak seperti namanya yang memiliki arti yang indah dan sebuah pengharapan, Zahra justru menjadi sebaliknya. Ia adalah gadis yang cantik, dengan tubuh sempurna dan kulit tubuh yang lembut menjadi perpaduan yang selalu membuat iri orang. Bahkan dengan keadaan fisik yang sempurna dan di tambah terlahir dari keluarga yang kaya sert...